"Sangat malang, sungguh, kemarin Tom dan sekarang Amanda."
Ayah menggelengkan kepalanya sembari menyantap makanan yang tersaji di atas meja. "Aku bahkan tidak bisa menikmati makanan ku sendiri. Kepalaku terus kepikiran dengan mereka." Ayah mendorong piringnya ke tengah meja dan bersandar di sandaran kursi. Aku diam saja, dan dia menoleh padaku, menatap ku lekat-lekat dan berkata, "Apa kau ada di sana? Saat Tom mendapatkan kabarnya?" "Hmm?" Ku tolehkan pandangan ku, dan mengangguk, "Iya, aku ada di ruangan Om Tom, kami sedang ...." Hampir aku mengeluarkan ucapan itu 'berciuman.' Sambil menyentuh bibir ku. Tapi syukurlah aku tidak mengatakan apa pun. "Pasti sangat mengejutkan untuk Tom." Dia berkali-kali menggeleng, menghela nafas panjang lalu menatap ku lagi dengan prihatin. "Apa aku punya kampus besok?" "Tidak." Aku menggeleng. "Baguslah kalau begitu, kita akan ke rumah sakit menjenguk Amanda." Dia mendorong kursinya dan rasanya aku tidak memiliki tenaga yang cukup kuat untuk berdiri. "Aku tidak bisa." "Apa?" Bola matanya seolah akan keluar dari kelopaknya. "Ayah aku sudah mengalami hari yang berat, aku ingin istirahat atau tidur sampai tiga hari di rumah." Nada suara ku mengecil dan pelan, ayah kembali menarik kursinya dan menampilkan wajah rumit di hadapan ku. "Apa maksudmu Lisa? Tom adalah sahabat ayah, dan putrinya adalah sahabat mu, mereka sekarang berada dalam kondisi yang sangat buruk." Dia menghela nafas, menggelengkan kepalanya lagi dan lagi, "Istri Tom sedang berada di rumah sakit, kecelakaan, dia kritis dan kau ... Hmm, tidak ada penolakan, kita harus ke rumah sakit besok!" Andai saja dia tahu bahwa sebelum telpon Om Tom berdering aku dan Om Tom berciuman di ruangannya. Aku jelas-jelas berada dalam kondisi yang sulit. Pikiran ku telah bekerja terlalu lama hari ini, perasaan ku juga sedang tidak karuang, jadi setelah berdebat singkat dengan ayah ku sendiri, aku memilih untuk masuk ke dalam kamar dan berbaring berharap bahwa besok aku lenyap. Tetapi nyatanya aku tetap terbangun dan merasakan pagi yang membosankan. Aku sangat prihatin dengan Tante Amanda, bahkan sangat cemas, tapi kepala ku tidak berhenti memikirkan bagaimana Om Tom tiba-tiba mengecup bibir ku kemarin. Bagaimana caraku melupakannya? Apalagi hari ini ayah ingin aku bertemu dengan mereka. Tok Tok Tok .... "Lisa, Ayah tunggu di mobil." Menyebalkan, aku bahkan belum siap dengan diriku sendiri. Nafasku masih berat, tetapi aku lanjut berdiri, menyisir rambut ku, dan menatap cermin yang memperlihatkan betapa kusut diriku. "Baiklah, tenang Lisa. Semuanya baik-baik saja, dan anggap tidak ada yang terjadi kemarin." Aku tersenyum, mencoba meyakinkan diriku tapi, "Tetap saja, tidak bisa." Aku raih tas kecilku, keluar dari kamar dan berlari kecil menuruni anak tangga. Aku bahkan tidak peduli apakah rumah terkunci atau tidak saat aku menutup pintu dan masuk ke mobil ayah. Tidak lama setelahnya, kami melaju ke jalan raya dan mobil ayah berhenti di basement tempat parkir rumah sakit. Ayah tidak lupa membeli bingkisan, buah, bunga, coklat, bahkan aksesoris rumah seperti cangkir antik, astaga dia betul-betul menonjol dalam memperlihatkan kepeduliannya. Sementara aku, tanganku hanya menggema tas kecil dan ponsel, langkah ku pelan di belakang ayah dan akhirnya kami tiba di hadapan ruang rawat Tante Amanda. "Tom." "Martin." Aku terhentak, Om Tom tampak betul-betul berantakan, rambutnya bergelantungan di wajah, dan matanya memerah, bahkan sembab. Dia jatuh ke dalam pelukan ayah. Dan aku menatapnya pelan-pelan, dan terhentak saat Annie langsung datang ke arah ku memelukku dan menangis. "Aku ... Lisa, aku tidak tahu harus apa sekarang." Dia terisak, wajahnya jatuh ke bahuku, dan aku hanya membalas pelukannya. "Aku tidak tahu harus bagaimana