Semenjak akur, mereka sering menghabiskan waktu bersama di saat senggang, juga di hari libur. Tania sudah tidak sungkan lagi bermanja atau meminta sesuatu kepada suaminya.
Hubungan mereka sudah kembali normal seperti dulu, sekali pun belum dekat layaknya pasangan suami istri yang lain. Nero juga menuruti apa saja kemauan Tania asalkan dia sanggup.
"Papa ke mana ya, Om? Kok hampir tiap bulan keluar negeri. Dulu-dulu gak gitu, deh." Tania bersandar di bahu Nero.
Mereka berdua sedang menonton film di ruang keluarga. Lengan Nero melingkar di pinggangnya. Kalau orang lain yang melihat, pasti berpikir bahwa pasangan ini romantis sekali.
"Ke Singapura," jawab Nero.
"Masa?"
"Kenapa, kangen sama papa ya?"
Nero mengambil snack. Sedari tadi mulutnya tak berhenti mengunyah makanan. Gerah kalau Tania menempel terus. Dia tidak tahan sebenarnya, hanya berpura-pura cuek.
"Emangnya, Papa punya klien di sana?" Tania ikut mengambil snack di tangan Nero.
"Ya adalah," jawab Nero singkat.
"Apa Papa mau buka kantor cabang baru? Tapi kok ke luar negeri, sih?" Tania bertanya lagi.
"Gak. Ada urusan bisnis,"
Nero menatap layar televisi dengan intens. Sebenarnya dia tidak tahu acara apa yang sedang tayang, karena ini channel pilihan Tania. Lelaki itu juga tidak fokus. Matanya memang sedang menonton, tetapi pikirannya melayang entah ke mana.
"Apa jangan-jangan, Papa nikah lagi?" Tania menerka.
Beberapa bulan ini, perilaku Bram memang agak aneh, sering pergi dan tidak memberi tahu putrinya. Setiap ditanya, lelaki itu hanya menjawab ada urusan pekerjaan. Hal itu membuat Tania curiga. Walaupun mereka sudah tidak tinggal serumah, dia tetap bisa merasakan.
"Hus! Kamu kok ngomong gitu."
Nero mencubit hidung Tania. Gadis ini kalau bicara suka seenaknya saja. Setahunya, Bram sangat mencintai mendiang istrinya. Dia bahkan rela menyendiri bertahun-tahun hingga putrinya dewasa.
"Kali aja papa punya istri lagi. Kan aku gak setuju kalau papa nikah lagi."
Tania menepiskan tangan Nero karena tidak suka diperlakukan seperti itu. Dia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Padahal lelaki itu gemas ingin melakukan yang lain.
"Gak, lah. Papa pasti bilang kalau itu," jelasnya.
Tania mengubah posisi duduknya. Kali ini dia berhadapan dengan Nero dengan raut wajah yang serius.
"Om. Kalau di kantor, papa suka godain cewek-cewek, gak?"
Nero menatap Tania dengan lekat. Laki-laki itu menduga-duga apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya. Pertanyaannya aneh semua.
"Gak, tuh. Papa baik aja. Gak ganjen. Papa itu bertanggung jawab sama pekerjaan."
"Masa', sih?" tanya gadis itu karena masih tidak percaya.
Dulu Bram memang pernah mengenalkan beberapa wanita sebagai temannya. Namun, tidak ada satupun yang Tania yang suka. Mungkin karena itu sebabnya dia enggan menikah lagi.
Putrinya tidak pernah setuju. Kalau sampai itu terjadi, Tania mengancam akan lari dari rumah. Sekalipun mamanya pergi sejak dia masih kecil, gadis itu tidak mau ada wanita lain di kehidupan mereka.
"Kalau om sih, iya. Kalau ada yang cakep, om godain."
Nero sengaja mengatakan hal itu. Ingin tahu bagaimana reaksi istrinya kalau dia membicarakan wanita lain.
"Ih. Om genit. Udah punya istri juga."
Wajah Tania berubah kesal dengan bibir yang ditekuk. Dalam hati Nero membatin, ini anak cemberut terus. Kapan senyumnya.
"Habis istrinya suka marah-marah. Manja lagi, mending om nge-date sama cewek-cewek," jawabnya asal. Satu lagi, haknya sudah dua bulan tidak diberikan.
"Habisnya om ngeselin."
