Hari berlalu seperti biasa, tidak ada sehari pun dilalui Brisya tanpa Aji kecuali saat mereka sedang libur kuliah.
Sejak kejadian first kiss itu, Aji selalu melakukannya lagi dan lagi dan tak pernah bisa Brisya tolak. Namun di balik sifat Aji yang kasar, ia adalah sosok yang penyayang. Mungkin karena Aji adalah putra tunggal dari keluarga kaya raya maka segala yang ia mau harus ia dapatkan. Ia menjadi egois dan brutal saat keinginannya tak terpenuhi."Aku laper, Briy, kita berhenti makan dulu, yuk!" pinta Aji sambil membelokkan mobilnya ke sebuah restoran.Usai memarkir mobilnya, Aji segera berhambur keluar dan membukakan pintu mobil untuk Brisya."Yukk!" ajaknya halus seraya menggandeng Brisya masuk.Brisya hanya menurut dan mengikuti Aji yang langsung memilih tempat duduk untuk mereka berdua."Kamu mau makan apa, Briy?" tawar Aji saat waitress membawakan menu."Aku nggak lapar, kamu aja yang makan ya, aku minum aja.""Kan, kamu, kan! Nggak usah diet, kamu sudah sekurus tiang listrik!" potong Aji kesal, lalu memilihkan menu favorit Brisya dan segera mengembalikan menu tadi pada waitress yang menunggu."Agak cepet ya, Mbak, kami sudah laper.""Baik, Mas Aji," sahut waitress itu sopan.Mendengar waitres tadi menjawab dengan hangat, Brisya lantas mengawasi Aji dengan kaget, dari mana waitress itu tahu nama Aji?"Apa? Kok lihatnya gitu?" tanya Aji heran."Kok dia kenal sama kamu?" selidik Brisya penasaran, mereka berdua baru kali ini makan di restoran ini.Aji mengangkat kedua bahunya rileks. "Nggak tahu, fansku kali."Brisya mencibir cepat. "Diih, fans apaan!" sungutnya terkekeh.Aji tertawa, menarik tangan Brisya dan menggenggamnya. "Bulan depan aku berkunjung ke rumah nenekku di Sidney, kamu ikut ya!""Ngaco kamu!" tukas Brisya kaget."Loh emangnya kenapa??" tanya Aji heran, "kamu kan cewekku?" lanjutnya cepat.Brisya lantas menghembuskan nafasnya pelan dan menatap Aji dengan lekat. "Jangan mengada-ngada deh, kita kan sudah sepakat kalo hubungan kita nggak akan bisa lebih dari ini. Wanita yang akan kamu kenalkan pada keluargamu harusnya orang yang sudah mantap kamu pilih.""Aku mantap kok milih kamu.""Ajiii, jangan gitu!" potong Brisya mulai kesal.Ia benci bila harus mengungkit masa lalunya di depan Aji, ia takut keluarga Aji tidak akan menerima seorang anak Panti Asuhan yang tidak jelas latar belakangnya. Terlebih keluarga Aji adalah keluarga kaya raya dan terpandang."Sejak awal kamu bilang suka sama aku, aku selalu bilang kan kalo masih banyak cewek di luar sana yang lebih baik dari aku.""Terus? Kalo aku nggak dapet?""Kamu bukan nggak dapet, kamu cuma nggak serius aja nyarinya," tukas Brisya cepat.Aji menundukkan kepalanya dengan kecewa, setiap kali membahas tentang hubungannya dan Brisya, ia selalu berada dipihak yang kalah. "Yauda kalo kamu nggak mau ikut ke Sidney gapapa, kita nggak perlu bahas ini lagi, ya," ucapnya lesu.Sambil menghembuskan napasnya samar, Brisya mengeratkan genggaman tangan Aji ditangannya. " Maaf Aji.." desisnya lirih.Tak berapa lama, waitress datang membawa makanan yang mereka pesan. Sepiring nasi goreng tersaji cantik di depan Brisya. Makanan favoritnya adalah nasi goreng. Entah kenapa makan di manapun yang ia pesan pasti