Sudah dua hari ini Brisya mengurung diri. Ia bahkan tak sekalipun keluar kamar untuk makan dan tak mengijinkan siapapun masuk ke kamarnya selain Bu Shila. Bahkan Aji yang menunggu sampai sore pun tak berhasil merayu Brisya untuk membuka pintu kamarnya. Brisya lebih memilih untuk tidur dan tidak membuka mata. Ia kesal bila harus bangun dan menerima kenyataan bahwa Haris tidaklah sebaik yang ia pikirkan. Hari ini Aji masih mencoba merayu Brisya membuka pintu kamar untuknya. Kata Bu Shila, semalam Brisya bahkan tidak mau makan. Entah masalah apa yang Brisya hadapi, Aji masih penasaran. Ketika bertanya pada Bu Shila, beliau pun tak paham. Aji mengawasi pintu kamar Brisya yang tertutup rapat, ia sendiri masih betah duduk berselonjor di depan kamar. Sudah hampir setengah hari ia lewati dengan duduk di sana. Ia merindukan Brisya, sebulan meninggalkannya membuat Aji hampir gila. Dan kini saat Brisya sudah berada di hadapannya, ia masih saja tak bisa bertemu gadis itu. "Briy, makan, yuk! Ak
Brisya mematut bayangannya di cermin, pagi sekali ia sudah bangun untuk bersiap ke kantor Haris. Semalam ia sudah memutuskan untuk mengundurkan diri. Lebih baik ia menjauh dan tidak lagi bertemu dengan Haris agar perasaannya kembali normal seperti dulu.Untuk bahan skripsinya, Brisya akan merevisi dan mengajukan lagi judul lain pada dosen pembimbingnya. Ini semua agar Brisya tidak lagi berinteraksi dengan Haris. Lagi pula Aji pasti akan murka bila tahu Brisya dekat dengan laki-laki lain selain dirinya. Jadi keputusan Brisya sudah bulat. Ia akan berpamitan pada Haris hari ini. Saat sampai di kantor, masih belum ada seorang pun yang datang. Brisya sengaja datang lebih pagi agar ia bisa segera bertemu dengan Haris sebelum teman-temannya datang. Hingga beberapa menit kemudian, Frans dan Vico datang.Dan sampai siang, Haris tak kunjung turun. Brisya yang menunggu dengan gelisah jadi semakin berpikir buruk. Apa Haris dan tunangannya itu sedang bermesraan lagi?Tiba jam makan siang, Frans d
Wajah Aji menegang, rahangnya mengeras sempurna. Matanya memerah penuh emosi namun ia menahannya. "Jangan marah, ya ..." pinta Brisya memohon, ia menggenggam tangan Aji lebih erat."Kamu masih bisa magang di tempat papaku, kenapa harus magang sama orang, sih!" "Aku nggak mau ngerepotin kamu, Ji. Sudah cukup selama ini kamu ngasi segalanya buat aku," tukas Brisya hati-hati, salah ucap sedikit bisa saja Aji meledak. Aji menarik tangannya dari genggaman Brisya, lantas mengusap wajah dan rambutnya dengan kesal. Ia merasa tak berguna. Bahkan untuk hal kecil saja ia tak mampu membantu Brisya. "Aku cuma butuh support kamu sekarang, aku udah nggak bisa mundur lagi, Ji," pinta Brisya lirih, mengawasi Aji dengan harap-harap cemas."Aku ngerasa nggak berguna, Briy. Percuma rasanya ada aku kalo kamu masih minta bantuan orang itu." "Dia bukan orang, mendiang papanya om Haris dulu donatur tetap di Panti ini. Jadi mungkin dia pengin melanjutkan kebaikan papanya dengan membantu anak-anak di Pant
Brisya melempar slingbag-nya lelah, seharian ini benar-benar menguras emosinya. Namun yang lebih membuatnya sedih adalah sikap Haris yang tiba-tiba menjadi dingin. Tadi saat meeting sebelum pulang kerja, Haris bahkan membentak Brisya karena tidak meyelesaikan pekerjaannya. Brisya memang bertugas untuk promosi di media sosial, namun ia gaptek dan tidak tahu harus memulai dari mana.Ragu Brisya mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Aji membelikannya ponsel pintar yang mahal tapi Brisya bahkan tidak tahu cara mengoperasikannya selain digunakan untuk menelefon. Ia takut karena merasa barang itu bukan miliknya meski Aji sudah memberikannya. Saat tengah asyik melamun, tiba-tiba ponsel di tangannya bergetar, Brisya tersentak kaget hingga ponsel itu hampir saja terlempar dari tangannya. Aji is calling ..."Hallo.""Briy, nanti malam jalan, yuk! Aku jemput kamu jam 7, ya?" "Emang mau ke mana?" "Ada deh, surprise pokoknya," tukas Aji bersemangat. Brisya menarik napasnya pelan."Okey, ak