Panas hati Tania mendengarnya. Tak bisa membayangkan jika Nero berduaan dengan wanita lain. Kenapa sekarang dia jadi cemburu?
Nero memilih diam dan malas meladeni kalau istrinya sudah mulai berulah.
"Om." Tania melingkarkan tangan dan memeluk suaminya.
"Apa?"
Nero kembali fokus ke layar. Padahal di dalam sana, jantungnya berdebar tak karuan. Duduk berdekatan seperti itu justeru membuatnya semakin gerah.
"Kalau aku mau punya bayi ... harus itu dulu, ya?"
Nero tersedak mendengarnya. Tania cepat-cepat mengambikan minuman.
"Kok nanya gitu?" Kerut di dahi Nero tercetak jelas saat mendengar pertanyaan tadi.
"Om sama Tante Saskia dulu gitu juga?" tanya Tania sembari menatap Nero dengan pandangan yang ... entah.
"Duh, Gusti. Mau jawab apa?" lirihnya.
Nero menggusap tengkuknya berulang kali, bingung bagaimana menjelaskan hal ini kepada Tania. Mungkin lebih baik dia langsung mempraktikannya.
"Iya, itu juga," jawabnya dengan ekspresi datar.
Nero tidak mengerti jika harus menjelaskannya dengan kata-kata. Kalau eksekusi sudah jelas, dia jagonya.
"Tapi kok tante gak hamil?"
Tania bertanya sembari membuka bungkus snack yang masih ada. Lalu, dia makan dengan santai seperti tidak ada beban.
"Tante kan sakit. Jadi gak bisa hamil, Sayang."
Tania mengangguk, mengerti atau tidak yang penting Nero sudah menjawab dengan jujur.
"Om."
"Apa? Mau nanya apa lagi?"
"Katanya kalau lagi masa subur, walaupun cuma sekali ngelakuin, bisa hamil. Beneran?"
Nero menelan ludah, sembari berpikir kata-kata apa yang paling cocok untuk menjadi jawabannya.
"Iya, bisa jadi kalau rezeki. Kalau belum, ya diulang lagi."
Jantung Nero rasanya mau copot menjawab pertanyaan seperti itu.
"Yah. Kalau gak hamil juga, masa diulang-ulang terus?" Ada nada kecewa dalam suara Tania.
Nero tertegun beberapa saat dan tak dapat berucap. Lelaki itu hanya menyimak apa yang diucapkan istrinya sembari menjawab semampunya.
"Oh gitu. Eh, Om. Itu-- "
"Apa lagi?!"
Nero sudah tidak bisa berkonsentrasi menonton. Sejak tadi Tania membahas tentang itu, sehingga membuat pikirannya berkelana ke mana-mana.
"Katanya kalau itu--?" Tania melanjutkan ucapannya dengan berbisik karena merasa malu.
Nero terbelalak mendengarnya, lalu berbalik menghadap Tania dan memegang bahunya.
"Kata siapa? Dari tadi 'katanya' terus?"
Ini anak dengar dari mana juga. Nero sampai tak habis pikir dibuatnya.
"Clara." Wahai kau gadis lugu nan polos.
"Kamu mau ngapain nanya-nanya begituan?"
Wajah Nero panas. Kali ini dia benar-benar serius menanggapi pembicaraan Tania.
"Mau kasih papa cucu," lirihnya. Suaranya hampir tak terdengar karena tertunduk malu.
"Kenapa gitu?"
"Aku pengen kuliah."
Air mata Tania mulai menetes. Itu berarti drama sinetron akan segera dimulai.
Nero mengusap wajah, lalu berkata, "Ini semua ulah papamu."
Nero merutuk dalam hati. Akibat permintaan Bram, semua menjadi kacau balau begini.
"Papa tetap gak boleh aku kuliah kalau aku belum kasih cucu."
Air mata Tania semakin berlinang. Dia terisak-isak sembari membersihkan hidung dengan tissue.
Nero menarik Tania ke dalam dekapan, berusaha untuk menenangkan dan memberikan kenyamanan. Dia mencoba mengerti posisi istrinya saat ini. Gadis itu butuh seseorang untuk mendengarkan perasaannya.
"Sudah jangan nangis. Nanti om coba bicara lagi. Papa memang gitu. Pelan-pelan, kamu yang sabar."
Nero berusaha membujuk dengan mendekap istrinya semakin erat. Tangannya mengusap helaian rambut halus itu dengan lembut.
