Home / Romansa / Om Duda! 2 / Chapter 4: Sebuah Tekad

Share

Chapter 4: Sebuah Tekad

Author: Anaa
last update Last Updated: 2023-02-09 00:59:31

"Naya benaran mau balik lagi ke Lampung?" tanya Diky menatap Devan yang masih berkutat dengan laptop di depannya. Yang dibalas dengan anggukkan pelan dari lawan bicaranya.

"Kenapa?"

"Naya ngga bilang sama saya alasannya apa. Waktu saya tanya kenapa harus kembali ke Lampung dan jawaban dia 'hanya ingin' katanya."

Diky mengernyit bingung. "Saya masih heran kenapa dengan tiba-tiba Naya membuat keputusan yang menggeparkan seluruh keluarga besar karena secara sepihak memutuskan hubungannya dengan Nathan, dan memilih langsung pergi ke Lampung. Apa tidak curiga ada sesuatu hal?"

Devan yang sedari tadi berkutat dengan laptop dan pekerjaannya bahkan sampai menghentikan kegiatannya mendengar perkataan Diky. "Maksudmu?"

"Ya... apa coba alasan Naya mutusin hubungannya dengan Nathan secara sepihak gitu? Bosan katanya? Kalau pun bosan atau ada lelaki lain yang membuat Naya jatuh cinta dan berani meninggalkan Nathan. Mana lelaki itu sekarang? Apa Naya pernah menjalin hubungan dengan seseorang setelah hubungannya dengan Nathan kandas. Bahkan apa coba yang dilakukan Naya di Lampung, sibuk dengan toko bunga Omanya. Apa tidak merasa jika tiga tahun ini Naya banyak berubah?" jelas Diky yang mengeluarkan semua kebingungan di kepalanya selama ini.

Walaupun Diky selama ini tinggal di Lombok dia tidak pernah ketinggalan berita keluarga Ganendra sedikit pun. Sekedar informasi saja, jika tepatnya kemarin Diky dan Syiren baru tiba di kota ini. Syiren sedang mengandung, usia kandungannya sudah memasuki bulan ke-7, dan perempuan itu mengidam ingin sekali memakan telur gulung yang dijual oleh ibu paruh baya yang selalu berjualan di depan salah satu sekolah dasar di dekat butiknya. Akhirnya mereka berada di kota ini untuk beberapa hari. Diky adalah tipikal suami yang sangat bucin dan tentu saja, apapun yang Syiren inginkan maka Diky akan berusaha menurutinya kalau memangg dia masih mampu.

Walaupun Devan dibuat geli sendiri sebenarnya setelah mendengar alasan pasangan suami istri ini rela datang ke kota ini hanya karena acara mengidam Syiren yang ingin memakan telur gulung yang dijual di depan sekolah dasar itu.

"Bukankah kamu terlalu berlebihan?" tanya Devan.

Diky diam untuk beberapa detik, namun setelahnya mengambil sebuah majalah dan melemparnya ke arah Devan, beruntungnya Devan dengan cepat bisa menangkap majalah itu sebelum mengenai wajahnya. "Dasar tidak sopan!" ketus Devan menatap Diky.

Diky balas menatap Devan dengan tatapan tidak bersahabat. "Bekerja denganmu beberapa tahun ini membuat saya sudah seperti seorang detektif saja. Ini semua salahmu, itulah kenapa saya selalu berpikir keras tentang kemungkinan-kemungkinan dari masalah hidup seseorang," kata Diky ketus yang berhasil membuat Devan tertawa pelan.

"Sudahlah lupakan! Jadi, bagaimana kamu dengan Disya?" tanya Diky lagi yang berhasil membuat Devan merubah mimik wajahnya sendu.

"Bagaimana apanya?"

Diky menghembuskan napasnya kasar. "Saya dulu padahal tidak perduli kalau Pak Devan menjadikan Disya sebagai ajang balas dendam saja. Terlalu banyak rahasia yang saya tahu dari kehidupan Pak Devan, harusnya saya melarang Pak Devan untuk menikahi Disya waktu itu. Saya... tidak berani waktu itu, saya cukup tahu dan tidak ingin ikut campur dengan semuanya. Saya hanya mengikuti apa yang Pak Devan suruh dan apa yang Pak Devan pinta." Diky berbicara sembari pikirannya kembali berkelana mengingat awal mula permasalah cinta Devan ini terjadi. Bagaimana pun Diky hanyalah seseoran yang menjadi tangan kanan Devan, tugasnya tentu saja bekerja dengan lelaki itu.

