Apa yang terjadi sebenarnya, antara aku dan Om Tom? Kenapa dia … Kenapa dia menyentuhkan jari telunjuknya padaku? Kenapa tangannya menyentuh jemariku? Dan saat aku merasa semuanya sedang tidak masuk akal, kutarik kembali tangan ku lalu berdiri.
“Aku mau ke toilet.” Semua mendongak memandangku yang sekarang berdiri lalu ke toilet perempuan. Aku bercermin, bertanya, “Ini tidak mungkin. Aku menciumnya lalu dia menciumku, sekarang apa perasaan ku terbalas?” Pertanyaan itu terus menggema dalam kepala ku, ku tarik nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya. “Tenang, Lisa.” Kurapikan rambutku lalu keluar dari kamar kecil. Tubuh ku terhentak saat berada di luar dan menemukan Lucas. “Lisa.” Aku tidak tahu bagaimana raut muka ku saat itu tapi aku tahu Lucas sedang berada dalam posisi yang begitu hancur. Dia berjalan lalu menjatuhkan pelukannya kepadaku. “Lu … Lucas kau, hmmm.” “Terima kasih sudah ada bersama kami.” Kuperbaiki kacamata ku yang molor lalu mencoba bersikap tenang, walau kepalaku terasa akan pecah. “Aku hanya mencoba tetap ada untuk kalian. Bukankah kita keluarga?” Aku melepaskan pelukan Lukas yang semakin erat dan membuatku merasa sedikit sesak. “Ya karena itulah aku berterima kasih.” Dia mengigit bibir bawahnya lalu bersandar di dinding, aku tahu bahwa dia sedang frustrasi, bahkan lebih frustasi dari ayahnya. Aku bingung, tidak tahu bagaimana menunjukkan empati padanya, selain mendekat dan kembali memeluknya pelan. “Semuanya akan baik-baik saja, Lucas.” Aku berbisik kepadanya. Lalu tanganku menggenggam jemarinya, perlahan kulepas pelukan ku tetapi saat itu dia kembali menarik ku masuk ke dalam pelukannya yang hangat. Wajahnya jatuh ke bahuku yang lebih pendek darinya. Kedua tangannya berada di punggungku, begitu erat memelukku, dan telinga ku mendengar isakannya. “Aku sangat menyayangi ibuku … Apa yang akan terjadi setelah ini pada keluarga ku … katakan Lisa, apa … apa kau akan bersama kami? Lisa … aku tidak ingin ibuku meninggalkan kami.” Aku menelan saliva, mencoba membalas pelukannya yang erat, bibirku menganga tipis, dan benakku merasa penat serta bingung bagaimana caraku merespon dengan kata. Aku merasakan pelukannya yang masih hangat, sekali lagi kuteguk saliva ku dan berkata pelan-pelan, “Aku akan selalu di sini, Lucas.” …. Senyap, tak ada apa pun, selain pelukan Lucas dan untuk sesaat semuanya terasa tenang. “Ehm.” Ku dorong secepat mungkin tubuh Lucas ke dinding dan menoleh, melihat ayah sudah berdiri di sudut, aku yakin sudah sejak tadi dia memperhatikan. Dia senang sekali ikut campur. “Ayahmu mencarimu, Lucas. Dan aku mencari putriku.” Kami menatap ayah, Lucas menyeka air matanya dan mengangguk, tanpa mengatakan apa pun dia meninggalkan kami. Sementara Ayah, dia membelalakkan matanya padaku, melotot seolah bola mata itu akan jatuh dari kelopaknya. “Ada apa dengan mu, Lisa? Atau ada apa dengan kalian? Apa … astaga sejak kapan kalian ….?” “Apa sih Ayah.” Aku mencoba menyembunyikan pipi ku yang merona tapi aku tahu ayah sudah menangkap basah aku. “Sudahlah, lagi pula jika kalian saling suka, apa masalahnya.” “Diam!” Aku menunjuk-nunjuknya, “Aku dan Lucas, tidak ada apa-apa, okey, Ayah?’ Ayah mengangkat tangannya, sambil berkata dengan senyum, “Okey-okey, kamu tidak perlu nunjuk-nunjuk ayah kayak gitu, Lisa.” Aku menjatuhkan telunjukku dan menghela nafas panjang, mencoba rileks sampai ayah berkata lagi, “Rahasia kalian aman.” “AYAH!” Aku melototinya dan dia tersenyum, oh tersenyum di masa suram untuk keluarga Archer, yang benar saja, ayah. Lalu kami menuju ke ruangan tunggu, lagi. Bersama dengan keluarga Archer yang lainnya, Annie, Lucas, dan Om Tom. Saat itu, aku sudah melihat makanan bungkus untuk kami, pasti dari Lucas, yang tadi sempat keluar ke