Hari ini tiba, entah ini kebetulan atau bagaimana. Devan akan bertemu dengan keluarga besar Disya, setelah kemarin lusa Disya bertemu dengan keluarga besar Devan di acara pertunangan Syiren dan Diky.
Sekali lagi, helaan napas berat Disya hembuskan. Devan melepaskan safety belt, lalu melirik Disya yang ada di sampingnya. "Ayo!"
Devan keluar dari mobil, begitu juga dengan Disya yang tidak lama menyusul.
Devan menyerahkan kunci mobil kepada seorang lelaki untuk memarkirkan mobilnya. Tempat ini sudah sangat ramai banyak orang.
Devan menarik pundak Disya agar gadis itu sejajar dengannya. Disya mendongakkan wajahnya menatap Devan dengan tatapan muram.
Lelaki itu tersenyum, mendekatkan keningnya dengan kening Disya. "Wajah muram itu tidak cocok denganmu," kata Devan pelan.
Disya membalas senyuman suaminya. Lalu keduanya berjalan masuk. Disya bisa merasakan jika banyak sekali pasang mata yang menatap ke arahnya juga Devan. Orang-orangnya tentu lebih
"Ini hasil ulangan kalian Minggu lalu," kata Devan. Menatap Alif, seolah mengerti Alif berdiri dari duduknya dan menghampiri Devan untuk mengambil tumpukan kertas itu yang akan dibagikan kepada teman-temannya."Mana punyaku," kata Disya semangat, menyodorkan tangannya untuk menerima kertas hasil ulangannya. Mata Disya berbinar menatap nilai yang ada di kertas itu.Sembilan puluh dua, menakjubkan!Senyumnya langsung mengembang, gadis itu menggerak-gerakkan kakinya bahagia."Waw! Kenapa engga dari dulu Sya, kamu kaya gini," kata Fani yang ikut mengintip hasil nilai ulangan milik Disya.Disya menatap Fani lalu terkekeh. Setelahnya ia menggeser pandangannya menatap Devan yang juga sedang menatapnya, jangan lupakan senyum bahagia yang terus merekah dari bibirnya."Bahagia banget," sindir Alya.Disya memutuskan kontak matanya dengan Devan, lalu melirik Alya. "Iya dong!"Pembelajaran sudah berakhir, ada beberapa mahasiswa yang sudah k
'Aku mencintai kamu'Kata itu, dan semacamnya tidak pernah keluar dari mulut Devan. Walaupun begitu, sifat Devan lambat laun sudah berubah—maksudnya lelaki itu tidak sedingin dulu. Kadang dia juga selalu tersenyum kecil, terkekeh, dan juga tertawa jika Disya melakukan sesuatu hal yang lucu atau bertingkah menggemaskan.Tapi ... saat menjadi dosen, tetap saja dia galak!"Saya harus profesional," kata Devan saat itu.Jangan kira punya suami dosen macam Pak Devan itu, selalu dapat nilai A. Makalah, jurnal, dan sejenisnya tidak di revisi."Kamu mahasiswi saya di kampus, kenapa harus di beda-bedakan?" tanya Devan, kepada Disya yang sedang merajuk karena di suruh merevisi jurnalnya saat itu.Walaupun begitu, Devan memberikan bocoran materi apa yang akan diajarkannya di kelas, kepada Disya saat malam harinya. Setidaknya Disya bisa mempelajari itu terlebih dahulu daripada teman-temannya, dan selain itu Devan memiliki banyak sekali buku-buku ya
Devan mengecup kening Kai lembut, lalu menyelimuti dan mematikan lampu kamar. Setelahnya berjalan keluar dari kamar anak lelakinya dan masuk ke kamarnya.Devan melihat Disya sedang menata boneka-boneka yang di dapatnya malam ini, di atas kasur."Saya pergi, Disya."Disya turun dari kasur, lalu berjalan menghampiri Devan yang masih berdiri di dekat pintu. "Mau ke mana?" tanya Disya, gadis itu melirik sebentar jam digital yang ada di atas nakas, lalu kembali menatap Devan. "Ini sudah malam," lanjutnya.Devan mengalihkan pandangannya, tidak ingin menatap manik mata Disya, yang selalu menatapnya lembut. "Saya ada urusan," kata Devan singkat."Urusan kerja? Ya udah engga papa, nanti Disya tidur di kamar Kai, soalnya kalau Disya tidur di kamar ini sendirian, Disya takut ...," ucap Disya sedikit terkekeh."Pulangnya kapan?""Nanti saya kabari.""Oke."Devan mengangguk samar, lalu berbalik dan melangkah untuk ke luar
Devan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Jalanan memang tidak sepi, masih banyak kendaraan hilir mudik walaupun suasana sudah sangat larut malam. Tidak heran, di kota besar memang seperti itu, kendaraan hilir mudik tanpa kenal waktu.Semua kontak Fatya sudah di blokir oleh Devan, itu alasan Fatya menghubungi nomor Disya. Devan tidak tahu perempuan itu bisa mendapatkan nomor Disya dari mana. Untung saja Devan yang membaca pesan itu, juga yang menjawab telepon dari Fatya. Jika Disya, pasti semuanya akan kacau!"Kau gila, Fatya!" teriak Devan saat dirinya baru saja memasuki apartemen.Fatya berdiri dari duduknya, menampilkan senyum lebar lalu menghampiri Devan."Apa aku harus menelpon dan memberi pesan kepada istrimu, supaya kamu datang ke sini?"Devan sudah berkacak pinggang, lalu mengalihkan pandangannya menatap sekeliling unit apartemen dengan wajah marah."Apa mau kamu, hah?!"Fatya kembali berjalan menghampiri
