Ketukan di pintu membuat Tania tersadar dari tidurnya. Dia menggeliat malas.
"Taniaaaa ... ini Tante."
Ovi mengetuk pintu pelan. Sedari tadi dia menunggu di luar tapi belum ada jawaban. Padahal mereka sudah ditunggu untuk dirias untuk acara resepsi.
Mendengar suara ketukan, Tania membuka mata. Dia terbangun dengan kepala yang terasa berat. Wanita itu tiba-tiba tersadar kalau ada yang memeluknya dari belakang, padahal rasanya tadi tidur sendirian.
Tania membalikkan badan dan terkejut setengah mati.
"Om Nero!!"
Nero tersentak. Dia yang masih terlelap, terbangun dengan kaget.
"Ngapain om di kamarku?!" teriaknya.
"Om numpang istirahat."
Nero bergegas bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Nyawanya baru setengah terkumpul, kini harus menerima kemarahan dari istrinya.
"Bohong! Om sengaja ya cari kesempatan!" tuduh Tania menunjukkan kemarahan.
"Om gak bohong. Cuma ketiduran di sini," ucap lelaki itu membela diri.
Lama-lama Nero merasa kesal jika diperlakukan seperti itu. Dia juga menolak perjodohan mereka. Siapa juga mau menikahi gadis kecil yang manja. Sekalipun dia menyayangi Tania sebagai keponakan, tetapi tidak pernah bermimpi mempunyai istri remaja yang masih labil.
"Terus sengaja pake meluk-meluk aku?"
Tania menunjuk wajah Nero. Di matanya ada amarah yang berkilat, seperti hendak membakar lelaki yang ada di depannya.
"Semalaman om juga gak tidur. Apa salah?"
"Bohong. Om sengaja mau manfaatin aku!" geramnya.
"Tania! Om ini suami kamu. Lagian ini juga kamar kita. Om berhak tidur di sini."
Nero balas membentak. Mungkin sesekali, istrinya perlu ditegur. Terlalu manja membuatnya lupa menghormati orang yang lebih tua.
"Tapi aku gak mau tidur sama om!" ucap Tania sembari melipat tangan di depan dada.
Nero hanya bisa menggeleng karena tak habis pikir.
"Tania, kenapa kamu jadi begini kepadaku?" lirihnya sembari mengusap wajah.
Mereka saling mendiamkan hingga terdengar suara ketukan lagi. Nero bergegas membuka pintu dan tidak memerdulikan ocehan Tania.
"Maaf. Tante ganggu kalian, ya?"
Ovi tersenyum saat masuk dan mendapati bahwa suasana di kamar itu tidak nyaman.
"Tanteeee ..." Tania berlari memeluk Ovi dan menangis sesegukan.
"Kenapa, Sayang?" Ovi mengelus rambut keponakannya.
"Om Nero. Dia sengaja tidur di sini, terus peluk-peluk aku."
Ovi menatap Nero. Ada rasa kasihan di hatinya melihat Nero yang hanya terdiam. Dia melihat lelaki itu membuang pandangan dan mengusap tengkuk berulang kali. Pernikahan ini seperti simalakam bagi mereka. Tania juga tidak bisa disalahkan karena belum siap.
"Sudah jangan nangis. Ayo siap-siap. Kita mau make-up lagi buat acara nanti." Ovi menuntun Tania mengambil sendal.
"Nero sana ke kamar sebelah. Udah ditungguin." Ovi memberi kode.
Nero mengangguk lalu berjalan menuju keluar. Ketika tiba di depan pintu, lelaki itu tampak ragu sembari menatap Ovi.
"Awas, ya! Kalau om kalau ke sini lagi. Ini kamarku. Aku gak mau tidur bareng om!" ancamnya.
"Nak, kamu gak boleh bilang gitu. Nero itu suamimu," tegur Ovi.
"Tania gak mau tante," tangisnya makin menjadi.
"Sudah-sudah. Nero ayo cepat ke sana."
Ovi mengusir Nero dengan halus. Semakin lama mereka berada di sini, makan akan semakin panjang cerita.
Nero mengangguk patuh dan segera keluar kamar dengan langkah gontai. Terserah Tania maunya apa. Dia hanya melakukan apa yang diinginkan oleh Bram, sahabatnya.
