“Saya berangkat ya?”Perempuan yang sedang duduk di samping ibunya mengangguk pelan sambil menampilkan senyum kecil, ketika lelaki itu sudah mendaratkan satu buah kecupan di keningnya. “Hati-hati.”Samudra mengangguk, menatap Disya lalu mengecup pipinya sembari mengacak pelan rambut Disya. Disya hanya diam sembari memanyunkan bibirnya. "Adegan itu kena peringatan harusnya! Bucin!" komentar Disya tentang kelakuan Samudra yang mencium kening Naya di hadapannya, juga Ibu dari mereka. Samudra menanggapinya dengan kekehan saja. “Abang berangkat ya, Sya.”“Iya, sana pergi!” titah Disya.Samudra terkekeh, mengedarkan senyumannya kepada semua orang yang ada di ruang tengah, setelah sebelumnya berpamitan pergi.Dina, Maya, Naya, juga Disya sedang berada di kediaman rumah Gina—sudah dikatakan sebelumnya bukan, hubungan kedua keluarga sudah kembali membaik, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Rencananya mereka akan pergi survey untuk memilih venue tempat berlangsungnya acara pernikahan Samu
Kai terus menatap ke arah Devan yang sedang fokus memperhatikan jalanan di depannya. Merasa diperhatikan membuat lelaki yang sedang memegang kemudi itu menatap ke arah putranya. “Kenapa, Prince?” tanyanya.Tidak langsung menjawab pertanyaan sang Daddy, untuk beberapa detik Kai masih menatap wajah Devan tetapi setelahnya menggeleng pelan.“Mau ke rumah Oma Maya dulu, sebelum nanti dijemput Mommy?” tanya Devan, menatap putranya untuk beberapa detik, lalu setelahnya kembali fokus dengan kemudinya menatap ke depan, memperhatikan jalanan.“Daddy mau ke kantor lagi memangnya?”Menggeleng, Devan menjawab, “Tidak—eh, Daddy baru ingat Oma Maya pergi sama Aunty Nay, Oma Dina, Oma Gina juga,” jelas Devan ketika ia baru mengingat Maya, dan Naya tidak ada di rumah saat ini.“Ke rumah kita saja, Dad.”Devan menampilkan senyum, lalu mengangguk pelan. “Kai di rumah dulu sebelum dijemput Mommy, ya.”Bocah itu menggeleng, yang jelas membuat Edgar mengernyit bingung. “Aku menginap di rumah,” katanya.Ad
Membuka pintu kamarnya, Devan terlihat menghela napas sembari bersandar pada pintu kamar yang sudah kembali ditutup rapat. Menatap ke sekeliling kamar—semua tentang Disya sudah tidak ada, semua barang yan bersangkutan dengan Disya sudah lelaki itu singkirkan dari kamarnya.Devan baru kembali ke kamar setelah sebelumnya menemani Kai hingga tertidur di kamarnya sendiri.Tersenyum sumbang, Devan mengusap wajahnya kasar, mengacak rambutnya frustasi. Merutuki dirinya sendiri dengan berbagai sumpah serapah.Sial! Semuanya semakin rumit saja.Tok!Tok!Tok!“Pak Devan?”Suara ketukan di pintu kamar, juga suara panggilan dari perempuan yang memanggilnya, membuat Devan langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Mengulurkan tangannya untuk membuka pintu yang dipunggunginya—Disya sudah ada di depannya sekarang, menatapnya dengan kening yang mengernyit setelah pintu dibuka.“Pak Devan cuman baca chat Disya, ngga balas?”Membasahi bibirnya yang dirasa kering, Devan mengangguk pelan. Saat men
Disya tersenyum ketika berpapasan dengan beberapa murid yang berjalan menuju ke arah gerbang untuk pulang, dijemput oleh orang tua ataupun supir mereka. Ini sudah jam pulang sekolah, tentu saja keberadaan Disya di sini untuk menjemput Kai—sekedar informasi saja, perempuan itu sudah standby dari setengah jam sebelum bel pulang berbunyi, hanya untuk memastikan bahwa kejadian kemarin tidak terulang lagi. Dari banyaknya murid, manik Disya mencari sosok putranya, bola matanya bergulir ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Kai. Senyum merekah ia tunjukkan ketika maniknya melihat putranya sedang berjalan sendiri dengan wajah yang terlihat sangat lesu dan lelah. “Kai,” sapa Disya, melambaikan tangannya dengan kedua kaki yang sudah melangkah menghampiri putranya sembari tersenyum sumringah. Kai menatap kehadiran Disya, bahkan langkah kakinya terhenti karena sapaan Disya. “Sayang, capek ya?” tanya Disya saat ia sudah berdiri di depan Kai, bahkan perempuan itu sudah mengusap pelan rambut K