nasi goreng. Mungkin karena di Panti ia terbiasa makan seadanya, dan nasi goreng selalu jadi menu yang dalam seminggu bisa dimakan hampir setiap hari."Yuk, makan!" ucap Aji saat Brisya hanya memandang piring di depannya terpaku.Brisya mengangguk dan memungut sendok di piring lalu menyantapnya perlahan."Nggak berasa ya, tahun depan kita udah lulus aja!" Aji mulai buka suara mengalihkan pembicaraan.Brisya tersenyum dan mengangguk."Nanti rencananya kamu mau kerja di mana, Briy?" tanya Aji penasaran."Aku belum mikir sejauh itu sih, yang penting dapet perusahaan aja dulu buat magang bulan depan.""Oiya ya, kamu mulai magang bulan depan, mau aku bantu?" tukas Aji cepat.Dengan cepat, Brisya menggeleng. "Nggak usah, nanti aku cari sendiri aja, alumni panti banyak kok beberapa yang sukses dan punya perusahaan sendiri, mungkin aku akan minta bantuan ibuk buat menghubungi mereka," sahut Brisya menolak dengan halus, ia yakin bila Aji membantunya pasti ia akan magang di perusahaan orang tuanya. Dan Brisya malu bila harus melibatkan dan memanfaatkan Aji."Yaah, aku bakal sering ditinggal kamu, nih!" rengek Aji sedih, meletakkan sendok makannya dan mengawasi Brisya."Ih apaan sih, kan cuma 3 bulan aja, lagian kamu masih bisa main ke Panti kan kalo kangen.""Tapi nggak bisa seharian bareng kamu lagi, kan!" tukasnya cepat."Ahhh dasar bucin!! Cepet makan!" cibir Brisya terkekeh.Kadang Brisya heran, apa yang membuat Aji begitu menyukainya? Paras Brisya memang sempurna, kecuali tubuhnya yang kurus kering. Namun rasa penasaran Brisya tidak pernah terjawab hingga sekarang.Awalnya ia berpikir Aji hanya merasakan cinta monyet, namun seiring berjalan waktu meski sudah ditolak berkali-kali pun Aji tidak pernah menyerah."Habis ini kita ke apartemenku, yuk!"Bola mata Brisya membeliak, mengawasi Aji dengan ragu, terakhir kali ke apartemen milik Aji dulu, hampir saja Aji kelewat batas. Karena sepi saat itu Aji menciuminya dengan ganas, bahkan hampir menidurinya. Jantung Brisya berdegub kencang."Aku ada janji dengan bu Rahmi hari ini, kapan-kapan aja, ya," tolak Brisya berdusta."Yaudah aku telpon bu Rahmi buat pamitin kamu, ya?""Aji, no! Gak sopan kaya gitu!" potong Brisya cepat.Aji nampak kecewa, ia melahap suapan terakhir makanannya dengan tak berselera."Yaudah, kapan-kapan kamu nggak boleh nolak, ya," pintanya memohon.Brisya diam, ia bahkan tak sanggup untuk mengangguk. Brisya takut, kejadian dulu akan terulang lagi. Bila hanya berciuman mungkin masih bisa ditolerir, karena Brisya pun menyukai Aji dan menikmati ciuman mereka. Tapi bila lebih dari itu maka ia akan menyesal seumur hidup. Brisya tidak mau menyerahkan keperawanannya pada sembarang pria.Usai makan dan mengobrol ringan, Aji mengantar Brisya pulang ke Panti. Sebelum turun dari mobil, Aji lebih dulu menyerahkan sebuah paperbag pada Brisya dan memintanya untuk membuka isi paperbag itu di dalam. Brisya menurut. Ia turun dari mobil saat Aji membukakan pintu untuknya. Dan melambaikan tangan sampai mobil Aji pergi.Saat hendak berbalik masuk ke Panti, pandangan Brisya tak sengaja menangkap sesuatu yang aneh. Ada sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan ruko sebelah panti. Brisya bergeming