Matahari sudah hampir tinggi. Brisya sedang membereskan sisa piring makan anak-anak Panti yang berantakan, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Siapa lagi yang menelfonnya kalo bukan Aji. Hanya nomor dia yang ada di ponsel Brisya."Halo?" sapa Brisya cepat."Halo, Briy, hari ini ke mana?"Brisya meletakkan piring yang ia tenteng di meja karena kerepotan membawanya dengan satu tangan. "Hari ini aku bersih bersih Panti. Ada apa, Ji?" tanya Brisya penasaran."Hmm gapapa, sih. Aku pengin ngajak kamu jalan sebenernya, aku mau cari oleh-oleh buat oma. Hari Senin besok aku berangkat.""Yahhh, besok aja gimana?""Besok aku mulai packing, Briy," sahut Aji kecewa. "Aku pengin puas-puasin bareng kamu hari ini, besok aku udah sibuk," lanjutnya tak bersemangat.Brisya mendesah sedih. "Yaudah, 2 jam lagi jemput aku, ya? Aku mau lanjutin bersih-bersih Panti dulu dan nyelesain ini secepatnya.""Asyikkk, okey! Aku jemput kamu jam 10, ya!!"Brisya tersenyum lega mendengar suara itu ceria lagi. "Okey, bye!"Usai memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celemek, Brisya buru-buru membawa piring-piring kotor tadi ke dapur untuk dicuci. Begitu selesai mencuci, ia segera mengambil sapu dan membersihkan semua area Panti.Tak sampai 2 jam semua pekerjaan Brisya telah selesai. Lekas ia masuk ke kamar mandi dan mengguyur badannya yang basah oleh keringat.Jam 10 kurang 5 menit, Brisya sudah siap dan berpamitan pada Bu Shila."Ibu, mau nitip nitip sesuatu, kah? Biar Briy beliin di luar sekalian.""Nggak usah, kamu jalan-jalan saja sama Aji!" perintah Bu Shila sambil mengantar Brisya ke depan."Yauda, Briy berangkat dulu ya, Buk," pamit Brisya seraya mencium tangan Bu Shila dan bergegas pergi.Di depan Panti sudah ada mobil Aji yang terparkir. Brisya tersenyum dan melambaikan tangan saat Aji menyapanya dari balik kaca. Aji terihat sedang menelefon seseorang. Telepon, di mana ponselnya?Brisya sontak merogoh isi tasnya dan mencari ponselnya di sana, lipstik, bedak, cermin, notebook, ponsel, aha, ketemu! Brisya mengeluarkan ponsel itu cepat danBrukkk.Prakk.Brisya membentur sesuatu yang empuk dan wangi, ponselnya spontan terjatuh dari tangannya. Kepala Brisya pening seketika, gelap."Kamu gapapa?" tanya sebuah suara asing yang terlihat khawatir.Perlahan, Brisya membuka mata dan menemukan seorang laki-laki memungut ponselnya yang terjatuh tadi, lalu menyerahkannya pada Brisya."Gapapa, makasih! Maaf tadi saya nggak ngeliat, Om," ucap Brisya tak enak hati, ia yang menabrak malah ia yang merepotkan orang lain.Laki-laki itu urung tersenyum, Brisya buru-buru menunduk dengan sopan dan lekas beranjak. Wajahnya pasti memerah karena malu. Bagaimana bisa ia tidak melihat tubuh besar jangkung dan ganteng itu berdiri di sana?Saat sudah berada di dalam mobil, sekilas Brisya melihat laki-laki tadi mengawasinya. Aji masih sibuk bertelepon, untunglah jadi dia tidak perlu melihat kejadian memalukan tadi dan cemburu nggak jelas lagi. Dan mobil Aji perlahan melaju.Sambil memperhatikan jalanan, pikiran Brisya berkelana pada kejadian beberapa menit yang lalu. Ia seperti familiar pada wajah itu, tapi di mana, ya?? Brisya lupa. Wajah dewasa yang teduh. Brewok tipisnya seksi, badannya tinggi besar dan atletis. Pasti dia artis! Ya, benar, pasti dia artis dan mau donasi ke Panti.Kepala Brisya pun menunduk dan mengamati ponselnya yang tadi sempat terjatuh.'Untung nggak rusak' batinnya lega."Briy."Brisya tersentak, ia reflek menolehi Aji."Kenapa, sih! kaya liat hantu begitu!" tawa Aji heran melihat Brisya sangat terkejut ketika mendengar panggilannya."Gapapa, aku pikir kamu masih teleponan," sahut Brisya cepat. Ia khawatir Aji tahu kalo tadi ponsel mahalnya sempat terjatuh." Jadi kita beliin oma apa ya, Briy? Aku bingung, nih!" tanya Aji serius."Nenek kamu suka apa?""Nggak tahu.""Lah, gimana sih! Cucunya malah nggak tahu