* * *
Pesta berlangsung meriah. Bram mengundang ribuan orang. Nero juga. Sedangkan Tania tak mengundang siapa pun. Dia malu. Lagi pula pernikahan ini berlangsung setelah kelulusan sekolah. Jadi, dia sudah tidak peduli dengan teman-temannya.
Banyaknya tamu dan foto-foto membuat wajah Tania cemberut selama acara. Belum mata yang bengkak karena menangis sepanjang malam. Untung saja make-up bisa menutupinya sedikit.
Ovi juga mengarahkan agar Tania selalu tersenyum. Dia juga membetulkan letak tangan Nero di pinggang istrinya saat pemotretan berlangsung. Itu karena Tania tidak mau disentuh suaminya sama sekali.
"Ayo kita ke kamar. Bersihkan wajah kamu sama ganti baju." Ovi menggandeng tangan Tania.
Gak boleh gitu. Ini kan malam per--"
***
"Loh Nero? Kok kamu gak ke kamar?"
"Tania gak mau sekamar sama aku, Mas. Dia marah."
Bram tercengang dan mengangguk tanda mengerti.
"Lagian aku juga gak bakal ngelakuin itu sama dia. Mas ngertilah," ucap Nero sembari menatap Bram dengan lekat.
"Hem ..." Bram termenung lalu berpikir sejenak.
"Mas ini kayak gak tau aja. Tania benci sama aku." Nero tertunduk lesu.
"Kalau gitu kita cari kamar lain aja, ya. Mas udah pesan beberapa kamar. Semoga masih ada yang kosong."
Bram mengajak Nero menuju lobi. Mereka berjalan bersisian sembari berbincang. Ketika sudah mendapatkan kunci kamar, lelaki itu segera beristirahat dan tertidur dengan lelap.
* * *
Sementara itu di kamar yang lain. Tania termenung dan tidak bisa tidur sedari tadi. Pikirannya melayang entah ke mana. Ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Mengenai takdir yang hatus diterima, juga paksaan dari sang papa.
Tania merasa ini semua tidak adil. Selama ini dia sudah menuruti keinginan sang papa, dari pilihan sekolah, les, atau pergi dengan teman-temannya. Lalu, kini jodohnya juga harus dipilihkan.
Jangankan menjadi istri Nero, membayangkan pernikahan saja Tania merasa enggan. Dia masih ingin menikmati masa muda. Travelling, kuliah, kampus, dan juga memiliki pacar.
Tania bahkan belum sempat merasakan indahnya pacaran. Papanya selalu melarang dan mengawasi dengan ketat. Ke sekolah diantar dan dijemput oleh supir. Dia ingin pergi ke manapun harus meminta izin.
Sebenarnya ada satu teman satu angkatan yang Tania sukai, hanya berbeda kelas. Namanya Rizal. Namun, impian untuk bisa dekat dengan lelaki itu itu pupus sejak menikah.
Mereka sudah berencana akan tour ke Bali setelah kelulusan. Memanjakan diri sebelum ikut ujian masuk perguruan tinggi. Tania ingin masuk ke salah satu universitas terkenal. Walaupun tidak juara umum, tetapi nilainya di atas rata-rata. Dia ingin menjadi dokter, cita-cita mulia yang diidamkan sejak kecil.
Sekarang semua impiannya kandas. Itu karena Nero. Entah apa yang lelaki itu ucapkan, sehingga papa memaksanya menikah. Sedihnya, tante Ovi pun ikut menyetujui. Semua keluarga juga. Tidak ada satu pun yang berpihak kepadanya.
Saat melihat cara Nero memandangnya setelah akad nikah tadi, perut Tania langsung mual. Lelaki itu berkali-kali meliriknya dengan wajah memerah. Bahkan saat foto, Nero memeluk pinggangnya erat.
Tania ingin menepis tangan Nero, tetapi dilarang Ovi. Di depan tamu dia harus selalu tersenyum dan berpura-pura bahagia, padahal di dalam hatinya sakit.
Hidup, apakah memang harus begitu?
Tania sudah dewasa walaupun baru berusia delapan belas tahun. Gadis itu tahu apa artinya menikah. Mengingat itu, membuatnya menjadi semakin benci kepada Nero. Dia menduga bahwa lelaki itu juga mengincar perusahaan papa.
"Dasar licik," umpatnya.
Salahkah jika dia ingin menikah dengan orang yang benar-benar dicintai. Lalu menjalani pernikahan yang normal seperti pasangan yang lain, bukan karena terpaksa seperti sekarang.
