Share

2. Hello Alyssa

Hampstead, Bishops Avenue terasa sangat lengang ketika kaki-kaki lelah Alyssa menyusurinya. Sudah sangat larut malam memang untuk mencari sebuah alamat. Alyssa sudah hampir kehabisan daya ketika mencocokkan setiap nomor rumah di sana. Jarak dari rumah ke rumah lainnya cukup memakan tenaga.

“Nomor tiga sembilan sudah, berarti setelah ini nomor empat puluh,” Alyssa berbicara pada dirinya sendiri mengingat setiap nomor rumah yang dilewatinya.

Tak ada satu pun rumah yang kecil di sini. Lebih pantas disebut mansions dari pada rumah. Ada juga yang rupanya seperti istana, atau gereja yang megah. Alyssa berhenti di depan pagar rumah dengan nomor empat puluh. Pagar yang menjulang tinggi sementara rumah di dalamnya terletak sangat jauh dari pandangan Alyssa.

Dua penjaga berdiri di balik pagar. Pakaian mereka serba hitam dengan alat komunikasi di telinga. Alyssa yakin masing-masing dari mereka menyembunyikan pistol di balik jaket kulit yang dikenakan. Alyssa melihat dirinya kini seperti kelinci kecil yang tersesat.

“Permisi,” ucapnya melalui celah pagar yang dijaga ketat itu, “Apa benar ini kediaman Assa Zachary?” lanjutnya ketika seorang dari mereka mendekati Alyssa.

“Anda siapa?”

“Saya Alyssa, putri Samuel Moore yang dulu pernah bekerja di sini.”

Kedua penjaga itu saling berkomunikasi lewat pandangan. Alyssa terlihat sangat cemas, takut-takut kalau dirinya ditembak tiba-tiba. Namun hal yang terjadi justru sebaliknya, pintu gerbang dibuka sedikit agar Alyssa bisa masuk.

“Silakan masuk.”

“Apa semudah itu saya diizinkan masuk?” tak ada jawaban dari mereka. Alyssa gugup. “Bolehkah saya bertemu dengan tuan kalian?”

“Tentu, dari itu kami membukakan pintu untuk anda, Nona.”

Sebuah buggy car berhenti di depan gerbang. Ada seorang pria yang sama seperti para penjaga itu duduk dibalik kemudi. Itu adalah kendaraan khusus yang biasa digunakan untuk berkeliling di sekitar mansions milik Assa Zachary.

“Naiklah! Dia akan mengantar anda sampai ke depan pintu,” pinta penjaga itu lagi kali ini lebih sopan dengan sedikit membungkuk.

Alyssa pun masuk dengan takut-takut, berjalan mendekati buggy car dan duduk di belakang. Takjub ketika melihat betapa luasnya halaman rumah bak istana itu. Rumput hijau terhampar, dihiasi lampu-lampu taman yang berjajar di sisi jalan yang dilaluinya.

Ada kolam air mancur di depan pintu utama, membentuk sebuah lingkaran dengan patung dewi di tengah kolam memegang sebuah kendi air yang miring, dari sanalah air keluar dan jatuh ke kolam, lalu menyemprot ke atas dengan indahnya.

Buggy car yang dinaikinya berhenti tepat di depan pintu. Alyssa turun, dua orang penjaga di depan pintu membukakan jalan untuknya. Alyssa terbengong-bengong melihat betapa mewahnya rumah yang di pijaknya dari luar.

“Silakan masuk Nona,” ucap salah satu dari mereka.

“I-iya,” Alyssa masuk, melangkah penuh khawatir namun juga takjub.

Dua pelayan wanita datang menghampirinya, membungkukkan badan lalu berkata salah satunya pada Alyssa. “Mari Nona, saya antar ke kamar.”

Alyssa mundur selangkah. “Ke kamar? Saya datang kesini untuk bertemu dengan tuan kalian, bukan untuk menginap atau sejenisnya.”

Pelayan itu tersenyum kecil. “Tuan sedang istirahat, Nona bisa menemuinya besok pagi saat sarapan.”