"Dan kamu sekarang, sudah berani tidak sopan sama saya!"

Diky menyunggingkan senyumnya, begitu juga dengan Devan yang melihat Diky tersenyum ikut menyunggingkan senyumnya. Saya sudah menjadi menantu keluarga Ganendra, kalau Pak Devan lupa!"

Keduanya kembali terkekeh pelan. Devan berdiri dari duduknya, lalu berjalan menuju sofa yang juga ditempati oleh Diky sedari tadi.

"Saya benar-benar menyesal, Diky."

Diky mengangguk, menatap Devan dengan tatapan kasihan. "Kalau tahu Pak Devan nantinya akan sejatuh cinta ini dengan Disya, dulu mungkin saya akan melarang Pak Devan melakukan itu."

"Penyesalan memang selalu datang di akhir."

Diky mengangguk, lalu menepuk pelan bahu Devan dengan tujuan untuk memberikan semangat juga mencoba memahami apa yang lelaki itu rasakan saat ini. "Jadi apa yang akan Pak Devan lakukan?" tanya Diky pada akhirnya.

"Saya sangat-sangat ingin kembali dengan Disya. Tapi saya juga sadar diri kalau kesalahan saya dulu memang sangat-sangat fatal. Saya merasa tidak pantas untuk Disya."

"Jadi selama tiga tahun ini tidak ada usaha Pak Devan untuk mendapatkan Disya kembali?" Diky tercengang.

"Saya bertemu dengan Disya hanya sesekali itupun sekilas, jika memang Disya menjemput Kai ke rumah, atau sebaliknya, saya yang menjemput Kai dari rumah Disya setelah mereka selesai bermain. Samudra sepertinya sangat amat posesif dan protektif kalau Disya berhubungan dengan saya. Kalau saja tidak ada Kai, mungkin kita benar-benar tidak akan pernah bertemu lagi."

Diky semakin meringis kasihan.

"Apa ada solusi lain selain saya menyerah tentang Disya?"

Diky membolakkan matanya. "Dan Pak Devan memilih untuk tetap sendiri seumur hidup?"

"Saya hanya mencintai Disya saat ini, dan mungkin sampai kapanpun."

"Hidup sendirian itu menyedihkan kau tahu!" gertak Diky.

"Sudah tiga tahun kan? Tidak ingin kembali dengan Disya?" Tidak, ini bukan suara Diky maupun Devan, tapi suara perempuan yang sedari tadi sudah berdiri di dekat pintu masuk ruangan milik Devan.

"Fatya?" serempak kedua lelaki itu menyebut nama perempuan yang kini sudah berjalan ke arah mereka.

"Naisya, namaku Naisya!" protes perempuan itu.

"Mau apa?" tanya Diky to the point saat melihat Naisya sudah ikut duduk di sofa.

Naisya merogoh tasnya, mengambil dua buah undangan berwarna baby blue lalu menyimpannya di atas meja. "Datang ya."

Diky mengambil undangan itu lalu membaca aksara yang berada di bagian depan undangan, lelaki itu tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya tentu saja ketika melihat nama Naisya ada di kertas itu.

"Biasa aja kali mukanya. Iya aku mau nikah. Kalian berdua jangan lupa datang ya nanti."

"Selamat Naisya," kata Devan.

Naisya mengangguk lalu menampilkan senyumnya. "Kamu benar Dev, tentang akan ada seseorang yang terbaik yang menjadi pasangan hidupku. Dan... dia sama sekali tidak pernah mempermasalahkan masa laluku."

"Syukurlah, kamu sudah menemukannya."

Lagi-lagi Naisya mengangguk. "Kamu harus datang, ajak Kai juga ya."

Devan mengangguk. "Tentu saya aku akan mengajak Kai juga."

Kailash, tidak pernah tahu siapa ibu kandungnya. Naisya yang memintanya untuk tidak memberi tahu kebenarannya. Perempuan itu memang kembali ke London untuk tinggal di sana, kali ini ia pergi ke sana tentu saja dengan restu kedua orangtuanya dan juga keluarga. Sesuai apa yang telah dikatakannya, Naisya akan menikah dengan seorang lelaki kelahiran Solo yang ditemuinya di London.

"Kamu dan Disya gimana?"

Devan hanya mengangkat bahunya pasrah.