kesukaan neneknya," tawa Brisya gemas."Oma meski udah berumur tapi fashionable dan perfeksionis banget orangnya, makanya aku bingung, mau beliin takutnya nggak cocok.""Beliin aja dulu, kalo kamu tulus pasti nenek suka," potong Brisya menasehati."Beliin baju batik saja, gimana? Di Sidney pasti nggak ada batik, kan. Belikan sesuatu yang sekiranya di Sidney tuh nggak ada barang kek begitu," cetus Brisya tiba-tiba.Aji menolehi Brisya senang. "Thats good idea!!"Tak lama,Aji dan Brisya sampai di mall 2 jam kemudian. Aji langsung menuju butik desainer kenamaan dan mencarikan baju batik untuk omanya. Brisya terbelalak melihat harganya yang jutaan hanya untuk sepotong baju. Bahkan ia tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Dan Aji menghamburkannya tanpa berpikir panjang.Usai mendapatkan oleh-oleh untuk oma, Aji mengajak Brisya makan siang di Restoran Jepang. Seperti biasa Brisya mencari nasi goreng, namun ia mendesah kecewa saat tak menemukan menu favoritnya di sana. Aji terkekeh dan meminta Brisya untuk pesan sushi. Saat pesanan mereka datang, Brisya terbelalak kaget melihat nasi gulung seukuran kue lemper yang dipotong menjadi beberapa bagian dengan isian yang beraneka ragam."Sudah, makan saja!" goda Aji saat Brisya hanya terpaku menatap piringnya.Brisya merengut, ia meraih sumpit yang di sediakan di sebelah piringnya. Sedikit kerepotan Brisya mencoba makan menggunakan sumpit itu, karena kesal tak kunjung bisa, akhirnya Brisya memakan sushi langsung menggunakan tangannya. Ia tak berbakat menjadi orang kota!Begitu selesai makan, Aji mengajak Brisya nonton di bioskop. Hari ini Aji ingin menghabiskan waktu berdua dengan Brisya selama mungkin.Jam 10 malam, Aji mengantar Brisya pulang. Sebelum turun dari mobil, Aji mencium Brisya lagi sebagai salam perpisahan, sebelum lusa ia berangkat. Setelah ini ia akan berpisah dalam waktu yang lama. Dalam hening dan gelapnya malam, Brisya menikmati bibir hangat Aji melumatnya dengan lembut.Saat Brisya turun dari mobil, ia menyadari seseorang berdiri di depan pintu Panti. Brisya tidak bisa melihatnya dengan jelas karena sinar lampu Panti yang temaram. Usai melambaikan tangan pada Aji, lekas ia berbalik dan melangkah masuk.Semakin Brisya mendekat, semakin jantungnya berdegup aneh. Seseorang yang berdiri di pintu itu laki-laki, mengawasi Brisya di kejauhan.Brisya memicingkan mata, mencoba melihat dengan jelas siapa laki-laki itu. Dan jantungnya seakan mau lepas saat laki-laki yang sekarang berdiri memperhatikannya, ternyata ialah laki-laki yang sama yang ia tabrak tadi siang.'Kenapa dia masih ada di Panti?' batin Brisya heran.Perlahan, tangan Brisya terulur untuk membuka pintu. Tanpa mengalihkan tatapannya dari Brisya, laki-laki itu menggeser badannya."Permisi, Om," sapa Brisya tak enak hati.Brisya seperti ditelanjangi dengan tatapan tajam seperti itu. Jangan-jangan tadi om ini juga melihat ia berciuman dengan Aji!'Oh, my god!!' desis Brisya dalam hati.Di luar dugaan, laki-laki itu malah ikut masuk ke dalam Panti dan membuntutinya. Semakin membuat Brisya bertanya-tanya, siapa dia?Saat melihat Bu Shila dikejauhan, Brisya buru-buru berlari dan menarik tangannya. Ia menoleh takut dan benar saja, laki-laki itu masih mengikutinya."Ibuk, dia siapa?" Brisya berbisik cemas.Namun, Bu Shila dan laki-laki hanya tersenyum, membuat Brisya semakin bingung."Anak nakal, ya! Jam segini baru pulang!" ucap laki-laki itu hangat, suara beratnya entah mengapa terdengar begitu merdu di telinga Brisya."Kamu nggak inget, dia siapa??" tanya Bu Shila heran.Brisya menggeleng. Ia mengawasi laki-laki di depannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dan ia masih tidak bisa mengingat apapun."Dia Haris! Kakak yang dulu tinggal di ruko sebelah," lanjut Bu Shila dengan penuh semangat.Jantung Brisya seolah berhenti berdetak, kakak yang tinggal di ruko? Kakak