Langkah kakinya terhenti, menatap lurus ke depan dengan tatapan sendu, beberapa orang terduduk di depan gundukan tanah basah. Suara isak tangis, juga suasana berduka menyelimuti keluarga itu. Dengan pelan, Devan melangkahkan kakinya menghampiri salah satu perempuan yang masih menangis dengan tangan yanga terus menggenggam tangan putranya.
"Daddy...." Kai, bocah itu orang pertama yang menyadari kehadiran Devan. Membuat atensi keluarga itu tertuju kepada Devan. Devan mengangguk pelan, menyapa mereka.Kai bangun dari duduknya mengulurkan tangan kepada Devan, yang langsung dibalas oleh lelaki itu. "Daddy, Aunty Ais sudah pergi," kata Kai dengan mata sembab, juga pipi yang basah karena menangis.Devan mengangguk, lalu beralih menatap perempuan yang kini juga menatapnya persis seperti Kai dengan mata merah dan kedua pipi basah karena menangis. Devan tahu, Disya pasti terluka dan bersedih karena kematian Kakaknya.Tangan kanan Devan yang bebas, terulur untuk mengusap kedua pipi Disya lembut, membuat Disya menatapnya sendu. "Pa—pak Devan..." lirih Disya pelan.Devan mengangguk mengerti, membawa Kai dan Disya ke dalam rengkuhannya. "Pak Devan... Mbak Ais... Mba Ais pergi..."Lagi-lagi Devan hanya mengangguk paham, kedua matanya beralih menatap nisan yang bertuliskan nama lengkap Naisya, dan juga Nando di sampingnya."Aku pergi, sekali lagi aku minta maaf untuk semuanya, Dev." Sebuah senyuman perpisahan Naisya tunjukkan kepada Devan kemarin setelah perempuan itu sengaja datang ke kantornya untuk memberikan undangan pernikahannya yang akan diadakan di pertengahan bulan Januari nanti.Naisya akan pergi ke Bali dengan calon suaminya untuk menemui beberapa vendor yang akan mengurus keseluruhan acara pernikahannya di sana. Naisya menyempatkan waktunya sebentar untuk memberi undangan kepada Devan secara langsung sebelum pergi ke Bali.Sebuah kecelakaan tunggal membuat nyawa Naisya dan Nando terenggut di perjalannya menuju ke bandara.Naisya dan Nando benar-benar pergi jauh, membuat suasana duka yang begitu dalam bagi keluarganya.Devan melirik Disya yang menatap sedih keluarganya. Pandangan di depannya benar-benar membuat hati Devan terenyuh, Gina yang masih menangis di rengkuhan Samudra, lelaki itu juga terlihat kacau, namun tetap mencoba sebisa mungkin untuk menenangkan Ibunya. Begitupun juga dengan Dina dan Doni yang mencoba saling menenangkan dirinya.Acara pemakaman sudah selesai, rumah yang tadinya sangat banyak orang datang untuk berbela sungkawa kini hanya menyisakkan keluarga inti.Tentu saja mereka masih berada dalam keadaan berduka. Tiga tahun belakangan keluarga ini terasa seperti keluarga seutuhnya, seolah tidak ada rahasia dan tidak ada hal yang disembunyikan, mereka hidup dengan baik dan bahagia. Ada banyak hal dan kenangan yang baik. Kehilangan Naisya adalah keadaan paling buruk saat ini."Biar saya tidurkan Kai di kamar, Sya...." Devan berdiri dari duduknya, mengulurkan kedua tangannya untuk mengambil alih Kai yang sedari tadi sudah terlelap tidur di pangkuan Disya.Disya mengangguk. "Tidurin Kai di kamar Disya aja Pak Devan," katanya lalu berjalan terlebih dahulu menaiki tangga untuk ke lantai dua di mana kamarnya berada.Disya mengusap lembut rambut Kai sayang setelah Devan menidurkannya di atas kasur. "Maaf, pasti Kai kelelahan...," lirihnya.Devan ikut duduk di pinggiran kasur tepat di samping Disya, menatap mantan istrinya yang masih menatap wajah terlelap Kai dengan perasaan sedih."Tidak perlu minta maaf, Sya.""Pak Devan tahu ngga, Mba Ais hampir satu bulan sekali ke rumah. Selain karena pengen ketemu Mamah Gina, Ayah, Bunda sama Bang Sam, ketemu sama Kai adalah alasan utamanya." Setelah mengatakan kalimat terakhirnya, Disya mengalihkan pandangan untuk menatap Devan. "Selama Mba Ais di rumah, pokonya ngga ada yang boleh masuk ke dapur buat masak selain Mba