"Pagi, Om."
Tania tersenyum manis menyambut Nero yang sedang berjalan menuju dapur. Dia tampil berbeda kali ini, memakai dress selutut dan mengurai rambutnya. Pastinya cantik dan harum menggoda.
Nero menatap meja makan dengan penuh takjub. Berbagai macam makanan tersedia. Pas sekali dengan perutnya yang memang sudah kelaparan.
"Kamu yang masak?" Lelaki itu menunjuk satu per satu menu yang tersaji.
"Bukan. Ini masakan Bibik," jawab Tania malu-malu. Memang dia tidak bisa memasak. Sejak ada Ijah urusan dapur menjadi lebih ringan.
"Oh. Bik Ijah ke mana?" tanya Nero mencari sosok wanita paruh baya yang sedari tadi tak nampak.
"Ke pasar. Belanja. Bahan makanan habis," jawab Tania santai.
"Ayo, makan. Om pasti lapar, kan? Aku temenin."
Tania duduk di sebelah Nero, lalu mengambilkan piring dan menyendok nasi goreng beserta lauknya.
Melihat sikap istrinya yang manis, Nero menjadi curiga. Sebulan ini hubungan mereka mulai membaik. Komunikasi cukup lancar, tetapi Tania belum pernah bersikap seperti sekarang.
Apa ini karena ucapan papanya waktu itu? Apa yang direncanakan bocah ini? Nero mulai berfirasat sesuatu.
Melihat suaminya yang terdiam, Tania mulai bertanya. Gadis itu segera mengendalikan sikap dan berlaku anggun untuk memikat.
"Om gak suka, ya? Enak loh."
Senyum manis Tania membuat Nero terpana. Hingga membuat Jantung lelaki itu berdebar kencang.
"Suka kok. Enak ini!"
Nero mengambil nasi goreng dan menyuapnya banyak-banyak. Masakan Bik Ijah memang dahsyat. Berpuluh tahun di dapur, ilmunya sudah mumpuni.
"Tambah, Om. Minumnya?"
Tania mengambilkan segelas orange juice. Sewaktu meletakkan gelas di dekat Nero, dia sengaja menyentuhkan lengan sang suami dan mengusapnya pelan.
Nero menjadi gelagapan dan menelan ludah berkali-kali. Matanya menatap lekat sosok cantik yang begitu menggoda iman.
"Boleh." Nero mengangguk kaku dan menjadi salah tingkah.
"Hari ini, Om pulang jam berapa?" tanya Tania mesra. Tangannya masih mengelus lengan sang suami dengan manja.
Tangan Nero gemetaran saat mengambil air minum. Dia bahkan sempat tersedak karena gugup.
"Agak malam kayaknya. Ada meeting."
Nero semakin gelagapan. Apalagi tubuh Tania mulai merapat dan mereka bersentuhan. Mimpi apa dia semalam, pagi-pagi dapat rezeki nomplok. Dapat sarapan enak dan dielus sama istri.
"Nanti ketemu Papa, gak?"
Benar dugaan Nero. Ini pasti ada hubungannya dengan Bram.
"Iyalah. Kan sekantor."
"Om, bilangin lagi, ya. Siapa tau Papa berubah pikiran. Aku boleh kuliah tahun ini." Ternyata tersimpan misi dan bujuk rayu di balik ucapan gadis itu.
Nero mengumpat dalam hati. Anak dan papanya sama aja. Kalau Bram ngotot, dia yang disuruh membujuk. Kalau Tania yang merajuk, dia juga yang harus turun tangan.
"Nanti om bilang lagi. Semoga papa kamu mau." Nero meyendok kembali nasi ke piringnya. Kalau situasinya begini, makannya jadi lahap.
"Om baik, deh."
Tania semakin merapatkan pelukan. Tangannya melingkari pinggang Nero. Bibirnya berbisik, sehingga hampir menyentuh telinga lelaki itu.
Tuhan! Mau dong kayak begini setiap hari. Nero merapal doa dalam hati. Sementara itu, mulutnya tak berhenti mengunyah.
