"Argghhhhhhh, diam. Jangan bohong." Wulandari memelotot sembari memukul lengan Rino oleh sapu. "Hayo, ngaku!!" lanjutnya cerocos.
Suara Wulandari yang cempreng membuat Tomi terbangun dan lelaki itu terkesiap terkejut melihat Rino yang sedang dipukuli oleh Wulandari, lekas lelaki itu berlari kecil menjadi penengah meraih sapu yang hendak melayang ke lengan Rino.
Rino berdiri bergeming tanpa protes atau pun melawan. Mata lelaki tersebut menajam ke arah Arunika. Sorot tatapannya penuh kebencian. Bisa-bisanya Wulandari menuduh Rino menghamili Arunika.
Bahkan Rino tidak mengindahkan ucapan Tomi, dia lebih fokus menatap nyalang Arunika yang menunduk sambil meremas-remas baju. Sampai Tomi menepuk pundak Rino dan lelaki tersebut melirik sekilas kepada sang sahabat.
"Saya tak menghamili Arunika," ucapnya tegas.
"Tuh, Ibu Wulandari. Kalau ngomong itu dijaga jangan seperti petasan itu mulut. Main nuduh saja. Nggak mungkin teman saya menghamili Arunika," jelas Tomi panjang lebar.
"Tapi, temanmu itu harus tanggung jawab," jawab Wulandari memasang wajah judes.
Tiba-tiba terdengar suara lima perempuan paruh baya datang sembari membawa wajan, panci, ember, gayung, dan sapu lidi. Mereka datang karena sudah mendapat perintah dari Wulandari untuk datang ke rumah Tomi.
Arunika, Rino, dan Tomi terbelalak bersamaan mendengar suara emak-emak berdaster memaki dan merutuk lelaki yang dari kota J itu.
"Tanggung jawab!! Jangan jadi pengecut," teriak mereka.
"Tanggung jawab, jangan kabur!"
"Dasar buaya buntung!!" Teriakan mereka membuat indra pendengaran Rino sakit. Lelaki berhidung bangir itu menutup kedua telinganya saat suara lima perempuan seperti paduan suara satu kampung. Dia menghembuskan napas kasar. Tidak menyangka bahwa akan terjebak dalam situasi seperti ini.
"Ambu, jangan lakukan ini," lirih Arunika.
"Makanya dia harus tanggung jawab dan dia harus menuruti perintah Ambu," jawab Wulandari memicingkan mata.
Tomi mencengkram lengan Rino. "Aku tak mau jika satu kampung datang gara-gara ini. Ibu itu akan melakukan segala cara untuk mendapatkan uang," bisiknya.
"Oke, saya akan tanggung jawab," ucap Rino lirih.
Wulandari tersenyum simpul dan dia langsung meminta para emak-emak berdaster itu segera pergi. Dalam sepuluh detik yang tadinya bergemuruh dan riuh, kini senyap memeluk keramaian.
Kini yang berdiri di beranda rumah hanya ada Rino, Tomi, Wulandari, dan Arunika.
"Tapi, saya tak akan menikahinya," jelas Rino tegas.
"Emangnya siapa yang hamil?" balas Wulandari seraya mengerucutkan bibirnya sepuluh sentimeter.
"Apa, jadi dia tak hamil?" sahut Rino dan mulutnya berbentuk nol.
Perempuan setengah baya itu terkekeh kecil dan menengadahkan tangannya. Rino bergegas merogoh dompet dari saku celana. Lelaki tersebut memberikan dua puluh uang lembaran berwarna merah. Mata Wulandari langsung berwarna hijau melihat uang Rino yang tebal di dompet.
Rino sengaja membawa uang tunai banyak karena dia tahu akan tinggal di kampung yang tempat ATM-nya jauh.
"Ini cukup," urai Rino.
"Kurang," jawab Wulandari memasang wajah datar.
Arunika menarik tangan Wulandari. "Ambu, ini sudah lebih cukup. Ayo, kita pulang."
