LOGIN“Saya mau anter kamu pulang, Ivy!” Lexton terkekeh.
Namun, Ivy menolak. “Nggak usah, Kak! Turunin saya dulu, plis!”
Ivy mencoba keluar dari dekapan kuat Lexton, tetapi usahanya seperti menjaring angin. Sia-sia!
Lexton memutar bola matanya, tidak peduli dengan penolakan Ivy. Namun, ia menurunkan gadis muda itu di sofa.
Tanpa jeda, ia mengapit kedua lutut Ivy dengan kakinya, lalu menunduk dekat dengan wajah gadis manis nan lugu itu.
“Kau akan pulang denganku!” ujar Lexton menekankan setiap kata. “Sekarang, kita sarapan! Oke?”
Ivy mengangguk, menurut.
Namun, lagi-lagi ia berkomentar di luar topik pembicaraan. Katanya, “Aku nggak lihat kamu sikat gigi, tapi napasmu nggak bau!”
Lexton hampir menyembur karena tak bisa menahan tawanya. Ia membuang muka sambil tergelak.
Ketika ia berniat berbalik dan menatap Ivy, gadis itu ternyata bergerak maju, mendekati bibirnya dan mengendus. “Benar! Tidak ada bau mulut pagi hari. Cocok untuk ciuman selamat pagi!”
Lexton tertegun. Hampir lupa bagaimana proses bernapas yang seharusnya.
Kalau saja wajah manusia bisa berubah warna, mungkin saat ini ada rona merah muda di pipi Lexton.
Menutupi keterkejutannya, Lexton langsung berkata, “Ha! Anak kecil tahu apa soal ciuman?!”
“Tidak tahu sih!” aku Ivy tak berniat menutupi kelemahannya soal cinta. “Tapi bagaimana bisa nggak bau mulut?”
Lexton terkekeh geli, melihat Ivy justru penasaran dengan hal di luar tebakannya. Ia menjawab sembarangan. Katanya, “Aku pakai produk daily life Tanverra dong! Buat sikat gigi dan kumur!”
Tak Lexton duga, ucapannya itu mengundang tawa lepas Ivy yang membuatnya semakin terlihat manis. “Kau pasti staf Tanverra! Rajin sekali promosi!”
Lexton hanya tergelak. Ia tidak mengelak tebakan Ivy tapi juga tidak membenarkan. Bahwa dia adalah pemilik Tanverra sendiri, bukan sekedar staf.
“Sudah bercandanya! Ayo, sarapan!”
Lexton segera membawa Ivy turun untuk sarapan, kemudian mengantar gadis itu pulang.
Tidak disangka, rumah Ivy ternyata tidak sekecil dan sesederhana seperti penampilan gadis itu. Bahkan ada pintu gerbang yang menjagai sekitar rumah besar itu. Walau sayangnya, banyak tanaman liar merambati pagar sampai menutupi pandangan dari luar.
“Thanks, Kak!” Ivy tersenyum.
Terselip nada sedih dan kecewa dalam ucapan gadis berkacamata besar itu. “Maaf, aku banyak menyusahkanmu! Bye!”
Lexton mengangguk, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia sendiri tidak paham apa yang dirasakan tentang pertemuan singkat mereka.
Tidak menyusahkan, menurut Lexton.
Bahkan mungkin, ini adalah hari terbaiknya. Bisa tertawa sejak bangun tidur, seolah tidak punya masalah.
Ivy yang sudah masuk ke balik gerbang, seketika berbalik untuk melihat kalau-kalau Lexton masih di sana.
“Yah! Udah pergi!” keluh Ivy yang hanya bisa melihat belakang mobilnya. Semakin menjauh dan menghilang ditelan jarak.
Berjalan sekitar 5 menit, Ivy akhirnya tiba di rumah. Ia segera masuk dan berpikir untuk ke kamarnya. Padahal masih pagi, tetapi tubuh Ivy terasa berat.
‘Mungkin karena kejadian semalam,’ batin Ivy sambil menaiki tangga.
Kamarnya ada di lantai dua. Di sana ia dan sepupunya menempati kamar masing-masing. Om dan tantenya menempati kamar utama di lantai 1. Kamar yang dulu menjadi kamar orang tua Ivy.
Sekarang, mereka telah tiada. Tidak ada lagi kehangatan yang biasa diberikan rumah itu seperti saat mama dan papanya masih hidup.
“Ha! Baru pulang, lu? Gimana semalam enak pestanya?” tanya Jesslyn.
Sepupunya itu terlihat sudah bersandar di ambang pintu kamarnya sendiri, seolah memang sengaja mencegatnya.
‘Dih! Ngarep jawaban apa deh dia?!’ tukas Ivy dalam hati.
Namun, bibir Ivy melengkung naik. Tersenyum lebar, seolah semalam tidak terjadi apa-apa. Ia pun menjawab dengan penuh semangat.