yang dulu pergi dan membuatnya kesepian? Jadi, lelaki yang sedari tadi ia panggil 'Om' itu adalah kakak Haris?!Tanpa rasa canggung, Haris merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Brisya. Namun Brisya tak bergeming. Entah kenapa hatinya jadi sakit, seperti teriris-iris. Alih-alih bahagia karena bisa berjumpa dengan kakak yang dulu selalu ada untuknya, kini Brisya malah merasa kesal dan marah. Saat Brisya masih diam tak bergerak, Haris akhirnya memilih untuk mendekat dan memeluk gadisnya dengan erat. Brisya sampai menahan bernafas karena kaget. Pelukan ini, ya, pelukan ini yang selama ini ia rindukan. Pelukan yang berbeda dengan milik Aji. Brisya masih tak bergerak, tubuhnya membeku dalam dekapan Haris. Setelah cukup lama berpelukan, Haris lantas mengurai dekapannya dan menangkup wajah mungil Brisya dengan kedua tang
Pagi itu, tidur nyenyak Brisya terganggu saat ponselnya berdering dengan nyaring. Tak terbiasa mendengar ponselnya berbunyi di pagi hari, Brisya lekas bangkit dan membuka mata. Tangannya meraba ponsel yang semalam ia selipkan di bawah bantal. Aji is calling ..."Halo.""Briy, aku berangkat, ya," ucap suara Aji di ujung sana, sedikit terdengar lemah dan parau.Sambil bersandar di ranjang, Brisya menghembuskan nafasnya sedih dan berujar,"Iya, hati-hati ya kamu, jangan lupa kabari aku kalo udah sampe.""Okey Briy, I love you."Brisya menggigit bibirnya kelu. "Love you too, Ji," desisnya tak bersuara sebelum kemudian sambungan telepon mereka terputus. Brisya memandang ponselnya sedih. Sebulan ke depan ia harus mandiri. Ia juga harus segera mencari perusahaan untuk tempatnya magang. Tak ingin membuang waktu, Brisya lekas beranjak turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Hari ini ia harusnya ke kampus untuk menyerahkan data perusahaan tempatnya magang. Namun ia bahkan tidak punya i
Beberapa hari ini, Brisya tidak melihat mobil Haris terparkir di depan ruko. Terakhir kali, ia melihat Haris saat mengantarnya ke kampus.Diam-diam Brisya merasa bersalah, ia menyesal sudah bersikap jahat pada Haris waktu itu. Dia ingin meminta maaf, tapi tak sekalipun ia bertemu lagi dengannya."Ada apa, Briy, dari tadi Ibu lihat kamu melamun terus." Bu Shila tiba-tiba sudah duduk di depan Brisya di tepian ranjang anak asuhnya.Brisya mengawasi wanita, yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu, dengan sedih. "Briy jahat nggak sih, Buk?" tanyanya lirih.Bu Shila mengawasi Brisya bingung. "Jahat sama siapa?" Ia malah balik bertanya.Dalam diam, Brisya menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Berharap rasa bersalahnya menguap bersama karbondioksida yang ia lepaskan. "Terakhir kali ketemu om Haris, Brisya marah-marah sama dia, sempet ngebentak juga."Bu Shila masih bingung dengan penjelasan Brisya. Ia merenggangkan posisi duduknya agar lebih nyaman. "Tempo hari om Ha
Raut wajah Haris berubah serius, ia menatap Brisya dan duduk bersila agar lebih santai."Kamu mau aku menjawab apa, Briy?" Haris balik bertanya dengan lembut, akan tetapi Brisya hanya mengangkat kedua bahunya dengan santai. "Apa tidak ada yang kamu ingat sedikit pun tentang aku?" tanya Haris lagi, Brisya menggeleng ragu."Yang ada diingatanku cuma rumah ini pernah di tinggali seseorang, yang dulu sering memberiku permen, tapi kemudian dia pergi," ucap Brisya lirih, ia melirik Haris yang masih memandangnya sendu."Apalagi yang kamu ingat?""Barbie! Dia memberiku boneka barbie," tukas Brisya cepat.Barbie??Haris terbelalak surprise namun detik berikutnya ia kembali tenang. "Apa yang membuatmu nggak yakin kalo itu aku?"Brisya terdiam, hanya karena ia tidak ingat wajah Haris semasa kecil dulu, bukan berarti laki-laki yang duduk di depannya ini adalah orang jahat. Haris selalu berbuat baik selama bertemu dengannya."Maaf," ucap Brisya lirih sembari memilin ujung T-shirt-nya dengan keki.