"Kalian benar-benar penipu?" Todong Rino.
Mencerna ucapan Rino seperti itu. Wulandari menepuk bahu lelaki yang berdiri di hadapannya. "Andaikan Arunika hamil beneran sama kamu, aku ikhlas kamu jadi menantuku." Perempuan itu terkikik melengking tinggi.
Tomi dan Rino saling berpandangan keheranan tadi Wulandari seperti orang yang sedang kerasukan hantu, sedangkan saat ini tertawa terbahak-bahak karena melihat uang di tangannya. Lantas Wulandari menuturkan semua keinginannya kepada Rino, lalu dia balik kanan sambil menggandeng tangan Arunika sembari tersenyum kemenangan.
"Sial, kita dikerjain oleh dua ondel-ondel itu," rutuk Rino berdengkus kesal.
Tomi tertawa renyah sambil memegang perutnya. Saking lucunya melihat ekspresi Rino yang kesal karena ditipu. "Makanya hati-hati berurusan dengan makhluk astral itu. Ibu itu memang kayak seeetaaan kelakuannya."
**
Matahari bergulir dari ufuk timur. Tampak sangat indah bak kuning telur yang baru dijatuhkan di baskom sangat bulat. Burung-burung berkicau merdu mengiringi langkah kaki para petani yang bersemangat mencari sebongkah berlian untuk pujaan hati mereka. Tampak sumringah sambil membawa pacul yang ditaruh di atas pundak.
Namun, tidak dengan Rino wajahnya ditekuk cemberut. Ini adalah hari pertama lelaki berhidung bangir itu harus ke rumah Arunika. Dia duduk di belakang punggung Tomi yang sedang memboncengnya.
"Tom, suara motormu kayak bebek minta makan, berisik," kelakar Rino. "Kamu mau aku belikan motor baru?"
"Nggak usah. Motor vespaku ini klasik," jawab Tomi mengulum senyum.
Perjalanan mereka berdua hampir setengah jam sampai di rumah Arunika yang berwarna hijau muda dan halaman rumahnya banyak ditumbuhi pot-pot tanaman.
Nampak di halaman rumah tersebut ada Arunika sedang menyampirkan baju ke tali jemuran. Gadis itu mendelik saat Rino turun dari motor. Tomi melempar senyum kepada Arunika.
"Pagi, Arunika," sapa Tomi.
"Pagi, Aa Tomi," jawab Arunika sembari membalas senyuman Tomi.
"Ehem," sambung Rino berdeham.
Tomi menepuk pundak Rino, lelaki itu berpamitan. Hari ini pun hari pertama Tomi menjadi guru di sekolah SMP. Rino tersenyum simpul melihat motor Tomi lambat laun menjauh dari pandangannya dan kini menghilang.
"Ayo, ikuti aku," ucap Arunika datar.
Rino mengangguk pelan. Dia malas jika pagi-pagi harus berdebat dengan Arunika. Akhirnya, dia mengikuti gadis itu dari belakang. Betapa terkejutnya lelaki tersebut saat melihat ada keranjang telur di atas meja di beranda rumah Arunika.
Kemudian suara Wulandari membuat Rino tercengang karena perempuan paruh baya itu meminta Rino untuk menjual telur itu di pasar harus sampai habis.
"Sampai habis?" Rino terbelalak melihat telur ayam kampung super sebanyak tiga puluh kilogram.
"Iya, kenapa? Kamu mau membeli ini semua?" Todong Arunika sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Aku makan semua telur ini. Nanti bisa-bisa jadi bisulan," sahut Rino sambil mengambil keranjang telur itu. "Mana kendaraannya?" lanjutnya sembari celingak-celinguk.
"Arunika, tunjukkan kendaraan dia," titah Wulandari.