“Nyenyak banget! Gue belum pernah tidur pulas kayak semalam!”
Melihat Ivy yang terlihat normal, Jesslyn merengut marah. ‘Ha?! Apa maksudnya ini?! Apa semalam mereka nggak jadi nidurin si Ivy?! Brengsek! Gue musti pastiin sama si Carlo!’
“We—well, bagus deh!” komentar Jesslyn.
Sepupu Ivy dari pihak almarhum ayahnya itu kemudian berbalik dan menutup pintu kamar begitu saja.
Alis Ivy naik satu. Heran dengan kelakuan Jesslyn.
Seharusnya ia melabraknya dan melaporkan semua perbuatan Jesslyn. Sayang, Ivy sama sekali tidak punya niat untuk merusak hubungan yang memang sudah hancur itu.
Bagi Ivy, keberadaan mereka di rumah ini sedikit menenangkannya. Om Steven, Tante Deborah dan Jesslyn.
Setidaknya Ivy bisa mendengar suara dapur yang sedang digunakan tantenya untuk memasak. Atau mendengarkan suara mesin air yang menyala otomatis karena ada yang sedang mandi atau mencuci sesuatu.
Setidaknya, ada yang menemaninya. Mungkin hanya itu yang membuat Ivy tidak kesepian, tanpa kedua orang tuanya.
Walau Ivy sadar, mereka mencari celah agar bisa mengklaim rumah besar milik orang tuanya itu dan menyingkirkan dia yang merupakan pewaris sah rumah itu. Ivy juga tahu mereka menggunakan uang asuransi kematian kedua orang tuanya untuk menjadi donatur di sekolah Arkamaya.
Masuk kamar, Ivy langsung mengunci pintu dan berbaring telentang. “Akhirnya sampai juga. Kasur kesayangan!”
Tengah menerawang mengamati langit-langit kamar, Ivy baru menyadari sesuatu yang kurang. “Astaga! Kenapa aku lupa minta nomor telepon kakak ganteng tadi!”
“Wow!”Semua mata memandangi gaun Ivy yang memang luar biasa cantik. Mendiang ibunda Ivy—Adelle Whitmore, adalah model yang cukup terkenal di luar negeri. Terutama di negara Nexare. Namun, ia melepas semua itu demi mengikuti ayah Ivy—Vincent Adinata kembali ke tanah air Sundhara.“Ew! Please lah!” Mereka langsung kecewa begitu melihat Ivy.“Seenggaknya lu tuh pake bedak, Nerd!” tukas yang lain. “Lepas kacamata juga!”Kekehan geli mengelilingi Ivy. “Baju udah bagus banget, mukanya yang nggak dipermak!”Jesslyn sedikit iri dengan gaun itu. Ia tidak tahu kalau Ivy punya gaun secantik itu. ‘Kalau gue yang pakai, pasti lebih bagus!’Ivy tak peduli dengan omongan mereka. Yang penting ia datang sesuai aturan. Baginya itu cukup. Ia duduk di meja yang sudah diatur sesuai dengan nama. Menyebalkannya Ivy duduk di samping lelaki bernama Carlo. Karena nama lengkapnya Herace Carlo Omar, ia jadi berdampingan dengan Ivy.Ivy tahu, Carlo adalah kekasih dari Jemima Andhara, anak donatur kedua, yang
“Happy belated birthday, Iv!”6 hari lalu, tepatnya tanggal 9 September, Ivy Adinata resmi berusia 19 tahun. Air mata Ivy semakin tumpah tak keruan, karena ulah Lexton. “Atas dasar apa coba, kakak ngerayain ulang tahunku?”Lexton terkekeh. ‘Sambil nangis aja masih bisa komentar. Lucu amat botol yakult ini!’“Memang harus ada alasannya?” tanya Lexton sambil mencubit pipi gadis itu. “Aku tahu ulang tahunmu, ya kurayakan. Simple.”“Tapi kita kan baru kenal!”Ucapan Ivy seolah menarik Lexton pada kenyataan. Ia sendiri tidak paham kenapa saat mendengar kabar dari Samantha, tanpa pikir panjang langsung pergi ke rumah Ivy. Lexton mengesampingkan ketidaktahuannya. Ia mengangkat bahu sambil berkata, “Well, kalau memang butuh alasan, mungkin karena aku merasa bersalah.” “Bersalah? Karena?” tanya Ivy bingung. “Karena kartu namaku, kamu jadi mengalami hari yang buruk.”Ivy langsung menyeka air matanya. Membuat Lexton merasa bersalah, Ivy tidak suka itu. Dengan tegas ia berkata, “Nggak! Itu s