"Sudah tiga tahun kan? Tidak ingin kembali dengan Disya? Setidaknya kembali perkenalkan dirimu seolah-olah kau adalah orang baru—seorang Devano dengan versi yang lebih baik. Masuk ke dalam kehidupannya lagi dengan perlahan-lahan dan hati-hati, yakinkan hati Disya kembali untuk bisa bersamamu. Dulu, jalanmu terlalu gampang untuk bersama Disya, mungkin kali ini Tuhan ingin kamu lebih berusaha untuk mendapatkan Disya kembali, supaya kamu akan berpikir beberapa kali jika ingin membuatnya menangis."

Devan yang sedari tadi diam, kini kembali menatap Naisya. "Apa Disya mau kembali?"

"Kalian memang saling mencintai. Bang Sam yang sepertinya susah untuk menerima," jelas Naisya yang semakin membuat Devan mendesah frustasi.

Kembali dengan Disya seperti sangat semakin mustahil saja.

"Setidaknya kamu mencoba, sifat manusia itu bisa berubah-ubah, begitu juga dengan Bang Sam. Buktikan juga kepada lelaki itu kamu pantas kembali memiliki Disya."

"Setuju!" kata Diky semangat. "Mana Pak Devan yang saya kenal pantang menyerah itu, huh?!"

Naisya mengangguk menanggapi ucapan Diky sambil tersenyum menatap Devan mencoba meyakinkan lelaki itu. "Aku mendukungmu! Selagi kamu mendekati Disya, harus dibarengi juga dengan mengambil restu Bang Sam. Kau boleh meminta tips dan trik dari Mas Nando soal mengambil hati Bang Sam."

Devan merasa kepercayaan dirinya kembali. Bukan pilihan yan tepat jika dia hanya tetap diam tanpa berusaha melakukan apapun. Bukankah cinta meman harus diperjuangkan?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Om Duda! 2   Chapter 74: Hadiah

    Disya menekuk bibirnya main-main, berpura-pura kesal ketika membuka kotak kecil yang diberikan oleh suaminya. "Kenapa? Kamu tidak menyukainya, Sya?" tanya Devan, kembali memperhatikan raut wajah istrinya yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi bahagia. "Pak Devan tahu hadiah kecil ngga sih?" tanya Disya sedikit ketus. "Ini kecil, Sya—" "Ya ini harganya mahal banget pasti, bukan ratusan ribu lagi!" Devan membasahi bibirnya, lalu meraih kedua tangan Disya untuk digenggamnya. "Saya bingung ingin memberikan kamu apa, jadi saya membelikan ini—" Satu tangannya bergerak untuk menyentuh hidung Disya dengan jari telunjuknya. "Hey! Tapi tetap saja tidak baik menolak hadiah dari siapapun, Sya." Kembali mencebikkan bibirnya, Disya pada akhirnya mengangguk, menerima hadiah itu. Bentuknya memang kotak kecil tetapi harganya cukup fantastis—itu bukan ketentuannya, kesepakatannya tidak seperti itu. Jadi, beberapa hari yang lalu Disya menyarankan untuk bertukar hadiah. Perempuan itu s

  • Om Duda! 2   Chapter 73: Double Date - II

    Devan tidak berhenti memperhatikan wajah istrinya yang sudah terlelap tidur setengah jam yang lalu, mengusap sisa peluh yang membasahi kening istrinya dengan lembut—entah itu karena kegiatan bercinta sebelumnya, atau memang suhu di ruangan yang memang cukup panas karena pendingin ruangan di dalam sini tidak terlalu berfungsi. Devan juga kegerahan sebenarnya, sedari tadi matanya tidak kunjung mau terpejam. Menyunggingkan senyum ketika mengingat kegiatan keduanya, mereka belum pernah bercinta menggunakan alat kontrasepsi, pengalaman baru, dan itu berakhir begitu saja, baik Devan dan Disya setuju tidak menyukainya. Segala sesuatu tentang Disya selalu membuat Devan candu—semuanya, tidak akan pernah membuatnya bosan. Devan begitu sangat mencintai istri kecilnya itu. Mencium kening Disya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari atas kasur, lelaki itu memutuskan untuk ke luar dari kamar, berniat mencari udara segar karena demi Tuhan di dalam kamar menurutnya sumpek sekali. "B