"Tapi waktunya tinggal satu bulan lagi. Kalau telat daftar, tahun depan baru bisa kuliah."
"Kalau gitu setahun ini kamu bimbel aja dulu. Sambil bantuin om di kantor. Belajar apa gitu."
"Aku gak mau nerusin usaha papa. Aku gak suka," tolaknya.
"Tania. Kamu itu anak satu-satunya. Papa mau kamu yang jadi penerus. Tapi om yang harus ngajarin. Om gak ada maksud jahat mau ambil alih. Kamu jangan salah sangka."
Nero mencoba menjelaskan. Padahal sebenarnya Bram sedang sekarat dan mereka harus merahasiakan penyakitnya.
"Maaf, Om. Aku udah nuduh yang gak-gak."
Tania sedikit menyesal. Ternyata selama ini suaminya tak seburuk yang dikira.
"Om nikahin kamu atas permintaan papa. Awalnya juga nolak."
Nero masih mengusap rambut Tania. Kalau sudah begini istrinya kembali menjadi gadis kecilnya dulu.
"Om."
"Ya?"
"Gak apa-apa deh aku kasih papa cucu dulu. Asal tahun depan aku masuk FK UI. Boleh?"
"Yakin?"
"Iya." Tania mengangguk, menatap suaminya dengan penuh permohonan.
"Kamu mau itu sama aku?" Nero serasa ingin jungkir balik. Perutnya mendadak mulas.
"Asal om pelan-pelan." Tania menatapnya ragu.
"Maksudnya?" tanya Nero bingung.
"Kan aku--" Tania kembali berbisik. Kata-kata itu meluncur saja seperti tanpa ada beban.
Nero membuang pandangan.
"Tania, dengerin! Kalau pun kamu mau ngelakuinnya, harus dengan cinta. Gak boleh karena terpaksa."
"Tapi kan aku gak cinta sama om."
"Kenapa?" Alis Nero terangkat.
"Om kan udah tua."
"Itu lagi. Salahku apa juga?" rutuk Nero dalam hati.
Tiba-tiba saja Tania melepaskan pelukannya dan berjalan ke kamar. Nero termenung melihat sikap istrinya. Sungguh kali ini rasanya dia sudah benar-benar gila.
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan sederhana yang diadakan di sebuah daerah pinggiran ibu kota. Kedua pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Tiara cantik ya, Mas." Syifa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. "Akhirnya mereka menikah juga," kata Rizal. Matanya tak lepas menatap panggung di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Rizal dan Syifa memutuskan untuk datang ketika menerima undangan dari Tiara, yang dikirim ke alamat rumah sakit. Jarak yang cukup jauh tak menyurutkan niat mereka untuk pergi untuk menghargai tuan rumah. Syifa bahkan pergi ke butik untuk membeli sebuah dress sebagai hadiah untuk Tiara. Pasien spesial yang sempat membuatnya cemburu dan salah paham kepada Rizal. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah ba
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di kediaman orang tua Rizal untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka."Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Aksa Adyatama bin Muhammad Rizal Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Setelah semua selesai, tamu-tamu yang lain mulai berdatangan dan mencicipi hidangan. Rizal memotong dua ekor kambing untuk putranya di usia ke tujuh hari, juga mengundang hampir semua kenalan. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dan memperkenalkan sang buah hati.Syifa sendiri sejak siang berada di dalam kamar dan berbaring karena merasa lemas sembari mencoba memejamkan mata."Tamu udah ramai datang, ter
Sedari tadi Rizal merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Rizal berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Sofyan. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Rizal serasa hendak melompat keluar. Sofyan menegur menantunya agar tetap tenang. "Duduk, Nak," tegur Sofyan sekali lagi. Rizal menoleh tanpa berucap, lalu duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Sofyan sembari menepuk bahu menantunya."Syifa kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Rizal merengek seper
"Udah, ah!" Pelan Syifa mendorong bahu bidang milik suaminya. "Udah apa mau lagi?" bisik lelaki itu nakal. "Ih." Syifa mencubit pinggang Rizal, hingga membuat suaminya meringis kesakitan."KDRT. Aku laporin ntar baru tau rasa," goda Rizal."EGP!" Syifa menjawab dengan tak mau kalah. Mereka seperti dulu saat awal menikah, bercanda gara-gara hal kecil. Kadang marah bertengkar hingga beberapa hari."Kalau ngelawan suami, harus ada hukumannya."Rizal mulai melancarkan aksi. Betapa dia sangat merindukan istrinya dan ingin mendekap wanita itu sepanjang malam."Tapi aku gak mau," ucap Syifa dengan wajah masam."Kenapa kamu kabur?""Gak apa-apa," jawab Syifa jutek. "Kenapa kamu marah soal yang dipeluk itu?" pancing Rizal.Syifa membalikkan posisi tubuh sehingga memunggungi suaminya. Wanita itu merasa malu karena telah cemburu buta. Namun, dia tetap tak mau mengakuinya."Sayang." Rizal merengkuh tubuh istrinya dari belakang. "Aku cuma nyamperin mereka pas mau pulang. Sejak awal, Tiara suda