"Tunggu saja. Aku akan membuatmu menyesal menikahiku, Om," batinnya.
Tania akan mencari cara agar mereka secepatnya berpisah.
Suara piring pecah dan teriakan membuat Nero terbangun. Lelaki itu langsung berlari ke bawah untuk melihat apa yang terjadi. Satu per satu ruangan dia datangi tetapi tidak ada apa-apa. Ketika suara isakan terdengar dari dapur, Nero bergegas ke belakang. Tangan Tania berlumuran darah. Tampak pisau yang jatuh, juga piring dan gelas yang pecah. Ada sayuran yang berserakan di lantai. "Kamu kenapa?" Nero menarik tangan Tania dan membersihkannya di wastafel. Namun, darahnya tetap saja mengucur dan tidak mau berhenti. Lukanya harus segera ditutup, jika tidak cairan merah itu tetap saja mengucur. "Luka," jawabnya sesegukan. "Bentar, om ambilin plester." Nero berlari menuju kotak obat. Mengambil perban dan plester. Membalut luka itu. Tidak terlalu dalam sebenarnya. Luka gores biasa, tetapi yang terluka ini anak manja. Jadi panjang ceritanya. "Sakit," isak Tania dengan bibir cemberut tak karuan. Dia persis seperti bocah
Suara piring pecah dan teriakan membuat Nero terbangun. Lelaki itu langsung berlari ke bawah untuk melihat apa yang terjadi. Satu per satu ruangan dia datangi tetapi tidak ada apa-apa. Ketika suara isakan terdengar dari dapur, Nero bergegas ke belakang. Tangan Tania berlumuran darah. Tampak pisau yang jatuh, juga piring dan gelas yang pecah. Ada sayuran yang berserakan di lantai. "Kamu kenapa?" Nero menarik tangan Tania dan membersihkannya di wastafel. Namun, darahnya tetap saja mengucur dan tidak mau berhenti. Lukanya harus segera ditutup, jika tidak cairan merah itu tetap saja mengucur. "Luka," jawabnya sesegukan. "Bentar, om ambilin plester." Nero berlari menuju kotak obat. Mengambil perban dan plester. Membalut luka itu. Tidak terlalu dalam sebenarnya. Luka gores biasa, tetapi yang terluka ini anak manja. Jadi panjang ceritanya. "Sakit," isak Tania dengan bibir cemberut tak karuan. Dia persis seperti bocah
Tania tampak ragu-ragu. Sedari tadi dia bolak-balik, ingin mendekati suaminya tetapi sungkan. Gadis itu mengusap telapak tangan berulang kali karena gugup. Nero nampak serius sekali mengerjakan laporan. Entah kenapa kali ini dia membawa semua alat kerja di ruang keluarga. Biasanya juga di dalam kamar. "Om." Tania mendekati Nero yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya. "Apa?" Nero menaikkan kacamata tetapi masih fokus menatap layar. Jika sudah banyak kerjaan begini, dia bisa lupa waktu. "Om," rengeknya lagi. Merasa diabaikan, Tania berkali-kali mencolek bahu bahu suaminya untuk meminta perhatian. "Apa?! Ngomong aja, gak usah manja." Nero masih mengetik sesuatu di keyboard. Dia sebenarnya tidak suka diganggu saat bekerja karena bisa hilang konsentrasi. Apalagi kalau pengganggunya cantik begini, bisa buyar semuanya.
"Pagi, Om." Tania tersenyum manis menyambut Nero yang sedang berjalan menuju dapur. Dia tampil berbeda kali ini, memakai dress selutut dan mengurai rambutnya. Pastinya cantik dan harum menggoda. Nero menatap meja makan dengan penuh takjub. Berbagai macam makanan tersedia. Pas sekali dengan perutnya yang memang sudah kelaparan. "Kamu yang masak?" Lelaki itu menunjuk satu per satu menu yang tersaji. "Bukan. Ini masakan Bibik," jawab Tania malu-malu. Memang dia tidak bisa memasak. Sejak ada Ijah urusan dapur menjadi lebih ringan. "Oh. Bik Ijah ke mana?" tanya Nero mencari sosok wanita paruh baya yang sedari tadi tak nampak. "Ke pasar. Belanja. Bahan makanan habis," jawab Tania santai. "Ayo, makan. Om pasti lapar, kan? Aku temenin." Tania duduk di sebelah Nero, lalu mengambilkan piring dan menyendok nasi goreng beserta lauknya.
