Share

Chapter 5: Berduka

Langkah kakinya terhenti, menatap lurus ke depan dengan tatapan sendu, beberapa orang terduduk di depan gundukan tanah basah. Suara isak tangis, juga suasana berduka menyelimuti keluarga itu. Dengan pelan, Devan melangkahkan kakinya menghampiri salah satu perempuan yang masih menangis dengan tangan yanga terus menggenggam tangan putranya.

"Daddy...." Kai, bocah itu orang pertama yang menyadari kehadiran Devan. Membuat atensi keluarga itu tertuju kepada Devan. Devan mengangguk pelan, menyapa mereka.

Kai bangun dari duduknya mengulurkan tangan kepada Devan, yang langsung dibalas oleh lelaki itu. "Daddy, Aunty Ais sudah pergi," kata Kai dengan mata sembab, juga pipi yang basah karena menangis.

Devan mengangguk, lalu beralih menatap perempuan yang kini juga menatapnya persis seperti Kai dengan mata merah dan kedua pipi basah karena menangis. Devan tahu, Disya pasti terluka dan bersedih karena kematian Kakaknya.

Tangan kanan Devan yang bebas, terulur untuk mengusap kedua pipi Disya lembut, membuat Disya menatapnya sendu. "Pa—pak Devan..." lirih Disya pelan.

Devan mengangguk mengerti, membawa Kai dan Disya ke dalam rengkuhannya. "Pak Devan... Mbak Ais... Mba Ais pergi..."

Lagi-lagi Devan hanya mengangguk paham, kedua matanya beralih menatap nisan yang bertuliskan nama lengkap Naisya, dan juga Nando di sampingnya.

"Aku pergi, sekali lagi aku minta maaf untuk semuanya, Dev." Sebuah senyuman perpisahan Naisya tunjukkan kepada Devan kemarin setelah perempuan itu sengaja datang ke kantornya untuk memberikan undangan pernikahannya yang akan diadakan di pertengahan bulan Januari nanti.

Naisya akan pergi ke Bali dengan calon suaminya untuk menemui beberapa vendor yang akan mengurus keseluruhan acara pernikahannya di sana. Naisya menyempatkan waktunya sebentar untuk memberi undangan kepada Devan secara langsung sebelum pergi ke Bali.

Sebuah kecelakaan tunggal membuat nyawa Naisya dan Nando terenggut di perjalannya menuju ke bandara.

Naisya dan Nando benar-benar pergi jauh, membuat suasana duka yang begitu dalam bagi keluarganya.

Devan melirik Disya yang menatap sedih keluarganya. Pandangan di depannya benar-benar membuat hati Devan terenyuh, Gina yang masih menangis di rengkuhan Samudra, lelaki itu juga terlihat kacau, namun tetap mencoba sebisa mungkin untuk menenangkan Ibunya. Begitupun juga dengan Dina dan Doni yang mencoba saling menenangkan dirinya.

Acara pemakaman sudah selesai, rumah yang tadinya sangat banyak orang datang untuk berbela sungkawa kini hanya menyisakkan keluarga inti.

Tentu saja mereka masih berada dalam keadaan berduka. Tiga tahun belakangan keluarga ini terasa seperti keluarga seutuhnya, seolah tidak ada rahasia dan tidak ada hal yang disembunyikan, mereka hidup dengan baik dan bahagia. Ada banyak hal dan kenangan yang baik. Kehilangan Naisya adalah keadaan paling buruk saat ini.

"Biar saya tidurkan Kai di kamar, Sya...." Devan berdiri dari duduknya, mengulurkan kedua tangannya untuk mengambil alih Kai yang sedari tadi sudah terlelap tidur di pangkuan Disya.

Disya mengangguk. "Tidurin Kai di kamar Disya aja Pak Devan," katanya lalu berjalan terlebih dahulu menaiki tangga untuk ke lantai dua di mana kamarnya berada.

Disya mengusap lembut rambut Kai sayang setelah Devan menidurkannya di atas kasur. "Maaf, pasti Kai kelelahan...," lirihnya.

Devan ikut duduk di pinggiran kasur tepat di samping Disya, menatap mantan istrinya yang masih menatap wajah terlelap Kai dengan perasaan sedih.

"Tidak perlu minta maaf, Sya."

"Pak Devan tahu ngga, Mba Ais hampir satu bulan sekali ke rumah. Selain karena pengen ketemu Mamah Gina, Ayah, Bunda sama Bang Sam, ketemu sama Kai adalah alasan utamanya." Setelah mengatakan kalimat terakhirnya, Disya mengalihkan pandangan untuk menatap Devan. "Selama Mba Ais di rumah, pokonya ngga ada yang boleh masuk ke dapur buat masak selain Mba Ais. Disya, Kai, sama Mbak Ais selalu tidur sama-sama di kamar ini. Banyak hal yang Mbak Ais lakuin buat Kai. Membangunkan Kai di pagi hari kalau mau sekolah, menyiapkan seragam, buku-buku serta alat tulis dan semua perlengkapan sekolah Kai, lengkap dengan bekalnya. Menjemput Kai dari sekolah, membantu Kai membuat PR, dan bermain," jelas Disya sambil menampilkan senyum kecil, dengan air mata yang kembali membasahi kedua pipinya. "Pak Devan, Mba Ais sayang banget sama Kai...."

Naisya memang selalu pulang satu bulan sekali ke Indonesia, perempuan itu akan tinggal di rumah dua sampai tiga hari. Sesuai apa yang sudah Disya jelaskan, tujuan utama pulang ke Indonesia adalah untuk bermain dengan Kai.

"Disya merasa bersalah Pak Devan... Kai selalu memanggil Disya dengan sebutan 'Mommy' di depan Mba Ais. Mba Ais bilang kalau dia tidak masalah dengan itu, tapi ibu mana yang tidak sedih ketika anak kandungnya memanggilnya hanya dengan sebutan 'Aunty Ais'?"

Devan semakin tidak tega melihat Disya yang terlihat sangat sedih, walaupun ragu Devan mengulurkan tangannya untuk mengusap punggung Disya dengan tujuan menenangkan perempuan itu. "Tidak perlu merasa bersalah, Sya.... Itu sudah menjadi keputusan Naisya 'kan?" kata Devan.

Disya menatap Devan menyenderkan kepalanya di dada bidang lelaki itu. Lelaki itu tentu saja mendadak kaku dan tegang.

"Pak Devan... maafin Mba Ais ya kalau punya salah sama Pak Devan...."

Devan memeluk tubuh Disya, mengusap pucuk kepalanya lembut. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Queen...."

Disya semakin menenggelamkan wajahnya di dada Devan, mengeratkan pelukannya, dan kembali menangis sesenggukan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status