jika terjadi sesuatu pada Ibu." "Tidak akan ada sesuatu yang buruk terjadi, Annie. Tante Amanda pasti bakal baik-baik saja." Aku mengelus punggungnya tetapi air matanya tetap deras, aku menuntunnya ke kursi tunggu dan duduk di sana. Mataku menatap Lucas yang tidak memiliki seseorang untuk dipeluk, dia hanya duduk di sudut, wajahnya pucat dan hanya bisa diam bersandar di dinding, berharap bahwa ibunya akan baik-baik saja. Annie menyandarkan kepalanya di bahuku, aku mencoba menenangkannya, tetapi jantungku, oh tidak terjadi lagi, jantungku berdetak kencang dan nafasku mulai tak karungan saat Tom memilih duduk di sampingku. Aku mencoba untuk tidak menoleh ke arahnya, tidak menatapnya sama sekali, dan fokus pada Annie yang membutuhkan sandaran. Ayah yang duduk di samping Tom terus bicara dan mencoba untuk memberikan penghiburan sampai-sampai aku sendiri merasa ayah bukannya memberi penghiburan dia malah terdengar berlebihan, aku tidak tahu apakah Om Tom akan merasa terhibur atau hanya merasa kesal. "Kita hanya perlu berpikir positif sekarang, Tom. Yakinlah bahwa semuanya akan baik-baik saja." Ayah yang sekali lagi mengulangi maksudnya dengan kata yang berbeda.. "Aku ... Aku tidak tahu bagaimana jika aku kehilangan Amanda." Kepala Om Tom bersandar di tembok, kedua tangannya terlentang di atas kursi panjang. Dan tanganku jatuh di tempat yang sama di mana tangan Om Tom berada. Masih ada jarak antara kelingking ku dan miliknya, hingga aku merasakan kelingking miliknya mengelus lembut punggung tanganku.“Aku betul-betul tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku kehilangan Lisa, sama seperti aku kehilangan Hitch.” Ayah baru saja bangun dari pingsan, sementara aku duduk berselimut di sofa di ruangan utama keluarga Archer setelah semua tamu pergi. Annie juga terus meminta maaf kepadaku karena tidak bisa membantuku saat aku akan jatuh. “Semuanya baik-baik saja sekarang, Lisa juga tidak apa-apa.” “Terima kasih padamu, Tom.” Ayah menoleh pada Om Tom yang sekarang duduk di sampingnya, mencoba menenangkan ayah. “Aku Tidka tahu apa yang akan terjadi tanpa mu.” “Kau tidak perlu berlebihan.” Amanda, aku cukup terkejut saat melihatnya mengarahkan kursi roda ke arah kami, aku tidak berekspektasi akan kondisinya yang terlihat lebih buruk dari yang kubayangkan. “Lisa, bagaimana perasaan mu, Nak?” Dia mengarahkan kursi rodanya ke arahku, dan aku hanya tersenyum getir kepadanya. “Aku merasa baikan, Tante.” “Kalau begitu kalian berdua menginap di sini saja. Kalian pasti shock berat.” “Ide bag
LISA, APA KAU DATANG KE PERAYAAN SELAMAT DATANG IBUKU? Tidak, aku tidak akan datang jika ayah tidak memaksa. Pesan Lucas masih belum kubalas. Bahkan saat belum kubalas, dia menambah jumlah teks pesannya. AKU MENUNGGU MU SORE INI, SAMPAI JUMPA Aku rasanya hanya ingin berbaring sendirian sepanjang hari lalu tidur empat hari tanpa gangguan siapa pun. Entah kenapa Pak Richard yang membahas mengenai Thomas Archer membuat kepala ku merasa sakit. Bagaimana jika dia mengatakan sesuatu kepada seseorang? Tentang lukisan ku, gambarku mengenai Om Tom. Tamatlah riwayatku. Kujatuhkan kepalaku ke bantal dan berguling-guling tidak karuan, sudah jam dua siang dan ayah akan berangkat jam 4 sore. Meletihkan. Tidak ada pilihan selain bangkit dari tidur dan memilih-milih gaun yang akan kuganakan, merah? Terlalu mencolok di pesta orang lain, biru? Terlalu kasual, merah jambu? Ku lempar semua gaun yang kutemukan yang kurasa tidak cocok untukku dan sekarang aku menemukan gaun itu. Hijau. Bukan warna k