"Pak Devan?"Suara Sasya berhasil membuat Devan membuyarkan lamunannya."Iya?"Sasya mengangkat satu alisnya. Bosnya terlihat berbeda hari ini, sudah beberapa kali Sasya memanggil nama bosnya karena saat Sasya sedang memberi tahu schedule, Devan terlihat melamun dan tidak memperhatikan."Ada apa? Bapak terlihat tidak fokus?"Devan menggeleng. "Buatkan saya teh," titah Devan.Sasya mengangguk, perempuan itu berjalan keluar dari ruangan bosnya.Devan memijit pelipisnya, punggungnya dia senderkan di senderan kursi sambil memejamkan matanya. Kata-kata Fatya terus terngiang di kepalanya, walaupun Devan sudah menolaknya tapi ada perasaan aneh yang muncul di hatinya.Sudah tiga hari semenjak kejadian malam itu. Devan belum menemui Disya maupun Kai—lelaki itu belum ke rumah sampai sekarang.'Saya tidak akan ke rumah beberapa hari ini.' Pesan seperti itu yang Devan kirim kepada Disya. Tanpa menaruh curiga apapun, Disya tida
"Naisya, kenapa bisa seperti ini?" tanya Doni mengelus pipi perempuan yang sedang berbaring di atas brankar.Perempuan yang di panggil Naisya itu hanya diam, menatap ke arah lain dengan mata yang sudah berkaca-kaca, perempuan itu seperti enggan menatap Doni."Papah minta maaf, sayang ...."Tidak ada suara yang di keluarkan perempuan itu.Doni menarik bibirnya tersenyum. "Baiklah, yang terpenting sekarang kamu baik-baik saja, itu membuat Papah lega. Kamu sudah makan?sudah minum obat?" Doni memberikan banyak pertanyaan kepada putrinya.Namun hanya anggukkan kepala yang menjadi jawaban dari perempuan itu."Papah bawain permen jelly kesukaan kamu," ujar Doni semangat, tangannya merogoh paper bag yang berisi banyak permen jelly."Tapi, apa kamu boleh makan ini? Nanti Papah tanyain dulu sama Abang Sam ya ... eum kalo sedikit sepertinya boleh," kata Doni tersenyum, lalu tangannya membuka bungkus kemasan permen jelly itu."Ayo di makan
Perkataan Disya tentang Ayah dan Bundanya yang berada di rumah ini memang benar. Tadi, saat Devan datang ke rumah, dia langsung ke kamar. Karena Doni ada di halaman samping rumah, jadi Devan tidak melihatnya. Bahkan, dia tidak menyadari jika ada mobil milik Doni di parkiran. Mungkin karena Devan ingin cepat-cepat bertemu dengan Disya, jadi dia tidak terlalu memperhatikan.Menatap manik mata Disya yang berkaca-kaca membuatnya merasa bersalah. Tapi, Devan sangat ingin memberitahukan tentang niatnya untuk menyudahi pernikahan ini kepada Disya."Terima kasih sudah membuat Disya bahagia," kata Doni.Devan yang sedang memperhatikan Kai bermain dengan Disya juga Dina di gazebo langsung menatap ke arah Doni yang duduk di sampingnya. Doni yang juga sedang memperhatikan interaksi Kai, Dina, dan Disya kini menatap ke arah Devan.Doni menampilkan senyumnya. "Saya melihatnya sendiri, kamu memperlakukan Disya dengan baik. Walaupun sangat sulit menghadapi Disya, dia san
Devan menarik bibirnya tersenyum melihat pemandangan di depannya. Seorang perempuan sedang sibuk dengan kegiatan memasaknya.Devan melangkah dengan mengendap-endap, dia ingin mengejutkan perempuan itu dengan kehadirannya."Aku tahu itu kamu, Dev," kata perempuan itu. Walaupun posisinya membelakangi Devan, tapi perempuan itu bisa menyadari bahwa Devan berada di belakangnya. Niat hati ingin mengejutkan perempuan itu gagal."Kenapa bisa tahu saya?" tanya Devan, lelaki itu dengan cepat memeluk Fatya dari belakang, menelusupkan wajahnya di ceruk leher Fatya.Fatya terkekeh, perlahan ia memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan Devan. "Wangi tubuh kamu, aku tahu," kata Fatya mendekatkan hidungnya, lalu menghirup dalam-dalam aroma tubuh Devan.Devan menyunggingkan senyumnya.Fatya kembali berbalik membelakangi Devan. Mengambil sendok untuk mengambil sedikit sop buntut yang di buatnya, lalu menyodorkannya kepada Devan. "Cobain, udah enak belum?" kata