kantin. Seharian, tugasku hanya menenangkan Archer bersaudara, Annie dan Lucas, sementara ayah terus menenangkan sahabatnya, Om Tom. Lalu kami berpamitan. “Kami akan kembali, aku harap Amanda segera pulih, kalian juga yang sabar ya, Annie, Lucas.” Ayah menepuk lengan Annie dan Lucas, sementara aku hanya tersenyum getir. “Terima kasih.” Ayah dan sahabatnya saling berpelukan, lalu tibalah giliran ku, saat Tom, Om Tom, sekarang memajukan tubuhnya, melangkahkan kakinya setelah langkah tongkatnya. Dia menyentuh lenganku, lalu mencondongkan wajahnya, tak menatap ku, tetapi kemudian dia mengecup kedua pipi ku bergiliran. Lalu berbisik di telinga kiri ku dengan nafas yang begitu jelas. “Sampai jumpa, Lisa.” Aku tak bergerak, sedikit pun, sampai dia menjauhkan tubuhnya dariku. Dan kami pergi, aku dan ayah meninggalkan rumah sakit. Seperti biasa, ayah selalu mengeluarkan isi kepalanya di dalam mobil, semua yang ada di benaknya di lontarkan begitu jelas. Dia bahkan menyinggung tentangku dan Lucas, kini aku tidak bisa bebasr dari ayah yang terus menggodaku tentang Lucas. Saat Ayah terus melontarkan isi kepalanya, aku menyandarkan kepala ku di jendela mobil, menatap keluar dan merasakan suasana malam yang kelam, dengan isi kepala mengenai semua yang terjadi. Sekarang aku tahu satu hal, Lucas Archer putra sulung Thomas Archer, menyukai ku. Dan aku bisa pastikan bahwa aku menyukai Thomas Archer. Dan kami berada di posisi yang rumit. Ah sialan, mereka anak dan ayah sangat menyulitkan ku.“Aku betul-betul tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku kehilangan Lisa, sama seperti aku kehilangan Hitch.” Ayah baru saja bangun dari pingsan, sementara aku duduk berselimut di sofa di ruangan utama keluarga Archer setelah semua tamu pergi. Annie juga terus meminta maaf kepadaku karena tidak bisa membantuku saat aku akan jatuh. “Semuanya baik-baik saja sekarang, Lisa juga tidak apa-apa.” “Terima kasih padamu, Tom.” Ayah menoleh pada Om Tom yang sekarang duduk di sampingnya, mencoba menenangkan ayah. “Aku Tidka tahu apa yang akan terjadi tanpa mu.” “Kau tidak perlu berlebihan.” Amanda, aku cukup terkejut saat melihatnya mengarahkan kursi roda ke arah kami, aku tidak berekspektasi akan kondisinya yang terlihat lebih buruk dari yang kubayangkan. “Lisa, bagaimana perasaan mu, Nak?” Dia mengarahkan kursi rodanya ke arahku, dan aku hanya tersenyum getir kepadanya. “Aku merasa baikan, Tante.” “Kalau begitu kalian berdua menginap di sini saja. Kalian pasti shock berat.” “Ide bag
LISA, APA KAU DATANG KE PERAYAAN SELAMAT DATANG IBUKU? Tidak, aku tidak akan datang jika ayah tidak memaksa. Pesan Lucas masih belum kubalas. Bahkan saat belum kubalas, dia menambah jumlah teks pesannya. AKU MENUNGGU MU SORE INI, SAMPAI JUMPA Aku rasanya hanya ingin berbaring sendirian sepanjang hari lalu tidur empat hari tanpa gangguan siapa pun. Entah kenapa Pak Richard yang membahas mengenai Thomas Archer membuat kepala ku merasa sakit. Bagaimana jika dia mengatakan sesuatu kepada seseorang? Tentang lukisan ku, gambarku mengenai Om Tom. Tamatlah riwayatku. Kujatuhkan kepalaku ke bantal dan berguling-guling tidak karuan, sudah jam dua siang dan ayah akan berangkat jam 4 sore. Meletihkan. Tidak ada pilihan selain bangkit dari tidur dan memilih-milih gaun yang akan kuganakan, merah? Terlalu mencolok di pesta orang lain, biru? Terlalu kasual, merah jambu? Ku lempar semua gaun yang kutemukan yang kurasa tidak cocok untukku dan sekarang aku menemukan gaun itu. Hijau. Bukan warna k
