Share

Chapter 4: Sebuah Tekad

"Naya benaran mau balik lagi ke Lampung?" tanya Diky menatap Devan yang masih berkutat dengan laptop di depannya. Yang dibalas dengan anggukkan pelan dari lawan bicaranya.

"Kenapa?"

"Naya ngga bilang sama saya alasannya apa. Waktu saya tanya kenapa harus kembali ke Lampung dan jawaban dia 'hanya ingin' katanya."

Diky mengernyit bingung. "Saya masih heran kenapa dengan tiba-tiba Naya membuat keputusan yang menggeparkan seluruh keluarga besar karena secara sepihak memutuskan hubungannya dengan Nathan, dan memilih langsung pergi ke Lampung. Apa tidak curiga ada sesuatu hal?"

Devan yang sedari tadi berkutat dengan laptop dan pekerjaannya bahkan sampai menghentikan kegiatannya mendengar perkataan Diky. "Maksudmu?"

"Ya... apa coba alasan Naya mutusin hubungannya dengan Nathan secara sepihak gitu? Bosan katanya? Kalau pun bosan atau ada lelaki lain yang membuat Naya jatuh cinta dan berani meninggalkan Nathan. Mana lelaki itu sekarang? Apa Naya pernah menjalin hubungan dengan seseorang setelah hubungannya dengan Nathan kandas. Bahkan apa coba yang dilakukan Naya di Lampung, sibuk dengan toko bunga Omanya. Apa tidak merasa jika tiga tahun ini Naya banyak berubah?" jelas Diky yang mengeluarkan semua kebingungan di kepalanya selama ini.

Walaupun Diky selama ini tinggal di Lombok dia tidak pernah ketinggalan berita keluarga Ganendra sedikit pun. Sekedar informasi saja, jika tepatnya kemarin Diky dan Syiren baru tiba di kota ini. Syiren sedang mengandung, usia kandungannya sudah memasuki bulan ke-7, dan perempuan itu mengidam ingin sekali memakan telur gulung yang dijual oleh ibu paruh baya yang selalu berjualan di depan salah satu sekolah dasar di dekat butiknya. Akhirnya mereka berada di kota ini untuk beberapa hari. Diky adalah tipikal suami yang sangat bucin dan tentu saja, apapun yang Syiren inginkan maka Diky akan berusaha menurutinya kalau memangg dia masih mampu.

Walaupun Devan dibuat geli sendiri sebenarnya setelah mendengar alasan pasangan suami istri ini rela datang ke kota ini hanya karena acara mengidam Syiren yang ingin memakan telur gulung yang dijual di depan sekolah dasar itu.

"Bukankah kamu terlalu berlebihan?" tanya Devan.

Diky diam untuk beberapa detik, namun setelahnya mengambil sebuah majalah dan melemparnya ke arah Devan, beruntungnya Devan dengan cepat bisa menangkap majalah itu sebelum mengenai wajahnya. "Dasar tidak sopan!" ketus Devan menatap Diky.

Diky balas menatap Devan dengan tatapan tidak bersahabat. "Bekerja denganmu beberapa tahun ini membuat saya sudah seperti seorang detektif saja. Ini semua salahmu, itulah kenapa saya selalu berpikir keras tentang kemungkinan-kemungkinan dari masalah hidup seseorang," kata Diky ketus yang berhasil membuat Devan tertawa pelan.

"Sudahlah lupakan! Jadi, bagaimana kamu dengan Disya?" tanya Diky lagi yang berhasil membuat Devan merubah mimik wajahnya sendu.

"Bagaimana apanya?"

Diky menghembuskan napasnya kasar. "Saya dulu padahal tidak perduli kalau Pak Devan menjadikan Disya sebagai ajang balas dendam saja. Terlalu banyak rahasia yang saya tahu dari kehidupan Pak Devan, harusnya saya melarang Pak Devan untuk menikahi Disya waktu itu. Saya... tidak berani waktu itu, saya cukup tahu dan tidak ingin ikut campur dengan semuanya. Saya hanya mengikuti apa yang Pak Devan suruh dan apa yang Pak Devan pinta." Diky berbicara sembari pikirannya kembali berkelana mengingat awal mula permasalah cinta Devan ini terjadi. Bagaimana pun Diky hanyalah seseoran yang menjadi tangan kanan Devan, tugasnya tentu saja bekerja dengan lelaki itu.

"Dan kamu sekarang, sudah berani tidak sopan sama saya!"

Diky menyunggingkan senyumnya, begitu juga dengan Devan yang melihat Diky tersenyum ikut menyunggingkan senyumnya. Saya sudah menjadi menantu keluarga Ganendra, kalau Pak Devan lupa!"

Keduanya kembali terkekeh pelan. Devan berdiri dari duduknya, lalu berjalan menuju sofa yang juga ditempati oleh Diky sedari tadi.

"Saya benar-benar menyesal, Diky."

Diky mengangguk, menatap Devan dengan tatapan kasihan. "Kalau tahu Pak Devan nantinya akan sejatuh cinta ini dengan Disya, dulu mungkin saya akan melarang Pak Devan melakukan itu."

"Penyesalan memang selalu datang di akhir."

