Share

3. Trap

Suara Assa terdengar seperti sebuah rayuan manis dari penyair yang  membaca setiap untaian kata-kata cinta yang melenakan hati pendengarnya. Rupa parasnya seperti lukisan nyata yang dicipta seniman paling handal di muka bumi. Senyum tipisnya serupa Oase di tengah gurun.

Alyssa terpana untuk sesaat, tapi seluruh kewarasannya kembali membawa Alyssa berpijak pada kenyataan bahwa tujuannya menemui Assa adalah untuk membereskan hutang-hutang ayahnya.

“Se-selamat pagi Tuan,” balas Alyssa dengan terbata-bata.

Assa tersenyum tipis melihat kegugupan Alyssa. “Duduklah, kita bicarakan apa yang ingin kau sampaikan sambil sarapan.”

Alyssa setuju, dan Helga segera menarik kursi untuk Alyssa duduk berhadapan dengan Assa. Setelahnya Helga menepuk tangannya, lalu beberapa pelayan datang membawakan sarapan untuk mereka. Lagi-lagi Alyssa dibuat takjub dengan tempat yang sekarang diinjaknya.

Aneka makanan untuk sarapan tersaji. Alyssa disuguhi wafel dengan taburan gula halus, madu dan juga potongan strawberry. Meski perutnya terasa lapar, tapi Alyssa tampak tidak begitu berselera. Dalam pikirannya dia ingin segera menyelesaikan semuanya segera.

“Dari semalam saya memikirkan semua kejanggalan di sini. Sambutan terhadap saya terlalu berlebihan. Apakah Anda sudah mengetahui bahwa saya akan datang ke tempat ini?”

Assa mengangguk. “Benar.”

“Baik kalau begitu saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar tujuan saya datang ke sini. Hanya saja kenapa ayah meminta saya untuk datang menemui Anda dalam urusan hutangnya?”

“Karena saya atasannya.”

“Dan Anda setuju melunasi hutang ayah begitu saja? Saya tidak yakin.”

Pertanyaan itu kini mengubah raut wajah Assa yang ramah menjadi misterius. Senyum yang tercipta adalah senyum yang berhasil membuat Alyssa ngeri menatapnya. Assa duduk tegak menatap Alyssa dengan sorot mata tajam. Biru bola matanya seperti lautan yang tenang, tapi sangat dalam dan mampu menenggelamkan siapapun tanpa bisa kembali ke permukaan.

“Seperti yang kamu tahu bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini.”

“Ma-maksud Anda?”

“Kamu tentu tahu bahwa ayahmu itu gemar sekali bermain judi. Dia kalah saat melawan musuhnya. Lalu dia datang meminta bantuan saya, tapi dia tidak mempunyai apa-apa sebagai jaminannya, jadi saya tidak melunasi hutang-hutangnya dengan segera. Itu sebabnya para penagih hutang itu datang ke rumahmu.”

Alyssa mendengarkan dengan baik, menunggu Assa melanjutkan kalimatnya, tapi pria itu justru makan dengan tenangnya. Alyssa menghela nafas, dia kembali mengajukan pertanyaan.

“Anda tahu siapa para penagih hutang itu?”

“Tentu saja. Mereka adalah orang suruhan saingan bisnisku. Kemarin siang ayahmu menghubungiku dan menjadikan dirimu sebagai jaminannya, tapi dia sadar kau tidak akan mau jika langsung berterus terang. Itulah sebabnya dia menulis surat yang mengarahkanmu datang ke tempat ini,  Alyssa.”

Sekarang semuanya jadi masuk akal. “Jika saya adalah jaminan, lalu apa yang akan Anda lakukan terhadap saya?”

“Mengurungmu di tempat ini sampai ayahmu kembali.”

Alyssa teringat semalam dia melihat ayahnya. “Ke mana ayah saya pergi?”

“Itu rahasia.”

“Saya anaknya. Apa tidak boleh tahu?”

“Sejak kapan kau menjadi anaknya, Alyssa?”

Pertanyaan Assa membuat Alyssa termenung kembali pada kisah yang lalu. Samuel Moore tak pernah menganggapnya seorang anak. Pertanyaan Assa membuat ulu hatinya terasa perih.

“Tapi dia tetap ayah saya.”

“Tidak ada seorang ayah yang menjadikan anaknya sebuah jaminan."

Lagi-lagi Assa menghantam dengan kenyataan tentang ayahnya. “Tapi Anda tidak bisa menahan  saya di sini tanpa persetujuan dari saya.”

“Saya tidak perlu persetujuan kamu.”

“Saya tidak akan tinggal di sini!” Alyssa membanting garpu di tangannya, lalu mendorong kursi dan berdiri. “Anda tidak bisa mengatur hidup seseorang hanya karena sebuah hutang.”