  • Om Duda! 2   Chapter 72: Double Date - I

    Hening Mungkin bisa menggambarkan situasi di dalam mobil saat ini, tidak ada yang mengeluarkan suara seolah keempatnya punya dunia masing-masing—sebenarnya Disya dan Naya yang merasa tidak nyaman dengan situasi canggung ini, keduanya sudah mencoba mencairkan suasana, beberapa kali mencari topik obrolan, tetapi kedua lelaki di sana tidak terlalu menanggapi, yang satu sibuk dengan kemudinya, yang satu sibuk dengan i-Pad di tangannya. "Mumpung lagi lewat sini, ayo kita ke caffe Rainbow, aku kangen cakenya...," rengek Naya menyentuh lengan suaminya manja. "Sudah jam segini, nanti kamu pulang kemaleman. Abang kan sudah bilang kamu menginap saja di rumah untuk malam ini, tidak usah langsung berangkat ke Bandung." Devan yang menjawab, tidak memperbolehkan untuk mengunjungi caffe yang tadi disebut oleh adiknya. Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Kita aja nurutin kemauannya Bang Devan yang mau makan di restonya Bu Eliza ya!" "Kalian kan masih bingung ingin makan di mana, saya hanya meny

  • Om Duda! 2   Chapter 71: Titik Terang

    "Yakin tidak papa jika saya berangkat kerja, sayang?" tanya Devan, ini adalah pertanyaan kesekian yang lelaki itu berikan kepada istrinya. Yang semulanya Disya menjawab 'Tidak papa' perempuan itu kini menatap Devan dengan bibir yang ditekuk sembari menampilkan puppy eyesnya. "Kamu ingin saya tidak berangkat kerja?" Kali ini Disya mengangguk, merentangkan kedua tangannya meminta pelukan dari sang suami. Devan menyunggingkan senyum, menyimpan jasnya di atas sofa, lalu melangkah untuk duduk di tepi kasur, setelahnya memberikan pelukan kepada istrinya. "Manja sekali, sedang datang bulan, hm?" Disya menggeleng pelan dalam dekapan suaminya, lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya, bahkan mengusap rambut Disya lembut. Sedari tadi Disya belum menuruni kasur, perempuan itu sudah bangun tetapi memilih berdiam di kasur lengkap dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya. Devan sudah bertanya apakah dia boleh berangkat kerja, atau Disya ingin dirinya tetap di rumah menemani istrinya

  • Om Duda! 2   Chapter 70: Istri Kedua?

    Alif menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Layla di salah satu club malam, keduanya tertarik secara fisik satu sama lain sehingga terjadihal hal yang tidak diinginkan, apalagi keduanya dalam pengaruh alkohol malam itu, nafsu benar-benar menguasai mereka. Disya percaya? Tidak— Yang benar saja? Bisa jadi Alif hanya ingin menutupi kesalahan Samudra. Tidak masuk ke dalam apartemen yang ditinggali Layla, Disya memilih untuk pergi dari sana setelah Alif menjelaskan tentang Layla dan bayinya. Hatinya masih gundah. "Maaf menunggu lama sayang," kata Devan yang baru saja memasuki ruang kerjanya, tersenyum menatap sang istri, lalu melangkah menghampiri Disya yang sedang duduk di sofa seorang diri. Disya menatap Devan, memanyunkan bibirnya, bahkan maniknya sudah berkaca sekarang. "Kenapa, hm?" Perempuan itu menggeleng pelan, kedua tangannya terulur untuk meminta pelukan dari suaminya yang baru tiba setelah menyelesaikan meeting dengan beberapa pekerjanya. Disya memilih untuk me

  • Om Duda! 2   Chapter 69: Bayi Layla

    Sekali lagi Devan memperhatikan wajah Disya, keningnya mengernyit seolah sedang menelisik wajah cantik itu yang tampak terlihat sendu—mendung, seperti cuaca di luar pagi ini. "Sya, kamu benar tidak apa-apa?" Kembali mengajukan pertanyaan yang jelas mendapatkan jawaban yang sama dari Disya— "Aku ngga papa, Pak Devan." Disya mendongak untuk menatap suaminya sambil tersenyum manis, lalu detik berikutnya kembali fokus pada kegiatannya yang sedang memasangkan dasi di leher sang suami. "Selesai!" ucap Disya menatap puas hasil tangannya, mengusap bagian pundak Devan dengan lembut. "Semoga hal-hal baik selalu menyertai Pak Devan, dan semua urusan Pak Devan hari ini dilancarkan." "Terimakasih sayang," balas Devan mengusap bagian atas kepala Disya, lalu memeluk tubuh perempuan itu. "Kamu berjanji akan menceritakan apapun yang kamu rasakan kepada saya, jangan memendamnya sendiri ya." Disya terkekeh pelan. "Pak Devan, Disya beneran ngga papa kok," jawabnya, perempuan itu tahu ini masih tentan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status