“Kalau begitu saya akan kembali besok pagi.”

“Tapi ini sudah larut malam, Nona. Sebaiknya anda beristirahat dulu."

Keraguan menerpa Alyssa, rasanya kalau dia kembali besok pagi pun belum tentu dia bisa selamat dari para penagih hutang itu. Belum lagi membayangkan perjalanan yang melelahkan untuk sampai ke tempat ini, tapi menerima tawaran mereka juga bukan pilihan bagus bagi Alyssa.

Kebimbangan Alyssa terbaca jelas oleh seorang wanita yang berjalan menghampiri. “Kau tidak perlu takut. Tuan kami bukanlah lelaki mesum, lagi pula di sini ada banyak pelayan wanita. Kamu bisa meminta salah satunya untuk memastikan keamanan kamu.”

“Anda siapa?”

“Saya Helga, kepala pelayan di sini. Saya yang akan menjamin keselamatan kamu.”

Setelah tadi dihadapkan dengan pria-pria bertubuh besar dan menyeramkan kali ini Alyssa bisa bernafas lega karena ada beberapa wanita di dekatnya. Dia akhirnya mengangguk setuju untuk bermalam.

“Baiklah kalau begitu saya akan bermalam di sini.”

“Mari! Silahkan ikut saya,” Helga membawa Alyssa menaiki anak tangga yang setiap lekukannya diukir sangat indah. Kepala Alyssa mendongak melihat pada lampu gantung dengan ratusan kristal yang menyilaukan matanya.

“Apa kau mengenal ayahku?” tanya Alyssa pada Helga untuk membunuh sunyi di antara mereka.

“Samuel Moore, tentu saja. Dia penjaga pribadi tuan besar.”

“Maksudmu Assa?”

“Bukan, tuan besar adalah ayah dari tuan muda kami.”

“Ada berapa banyak tuan di sini?”

“Hanya satu, Tuan Muda Assa. Sedangkan tuan besar kami tidak tinggal di sini.”

Dua pelayan yang bersama mereka membuka pintu kamar lebar-lebar. Helga tersenyum kala melihat Alyssa takjub pada pandangan pertama terhadap kamar yang dilihatnya.

“Ayo masuk,” Helga mengajak Alyssa untuk masuk lebih dulu.

“Wow! Ini seperti kamar seorang putri.”

“Ini adalah kamar tamu. Kamu bisa beristirahat di sini, jika membutuhkan sesuatu kau bisa memanggil kami dengan ini,” tutur Helga menunjukkan sebuah remote kecil dengan tombol merah di tengah.

“Ah, terima kasih Helga.”

“Jangan sungkan,” Helga meletakan remote kecil itu ke atas meja di sisi tempat tidur. “Baiklah kalau begitu, selamat beristirahat.”

“Terima kasih Helga.”

Helga dan kedua pelayan wanita itu keluar dari kamar. Alyssa meletakan tas punggung yang sejak tadi bertengger di pundaknya ke lantai. Dia mengamati kamar yang sangat luas itu, lalu menjatuhkan dirinya ke tempat tidur dengan kaki yang menjuntai menyentuh lantai.

“Semoga esok hari semuanya akan selesai.”

***

Alyssa terbangun kala matahari pagi masuk melalui jendela yang tirainya dibuka lebar-lebar oleh Helga. Matanya berkedip-kedip kecil sebelum terbuka lebar. Alyssa segera bangun ketika menyadari dirinya berada di tempat orang.

“Maafkan aku, Helga karena bangun siang.”

“Tidak masalah, aku paham. Lagi pula tuan muda juga baru selesai mandi.”

“Apa aku bisa bertemu dengannya pagi ini?”

Helga tersenyum. “Seperti yang kami janjikan, tentu kamu bisa menemuinya. Sekarang mandilah, pakaian ganti sudah kami siapkan.”

“Saya sudah punya pakaian di dalam tas.”

“Pakaian yang serupa dengan yang kamu pakai sekarang?” tanya Helga memperhatikan pakaian yang dikenakan Alyssa.