dan mengawasinya dari kejauhan. Ia tak pernah melihat mobil itu sebelumnya. Ia penasaran ingin mendekat namun Brisya ingat terakhir kali ke ruko itu ia dan Aji bertengkar hebat.Tak ingin menambah masalah, Brisya pun mengurungkan niatnya. Ia melangkah masuk ke dalam panti dengan sedikit berlari. Ia penasaran apa isi paperbag yang diberi Aji tadi.Belum usai Brisya menutup pintu kamar, ia mendengar bunyi nada asing. Brisya menajamkan pendengarannya dan mengawasi setiap sudut kamar. Tidak ada benda apapun yang berbunyi, hingga kemudian Brisya tersadar sumber suara itu dari dalam paperbag yang ia tenteng sedari tadi.Dengan gesit, Brisya meletakkan paperbag itu di meja dan mengeluarkan isinya, kedua bola matanya membulat tak percaya ketika mendapatkan sebuah kotak ponsel. Yang berbunyi di dalam berarti sebuah ponsel?Buru-buru Brisya membuka kotak itu dengan kalap dan benar saja, sebuah ponsel keluaran terbaru menyala menandakan ada panggilan masuk.Brisya memungut ponsel itu dengan tangan bergetar, hanya sesekali ia memegang ponsel dan itupun bukan miliknya. Nada panggilan berbunyi lagi, Brisya terbelalak bingung.Aji is Calling ..."Halo?" sapa Brisya ragu, semoga ia menggeser kursor ke arah yang benar."Cieee, hape baru, cieeee!" goda suara Aji di ujung sana terkekeh.Brisya akhirnya menghembuskan nafasnya lega. "Aji, why?" desisnya terharu dengan mata berkaca-kaca.Namun, Aji malah tertawa di ujung sana. "Biar kalo aku kangen sama kamu, aku bisa telefon kamu lah.""Tapi kan kamu nggak perlu sampe beliin aku hape yang terbaru, hape yang biasa aja cukup.""Ahhh biasa aja, apanya yang terbaru, sih! Aku malah udah pegang hape itu dari lama," potong Aji terkekeh. "Yaudah kamu mandi dulu deh, nanti aku telefon lagi, ya!""Oke," sahut Brisya pelan, lalu memutuskan sambungan telefonnya.Dengan sangat hati-hati, Brisya meletakkan ponselnya di meja dan buru-buru berhambur ke kamar mandi dengan perasaan berbunga-bunga. Diperlakukan dengan sangat spesial oleh Aji membuat Brisya mulai lupa pada trauma masa kecilnya. Namun, nyatanya sesuatu yang lebih indah telah bersiap untuk datang, seseorang yang selama ini diam-diam Brisya rindukan dalam tidurnya.***************Matahari sudah hampir tinggi. Brisya sedang membereskan sisa piring makan anak-anak Panti yang berantakan, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi.Siapa lagi yang menelfonnya kalo bukan Aji. Hanya nomor dia yang ada di ponsel Brisya."Halo?" sapa Brisya cepat."Halo, Briy, hari ini ke mana?"Brisya meletakkan piring yang ia tenteng di meja karena kerepotan membawanya dengan satu tangan. "Hari ini aku bersih bersih Panti. Ada apa, Ji?" tanya Brisya penasaran."Hmm gapapa, sih. Aku pengin ngajak kamu jalan sebenernya, aku mau cari oleh-oleh buat oma. Hari Senin besok aku berangkat.""Yahhh, besok aja gimana?""Besok aku mulai packing, Briy," sahut Aji kecewa. "Aku pengin puas-puasin bareng kamu hari ini, besok aku udah sibuk," lanjutnya tak bersemangat.Brisya mendesah sedih. "Yaudah, 2 jam lagi jemput aku, ya? Aku mau lanjutin bersih-bersih Panti dulu dan nyelesain ini secepatnya.""Asyikkk, okey! Aku jemput kamu jam 10, ya!!"Brisya tersenyum lega mendengar suara itu ceria lagi. "Okey, bye!