***
Lelaki berkulit putih itu menjadi sorotan para gadis kampung yang kebetulan sedang belanja di pasar. Rino yang padahal memakai sepeda bak pangeran kuda berputih bagi mereka. Gerakan Rino pun seolah-olah slow motion, membuat para gadis berdecak kagum. Bukan gadis saja yang mengagumi ketampanan Rino para ibu-ibu pun yang ada di pasar itu menganga lebar melihat kedatangan Rino.
Arunika keheranan melihat pasar menjadi riuh karena para gadis langsung datang menghampiri toko telurnya. Rino masih asyik menurunkan telur dan merapikan. Lelaki itu tidak peduli dengan suara-suara perempuan yang menggodanya.
"Arunika, siapa dia? Kenalin dong punya barang baru dan branded."
"Minggir orang ganteng mau lewat," ucap salah satu para gadis yang menggoda Rino.
"Oh, dia hanya penjual telur," balas Arunika sambil tersenyum simpul. Kedatangan Rino membuat kerumunan para gadis.
"Apa-apaan ini?!" Suara bariton membentak Rino yang masih sibuk melayani para pembeli.
Namun, tiba-tiba Arunika memasang badan langsung mengusir lelaki preman yang hendak mengganggu Rino.
"Pergi atau aku akan melaporkan ini pada polisi." Arunika mengancam karena sudah banyak pedagang yang dirugikan oleh preman tersebut.
Lelaki berperawakan tinggi memakai jaket kulit hitam itu berdeham sembari memicingkan mata, lalu berbalik badan beranjak pergi.
Rino menyadari bahwa Arunika gadis yang berani. Diam-diam dia memberikan poin plus untuk gadis desa itu.
***
Seiring berjalannya waktu dua minggu berlalu. Rino menjadi bintang di pasar, pasca lelaki itu berjualan di pasar. Penjualan telur ayam kampung itu naik dan Wulandari meraup keuntungan. Perempuan itu tidak mau melepaskan mesin ATM-nya pergi, maka dia memberikan kenyamanan kepada Rino, sangat baik sekali dan bersikap ramah.
Hubungan Rino dengan Arunika yang tadinya benci tiba-tiba mulai datang benih rasa cinta untuk gadis tersebut. Entah itu cinta atau kagum karena sikap Arunika yang sebenarnya orang baik membuat Rino menyukai kepribadian gadis cantik itu.
Sore ini sepulang dari pasar. Rino hendak mengajak Arunika untuk pergi ke pasar malam. Baru saja lelaki itu hendak melangkah masuk ke dalam rumah mengekori Arunika, tetapi tiba-tiba Sri---adik Arunika datang melempar senyum sembari menepuk pundak Rino dan dia memberikan surat undangan pernikahan berwarna merah.
Rino menelan ludah dan dia menerima surat undangan pernikahan itu. "Siapa yang mau menikah?" tanyanya.