"Om. Hari ini aku mau jalan sama Clara. Boleh, ya?"
Tania meminta izin. Setiap akan kekuar rumah, dia pasti akan memberitahu suaminya, supaya tidak ditelepon terus.
"Mau ke mana?"
"Nge-mall. Sama nyobain ada restoran baru deket kampus yang aku bilang itu," jelas Tania. Dengan santainya dia menyandarkan kepala di bahu kokoh suaminya.
Nero semakin salah tingkah karena diperlakukan seperti itu.
"Oh. Jangan malem-malem pulangnya," pesan Nero.
"Sampai sore aja, kok. Clara itu mau cari kado buat pacarnya. Mau ulang tahun," jelas Tania.
"Clara punya pacar?" Nero menghentikan makan. Raut wajahnya tampak serius saat mendengarkan ucapan istrinya.
"Iya, dong. Temen-temen aku punya semua. Cuma aku yang belum."
Sepertinya Tania mulai lupa lagi kalau dia sudah bersuami.
"Kamu pengen pacaran?"
"Pengen. Tapi emang boleh?"
Nero menggeleng dan tersenyum pahit. Mungkin ini sudah takdir yang dijalaninya, harus menikahi seorang anak kecil yang belum beranjak dewasa.
"Kalau dibolehin pacaran, emang kamu mau ngapain?"
Nero menatap wajah indah yang sedang bersandar bahunya ini. Tania ingin mencurahkan isi hati dan dia siap mendengarkan. Bagi sebagian orang, berbagi cerita bisa sedikit melegakan perasaan.
"Kalau udah jadian, kan bisa jalan bareng. Curhat. Nge-date, kayak yang lain gitu."
Tania tertunduk malu ketika mengucapkan itu, lalu tersipu saat membayangkan memiliki seorang kekasih hati idamannya. Dia mengimpikan indahnya melewati hari, bersama seseorang yang dia cintai.
Nero menggeleng lagi. Tak habis pikir dengan pikiran istrinya.
"Emang ada yang naksir kamu? Manja begini."
Nero mencubit hidung bangir di sampingnya karena gemas. Dia ingin melakukan yang lain, tetapi tak punya nyali.
"Ada, dong. Kita udah mulai deket kok. Terus papa malah maksa aku nikah--"
Tania menutup mulut karena kelepasan bicara lagi. Dia tak mau rencana yang sudah disusun rapi menjadi gagal akibat ulah sendiri.
"Siapa?"
Nero benar-benar penasaran. Entah kenapa hatinya jadi panas. Ada rasa cemburu saat mendengar istrinya membicarakan lelaki lain. Beraninya mendekati istri orang. Lelaki itu sungguh tak terima. Tidak rela Tanianya direbut orang lain.
"Ah enggak kok, Om. Aku cuma bercanda."
Tania kembali menuang air dan menyodorkan kepada suaminya.
"Ini, tambah minumnya."
Senyum terukir di bibir Tania. Dalam hatinya terucap, semoga Nero tidak marah.
"Pacaran aja sama om. Kan suami kamu sendiri," usulnya.
Nero berpikir kenapa istrinya harus menjalin hubungan dengan lelaki lain. Kenapa tidak mencoba dengan dia saja. Mana tahu pernikahan mereka bisa berhasil seperti pasangan yang lain. Seperti dia dan Saskia dulu, saling mencintai.
"Tapi kan, aku gak suka sama Om."
"Kenapa?" Nero mengernyitkan dahi.
"Om udah tua," jawab Tania polos.
Nero menarik napas dalam. Kesabarannya benar-benar diuji kali ini. Lelaki itu menghabiskan makanannya dengan cepat, kemudian segera berangkat ke kantor dan meninggalkan istrinya begitu saja.
Tania yang tidak mengerti suasana hati suaminya, memilih untuk bersiap-siap pergi. Di benaknya sudah terbayang nanti keseruan bersama sahabatnya. Dia akan mencoba semua menu yang ada di restoran itu. Juga nonton film terbaru dan belanja sedikit untuk menghibur hatinya.