Brisya dan Haris mulai dekat kembali sejak kejadian di hari itu. Seolah hendak menebus kesalahannya yang telah meninggalkan Brisya di masa lalu, saat ini Haris selalu berusaha ada untuknya. Ia mempercepat ijin usaha rukonya untuk dijadikan kantor ketika tahu Brisya sedang kesulitan mencari perusahaan untuk magang.Pagi ini, Haris sudah berpakaian rapi. Ia berencana untuk menginterview beberapa orang yang nantinya akan ia jadikan staf di kantor kecilnya. Meski masih terbilang pemula, namun Haris ingin segala sesuatunya sempurna. Ia ingin pekan depan ia sudah mulai membuka kantor biro Arsitek. Entah laku atau tidak di kota kecil, yang pasti Haris hanya ingin cepat membantu Brisya menyelesaikan program magangnya.Saat hendak turun ke lantai 1, ponsel Haris bergetar di saku celananya.Vega is calling... Haris menghembuskan nafasnya jengah, sepagi ini Vega sudah menerornya."Hallo.""Honey, aku sudah menyelesaikan beberapa urusanku di sini. Besok aku nyusul kamu ke--""Jangan!" sela Haris
Pagi ini Brisya bangun dengan malas-malasan. Hari ini ia sudah ada janji dengan Haris. Tapi entah kenapa ia jadi enggan untuk berangkat. Pertengkarannya dengan Aji semalam membuatnya cemas. Ia takut berbuat kesalahan lagi."Briy." Suara Bu Shila tiba-tiba datang mengagetkan Brisya yang tengah melamun, wanita paruh baya itu sudah berdiri di pintu sembari mengawasi putri asuhnya."Ya, Bu?" sahut Brisya lirih sambil beranjak duduk dengan malas."Ada Haris di depan, katanya sudah janjian sama kamu?" Bu Shila mengawasi Brisya yang masih berantakan dengan muka bantal dan rambut acak-acakan.Beberapa detik Brisya menarik napasnya bimbang. "Cepetan mandi, gih, kasian Haris kalo kelamaan nunggu," perintah Bu Shila saat Brisya masih diam mematung.Sekali lagi Brisya menghembuskan napasnya berat dan mulai beranjak dari tempat tidurnya. "Yaudah suruh tunggu bentar, Bu, Brisya mandi dulu."30 menit kemudian, Brisya keluar dari kamar dengan ogah-ogahan, ia memastikan ponselnya sudah masuk ke dala
Segera Brisya mengusap matanya yang masih mengantuk, di sekelilingnya banyak mobil-mobil terparkir. Di mana dia sekarang?Ragu Brisya menarik tas ransel kecilnya dan menyisir rambutnya yang kusut dengan jari jemarinya.Haris membuka pintu mobil, lalu mengitarinya dan membukakan pintu mobil untuk Brisya.Sambil mengamati sekitarnya, Brisya turun dari mobil Haris. "Di mana ini?" tanyanya bingung.Tanpa menjelaskan apapun, Haris hanya tersenyum dan menggandeng tangan Brisya agar mengikutinya.FunDream ParkBrisya membaca sebuah nama di sebuah Tugu besar saat keluar dari tempat parkir."Taman bermain?" tanya Brisya lagi girang, ia menolehi Haris dengan berbinar.Haris mengangguk dan tetap menggandeng Brisya ke loket yang penuh dengan orang-orang mengantri untuk membeli tiket."Kamu senang?" tanya Haris mengawasi Brisya yang masih takjub memperhatikan sekelilingnya, ada desir hangat dan bahagia saat Haris melihat ekspresi Brisya yang berbinar-binar bahagia.Brisya hanya meringis dan mengan
Haris mencuci wajahnya yang terasa berat oleh debu dan keringat setelah seharian terkena terik matahari. Ia terpaku mengawasi bayangannya sendiri di cermin. Hampir saja tadi ia lepas kontrol. Beruntung mereka terselamatkan di saat yang tepat. Entah apa yang terjadi bila saja mereka masih ada di ferris wheel tadi lebih lama, Haris takut ia tak bisa menahan diri. Dengan cepat Haris menarik tisu di samping wastafel dan mengusap wajahnya yang basah. Ia harus segera mengajak Brisya pulang. Begitu sampai di teras foodcourt, Haris tidak lagi mendapati Brisya di tempat duduk mereka tadi. 'Ke mana bocah itu!' desisnya bingung sambil mengawasi sekitarnya dengan gelisah. Ia mengamati setiap perempuan berkaos putih yang ada di sekelilingnya. Tapi ia tak menemukan Brisya. "Sial!!" decak Haris kesal. Harusnya tadi ia tak meninggalkan Brisya sendirian. Brisya bersikukuh ingin melihat kembang api, dia pasti kabur untuk melihatnya. Buru-buru Haris beranjak, semoga Brisya masih belum jauh. Tapi m