Ais. Disya, Kai, sama Mbak Ais selalu tidur sama-sama di kamar ini. Banyak hal yang Mbak Ais lakuin buat Kai. Membangunkan Kai di pagi hari kalau mau sekolah, menyiapkan seragam, buku-buku serta alat tulis dan semua perlengkapan sekolah Kai, lengkap dengan bekalnya. Menjemput Kai dari sekolah, membantu Kai membuat PR, dan bermain," jelas Disya sambil menampilkan senyum kecil, dengan air mata yang kembali membasahi kedua pipinya. "Pak Devan, Mba Ais sayang banget sama Kai...."Naisya memang selalu pulang satu bulan sekali ke Indonesia, perempuan itu akan tinggal di rumah dua sampai tiga hari. Sesuai apa yang sudah Disya jelaskan, tujuan utama pulang ke Indonesia adalah untuk bermain dengan Kai."Disya merasa bersalah Pak Devan... Kai selalu memanggil Disya dengan sebutan 'Mommy' di depan Mba Ais. Mba Ais bilang kalau dia tidak masalah dengan itu, tapi ibu mana yang tidak sedih ketika anak kandungnya memanggilnya hanya dengan sebutan 'Aunty Ais'?"Devan semakin tidak tega melihat Disya yang terlihat sangat sedih, walaupun ragu Devan mengulurkan tangannya untuk mengusap punggung Disya dengan tujuan menenangkan perempuan itu. "Tidak perlu merasa bersalah, Sya.... Itu sudah menjadi keputusan Naisya 'kan?" kata Devan.Disya menatap Devan menyenderkan kepalanya di dada bidang lelaki itu. Lelaki itu tentu saja mendadak kaku dan tegang."Pak Devan... maafin Mba Ais ya kalau punya salah sama Pak Devan...."Devan memeluk tubuh Disya, mengusap pucuk kepalanya lembut. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Queen...."Disya semakin menenggelamkan wajahnya di dada Devan, mengeratkan pelukannya, dan kembali menangis sesenggukan.***Disya menekuk bibirnya main-main, berpura-pura kesal ketika membuka kotak kecil yang diberikan oleh suaminya. "Kenapa? Kamu tidak menyukainya, Sya?" tanya Devan, kembali memperhatikan raut wajah istrinya yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi bahagia. "Pak Devan tahu hadiah kecil ngga sih?" tanya Disya sedikit ketus. "Ini kecil, Sya—" "Ya ini harganya mahal banget pasti, bukan ratusan ribu lagi!" Devan membasahi bibirnya, lalu meraih kedua tangan Disya untuk digenggamnya. "Saya bingung ingin memberikan kamu apa, jadi saya membelikan ini—" Satu tangannya bergerak untuk menyentuh hidung Disya dengan jari telunjuknya. "Hey! Tapi tetap saja tidak baik menolak hadiah dari siapapun, Sya." Kembali mencebikkan bibirnya, Disya pada akhirnya mengangguk, menerima hadiah itu. Bentuknya memang kotak kecil tetapi harganya cukup fantastis—itu bukan ketentuannya, kesepakatannya tidak seperti itu. Jadi, beberapa hari yang lalu Disya menyarankan untuk bertukar hadiah. Perempuan itu s
Devan tidak berhenti memperhatikan wajah istrinya yang sudah terlelap tidur setengah jam yang lalu, mengusap sisa peluh yang membasahi kening istrinya dengan lembut—entah itu karena kegiatan bercinta sebelumnya, atau memang suhu di ruangan yang memang cukup panas karena pendingin ruangan di dalam sini tidak terlalu berfungsi. Devan juga kegerahan sebenarnya, sedari tadi matanya tidak kunjung mau terpejam. Menyunggingkan senyum ketika mengingat kegiatan keduanya, mereka belum pernah bercinta menggunakan alat kontrasepsi, pengalaman baru, dan itu berakhir begitu saja, baik Devan dan Disya setuju tidak menyukainya. Segala sesuatu tentang Disya selalu membuat Devan candu—semuanya, tidak akan pernah membuatnya bosan. Devan begitu sangat mencintai istri kecilnya itu. Mencium kening Disya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari atas kasur, lelaki itu memutuskan untuk ke luar dari kamar, berniat mencari udara segar karena demi Tuhan di dalam kamar menurutnya sumpek sekali. "B