***
"Jadi, papa kamu bilang kayak gitu?"
Clara menekuk tangan di dagu. Menyimak dengan serius semua yang dikatakan Tania. Gadis itu ikut bingung, setelah sahabatnya menceritakan semua.
"Iya. Makanya aku bingung. Kalau pun boleh kuliah, ya tahun depan."
Tania mengaduk minuman, agar gulanya tercampur merata. Gadis itu menyesapnya perlahan, sembari mencocol kentang goreng dengan saus sambal. Dia sudah menceritakan semua. Clara lebih berpengalaman soal ini, karena dia sudah punya pacar.
"Kudu ngasih cucu, ya? Berarti harus berduaan dulu, dong," kata Clara dengan gayanya yang sangat dewasa.
"Ya itu. Gak mungkin aku sama Om Nero berduaan. Hiiiii ...."
Tania menggeleng, tak sanggup membayangkan jika itu terjadi antara dirinya dan Nero.
"Eh, tapi kalau kata Ana nih, ya. Kita tuh ngelakuin itu sekali aja udah bisa hamil, kok." Clara asyik berbicara sekaligus menyuap makanan.
"Masa?" Tania mulai serius menanggapi ucapan sahabatnya ini.
"Iya. Jadi kamu tuh cuma sekali aja sama Om Nero, terus bisa hamil. Tapi harus di masa subur kamu."
Clara menghabiskan makanannya dalam sekejap.
"Terus?"
Tania berhenti makan, merasa penasaran dengan penjelasan yang akan disampaikan oleh sahabatnya.
"Tapi gini, ya. Kita kan masih virgin ni, jadi kalau pertama kali ngelakuin itu katanya--."
Clara membisikkan sesuatu yang membuat Tania bergidik dan ketakutan. Tiba-tiba saja dia menjadi takut.
"Masa?"
"Iya. Eh, tapi kan Om Nero kan suami kamu. Sah aja kalau ngelakuin sama dia. Gak bakalan dosa. Lagian dia kan udah pernah nikah, bilang aja--" bisik Clara lagi. Gadis itu bergitu serius menjelaskan.
"Apa?" tanya Tania ketakutan.
Maklum saja, dua gadis ini anak pingitan. Jadi untuk tahu hal seperti itu, mereka harus mencuri kesempatan. Orang tua begitu ketat menjaga pergaulannnya karena tidak mau terjadi hal-hal yang buruk kepada mereka.
"Waktu aku tanya Ana, dia bilang--" Clara berbisik lagi lalu mengangkat tangan dengan gaya yang semakin sok tahu.
"Emang Ana pernah sama pacarnya?"
"Katanya sih udah. Tapi aku gak tanya lagi. Malu."
Clara memanggil waitress untuk menambah makanan dan minuman. Perbincangan mereka kali ini benar-benar serius sampai memakan waktu yang lama.
"Kamu juga?"
Clara menggeleng.
"Ya enggaklah. Bisa diusir papa kalau sampai begitu. Oh, no! Dosa. Lebih baik sama suami sendiri. Romantis."
Tania mengangguk tanda mengerti.
"Berarti kalau aku sama om Nero, jadi romantis gitu?"
"Iya, dong. Kalian kan udah sah. Kalau aku sih, udah dari pertama. Itu romantis banget, banyak bunga-bunga." Clara tersipu malu membayangkannya.
Tania mulai berpikir. Jika benar apa yang dikatakan Clara, rasanya tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
"Cuma sekali ya. Terus aku hamil. Melahirkan habis itu bisa kuliah habis itu. Simple."
Eh?