Jeans yang kusut, kaos dan juga kemeja flanel. “I-iya, apa itu masalah?”

“Sebenarnya tidak, tapi tuan muda kami kurang menyukainya. Dia akan menghormati perempuan yang tampak anggun di matanya.”

“Ah, baiklah kalau begitu.”

Alyssa berpikir dia harus menurut agar urusan hutang ayahnya cepat selesai lalu dia bisa segera pergi dari tempat ini. Maka, Alyssa bergegas ke kamar mandi yang lagi-lagi membuatnya takjub. Bahkan tak sadar tangannya meraba dinding kamar mandi tersebut.

Air hangat dengan campuran aromaterapi sudah disiapkan. Lilin menyala di sisi bak mandi, wangi bunga dan manis berbaur memanjakan penciuman Alyssa, tapi tak lama-lama dia terbuai karena harus bergegas bertemu dengan Assa Zachary.

Dua pelayan yang semalam masuk ke kamar, membawa make-up dan juga sepatu. Pakaian Alyssa sudah siap di samping meja rias. Mereka menunggu Alyssa sampai selesai mandi.

Tentu saja hal itu membuat Alyssa kaget setelah beberapa menit di dalam kamar mandi, lalu ketika keluar mendapati mereka.

“Ka-kalian kenapa ada di sini?”

“Kami akan membantu Nona berisap,” jawab salah satu dari mereka.

“Saya bisa sendiri.”

Pelayan itu mengambil pakaian yang sudah disiapkan. “Silakan Nona pakai ini lebih dulu.”

Alyssa menerima dengan canggung, dia kembali masuk ke kamar mandi dan mengenakan pakaian itu di dalam sana. Rasanya akan sangat malu jika harus berpakaian di depan para pelayan itu.

Tak lama Alyssa keluar dengan midi dress berwarna biru, bagian lengannya berbentuk bell yang dipadu lace putih hingga membuat Alyssa tampak anggun. Dua pelayan itu bergerak membawa Alyssa duduk di depan meja rias.

Mereka dengan cekatan mengeringkan rambut Alyssa dan menatanya sedemikian rupa. Tak lupa untuk mempercantik rambutnya, diselipkan juga jepit rambut panjang dengan taburan mutiara. Wajahnya pun dioles tipis-tipis dengan riasan bermerk.

“Sudah selesai, Nona.”

Harus diakui oleh Alyssa bahwa dua pelayan itu begitu terampil dalam mengubah penampilannya. Salah satu dari mereka memberikan alas kaki Cone Heels putih. Ketika ingin mengenakan itu di kaki, Alyssa buru-buru menarik kakinya.

“Saya bisa mengenakannya sendiri.”

“Baiklah, Nona.”

Alyssa mengenakan alas kakinya sambil berpikir. Rasanya terlalu berlebihan untuk dirinya. Apalagi kedatangannya hanya untuk membicarakan perihal hutang ayahnya. Alyssa termenung, tapi suara Helga menyadarkannya.

“Sudah siap?”

“Ah, iya.”

Alyssa berdiri lantas segera mengikuti langkah Helga. Dua pelayannya merapikan kamar agar kembali seperti saat sebelum Alyssa datang.

Jantung Alyssa berdegup kencang dalam setiap kali dia mengambil langkah. Rasa penasaran akan sosok Assa membuat Alyssa gemetar. Dia takut jika lelaki itu tidak ramah. Pikiran buruk tentang sosok Assa mengacaukan Alyssa sampai tidak menyadari mereka sudah sampai di ruang makan, dan hampir saja Alyssa menabrak punggung Helga.

“Tuan Muda,” panggil Helga.

Pria yang dipanggil itu berdiri dari duduknya dan berbalik. Alyssa berdiri di tempatnya ketika Helga menyingkir memberikan akses pada tuanya untuk melihat Alyssa.

Alyssa bertemu pandang dengan Assa. Pria yang mampu membekukan seluruh sistem sarafnya hingga rasanya sangat sulit dia bernafas. Terlebih lagi ketika mendengar sapaan dari pria itu.

“Selamat pagi Alyssa Moore.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status