"Dia Haris! Kakak yang dulu tinggal di ruko sebelah," lanjut Bu Shila dengan penuh semangat.Jantung Brisya seolah berhenti berdetak, kakak yang tinggal di ruko? Kakak yang dulu pergi dan membuatnya kesepian? Jadi, lelaki yang sedari tadi ia panggil 'Om' itu adalah kakak Haris?!Tanpa rasa canggung, Haris merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Brisya. Namun Brisya tak bergeming. Entah kenapa hatinya jadi sakit, seperti teriris-iris. Alih-alih bahagia karena bisa berjumpa dengan kakak yang dulu selalu ada untuknya, kini Brisya malah merasa kesal dan marah. Saat Brisya masih diam tak bergerak, Haris akhirnya memilih untuk mendekat dan memeluk gadisnya dengan erat. Brisya sampai menahan bernafas karena kaget. Pelukan ini, ya, pelukan ini yang selama ini ia rindukan. Pelukan yang berbeda dengan milik Aji. Brisya masih tak bergerak, tubuhnya membeku dalam dekapan Haris. Setelah cukup lama berpelukan, Haris lantas mengurai dekapannya dan menangkup wajah mungil Brisya dengan kedua tang
Pagi itu, tidur nyenyak Brisya terganggu saat ponselnya berdering dengan nyaring. Tak terbiasa mendengar ponselnya berbunyi di pagi hari, Brisya lekas bangkit dan membuka mata. Tangannya meraba ponsel yang semalam ia selipkan di bawah bantal. Aji is calling ..."Halo.""Briy, aku berangkat, ya," ucap suara Aji di ujung sana, sedikit terdengar lemah dan parau.Sambil bersandar di ranjang, Brisya menghembuskan nafasnya sedih dan berujar,"Iya, hati-hati ya kamu, jangan lupa kabari aku kalo udah sampe.""Okey Briy, I love you."Brisya menggigit bibirnya kelu. "Love you too, Ji," desisnya tak bersuara sebelum kemudian sambungan telepon mereka terputus. Brisya memandang ponselnya sedih. Sebulan ke depan ia harus mandiri. Ia juga harus segera mencari perusahaan untuk tempatnya magang. Tak ingin membuang waktu, Brisya lekas beranjak turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Hari ini ia harusnya ke kampus untuk menyerahkan data perusahaan tempatnya magang. Namun ia bahkan tidak punya i
Beberapa hari ini, Brisya tidak melihat mobil Haris terparkir di depan ruko. Terakhir kali, ia melihat Haris saat mengantarnya ke kampus.Diam-diam Brisya merasa bersalah, ia menyesal sudah bersikap jahat pada Haris waktu itu. Dia ingin meminta maaf, tapi tak sekalipun ia bertemu lagi dengannya."Ada apa, Briy, dari tadi Ibu lihat kamu melamun terus." Bu Shila tiba-tiba sudah duduk di depan Brisya di tepian ranjang anak asuhnya.Brisya mengawasi wanita, yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu, dengan sedih. "Briy jahat nggak sih, Buk?" tanyanya lirih.Bu Shila mengawasi Brisya bingung. "Jahat sama siapa?" Ia malah balik bertanya.Dalam diam, Brisya menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Berharap rasa bersalahnya menguap bersama karbondioksida yang ia lepaskan. "Terakhir kali ketemu om Haris, Brisya marah-marah sama dia, sempet ngebentak juga."Bu Shila masih bingung dengan penjelasan Brisya. Ia merenggangkan posisi duduknya agar lebih nyaman. "Tempo hari om Ha
Raut wajah Haris berubah serius, ia menatap Brisya dan duduk bersila agar lebih santai."Kamu mau aku menjawab apa, Briy?" Haris balik bertanya dengan lembut, akan tetapi Brisya hanya mengangkat kedua bahunya dengan santai. "Apa tidak ada yang kamu ingat sedikit pun tentang aku?" tanya Haris lagi, Brisya menggeleng ragu."Yang ada diingatanku cuma rumah ini pernah di tinggali seseorang, yang dulu sering memberiku permen, tapi kemudian dia pergi," ucap Brisya lirih, ia melirik Haris yang masih memandangnya sendu."Apalagi yang kamu ingat?""Barbie! Dia memberiku boneka barbie," tukas Brisya cepat.Barbie??Haris terbelalak surprise namun detik berikutnya ia kembali tenang. "Apa yang membuatmu nggak yakin kalo itu aku?"Brisya terdiam, hanya karena ia tidak ingat wajah Haris semasa kecil dulu, bukan berarti laki-laki yang duduk di depannya ini adalah orang jahat. Haris selalu berbuat baik selama bertemu dengannya."Maaf," ucap Brisya lirih sembari memilin ujung T-shirt-nya dengan keki.