Semenjak akur, mereka sering menghabiskan waktu bersama di saat senggang, juga di hari libur. Tania sudah tidak sungkan lagi bermanja atau meminta sesuatu kepada suaminya. Hubungan mereka sudah kembali normal seperti dulu, sekali pun belum dekat layaknya pasangan suami istri yang lain. Nero juga menuruti apa saja kemauan Tania asalkan dia sanggup. "Papa ke mana ya, Om? Kok hampir tiap bulan keluar negeri. Dulu-dulu gak gitu, deh." Tania bersandar di bahu Nero. Mereka berdua sedang menonton film di ruang keluarga. Lengan Nero melingkar di pinggangnya. Kalau orang lain yang melihat, pasti berpikir bahwa pasangan ini romantis sekali. "Ke Singapura," jawab Nero. "Masa?" "Kenapa, kangen sama papa ya?" Nero mengambil snack. Sedari tadi mulutnya tak berhenti mengunyah makanan. Gerah kalau Tania menempel terus. Dia tidak tahan sebenarnya, hanya berpur
Tania berjalan mondar-mandir sejak tadi. Entah apa yang dia bicarakan di telepon. "Halo Clara. Suara kamu gak jelas. Apaan?" bisiknya, mengecilkan suara karena mendengar langkah Nero yang memasuki rumah. "Tania, kamu gimana sama om Nero? Udah apa belum?" tanya suara di seberang sana. "Belum. Katanya kalau mau ngelakuin itu harus karena cinta, bukan terpaksa," jawabnya polos. Benarkan Nero bilang begitu? "Hah! Emang kamu cinta sama dia?" "Ya gak, lah. Masa aku cinta sama om-om." "Ih, tapi gak apa-apa juga kali. Om Nero kan ganteng. Pasti enak dipeluk sama dia." Clara meyakinkan. "Yeee ... kalau itu sih aku udah biasa. Tapi gak ada rasa apa-apa. Beda kalau waktu deket sama Rizal." Tanpa Tania sadari, ternyata Nero mencuri dengar pembicaraan mereka. Lelaki itu
Mereka duduk termenung di bandara. Pesawat yang ditumpangi Bram terlambat tiba dari jadwal yang telah ditetapkan. Sudah setengah jam mereka menunggu, belum ada tanda-tanda akan landing. "Kok lama, ya?" Tania mulai bosan. Dia mengetukan jari telunjuk di meja. Mereka memilih sebuah restoran sambil menunggu. "Iya, nih. Tumben maskapai segede itu bisa delay." Nero menyeruput kopi panasnya, lalu mengambil sebuah roti sebagai cemilan pengganjal perut. Mereka terdiam dalam bisu, sibuk dengan ponsel masing-masing. Beberapa kali Nero melirik orang-orang yang berjalan melewati tempat makan. Tania sendiri memilih untuk bermain game cacing yang sedang fenomenal. "Tania." Seorang memanggil namanya. Tania memalingkan wajah mendengar namanya disebut. Saat melihat siapa sosok yang menghampiri mereka, seketika pipinya memerah. Kenapa harus bertemu di sini, sih?
Tania mendorong tubuh Nero. Perlakuan lelaki itu membuatnya merasa tak nyaman. Tubuhnya meronta, belum bisa menerima sang suami. "Sayang," bisik Nero. Lelaki itu menatap sang istri dengan penuh hasrat dan menginginkannya sekarang. Saat ini juga. Apa dia salah? Tania terisak, itu membuat Nero urung. "Kok nangis?" Nero melepaskan rengkuhan, tidak tega juga kalau harus memaksa. Dia berbaring di samping istrinya, memandang wajah yang bersimbah air mata itu. "Om jahat," isak Tania. Dia membalik tubuh memunggungi lelaki itu. Nero merengkuh istrinya dari belakang. "Belum diapa-apain, kok." Nero memeluk Tania dengan lembut lalu mengusap kepalanya. Sesekali mengecup pucuknya dan mengacak rambut panjang itu. "Itu tangannya--" Tania melepaskan rengkuhan suaminya dan hendak bergeser menjauh. Namun, sebelum itu terjadi, Nero dengan sigap menariknya kembali. Kali ini posisi mereka berhadapan.