Aku kelelahan, tanganku sudah sangat pegal, arang hitam yang aku gunakan untuk menggambar kini sudah pupus dan aku tidak punya arang tambahan lagi. “Sepertinya kau sudah kalah.” “Sialan.” Aku meringis dan menoleh ke belakang, ke arah suara yang baru saja membisikkan ku ucapan penurun semangat. “Lumayan.” Dia memuji dengan kedua tangan di dalam saku celana. “Aku sudah selesai, akan aku lanjutkan besok, Pak Richard.” Aku berdiri dan menarik kanvas yang berada di tiang gambar. “Well, aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Lisa.” Aku membersihkan tanganku di wastafel sambil berkata, “Katakan saja.” “Kau tidak akan menjadi perwakilan galeri kita di festival tahun ini.” Aku terhentak, lagi. Kumatikan kerang air dan berkata, “Tidak peduli.” Aku melangkah pergi, hendak pergi lalu kembali ke sana, ke hadapan Pak Richard karena sebenarnya, aku peduli. “Siapa kalau bukan aku?” Aku bisa merasakan ketegangan yang diberikan Pak Richard di hadapan ku, dia sedikit ragu tetapi tetap mengatakann
POV 3 TOM Suasana rumah sakit yang mencekam, detik demi detik, semuanya seolah mencekik Thomas Archer di tempat duduknya. Dia memandang putranya yang bersandar frustasi di tempat duduknya. Lalu, dia memandang Annie yang bersandar di bahu kakaknya. “Ayah akan tetap berada di sini. Kalian pulang lah.” Dia berdiri dari duduknya dan mendekat ke arah anak-anaknya yang tidak membalas apa yang dia katakan. “Lucas, bawa adikmu pulang.” “Tidak.” Lucas menjawab tegas, “Annie mungkin bisa pulang, tapi aku tidak mau. Aku tidak akan meninggalkan ibu.” “Aku juga tidak ingin pergi.” Annie menyahut dan mengangkat kepalanya dari bahu Lucas. “Ibu kalian akan baik-baik saja, dan dia pasti tidak ingin kalian terlihat lelah saat dia bangun. Jadi sekarang, berdirilah dan pulang.” Annie dan Lucas tidak menjawab, mereka hanya menatap Tom lalu mengatakan keinginan ayah mereka untuk segera pulang, sementara Tom sendiri, dia duduk menjatuhkan tubuhnya di kursi panjang rumah sakit, meringkuk dan tak bisa
Apa yang terjadi sebenarnya, antara aku dan Om Tom? Kenapa dia … Kenapa dia menyentuhkan jari telunjuknya padaku? Kenapa tangannya menyentuh jemariku? Dan saat aku merasa semuanya sedang tidak masuk akal, kutarik kembali tangan ku lalu berdiri. “Aku mau ke toilet.” Semua mendongak memandangku yang sekarang berdiri lalu ke toilet perempuan. Aku bercermin, bertanya, “Ini tidak mungkin. Aku menciumnya lalu dia menciumku, sekarang apa perasaan ku terbalas?” Pertanyaan itu terus menggema dalam kepala ku, ku tarik nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya. “Tenang, Lisa.” Kurapikan rambutku lalu keluar dari kamar kecil. Tubuh ku terhentak saat berada di luar dan menemukan Lucas. “Lisa.” Aku tidak tahu bagaimana raut muka ku saat itu tapi aku tahu Lucas sedang berada dalam posisi yang begitu hancur. Dia berjalan lalu menjatuhkan pelukannya kepadaku. “Lu … Lucas kau, hmmm.” “Terima kasih sudah ada bersama kami.” Kuperbaiki kacamata ku yang molor lalu mencoba bersikap tenang, walau kep
"Sangat malang, sungguh, kemarin Tom dan sekarang Amanda." Ayah menggelengkan kepalanya sembari menyantap makanan yang tersaji di atas meja. "Aku bahkan tidak bisa menikmati makanan ku sendiri. Kepalaku terus kepikiran dengan mereka." Ayah mendorong piringnya ke tengah meja dan bersandar di sandaran kursi. Aku diam saja, dan dia menoleh padaku, menatap ku lekat-lekat dan berkata, "Apa kau ada di sana? Saat Tom mendapatkan kabarnya?" "Hmm?" Ku tolehkan pandangan ku, dan mengangguk, "Iya, aku ada di ruangan Om Tom, kami sedang ...." Hampir aku mengeluarkan ucapan itu 'berciuman.' Sambil menyentuh bibir ku. Tapi syukurlah aku tidak mengatakan apa pun. "Pasti sangat mengejutkan untuk Tom." Dia berkali-kali menggeleng, menghela nafas panjang lalu menatap ku lagi dengan prihatin. "Apa aku punya kampus besok?" "Tidak." Aku menggeleng. "Baguslah kalau begitu, kita akan ke rumah sakit menjenguk Amanda." Dia mendorong kursinya dan rasanya aku tidak memiliki tenaga yang cukup kuat untuk