"Ibu makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Syifa dengan sabar. "Saya masih kenyang."Tiara menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang, ke rumah kontrakan baru yang ditempati bersama dengan ayahnya. Semua biayanya masih ditanggung oleh pihak rumah sakit sampai wanita itu bisa berdiri karena kaki yang satunya bisa diselamatkan. "Nanti Ibu tambah sakit. Gimana mau pulih kalau gak ada nutrisi yang masuk." Mendengar itu, Tiara membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak." Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di teras depan. Si perawat berinisiatif untuk membawa Syifa keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung. Semangat wanita itu tiba-tiba saja hilang entah mengapa. Apalagi Rian memilih pulang untuk mengecek toko miliknya. "Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di
"Ibu pergi, Pak."Rizal tersentak saat Iroh mengatakan itu di telepon disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat akreditasi rumah sakit. Jadi dia tidak mungkin meninggalkannya. Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Rizal. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi Bibik ke pasar. Pas pulang Ibu udah nggak ada."Rizal berusaha menenangkan diri, lalu menelepon papa mertuanya."Syifa barusan sampai. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Rizal bernapas lega saat mendengar jawaban Sofyan. Lelaki itu meminta untuk disambungkan dengan istrinya, tetapi mertuanya itu menolak. "Syifa belum mau ngomong sama kamu. Kalian berantem?" tanya Sofyan. Rizal menceritakan kepada mertuanya tentang kejadian dua hari lalu. Tidak semua dia sampaikan, beberapa disaring agar tak salah paham. Sementara itu, Sofyan dengan sabar mendengarkan dan mengomentari dengan bijak apa yang disampaikan oleh menantunya
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Bu?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster."Tiara tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Tiara diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Fauzan sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. "Sudah siap?" tanya Rahmat. "Itu ... Dokter Rizal belum datang," ucap Tiara jujur. Setidaknya dia ingin berterima kasih karena lelaki itu yang membawanya ke rumah s
"Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Rizal keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Rizal akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Pikiran Rizal berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Rizal berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Tiara yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Rizal datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang sedang terlelap tidur. Di tangannya terpasang infus yang berbalut perban. "Kok bisa?" Rizal bertanya."Diare. Nggak berhenti dari pagi. Dibawa ke sini." Syifa menjelaska
Tiara memandang wajah lelaki yang sedari tadi membantunya makan. Mereka masih canggung satu dengan yang lain. Setelah berjalan-jalan melihat gedung lama rumah sakit ini, mereka kembali ke kamar. Rian hendak berpamitan pulang, tetapi Rahmat menahannya. Lelaki itu malah diminta membantu menyuapkan Tiara makan, karena perawatnya hanya berjaga sampai pukul lima sore. "Enak?" tanya Rian gugup."Ya enaklah. Apalagi disupain sama orang yang disayang," ucap Rahmat menggoda.Tiara menatap ayahnya dengan kesal, tetapi tetap membuka muluit saat Rian kembali menyuapkan. Hingga satu porsi nasi beserta lauknya habis tak bersisa. "Alhamdulillah akhirnya anak ayah makannya banyak. Untung Rian datang ke sini. Bapak kebingungan gimana mau ngurus Tiara sendirian," curhat Rahmat."Saya punya toko sendiri, Pak. Jadi bisa ditinggal. Ada yang bantu ngawasin barang di sana," ucap Rian bangga. Lelaki itu tentu saja ingin menunjukkan kemapanannya sekarang, agar Tiara bisa kembali melihatnya."Kalau gitu Bapa