Punya Saingan“Buka saja,” ucap Sri melempar senyum manis dan rambut pirangnya yang kerap kali dikucir satu, kini digerai. Biasanya pun pakaian Sri kemeja atau kaus serta memakai celana levis atau celan pendek. Namun, kini Rino sedikit tercengang melihat perubahan Sri yang menjadi feminim memakai rok selutut dan baju atasan. Gadis itu baru pulang main dari rumah temannya.Rino mengulum senyum tipis ketika membaca surat undangan tersebut. Inisialnya bukan A nama calon pengantin perempuannya, dia menghela napas lega sembari menatap teduh Sri.“Maksudmu berikan undangan ini apa?” tanya Rino mengernyit.“Om, mau nggak temenin Sri ke undangan sebagai pasangannya,” jawab gadis itu tanpa basa-basi langsung mengajak Rino.Sri kerap kali memanggil Rino dengan sebutan Om, entah kenapa Sri pun merasa nyaman bila berada di dekat Rino dan gara-gara Rino pun gadis tersebut ingin merubah penampilannya. Makanya hari ini penampil
Perjuangan PertamaSri memegangi lengan Rino begitu erat. Gadis itu sesekali berteriak sekencang-kencangnya saking kagetnya melihat penghuni rumah hantu. Meski sudah tahu jika itu manusia yang berpura-pura menjadi manusia, tetapi tetap saja bisa membuat jantung Sri dan Rino mencelos dari tempatnya. Rino memasang wajah datar tidak tampak ketakutan hanya terkejut bila tiba-tiba muncul hantu tanpa muncul di depannya.Tiga puluh menit mereka berdua belum menemukan pintu keluar masih berkeliling mencari pintu karena banyak gangguan dari penghuni rumah hantu itu yang menggoda.Brugh!!Rino seperti menabrak punggung seseorang karena sudah masuk ke area zona gelap, tantangan terakhir agar menemukan pintu keluar.“Argh, siapa kamu?” bentak suara wanita yang sudah tidak asing lagi bagi Rino.“Arunika,” tegur Rino lembut.“Kakak,” sambung Sri sambil tangannya mengibas seakan mencari sosok sang kakak.&l
Pukul sebelas siang. Rino baru turun dari mobil sudah menjadi sorotan orang banyak. Apalagi saat ini Sri menggandeng tangan lelaki itu sambil menampilkan barisan gigi putihnya. Mereka berdua berjalan bersisian memasuki area resepsi pernikahan. Rino memasang wajah semanis mungkin agar Sri bahagia. Hari ini dia benar-benar harus berakting menjadi pacar sehari gadis tersebut.Sri mengajak Rino untuk menaiki panggung pelaminan dan mereka mengucapkan selamat bahagia kepada pasangan pengantin yang berbahagia.“Mateng, nih,” sapa pengantin wanita melempar senyum kepada Sri.“Bukan mateng lagi. Ini namanya rezeki nomplok,” balas Sri terkekeh kecil sembari menggelayut mesra di bahu Rino, menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Sri tidak peduli dengan penilaian orang atau teman-temannya yang penting dapat membawa pasangan tampan dan mapan itu yang ingin ditonjolkan oleh Sri agar teman-temannya tidak mengejek jika gadis itu kelamaan menjadi jomlo
Untungnya Rino dapat menepis serangan dari lawan dan ia memberikan tendangan seribu kepada lelaki itu. "Jangan ganggu dia!!" bentak Rino sembari memelotot.Mereka pun langsung lari terbirit-birit meninggalkan tempat. Rino yang sudah ahli taekwondo, baginya menghadapi para pemuda itu hal mudah yang sulit saat ini adalah merebut hati si gadis bunga desa itu.Arunika melempar senyum kepada Rino dan lelaki berjas hitam itu pun segera menolongnya."Terima kasih," ucap Irwansyah."Sama-sama, ayo saya antar sampai rumah." Rino menjawab seraya melengkungkan senyum manis.**Mereka bertiga turun dari mobil. Di depan rumah bercat abu-abu itu tampak Maria---ibu Irwansyah sedang menyapu teras dan wajahnya mendadak berubah cemas di kala melihat Irwansyah terluka, wanita paruh baya itu menghambur menghampiri."Ada apa ini?" tanya Maria."Bu, kami tadi dihadang oleh pemuda yang jail," jawab Arunika."Ya ampun, mereka nggak ada ka