Diky mengangguk, lalu menepuk pelan bahu Devan dengan tujuan untuk memberikan semangat juga mencoba memahami apa yang lelaki itu rasakan saat ini. "Jadi apa yang akan Pak Devan lakukan?" tanya Diky pada akhirnya.

"Saya sangat-sangat ingin kembali dengan Disya. Tapi saya juga sadar diri kalau kesalahan saya dulu memang sangat-sangat fatal. Saya merasa tidak pantas untuk Disya."

"Jadi selama tiga tahun ini tidak ada usaha Pak Devan untuk mendapatkan Disya kembali?" Diky tercengang.

"Saya bertemu dengan Disya hanya sesekali itupun sekilas, jika memang Disya menjemput Kai ke rumah, atau sebaliknya, saya yang menjemput Kai dari rumah Disya setelah mereka selesai bermain. Samudra sepertinya sangat amat posesif dan protektif kalau Disya berhubungan dengan saya. Kalau saja tidak ada Kai, mungkin kita benar-benar tidak akan pernah bertemu lagi."

Diky semakin meringis kasihan.

"Apa ada solusi lain selain saya menyerah tentang Disya?"

Diky membolakkan matanya. "Dan Pak Devan memilih untuk tetap sendiri seumur hidup?"

"Saya hanya mencintai Disya saat ini, dan mungkin sampai kapanpun."

"Hidup sendirian itu menyedihkan kau tahu!" gertak Diky.

"Sudah tiga tahun kan? Tidak ingin kembali dengan Disya?" Tidak, ini bukan suara Diky maupun Devan, tapi suara perempuan yang sedari tadi sudah berdiri di dekat pintu masuk ruangan milik Devan.

"Fatya?" serempak kedua lelaki itu menyebut nama perempuan yang kini sudah berjalan ke arah mereka.

"Naisya, namaku Naisya!" protes perempuan itu.

"Mau apa?" tanya Diky to the point saat melihat Naisya sudah ikut duduk di sofa.

Naisya merogoh tasnya, mengambil dua buah undangan berwarna baby blue lalu menyimpannya di atas meja. "Datang ya."

Diky mengambil undangan itu lalu membaca aksara yang berada di bagian depan undangan, lelaki itu tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya tentu saja ketika melihat nama Naisya ada di kertas itu.

"Biasa aja kali mukanya. Iya aku mau nikah. Kalian berdua jangan lupa datang ya nanti."

"Selamat Naisya," kata Devan.

Naisya mengangguk lalu menampilkan senyumnya. "Kamu benar Dev, tentang akan ada seseorang yang terbaik yang menjadi pasangan hidupku. Dan... dia sama sekali tidak pernah mempermasalahkan masa laluku."

"Syukurlah, kamu sudah menemukannya."

Lagi-lagi Naisya mengangguk. "Kamu harus datang, ajak Kai juga ya."

Devan mengangguk. "Tentu saya aku akan mengajak Kai juga."

Kailash, tidak pernah tahu siapa ibu kandungnya. Naisya yang memintanya untuk tidak memberi tahu kebenarannya. Perempuan itu memang kembali ke London untuk tinggal di sana, kali ini ia pergi ke sana tentu saja dengan restu kedua orangtuanya dan juga keluarga. Sesuai apa yang telah dikatakannya, Naisya akan menikah dengan seorang lelaki kelahiran Solo yang ditemuinya di London.

"Kamu dan Disya gimana?"

Devan hanya mengangkat bahunya pasrah.

"Sudah tiga tahun kan? Tidak ingin kembali dengan Disya? Setidaknya kembali perkenalkan dirimu seolah-olah kau adalah orang baru—seorang Devano dengan versi yang lebih baik. Masuk ke dalam kehidupannya lagi dengan perlahan-lahan dan hati-hati, yakinkan hati Disya kembali untuk bisa bersamamu. Dulu, jalanmu terlalu gampang untuk bersama Disya, mungkin kali ini Tuhan ingin kamu lebih berusaha untuk mendapatkan Disya kembali, supaya kamu akan berpikir beberapa kali jika ingin membuatnya menangis."

Devan yang sedari tadi diam, kini kembali menatap Naisya. "Apa Disya mau kembali?"

"Kalian memang saling mencintai. Bang Sam yang sepertinya susah untuk menerima," jelas Naisya yang semakin membuat Devan mendesah frustasi.

Kembali dengan Disya seperti sangat semakin mustahil saja.

"Setidaknya kamu mencoba, sifat manusia itu bisa berubah-ubah, begitu juga dengan Bang Sam. Buktikan juga kepada lelaki itu kamu pantas kembali memiliki Disya."

"Setuju!" kata Diky semangat. "Mana Pak Devan yang saya kenal pantang menyerah itu, huh?!"

Naisya mengangguk menanggapi ucapan Diky sambil tersenyum menatap Devan mencoba meyakinkan lelaki itu. "Aku mendukungmu! Selagi kamu mendekati Disya, harus dibarengi juga dengan mengambil restu Bang Sam. Kau boleh meminta tips dan trik dari Mas Nando soal mengambil hati Bang Sam."

Devan merasa kepercayaan dirinya kembali. Bukan pilihan yan tepat jika dia hanya tetap diam tanpa berusaha melakukan apapun. Bukankah cinta meman harus diperjuangkan?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status