Home / Romansa / Om Sweet Om / Malam Pertama

Share

Malam Pertama

Author: Rini Ermaya
last update Last Updated: 2021-06-01 15:08:51

Ketukan di pintu membuat Tania tersadar dari tidurnya. Dia menggeliat malas.

"Taniaaaa ... ini Tante."

Ovi mengetuk pintu pelan. Sedari tadi dia menunggu di luar tapi belum ada jawaban. Padahal mereka sudah ditunggu untuk dirias untuk acara resepsi.

Mendengar suara ketukan, Tania membuka mata. Dia terbangun dengan kepala yang terasa berat. Wanita itu tiba-tiba tersadar kalau ada yang memeluknya dari belakang, padahal rasanya tadi tidur sendirian.

Tania membalikkan badan dan terkejut setengah mati.

"Om Nero!!"

Nero tersentak. Dia yang masih terlelap, terbangun dengan kaget.

"Ngapain om di kamarku?!" teriaknya.

"Om numpang istirahat."

Nero bergegas bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Nyawanya baru setengah terkumpul, kini harus menerima kemarahan dari istrinya.

"Bohong! Om sengaja ya cari kesempatan!" tuduh Tania menunjukkan kemarahan.

"Om gak bohong. Cuma ketiduran di sini," ucap lelaki itu membela diri.

Lama-lama Nero merasa kesal jika diperlakukan seperti itu. Dia juga menolak perjodohan mereka. Siapa juga mau menikahi gadis kecil yang manja. Sekalipun dia menyayangi Tania sebagai keponakan, tetapi tidak pernah bermimpi mempunyai istri remaja yang masih labil.

"Terus sengaja pake meluk-meluk aku?"

Tania menunjuk wajah Nero. Di matanya ada amarah yang berkilat, seperti hendak membakar lelaki yang ada di depannya.

"Semalaman om juga gak tidur. Apa salah?"

"Bohong. Om sengaja mau manfaatin aku!" geramnya.

"Tania! Om ini suami kamu. Lagian ini juga kamar kita. Om berhak tidur di sini."

Nero balas membentak. Mungkin sesekali, istrinya perlu ditegur. Terlalu manja membuatnya lupa menghormati orang yang lebih tua.

"Tapi aku gak mau tidur sama om!" ucap Tania sembari melipat tangan di depan dada.

Nero hanya bisa menggeleng karena tak habis pikir.

"Tania, kenapa kamu jadi begini kepadaku?" lirihnya sembari mengusap wajah.

Mereka saling mendiamkan hingga terdengar suara ketukan lagi. Nero bergegas membuka pintu dan tidak memerdulikan ocehan Tania.

"Maaf. Tante ganggu kalian, ya?"

Ovi tersenyum saat masuk dan mendapati bahwa suasana di kamar itu tidak nyaman.

"Tanteeee ..." Tania berlari memeluk Ovi dan menangis sesegukan.

"Kenapa, Sayang?" Ovi mengelus rambut keponakannya.

"Om Nero. Dia sengaja tidur di sini, terus peluk-peluk aku."

Ovi menatap Nero. Ada rasa kasihan di hatinya melihat Nero yang hanya terdiam. Dia melihat lelaki itu membuang pandangan dan mengusap tengkuk berulang kali. Pernikahan ini seperti simalakam bagi mereka. Tania juga tidak bisa disalahkan karena belum siap.

"Sudah jangan nangis. Ayo siap-siap. Kita mau make-up lagi buat acara nanti." Ovi menuntun Tania mengambil sendal.

"Nero sana ke kamar sebelah. Udah ditungguin." Ovi memberi kode.

Nero mengangguk lalu berjalan menuju keluar. Ketika tiba di depan pintu, lelaki itu tampak ragu sembari menatap Ovi.

"Awas, ya! Kalau om kalau ke sini lagi. Ini kamarku. Aku gak mau tidur bareng om!" ancamnya.

"Nak, kamu gak boleh bilang gitu. Nero itu suamimu," tegur Ovi.

"Tania gak mau tante," tangisnya makin menjadi.