Matahari baru bergulir dari ufuk timur, tetapi di depan rumah Tomi sudah ada keributan yang mengundang perhatian emak-emak berdaster yang sedang beli sayuran di tukang sayur---pakai gerobak. Mereka memicingkan mata ke arah Rino yang sedang berdebat dengan orang suruhan Raffi yang mengambil mobilnya. Nampak sekali dari sorot mata mereka ada kecewa dan tidak menyangka bahwa yang mereka lihat Rino seperti orang kaya, tetapi faktanya kini yang dilihat lelaki tampan itu bersikukuh dan bersitegang dengan dua lelaki berpakaian rapi dan kemeja hitam. Jelas terdengar suara emak-emak berdaster itu menyindir. "Ternyata mobil sewaan yang dia pakai." "Buat apa wajah tampan. Tapi, nggak ada duitnya." Rino mengembuskan napas panjang mendengar ucapan tetangga Romi yang membicarakannya di depan langsung. "Pak, saya tak mau pulang ke rumah. Silakan ambil saja mobilnya. Tapi, yang jelas ini mobil saya hasil kerja keras saya." Rino menjelaskan. "Maa
Pasca tidak berjualan telur Arunika menjadi pelayan di restoran Padang yang terletak di pusat kota. Ia pulang pergi, berangkat dan pulang bersama dengan Irwansyah. Perjalanan dari tempat kerja ke rumah Arunika jarak tempuhnya satu jam, sedangkan Rino bertahan untuk hidup di kampung tersebut menjadi pedagang pakaian perempuan di pasar. Sisa uang penjualan jamnya itu sebagai modal. Rino menjadi bintang di pasar, banyak gadis maupun janda yang mendekatinya tebar pesona bahkan ada juga yang sering membawakan makanan untuk duda keren itu setiap hari dan itu membuat Rino sebenarnya tidak nyaman. Namun, dia harus bersikap ramah kepada semua pembeli. Lelaki berhidung bangir itu jarang bertemu dengan Arunika karena waktu terbatas. Setiap hari menunggu di depan rumah Arunika, tetapi si gadis pujaan hati selalu pulang malam---pukul sebelas malam bersama Irwansyah. Dia hanya menunggu di sebrang rumah Arunika di bawah pohon rindang yang minim cahaya dan itu tempat yang tepa
"Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" tanya Arunika dengan mata yang sembab. Dia menangis sesenggukan sedari tadi. Arunika tak mau kehilangan Wulandari."Ibumu nggak apa-apa. Untungnya bisa diselamatkan. Dia mengalami angin duduk.""Angin duduk apa, Dok? Anginnya duduk atau rebahan?" timpal Sri.Dokter itu mengulum senyum tipis. Lelaki itu rambutnya kelimis dan tampak usianya 25 tahun. Dia pun menjawab pertanyaan Sri. "Suatu jenis nyeri dada yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke jantung.Angin itu adalah gejala penyakit arteri koroner.""Oh, gitu yah. Jadi nggak parah?" sambung Sri sambil manggut-manggut mencerna ucapan dokter tampan itu."Iya, jika tak segera ditangani akan menyebabkan kematian. Jangan sepelekan angin duduk," imbuh dokter itu.Arunika menunduk sedih dan dia beranjak masuk ke dalam kamar inap Wulandari. Rino pun mengekorinya dari belakang. Tampak Wulandari masih terpejam. Gadis itu duduk di samping ranjan
Brughhk!!Meja makan itu didebrak oleh salah satu tamu. Arunika tercengang dan dia berdiri bergeming sambil menundukkan wajahnya. Wanita setengah baya itu cerocos memakinya karena pesanan yang dipesan jauh di luar dugaan."Aku pesan ayam bakar pedas bukan bebek bakar!!""Maaf, tadi ibu bilang bebek," jawab Arunika mengangkat wajahnya dan masih bersikap tenang dan sabar."Bebek, masa iyah. Aku bilang bebek? Aku bilang ayam. Pokoknya ganti aku mau ayam yang baru cepat!!" Wanita itu terus saja menyentak Arunika dengan nada tinggi sampai ludahnya pun keluar dari mulutnya menyemprot. Gadis itu menundukkan wajahnya untuk menghindari seprotan ludah yang dari tamunya itu terus saja cerocos seperti petasan.Plaakkk!!"Kamu itu baru di sini. Jadi jangan banyak ngomong!" Datang manager restoran langsung menampar pipi Arunika di depan umum. Sontak Arunika menatap nyalang kepada wanita yang rambutnya dicepol ke atas memakai sepatu pentopel cokelat.