Disya semakin mengeratkan genggaman tangannya dengan Kai ketika menyadari banyak karyawan yang memperhatikannya. Menampilkan senyum canggung ketika manik Disya bertemu dengan manik mata mereka. Disya berjalan beriringan dengan Kai, dan Devan, menaiki lift untuk menuju ke ruangan mantan suaminya. Sedikit bernapas lega ketika pintu lift sudah tertutup rapat. Disya tidak suka menjadi pusat perhatian, apalagi ditatap dengan penuh selidik, bahkan samar-samar ia mendengar beberapa karyawan berbicara tentangnya. Benar tidak ya keputusan Disya untuk ikut dengan Kai ke kantor mantan suaminya? “Mommy?” Kai memanggil, mendongak menatap Disya dengan kening mengeryit lalu bertanya, “Ada apa?” Mungkin bocah itu menyadari raut wajah Disya yang tidak baik, bahkan hanya diam sedari tadi. Disya segera menampilkan senyum manisnya menatap Kai, lalu menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan putranya. “Tidak papa, Kai.” Tadi, saat Devan menyuruh Disya untuk pulang dengan mobil taxi yang akan dipesank
Bukan tanpa alasan Gio datang ke ruangan Devan untuk menemui Disya, lelaki itu ingin memberi info jika akan ada pertemuan dengan teman-teman kampusnya dulu yang belum direncakan pasti kapan dan di mana—tetapi satu yang pasti bahwa pertemuan itu akan ada katanya. Disya kira pertemuan itu diadakan cukup lama dari hari di mana Gio memberi info, tetapi ternyata di awal weekend minggu ini sudah akan diadakan katanya. Disya harus hadir, si kembar mengancam jika ada yang tidak hadir dengan alasan tidak masuk akal maka harus membayar denda— mereka ini aneh memang. Dari pada harus mengeluarkan kocek lima juta rupiah lebih baik Disya hadir, lagipula pertemuan itu bukan acara resmi reuni kampus, hanya beberapa temannya yang kurang lebih berjumlah tiga puluhan orang, yang kebetulan memang sering mengikuti kelas yang sama—atau itu juga bisa disebut reuni? “Hah—” Entah sudah berapa kali Disya menghembuskan napas di sela kegiatan memoles wajahya dengan make-up ketika mengetahui ada seorang lelaki y
Disya mengetuk-ngetukkan jarinya di atas handphone yang sedang dipegangnya dengan raut gelisah—menunggu balasan pesan dari Kai yang sedari tadi belum juga dibalas. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, harusnya Devan sudah berada di rumah, membiarkan Kai bermain dengan handphonenya untuk berbalas pesan dengan Disya.Hal ini sudah terjadi sejak satu Minggu yang lalu—Kai tidak pernah menginap di rumahnya lagi.Disya masih bingung apa yang sebenarnya sedang terjadi, jika hanya satu, dua, atau tiga hari sih tidak masalah untuk Disya, dan bisa dipahami jika Kai memang ingin bersama Daddynya, tetapi ini sudah sampai seminggu lebih. Sebelumnya Kai tidak pernah seperti ini."Kenapa, Sya?" tanya Alif menyadari raut gelisah perempuan yang duduk di sampingnya.Disya melirik Alif yang duduk di kursi kemudi, lalu menggeleng pelan.Kembali menatap jalanan di depannya, Alif menyunggingkan senyum. "Trus kenapa mukanya gelisah gitu? Lagi nunggu chat siapa?""Hah...." Menghela nap
Suara ketukan di pintu rumah utama kediamannya membuat kedua perempuan berbeda usia yang sedang menyantap sarapannya di meja makan saling memandang satu sama lain, seolah sama-sama bertanya siapa yang berkunjung ke rumah pagi-pagi sekali.“Bunda saja yang buka, kamu selesaikan sarapannya saja,” kata Dina yang setelah mendapat anggukkan dari putrinya langsung melangkah meninggalkan meja makan untuk membuka pintu.Disya secepat mungkin menyelesaikan sarapannya, karena memang pagi ini ia akan datang ke rumah Devan. Mulutnya sibuk mengunyah roti keju, dengan kedua mata yang sibuk melihat sudah sampai mana motor yang dipesan untuk mengantarnya pagi ini.“Sudah sarapan? Ayo ikut sarapan bareng, Lif!”Mengernyit, Disya langsung menengokkan wajahnya menatap kehadiran Bundanya yang kembali menuju meja makan dengan seorang lelaki yang tentu saja sangat ia kenali—Alif, pagi-pagi sekali berkunjung ke rumah, sedikit menyebalkan bagi Disya, perempuan itu sudah memasang wajah masam menatap kehadiran