Entah kebetulan atau memang sudah takdir, Haris keluar dari ruko untuk membuang sampah tepat di saat Brisya sedang berdiri menatap ke arah jendela kamarnya di lantai atas ruko. Tadinya Haris ingin menyapa, tapi saat ingat kejadian tadi siang, Haris urung menghampirinya. Ia tetap membuang sampah seperti biasa, namun rasa penasaran membuatnya hampir goyah. Apa yang Brisya lakukan malam-malam begini di luar?? Saat berbalik dan ragu untuk menghampiri Brisya atau tidak, sebuah sorotan lampu mobil dari arah berlawanan sontak membuat Haris membatalkan niatnya. Sepertinya ia tahu mobil siapa itu, mobil SUV hitam dengan plat nomor spesial. Haris menarik nafasnya berat, ada sakit yang ia rasakan. Lagi. Brisya kemudian masuk ke dalam mobil itu, dan Haris masih bisa melihat ekspresinya yang tampak riang. Saat mobil itu berlalu, Haris masih memastikan Aji yang menyetir sebelum kemudian ia berbalik masuk. Dengan tubuh gemetar, Haris mengunci pintu ruko dan beranjak naik ke lantai atas. Dadan
Brisya tak bisa memejamkan mata meski jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Bayangan Haris tak bisa pergi dari benaknya. Entah mengapa ia begitu tergila-gila pada laki-laki yang hanya menganggap Brisya sebagai seorang adik, tak lebih. Apa karena Haris memperlakukannya berbeda? Apa karena Haris lebih sabar menghadapi Brisya? Tiba-tiba Brisya rindu bergurau dengan Haris. Sejak tunangannya itu datang rasanya Brisya hanya seperti bayangan. Brisya tak lagi bisa bermanja padanya. Tadi ketika berada di rumah Aji, pikiran Brisya tak bisa lepas dari Haris. Entah mengapa ia jadi sedikit menyesal saat melihat ekspresi Haris saat ia pergi dengan Aji tadi. Tapi bila Haris hanya menganggap Brisya sebagai adiknya, mengapa ekspresinya seperti tak rela? Brisya menghembuskan napasnya lelah, matanya mulai panas. Ia mulai mengantuk. "Briy, bangun, udah jam 6!" Lamat-lamat suara Bu Shila terdengar.Brisya menggeliat, membuka matanya yang terasa berat. "Kamu nggak kerja?" tanya Bu Shila heran."
Duk ... duk ... dukk ...Haris membenturkan kepalanya berulang kali ke dinding kamar mandi. Air dingin mengucur deras dari shower membasahi sekujur tubuhnya. Entah sudah berapa kali ia mendesah, merintih dan membenturkan kepalanya hingga keningnya terasa perih. Sungguh ia telah kehilangan kontrol. Bila harus menyesal atau bersyukur, ia sendiri bahkan lebih menyesali perbuatannya. Bagaimana bila Brisya jadi jijik padanya?? Bukankah sudah berulang kali ia memastikan pada Brisya bahwa gadis itu sudah seperti adiknya sendiri? Bagaimana mungkin Haris bisa seceroboh itu??Dhukkk!! Haris meringis menahan sakit, luka di lengannya masih terasa perih namun kini bertambah lagi di keningnya. "Stupid!!" rutuk Haris pada dirinya sendiri, ia mengusap keningnya pelan, sepertinya ada luka baru yang bertambah di tubuhnya. Hampir sejam lamanya Haris mengutuk dirinya sendiri di kamar mandi. Tubuhnya mulai menggigil. Lekas ia menarik handuknya dan beranjak. Pening di kepalanya kini berganti sakit. Ha
Mobil sedan hitam milik Haris sudah melaju jauh keluar dari tol. Brisya tak bersuara sejak tadi. Ia duduk di kursi belakang. Di depan Frans dan Haris sedang asyik mengobrol. Sesekali Brisya mengamati pantulan wajah Haris di kaca spion, ganteng sekali meski hanya mengenakan pakaian santai. Saat rapat kemarin harusnya Vico yang ikut keluar kota namun karena ibu Vico sakit-sakitan dan sering kambuh maka Brisyalah yang akhirnya harus ikut. Brisya memandang keluar kaca jendela, mobil mereka mulai melewati pegunungan dan bukit. Entah berada di kota apa ia sekarang. Brisya seperti dejavu dengan pemandangan ini. Tapi ia tak bisa mengingat apapun. Mobil Haris kini memasuki sebuah Hotel di pegunungan. Suasananya dingin dan sejuk. Mereka harus menginap karena hari sudah sore, besok mereka survei dan setelahnya langsung pulang. Haris memesan 3 kamar untuk mereka. Masing-masing kamar berbentuk rumah dengan jarak 3 meter di antara rumah yang lain. Baru kali ini Brisya menginap di tempat lain s