Assa hanya tersenyum, kembali makan dengan tenang dan membiarkan Alyssa berlalu. Gadis itu melepas alas kakinya, berjalan menuju kamar yang semalam ditempatinya untuk mengambil tasnya. Tidak akan berlama-lama dia berada di tempat asing itu. Walaupun menyuguhkan kemewahan tapi, Alyssa tidak merasa nyaman.

“Sialan! Aku bukan boneka yang bisa dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab, ataupun oleh ayahku sendiri.”

Alyssa menggerutu masuk ke kamar dan segera mengganti pakaiannya. Begitu selesai Alyssa keluar dari kamar. Ranselnya kembali tersampir di punggung. Saat melewati meja makan, Alyssa melihat Assa yang masih duduk tenang menghabiskan sarapannya. Tak ada yang melarang Alyssa keluar dari mansions itu.

Sampai di keluar dan berjalan menuju gerbang yang terasa sangat jauh, semua pengawal yang dilewatinya hanya diam membiarkan Alyssa melangkah. Hanya saja tiba-tiba Alyssa merasa dirinya sangat pusing. Perutnya terasa sakit, rasa mual menjalar seiring dengan kepalanya yang berdenyut hebat dan semua gelap. Alyssa ambruk begitu saja tanpa sempat ada yang menahannya.

***

Sayup-sayup alunan Greensleeves menyapa pendengaran Alyssa. Di tengah-tengah kepalanya yang terasa berat suara piano itu mendamaikan hatinya. Pandangannya sedikit mengabur, belum sempurna benar sadarnya. sejenak Alyssa terdiam, menyelami setiap simfoni yang masih mengalun.

Alyssa mengumpulkan kesadaran. Matanya memindai ke sisi, lalu sedikit beranjak dari tidurnya melihat ke segala ruang. Kamar yang terlampau luas untuk bisa dijelajahi. Sadar kini Alyssa bahwa tangannya ditusuk jarum infus. Dalam satu tarikan nafas jarum itu ditarik lepas dari tangannya.

kakinya dibawa turun menapaki karpet hangat di bawah tempat tidur. Kaki telanjangnya terasa hangat begitu menyentuh karpet serupa darah yang mengering itu. Jelas ini adalah kamar yang berbeda. Suara piano menuntun Alyssa keluar dari kamar mencari dari mana alunan nada indah itu berasal.

Kepala Alyssa kembali berdenyut, nyaris limbung dirinya. Alyssa berpegangan pada anak tangga. Satu persatu dituruninya. Setiap anak tangga dilapisi karpet yang bagian tepi kiri dan kanannya disulam benang emas. Semakin Alyssa turun, semakin jelas suara piano terdengar di telinga.

Di sana, di tengah ruangan Assa duduk bermain piano seperti seorang yang bersahabat dengan pianonya. Dilihat dari sisi, mata Alyssa menangkap kesempurnaan rupa Assa. hidungnya tajam melekuk tanpa cela. Tubuh dalam balutan jas itu piawai mengikuti setiap alunan lagu yang dibawakannya.

Alyssa mendekat, berdiri di sisi piano. “Saya di mana?”

Pertanyaan Alyssa menghentikan permainan Assa. Pria itu menatap Alyssa tenang. “Kau seharusnya tetap di tempat tidur.”

“Saya terbangun karena permainan pianomu yang buruk.”

Assa tersenyum. “Benarkah? Padahal gadis-gadis begitu memuja permainan pianoku.”

“Saya tidak.”

“Ya benar. Alyssa tidak,” Assa berdiri menyejajarkan posisinya dengan Alyssa walaupun tetap Assa jauh lebih tinggi. “Alyssa yang manis ini tengah marah rupanya.”

“Tolong lepaskan saya.”

“Tidak dengan kondisi yang sekarang.”

Sial! Alyssa merasakan kembali denyutan hebat di kepalanya. Tubuhnya sedikit terhuyung tapi, tangan kekar Assa meraih pinggangnya lebih cepat. Menahan Alyssa agar tidak terjatuh menyentuh lantai marmer berharga ratusan juta itu.

“Lepaskan saya,” pinta Alyssa lemah. “Saya mohon.”

Assa lebih memilih membopong Alyssa dengan tangan-tangan kekarnya. Tak peduli pada pukulan lemah yang Alyssa layangkan pada dadanya. “Diamlah! Alyssa, kalau tidak kau bisa jatuh.”

Tenaga Alyssa tak sebanding, meski ingin memberontak kuat, tapi kondisinya jelas tidak mendukung. Alyssa berpasrah ketika Assa membawanya kembali ke kamar. Meletakkannya dengan hati-hati ke tempat tidur.

“Saya ingin pulang,” lirihnya lagi.

“Di sini rumahmu, Alyssa,” balas Assa sebelum menjauhkan diri dari Alyssa. Pria itu merogoh ponselnya menghubungi seseorang.

Alyssa tersadar dirinya kini sudah terjebak.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status