Brisya dan Haris mulai dekat kembali sejak kejadian di hari itu. Seolah hendak menebus kesalahannya yang telah meninggalkan Brisya di masa lalu, saat ini Haris selalu berusaha ada untuknya. Ia mempercepat ijin usaha rukonya untuk dijadikan kantor ketika tahu Brisya sedang kesulitan mencari perusahaan untuk magang.Pagi ini, Haris sudah berpakaian rapi. Ia berencana untuk menginterview beberapa orang yang nantinya akan ia jadikan staf di kantor kecilnya. Meski masih terbilang pemula, namun Haris ingin segala sesuatunya sempurna. Ia ingin pekan depan ia sudah mulai membuka kantor biro Arsitek. Entah laku atau tidak di kota kecil, yang pasti Haris hanya ingin cepat membantu Brisya menyelesaikan program magangnya.Saat hendak turun ke lantai 1, ponsel Haris bergetar di saku celananya.Vega is calling... Haris menghembuskan nafasnya jengah, sepagi ini Vega sudah menerornya."Hallo.""Honey, aku sudah menyelesaikan beberapa urusanku di sini. Besok aku nyusul kamu ke--""Jangan!" sela Haris
Pagi ini Brisya bangun dengan malas-malasan. Hari ini ia sudah ada janji dengan Haris. Tapi entah kenapa ia jadi enggan untuk berangkat. Pertengkarannya dengan Aji semalam membuatnya cemas. Ia takut berbuat kesalahan lagi."Briy." Suara Bu Shila tiba-tiba datang mengagetkan Brisya yang tengah melamun, wanita paruh baya itu sudah berdiri di pintu sembari mengawasi putri asuhnya."Ya, Bu?" sahut Brisya lirih sambil beranjak duduk dengan malas."Ada Haris di depan, katanya sudah janjian sama kamu?" Bu Shila mengawasi Brisya yang masih berantakan dengan muka bantal dan rambut acak-acakan.Beberapa detik Brisya menarik napasnya bimbang. "Cepetan mandi, gih, kasian Haris kalo kelamaan nunggu," perintah Bu Shila saat Brisya masih diam mematung.Sekali lagi Brisya menghembuskan napasnya berat dan mulai beranjak dari tempat tidurnya. "Yaudah suruh tunggu bentar, Bu, Brisya mandi dulu."30 menit kemudian, Brisya keluar dari kamar dengan ogah-ogahan, ia memastikan ponselnya sudah masuk ke dala
Segera Brisya mengusap matanya yang masih mengantuk, di sekelilingnya banyak mobil-mobil terparkir. Di mana dia sekarang?Ragu Brisya menarik tas ransel kecilnya dan menyisir rambutnya yang kusut dengan jari jemarinya.Haris membuka pintu mobil, lalu mengitarinya dan membukakan pintu mobil untuk Brisya.Sambil mengamati sekitarnya, Brisya turun dari mobil Haris. "Di mana ini?" tanyanya bingung.Tanpa menjelaskan apapun, Haris hanya tersenyum dan menggandeng tangan Brisya agar mengikutinya.FunDream ParkBrisya membaca sebuah nama di sebuah Tugu besar saat keluar dari tempat parkir."Taman bermain?" tanya Brisya lagi girang, ia menolehi Haris dengan berbinar.Haris mengangguk dan tetap menggandeng Brisya ke loket yang penuh dengan orang-orang mengantri untuk membeli tiket."Kamu senang?" tanya Haris mengawasi Brisya yang masih takjub memperhatikan sekelilingnya, ada desir hangat dan bahagia saat Haris melihat ekspresi Brisya yang berbinar-binar bahagia.Brisya hanya meringis dan mengan