Semenjak akur, mereka sering menghabiskan waktu bersama di saat senggang, juga di hari libur. Tania sudah tidak sungkan lagi bermanja atau meminta sesuatu kepada suaminya. Hubungan mereka sudah kembali normal seperti dulu, sekali pun belum dekat layaknya pasangan suami istri yang lain. Nero juga menuruti apa saja kemauan Tania asalkan dia sanggup. "Papa ke mana ya, Om? Kok hampir tiap bulan keluar negeri. Dulu-dulu gak gitu, deh." Tania bersandar di bahu Nero. Mereka berdua sedang menonton film di ruang keluarga. Lengan Nero melingkar di pinggangnya. Kalau orang lain yang melihat, pasti berpikir bahwa pasangan ini romantis sekali. "Ke Singapura," jawab Nero. "Masa?" "Kenapa, kangen sama papa ya?" Nero mengambil snack. Sedari tadi mulutnya tak berhenti mengunyah makanan. Gerah kalau Tania menempel terus. Dia tidak tahan sebenarnya, hanya berpur
Tania berjalan mondar-mandir sejak tadi. Entah apa yang dia bicarakan di telepon. "Halo Clara. Suara kamu gak jelas. Apaan?" bisiknya, mengecilkan suara karena mendengar langkah Nero yang memasuki rumah. "Tania, kamu gimana sama om Nero? Udah apa belum?" tanya suara di seberang sana. "Belum. Katanya kalau mau ngelakuin itu harus karena cinta, bukan terpaksa," jawabnya polos. Benarkan Nero bilang begitu? "Hah! Emang kamu cinta sama dia?" "Ya gak, lah. Masa aku cinta sama om-om." "Ih, tapi gak apa-apa juga kali. Om Nero kan ganteng. Pasti enak dipeluk sama dia." Clara meyakinkan. "Yeee ... kalau itu sih aku udah biasa. Tapi gak ada rasa apa-apa. Beda kalau waktu deket sama Rizal." Tanpa Tania sadari, ternyata Nero mencuri dengar pembicaraan mereka. Lelaki itu
Mereka duduk termenung di bandara. Pesawat yang ditumpangi Bram terlambat tiba dari jadwal yang telah ditetapkan. Sudah setengah jam mereka menunggu, belum ada tanda-tanda akan landing. "Kok lama, ya?" Tania mulai bosan. Dia mengetukan jari telunjuk di meja. Mereka memilih sebuah restoran sambil menunggu. "Iya, nih. Tumben maskapai segede itu bisa delay." Nero menyeruput kopi panasnya, lalu mengambil sebuah roti sebagai cemilan pengganjal perut. Mereka terdiam dalam bisu, sibuk dengan ponsel masing-masing. Beberapa kali Nero melirik orang-orang yang berjalan melewati tempat makan. Tania sendiri memilih untuk bermain game cacing yang sedang fenomenal. "Tania." Seorang memanggil namanya. Tania memalingkan wajah mendengar namanya disebut. Saat melihat siapa sosok yang menghampiri mereka, seketika pipinya memerah. Kenapa harus bertemu di sini, sih?
Tania mendorong tubuh Nero. Perlakuan lelaki itu membuatnya merasa tak nyaman. Tubuhnya meronta, belum bisa menerima sang suami. "Sayang," bisik Nero. Lelaki itu menatap sang istri dengan penuh hasrat dan menginginkannya sekarang. Saat ini juga. Apa dia salah? Tania terisak, itu membuat Nero urung. "Kok nangis?" Nero melepaskan rengkuhan, tidak tega juga kalau harus memaksa. Dia berbaring di samping istrinya, memandang wajah yang bersimbah air mata itu. "Om jahat," isak Tania. Dia membalik tubuh memunggungi lelaki itu. Nero merengkuh istrinya dari belakang. "Belum diapa-apain, kok." Nero memeluk Tania dengan lembut lalu mengusap kepalanya. Sesekali mengecup pucuknya dan mengacak rambut panjang itu. "Itu tangannya--" Tania melepaskan rengkuhan suaminya dan hendak bergeser menjauh. Namun, sebelum itu terjadi, Nero dengan sigap menariknya kembali. Kali ini posisi mereka berhadapan.