"Sudah-sudah. Nero ayo cepat ke sana."

Ovi mengusir Nero dengan halus. Semakin lama mereka berada di sini, makan akan semakin panjang cerita.

Nero mengangguk patuh dan segera keluar kamar dengan langkah gontai. Terserah Tania maunya apa. Dia hanya melakukan apa yang diinginkan oleh Bram, sahabatnya.

* * *

Pesta berlangsung meriah. Bram mengundang ribuan orang. Nero juga. Sedangkan Tania tak mengundang siapa pun. Dia malu. Lagi pula pernikahan ini berlangsung setelah kelulusan sekolah. Jadi, dia sudah tidak peduli dengan teman-temannya.

Tania terlihat cantik sekali dalam balutan gaun pengantin. Ovi mendampingi Bram di kursi pelaminan. Wanita itu sesekali mendatangi Tania yang terlihat kelelahan untuk memberikan semangat.

Banyaknya tamu dan foto-foto membuat wajah Tania cemberut selama acara. Belum mata yang bengkak karena menangis sepanjang malam. Untung saja make-up bisa menutupinya sedikit.

Ovi juga mengarahkan agar Tania selalu tersenyum. Dia juga membetulkan letak tangan Nero di pinggang istrinya saat pemotretan berlangsung. Itu karena Tania tidak mau disentuh suaminya sama sekali.

Pukul sebelas malam semuanya selesai. Seperti tadi pagi, selesai acara Ovi langsung membawa Tania ke kamar. Bahkan dia sendiri mengabaikan suami dan anaknya. Untunglah mereka mengerti.

"Ayo kita ke kamar. Bersihkan wajah kamu sama ganti baju." Ovi menggandeng tangan Tania.

Tania mengangguk dengan wajah masam.

"Ayo Nero," ajak Ovi.

Mendengar itu Tania melotot karena tak terima. Itu membuat Nero mejadi semakin serba salah.

"Om Nero gak usah ikut!" bentaknya.

Ovi hanya bisa menggeleng. "Tania.

Gak boleh gitu. Ini kan malam per--"

"Gak mau. Aku jijik."

Tania berlalu pergi meninggalkan semua orang dengan mengentakkan kaki untuk melampiaskan kekesalan.

"Sabar ya, Nero," bisik Ovi.

"Gak apa-apa. Kamu aja yang temani dia di kamar. Aku masih mau ngobrol sama Mas Bram."

Nero memastikan kepada Ovi bahwa semuanya baik-baik saja. Setelah berbincang sebentar, wanita itu segera menyusul keponakannya.

***

"Loh Nero? Kok kamu gak ke kamar?"

Bram berjalan mendekati Nero yang sedang sendirian. Lelaki paruh baya itu terlihat bingung saat melihat wajah menantunya yang terlihat kusut.

"Anu, Mas--" ucap Nero terbata.

"Kamu kenapa? Tania mana? Kok gak bareng?" tanya Bram heran.

"Tania udah ke kamar sama Ovi."

Nero mengumpat dalam hati. Bram sepertinya sengaja memancing atau pura-pura lupa bahwa Tania membencinya.

"Kamu nyusul sana. Gak mau malam pertama?" bisik Bram menggoda.

Kuping Nero menjadi panas, lalu menggeleng.

"Tania gak mau sekamar sama aku, Mas. Dia marah."

Bram tercengang dan mengangguk tanda mengerti.

"Lagian aku juga gak bakal ngelakuin itu sama dia. Mas ngertilah," ucap Nero sembari menatap Bram dengan lekat.

"Hem ..." Bram termenung lalu berpikir sejenak.

"Mas ini kayak gak tau aja. Tania benci sama aku." Nero tertunduk lesu.

"Kalau gitu kita cari kamar lain aja, ya. Mas udah pesan beberapa kamar. Semoga masih ada yang kosong."

Bram mengajak Nero menuju lobi. Mereka berjalan bersisian sembari berbincang. Ketika sudah mendapatkan kunci kamar, lelaki itu segera beristirahat dan tertidur dengan lelap.