Aku kelelahan, tanganku sudah sangat pegal, arang hitam yang aku gunakan untuk menggambar kini sudah pupus dan aku tidak punya arang tambahan lagi. “Sepertinya kau sudah kalah.” “Sialan.” Aku meringis dan menoleh ke belakang, ke arah suara yang baru saja membisikkan ku ucapan penurun semangat. “Lumayan.” Dia memuji dengan kedua tangan di dalam saku celana. “Aku sudah selesai, akan aku lanjutkan besok, Pak Richard.” Aku berdiri dan menarik kanvas yang berada di tiang gambar. “Well, aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Lisa.” Aku membersihkan tanganku di wastafel sambil berkata, “Katakan saja.” “Kau tidak akan menjadi perwakilan galeri kita di festival tahun ini.” Aku terhentak, lagi. Kumatikan kerang air dan berkata, “Tidak peduli.” Aku melangkah pergi, hendak pergi lalu kembali ke sana, ke hadapan Pak Richard karena sebenarnya, aku peduli. “Siapa kalau bukan aku?” Aku bisa merasakan ketegangan yang diberikan Pak Richard di hadapan ku, dia sedikit ragu tetapi tetap mengatakann
POV 3 TOM Suasana rumah sakit yang mencekam, detik demi detik, semuanya seolah mencekik Thomas Archer di tempat duduknya. Dia memandang putranya yang bersandar frustasi di tempat duduknya. Lalu, dia memandang Annie yang bersandar di bahu kakaknya. “Ayah akan tetap berada di sini. Kalian pulang lah.” Dia berdiri dari duduknya dan mendekat ke arah anak-anaknya yang tidak membalas apa yang dia katakan. “Lucas, bawa adikmu pulang.” “Tidak.” Lucas menjawab tegas, “Annie mungkin bisa pulang, tapi aku tidak mau. Aku tidak akan meninggalkan ibu.” “Aku juga tidak ingin pergi.” Annie menyahut dan mengangkat kepalanya dari bahu Lucas. “Ibu kalian akan baik-baik saja, dan dia pasti tidak ingin kalian terlihat lelah saat dia bangun. Jadi sekarang, berdirilah dan pulang.” Annie dan Lucas tidak menjawab, mereka hanya menatap Tom lalu mengatakan keinginan ayah mereka untuk segera pulang, sementara Tom sendiri, dia duduk menjatuhkan tubuhnya di kursi panjang rumah sakit, meringkuk dan tak bisa
Apa yang terjadi sebenarnya, antara aku dan Om Tom? Kenapa dia … Kenapa dia menyentuhkan jari telunjuknya padaku? Kenapa tangannya menyentuh jemariku? Dan saat aku merasa semuanya sedang tidak masuk akal, kutarik kembali tangan ku lalu berdiri. “Aku mau ke toilet.” Semua mendongak memandangku yang sekarang berdiri lalu ke toilet perempuan. Aku bercermin, bertanya, “Ini tidak mungkin. Aku menciumnya lalu dia menciumku, sekarang apa perasaan ku terbalas?” Pertanyaan itu terus menggema dalam kepala ku, ku tarik nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya. “Tenang, Lisa.” Kurapikan rambutku lalu keluar dari kamar kecil. Tubuh ku terhentak saat berada di luar dan menemukan Lucas. “Lisa.” Aku tidak tahu bagaimana raut muka ku saat itu tapi aku tahu Lucas sedang berada dalam posisi yang begitu hancur. Dia berjalan lalu menjatuhkan pelukannya kepadaku. “Lu … Lucas kau, hmmm.” “Terima kasih sudah ada bersama kami.” Kuperbaiki kacamata ku yang molor lalu mencoba bersikap tenang, walau kep
"Sangat malang, sungguh, kemarin Tom dan sekarang Amanda." Ayah menggelengkan kepalanya sembari menyantap makanan yang tersaji di atas meja. "Aku bahkan tidak bisa menikmati makanan ku sendiri. Kepalaku terus kepikiran dengan mereka." Ayah mendorong piringnya ke tengah meja dan bersandar di sandaran kursi. Aku diam saja, dan dia menoleh padaku, menatap ku lekat-lekat dan berkata, "Apa kau ada di sana? Saat Tom mendapatkan kabarnya?" "Hmm?" Ku tolehkan pandangan ku, dan mengangguk, "Iya, aku ada di ruangan Om Tom, kami sedang ...." Hampir aku mengeluarkan ucapan itu 'berciuman.' Sambil menyentuh bibir ku. Tapi syukurlah aku tidak mengatakan apa pun. "Pasti sangat mengejutkan untuk Tom." Dia berkali-kali menggeleng, menghela nafas panjang lalu menatap ku lagi dengan prihatin. "Apa aku punya kampus besok?" "Tidak." Aku menggeleng. "Baguslah kalau begitu, kita akan ke rumah sakit menjenguk Amanda." Dia mendorong kursinya dan rasanya aku tidak memiliki tenaga yang cukup kuat untuk