Hening Mungkin bisa menggambarkan situasi di dalam mobil saat ini, tidak ada yang mengeluarkan suara seolah keempatnya punya dunia masing-masing—sebenarnya Disya dan Naya yang merasa tidak nyaman dengan situasi canggung ini, keduanya sudah mencoba mencairkan suasana, beberapa kali mencari topik obrolan, tetapi kedua lelaki di sana tidak terlalu menanggapi, yang satu sibuk dengan kemudinya, yang satu sibuk dengan i-Pad di tangannya. "Mumpung lagi lewat sini, ayo kita ke caffe Rainbow, aku kangen cakenya...," rengek Naya menyentuh lengan suaminya manja. "Sudah jam segini, nanti kamu pulang kemaleman. Abang kan sudah bilang kamu menginap saja di rumah untuk malam ini, tidak usah langsung berangkat ke Bandung." Devan yang menjawab, tidak memperbolehkan untuk mengunjungi caffe yang tadi disebut oleh adiknya. Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Kita aja nurutin kemauannya Bang Devan yang mau makan di restonya Bu Eliza ya!" "Kalian kan masih bingung ingin makan di mana, saya hanya meny
"Yakin tidak papa jika saya berangkat kerja, sayang?" tanya Devan, ini adalah pertanyaan kesekian yang lelaki itu berikan kepada istrinya. Yang semulanya Disya menjawab 'Tidak papa' perempuan itu kini menatap Devan dengan bibir yang ditekuk sembari menampilkan puppy eyesnya. "Kamu ingin saya tidak berangkat kerja?" Kali ini Disya mengangguk, merentangkan kedua tangannya meminta pelukan dari sang suami. Devan menyunggingkan senyum, menyimpan jasnya di atas sofa, lalu melangkah untuk duduk di tepi kasur, setelahnya memberikan pelukan kepada istrinya. "Manja sekali, sedang datang bulan, hm?" Disya menggeleng pelan dalam dekapan suaminya, lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya, bahkan mengusap rambut Disya lembut. Sedari tadi Disya belum menuruni kasur, perempuan itu sudah bangun tetapi memilih berdiam di kasur lengkap dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya. Devan sudah bertanya apakah dia boleh berangkat kerja, atau Disya ingin dirinya tetap di rumah menemani istrinya
Alif menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Layla di salah satu club malam, keduanya tertarik secara fisik satu sama lain sehingga terjadihal hal yang tidak diinginkan, apalagi keduanya dalam pengaruh alkohol malam itu, nafsu benar-benar menguasai mereka. Disya percaya? Tidak— Yang benar saja? Bisa jadi Alif hanya ingin menutupi kesalahan Samudra. Tidak masuk ke dalam apartemen yang ditinggali Layla, Disya memilih untuk pergi dari sana setelah Alif menjelaskan tentang Layla dan bayinya. Hatinya masih gundah. "Maaf menunggu lama sayang," kata Devan yang baru saja memasuki ruang kerjanya, tersenyum menatap sang istri, lalu melangkah menghampiri Disya yang sedang duduk di sofa seorang diri. Disya menatap Devan, memanyunkan bibirnya, bahkan maniknya sudah berkaca sekarang. "Kenapa, hm?" Perempuan itu menggeleng pelan, kedua tangannya terulur untuk meminta pelukan dari suaminya yang baru tiba setelah menyelesaikan meeting dengan beberapa pekerjanya. Disya memilih untuk me
Sekali lagi Devan memperhatikan wajah Disya, keningnya mengernyit seolah sedang menelisik wajah cantik itu yang tampak terlihat sendu—mendung, seperti cuaca di luar pagi ini. "Sya, kamu benar tidak apa-apa?" Kembali mengajukan pertanyaan yang jelas mendapatkan jawaban yang sama dari Disya— "Aku ngga papa, Pak Devan." Disya mendongak untuk menatap suaminya sambil tersenyum manis, lalu detik berikutnya kembali fokus pada kegiatannya yang sedang memasangkan dasi di leher sang suami. "Selesai!" ucap Disya menatap puas hasil tangannya, mengusap bagian pundak Devan dengan lembut. "Semoga hal-hal baik selalu menyertai Pak Devan, dan semua urusan Pak Devan hari ini dilancarkan." "Terimakasih sayang," balas Devan mengusap bagian atas kepala Disya, lalu memeluk tubuh perempuan itu. "Kamu berjanji akan menceritakan apapun yang kamu rasakan kepada saya, jangan memendamnya sendiri ya." Disya terkekeh pelan. "Pak Devan, Disya beneran ngga papa kok," jawabnya, perempuan itu tahu ini masih tentan