* * *

Sementara itu di kamar yang lain. Tania termenung dan tidak bisa tidur sedari tadi. Pikirannya melayang entah ke mana. Ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Mengenai takdir yang hatus diterima, juga paksaan dari sang papa.

Tania merasa ini semua tidak adil. Selama ini dia sudah menuruti keinginan sang papa, dari pilihan sekolah, les, atau pergi dengan teman-temannya. Lalu, kini jodohnya juga harus dipilihkan.

Jangankan menjadi istri Nero, membayangkan pernikahan saja Tania merasa enggan. Dia masih ingin menikmati masa muda. Travelling, kuliah, kampus, dan juga memiliki pacar.

Tania bahkan belum sempat merasakan indahnya pacaran. Papanya selalu melarang dan mengawasi dengan ketat. Ke sekolah diantar dan dijemput oleh supir. Dia ingin pergi ke manapun harus meminta izin.

Sebenarnya ada satu teman satu angkatan yang Tania sukai, hanya berbeda kelas. Namanya Rizal. Namun, impian untuk bisa dekat dengan lelaki itu itu pupus sejak menikah.

Mereka sudah berencana akan tour ke Bali setelah kelulusan. Memanjakan diri sebelum ikut ujian masuk perguruan tinggi. Tania ingin masuk ke salah satu universitas terkenal. Walaupun tidak juara umum, tetapi nilainya di atas rata-rata. Dia ingin menjadi dokter, cita-cita mulia yang diidamkan sejak kecil.

Sekarang semua impiannya kandas. Itu karena Nero. Entah apa yang lelaki itu ucapkan, sehingga papa memaksanya menikah. Sedihnya, tante Ovi pun ikut menyetujui. Semua keluarga juga. Tidak ada satu pun yang berpihak kepadanya.

Saat melihat cara Nero memandangnya setelah akad nikah tadi, perut Tania langsung mual. Lelaki itu berkali-kali meliriknya dengan wajah memerah. Bahkan saat foto, Nero memeluk pinggangnya erat.

Tania ingin menepis tangan Nero, tetapi dilarang Ovi. Di depan tamu dia harus selalu tersenyum dan berpura-pura bahagia, padahal di dalam hatinya sakit.

Hidup, apakah memang harus begitu?

Dulu dia memang dia dekat dan manja dengan Nero, tetapi hanya sebatas antara paman dan keponakan. Sekarang sudah berbeda, dia tidak mau disentuh Nero.

Tania sudah dewasa walaupun baru berusia delapan belas tahun. Gadis itu tahu apa artinya menikah. Mengingat itu, membuatnya menjadi semakin benci kepada Nero. Dia menduga bahwa lelaki itu juga mengincar perusahaan papa.

"Dasar licik," umpatnya.

Salahkah jika dia ingin menikah dengan orang yang benar-benar dicintai. Lalu menjalani pernikahan yang normal seperti pasangan yang lain, bukan karena terpaksa seperti sekarang.

"Tunggu saja. Aku akan membuatmu menyesal menikahiku, Om," batinnya.

Tania akan mencari cara agar mereka secepatnya berpisah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Om Sweet Om   Pesta Pernikahan (Ending)

    Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan sederhana yang diadakan di sebuah daerah pinggiran ibu kota. Kedua pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Tiara cantik ya, Mas." Syifa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. "Akhirnya mereka menikah juga," kata Rizal. Matanya tak lepas menatap panggung di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Rizal dan Syifa memutuskan untuk datang ketika menerima undangan dari Tiara, yang dikirim ke alamat rumah sakit. Jarak yang cukup jauh tak menyurutkan niat mereka untuk pergi untuk menghargai tuan rumah. Syifa bahkan pergi ke butik untuk membeli sebuah dress sebagai hadiah untuk Tiara. Pasien spesial yang sempat membuatnya cemburu dan salah paham kepada Rizal. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah ba

  • Om Sweet Om   Dua Ekor Kambing

    "Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di kediaman orang tua Rizal untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka."Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Aksa Adyatama bin Muhammad Rizal Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Setelah semua selesai, tamu-tamu yang lain mulai berdatangan dan mencicipi hidangan. Rizal memotong dua ekor kambing untuk putranya di usia ke tujuh hari, juga mengundang hampir semua kenalan. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dan memperkenalkan sang buah hati.Syifa sendiri sejak siang berada di dalam kamar dan berbaring karena merasa lemas sembari mencoba memejamkan mata."Tamu udah ramai datang, ter

  • Om Sweet Om   Hai, Papa!