Tania berteriak kegirangan saat membuka pintu. Wajah Ovi yang cantik muncul di depan rumah mereka. Di tangannya terdapat banyak oleh-oleh yang dibawa dari Malaysia. "Tante!" Tania mengambur ke dalam pelukan wanita itu. "Sayang!" Ovi membalasnya dengan penuh kerinduan. Bibirnya mencium pipi kiri dan kanan Tania dengan gemas. "Kok tante enggak bilang mau datang? Kan bisa aku jemput," tanya Tania. "Jangan, Sayang. Nanti kamu capek. Lagi program hamil jangan banyak keluar. Di rumah aja," bisik Ovi sembari mengedipkan mata. Tania tertegun saat mendengar itu. Siapa yang dimaksud Ovi sedang program hamil. Gadis itu mengabaikannya dan mengajak tantenya masuk. "Ayo masuk, Tante. Bik Ijah habis masak. Kita makan dulu." Mereka masuk ke rumah sembari bercerita. Segala macam barang bawaan Ovi diletakkan di ruang tamu. "Wah, k
Di antara rasa takut dan ragu Tania mengetuk pintu kamar Nero. Berharapa suaminy akan berbaik hati membukakan. Setelah mendengarkan nasehat Ovi tadi, pikirannya sedikit terbuka. Ada yang berdenyut di dalam hati Tania jika membayangkan Nero berduaan dengan dengan wanita lain. Rasanya dia tidak rela dan tidak ikhlas. Jadi, siap ataupun belum, malam ini dia akan mencoba, menjadi istri yang taat dengan memberikan hak suaminya. Sudah terlalu lama Nero menunggu, Tania merasa bersalah telah mengabaikan suaminya. "Om! Om Nero!" Dia mengetuk sekali lagi karena yang pertama tidak mendapatkan respons. Terdengar derit pintu yang membuat Tania kaget. Saking gugupnya, gadis itu sampai tersental dan menutup mulut. "Apa?" tanya lelaki itu dingin. Nero b
Tania berjalan terjingkat-jingkat menuju dapur. Ada bagian tubuhnya yang terasa perih. Nero memang nakal, dia sudah menyerah, tapi suaminya itu malah mengulangi sekali lagi. Bahkan sebelum tidur, Nero masih menciumnya mesra, seperti tidak puas saja. Ovi dan Ijah hanya tersenyum geli melihatnya. Mereka berbisik-bisik berdua karena merasa lucu melihat kelakuan Tania. "Hayoo kakinya kenapa?" tanya Ovi menggoda, saat Tania mendekati mereka. "Kaki-ku sa-kit ..." Dia membuang muka. Wajahnya merona. Sungguh memalukan, kenapa mereka malah melakukannya di saat banyak orang di rumah? Jadinya dia diledek terus. Ini gara-gara perbuatan Nero. Eh, tapi bukannya kemarin malam dia yang masuk ke kamar lelaki itu duluan dan menawarkan diri? Aduh, malunya. "Kaki mana yang sakit?" Ovi menggoda. Ijah memilih untuk diam dan menyiapkan sarapan. "Tanteee ..." rengeknya manja. Untung saja Nero tidak membuat tanda apa pun y
Tania menggeliat di atas kasur, rasanya nyaman sekali tertidur. Sampai dia merasa sesuatu yang berat menindih tubuhnya dan diserang dengan berbagai cumbuan. Siapa ini? "Bangun anak manja. Sudah sore." Nero menangkup pipi istrinya dengan kuat, sehingga bibir Tania terlihat mengerucut ke depan. Lucu, membuatnya tertawa geli. Apalagi matanya masih terpejam, antar sadar dan tidak. Nero kembali menghadiahkan sebuah kecupan lembut, membuat Tania akhirnya membuka mata. Dia tertunduk malu, saat mendapati wajah suaminya sedang menatap mesra. "Aku nggak tau kalau kamu udah pulang?" Dia mengerjapkan mata berkali-kali. "Kamu enak banget tidurnya. Kaya' kebo." Nero mencubit hidungnya gemas. Tangannya mengusap helaian rambut yang terjuntai di pelipis. Aroma harum tubuh istrinya membuatnya menginginkan kemesraan lagi. "Tante mana?" "Di rumah papa. Nginap di sana." "Katanya mau jalan sama aku sore ini." Dia bergerak menyandarkan tubuhnya di head board ranjang. Kepalanya pusing, berdenyut sej