“Nah loh!”Beberapa mahasiswa mulai tertarik untuk melihat kelanjutan nasib Ivy—si ‘nerd’. Mereka tak lagi berbisik, menyuarakan pikiran.“Samantha pasti ngamuk nih!”“Mati lu, Nerd! Bisa dipenjara nyolong kartu nama Lexton Tan dari Samantha!”Ivy yang mendengar itu pun mulai panik. Ia tak menyangka kalau keponakan yang dia maksud adalah Samantha.Dari banyak omongan orang, Ivy tahu kalau Samantha bukan anak yang mudah didekati. Tentu saja, bukan karena Samantha gadis aneh seperti Ivy, tetapi karena dia tidak mau berteman dengan siapapun. Namun, Ivy tidak merasa ia perlu takut pada Samantha. Ia tidak berbuat kesalahan. “Gue nggak nyolong kartu nama itu, Samantha!” tegas Ivy sekali lagi. Kali ini ia menatap dalam-dalam ke arah Samantha. “Gue berani sumpah!”Sementara itu, Samantha sendiri merasa geram. Wajahnya yang sudah jutek karena selalu diam dan berkutat dengan pikirannya sendiri, semakin terlihat menyeramkan.Tidak ada yang tahu kalau dalam hati, Samantha sedang merutuki Lexton
“Oi, Nerd! Cariin tanda tangan kakak tingkat di BEM dong!”“Sekalian gue!”Semester pertama dimulai dengan kegiatan pengenalan kampus dan atributnya. Universitas Arkamaya menyelenggarakan masa orientasi hanya dalam 1 hari. Tugasnya pun hanya mengumpulkan 30 tanda tangan kakak tingkat mereka. Tidak harus yang berada dalam organisasi.Ivy menatap beberapa teman kuliahnya yang sudah mulai menumpuk buku mereka. Entah apa mereka ini masih bisa disebut teman. “5 aja. Kalau kebanyakan, kalian kena sendiri!” Ivy memperingatkan, demi kebaikan mereka. Yang lain langsung berdecak kesal. “Ck! Bener juga lu, Nerd!”Tanpa menunggu lagi, Ivy segera membawa 4 buku mereka. 5 termasuk miliknya. Ivy sibuk mencari kakak tingkat ke segala penjuru. Tentu saja, ia meminta 5 kali tanda tangan pada setiap orang. “Kamu bawa 5 buku?” tanya seorang kakak tingkat. Di lihat dari badge yang ada di dada kirinya, kakak tingkat adalah salah satu anggota eksekutif organisasi kemahasiswaan. Namanya Henoch F.T.Enta
“20 tahun?!”Ivy terkesiap ketika selesai menghitung jarak usia yang membentang jauh. Lexton hampir tersedak karena tak menyangka Ivy akan sekaget itu. Namun, percakapan mereka terhenti karena ponsel Lexton yang berdering lembut. Lexton mengangkat tangan ke arah Ivy, meminta waktu sesaat untuk menerima panggilan itu. Sementara menunggu, Ivy masih dalam mode tercengang. Ia tak menyangka, lelaki berusia 38 tahun itu memiliki wajah yang tidak sesuai dengan umurnya. Ketika kenyataan itu akhirnya Ivy terima, ia pun hanya bisa menghembuskan napas pasrah. Bahunya terlihat turun, seolah menunjukkan level semangat yang ia miliki.Ia memutuskan untuk pergi. ‘Ah! Mending aku balik ke antrian. Kalau di sini aku—’Pikiran Ivy terhenti ketika tubuhnya tiba-tiba oleng. Seseorang sengaja menabraknya. “Uwah!” Karena sedang linglung, Ivy tak bisa menjaga keseimbangan. Buk!Ivy mendarat sempurna di dada Lexton. Untung saja, Lexton mendengar jeritan kecil Ivy dan segera berbalik untuk menjadi banta
“Ya elah! Dia lagi, dia lagi!”“Buset! Kirain udah mati Si Nerd!”Suara sumbang dan cekikikan itu ditujukan pada Ivy.Libur panjang masih tersisa 1 minggu lagi, sebelum perkuliahan dimulai. Namun, ia harus ke kampus hari ini, gara-gara ulah Jesslyn. Sepupunya itu mencabut aliran listrik dari jaringan internet di rumah saat Ivy tengah sibuk memilih jadwal kelas. Akhirnya, Ivy malah tidak mendapatkan kelas yang paling penting untuk semester 1 nanti. “Oi, Nerd!” teriak salah satu teman SMA Ivy. “Ambil kuliah apa lu?!”Mereka pasti melanjutkan jenjang ke Universitas Arkamaya. Sekitar 98% murid dari SMA Ivy memang tidak berniat melanjutkan pendidikan di luar instansi milik Yayasan Arkamaya Foundation.Universitas Arkamaya merupakan bagian dari yayasan Arkamaya Foundation yang menaungi seluruh jenjang sekolah mulai dari penitipan anak sampai universitas. Yayasan mereka bahkan selalu mengutamakan lulusan Arkamaya untuk bekerja di sana. Oleh karena itu, kebanyakan para murid sudah saling k