    Sedari tadi Rizal merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Rizal berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Sofyan. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Rizal serasa hendak melompat keluar. Sofyan menegur menantunya agar tetap tenang. "Duduk, Nak," tegur Sofyan sekali lagi. Rizal menoleh tanpa berucap, lalu duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Sofyan sembari menepuk bahu menantunya."Syifa kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Rizal merengek seper

  • Om Sweet Om   Kembali Mesra

    "Udah, ah!" Pelan Syifa mendorong bahu bidang milik suaminya. "Udah apa mau lagi?" bisik lelaki itu nakal. "Ih." Syifa mencubit pinggang Rizal, hingga membuat suaminya meringis kesakitan."KDRT. Aku laporin ntar baru tau rasa," goda Rizal."EGP!" Syifa menjawab dengan tak mau kalah. Mereka seperti dulu saat awal menikah, bercanda gara-gara hal kecil. Kadang marah bertengkar hingga beberapa hari."Kalau ngelawan suami, harus ada hukumannya."Rizal mulai melancarkan aksi. Betapa dia sangat merindukan istrinya dan ingin mendekap wanita itu sepanjang malam."Tapi aku gak mau," ucap Syifa dengan wajah masam."Kenapa kamu kabur?""Gak apa-apa," jawab Syifa jutek. "Kenapa kamu marah soal yang dipeluk itu?" pancing Rizal.Syifa membalikkan posisi tubuh sehingga memunggungi suaminya. Wanita itu merasa malu karena telah cemburu buta. Namun, dia tetap tak mau mengakuinya."Sayang." Rizal merengkuh tubuh istrinya dari belakang. "Aku cuma nyamperin mereka pas mau pulang. Sejak awal, Tiara suda

  • Om Sweet Om   Rencana Perjodohan

    "Ibu makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Syifa dengan sabar. "Saya masih kenyang."Tiara menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang, ke rumah kontrakan baru yang ditempati bersama dengan ayahnya. Semua biayanya masih ditanggung oleh pihak rumah sakit sampai wanita itu bisa berdiri karena kaki yang satunya bisa diselamatkan. "Nanti Ibu tambah sakit. Gimana mau pulih kalau gak ada nutrisi yang masuk." Mendengar itu, Tiara membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak." Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di teras depan. Si perawat berinisiatif untuk membawa Syifa keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung. Semangat wanita itu tiba-tiba saja hilang entah mengapa. Apalagi Rian memilih pulang untuk mengecek toko miliknya. "Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di

  • Om Sweet Om   Hati Seorang Wanita

    "Ibu pergi, Pak."Rizal tersentak saat Iroh mengatakan itu di telepon disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat akreditasi rumah sakit. Jadi dia tidak mungkin meninggalkannya. Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Rizal. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi Bibik ke pasar. Pas pulang Ibu udah nggak ada."Rizal berusaha menenangkan diri, lalu menelepon papa mertuanya."Syifa barusan sampai. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Rizal bernapas lega saat mendengar jawaban Sofyan. Lelaki itu meminta untuk disambungkan dengan istrinya, tetapi mertuanya itu menolak. "Syifa belum mau ngomong sama kamu. Kalian berantem?" tanya Sofyan. Rizal menceritakan kepada mertuanya tentang kejadian dua hari lalu. Tidak semua dia sampaikan, beberapa disaring agar tak salah paham. Sementara itu, Sofyan dengan sabar mendengarkan dan mengomentari dengan bijak apa yang disampaikan oleh menantunya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status