“Takdir adalah sesuatu yang tidak dapat dipesan sambil menyaksikan senyumanmu di dalam kedamaian jiwaku. Apalah dayaku sebab ketadiksempurnaan ini selalu saja datang menemui dengan begitu angkuh di ujung lorong hidupku yang tak juga memiliki kuasa untuk segala hal yang hendak terjadi. Aku hanya sebatas insan, yang lemah di hadapan takdir.”
Mentari benar-benar telah memancarkan sinarnya di balik cakrawala. Memecah kegelapan malam yang beranjak pergi tanpa sebuah kalimat selamat tinggal. Seperti sekumpulan mimpi-mimpi indah di malam hari. Bergerak pergi meski tanpa permisi dan hilang begitu saja seiring berjalannya waktu.
Di kamar sempit berukuran 3x3 milik Cla, ia tengah dihinggapi rasa cemas tak berkesudahan. Tepat seminggu yang lalu sejak kedatangan keluarga Al ke rumahnya. Sehingga genap sudah waktu yang telah
Cuaca nampak cerah di luar ruangan. Pada lintasan jalanan Ibukota sebuah mobil sedan biru melaju dengan kencang melintasi pusat kota Jakarta. Di dalam sana sudah ada sepasang mata yang tengah meneliti satu demi satu bangunan yang menjulang tinggi diantara sisi-sisi jalan raya. Matanya yang tajam seolah menyimpan rindu yang sudah lama tertahan. Setelah asyik melihat pemandangan yang ada, ia segera mengalihkan pandangannya pada layar ponsel yang sedang berada dalam genggaman tangannya. Tangannya perlahan mencari playlist lagu kesukaannya. “Sudah banyak yang berubah ternyata,” ucapnya di dalam mobil. Perjalanan yang cukup jauh membuatnya sangat kelelahan. Tubuhnya sudah hampir tumbang namun ia tahu bukan saatnya untuk mengeluh sekarang. Rumahnya belum juga terlihat, dan itu berarti ia belum bisa merebahkan tubuhnya dengan manja di atas tempat tidurnya yang nyama
Sinar bulan menerobos masuk lewat lubang-lubang kecil yang ada di dalam kamar Al. Menerpa wajahnya yang tergeletak di bawah balutan selimut berwarna putih bersih. Al menggeliat sambil meluruskan badannya yang terasa begitu kaku sehabis perjalanan jauh tadi pagi. Perlahan ia meraih ponsel yang ada di meja dekat dari tempat tidurnya. Ternyata memang sudah malam. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 malam. Dengan malas Al bangun dan segera menuju kamar mandi untuk kemudian membersihkan diri. Lelah benar-benar membuatnya tertidur dengan sangat pulasnya. Ia bahkan sampai lupa jika malam ini ia sedang ada acara makan malam bersama keluarganya. Setelah memakai baju, Al melangkah menuruni anak tangga satu demi satu. Melihat sekeliling hingga pandangannya terhenti pada sosok yang terlihat sedang menikmati waktu bersama. Ternyata anggota keluarganya sudah duduk santai di ruang tengah, mungkin sedang menunggu dirinya datang.
Aku Clarissa Bella Buczer, seringnya dipanggil Cla. Seorang mahasiswi semester satu jurusan seni di Universitas William Grup. Aku adalah tipe orang yang sangat ceria. Menyukai kebebasan dan tidak pernah suka dipaksa dalam hal apapun itu. Impianku adalah menjadi seorang seniman terkenal di dunia. Semua orang akan tahu namaku. Suatu hari nanti aku akan menjadi terkenal. Itulah impianku sejak kecil hingga sekarang. Rumahku adalah studio pangkas rambut. Lebih tepatnya ayahku membuka jasa potong rambut bagi pria, wanita tidak termasuk. Dengan menggunakan trik tradisional yang turun temurun dari keluarga Ayah. Itulah sepintas pengetahuanku soal bisnis kecil-kecilan milik Ayah. Selain itu Ayah juga menjual ramuan minyak rambut di internet. Ramuan yang tentu saja ia racik sendiri. Ayah adalah orang yang sangat baik. Sering kali ia melakukan potong rambut secara gratis. Makanya kami tetap saja miskin me
Martin mengerucutkan bibirnya saat sang istri memotong pembicaraannya. Ada raut kekecewaan di wajah Martin, seolah tidak terima dengan pernyataan Lestari tentang ayahnya dan juga William. “Sudahlah Ayah, tak usah berbicara hal yang tidak-tidak. Lebih baik Ayah pikirin jalan keluar untuk hutang piutang Ayah yang banyak itu,” jelas Lestari lagi tanpa sedikitpun terkecoh dengan raut wajah suaminya yang sudah berubah warna. “Ayah tidak mengada-ngada kok Bu. Ini semua memang benar adanya. Ibu menuduh Ayah berbohong?” Kini Martin beralih menatap kedua anaknya secara bergantian, berusaha meyakinkan Cla dan juga Caesar. “Dulu kakekmu adalah asisten pribadi dan juga sahabat dekat dari Ceo William Ains-Sofft Grup yang sebelumnya. Jadi bisa dikatakan jika kakek Buczer adalah salah satu orang penting di dalam perusahaan yang terkenal itu.” &nb
Seperti biasa, kampus selalu ribut dan ramai dengan mahasiswa maupun mahasiswi yang ada. Cla yang baru saja tiba, segera berjalan melewati koridor kampus sambil membawa buku gambar kesayangannya dan juga tidak lupa susu pisang yang selalu stay dengannya setiap pagi. Dengan langkah riang ia menghampiri ketiga temannya yang tengah duduk di depan kelas. “Berita terbaru hari ini adalah Al telah resmi kembali setelah 10 tahun menetap di Paris,” ucap Jessi dengan antusias. “Iya. Kemarin aku juga lihat beritanya di TV dan ternyata dia sangat tampan dari dugaanku selama ini,” Famita ikut menambahkan. Jessi melotot ke arah Famita dan bertanya mengenai informasi terkini tentang Al. “Asal kamu tahu saja Jes, Al termasuk dalam 10 besar di trending
“Ehem, haus nih.” Jessi segera menyeruput air dingin miliknya setelah mendengar ocehan dari Cla perihal pangeran tak berwajah yang ia miliki. Bukan karena Jessi benar-benar haus. Ia hanya sedang muak saja mendengar kata-kata Cla barusan, terlebih saat Cla membandingkan Pangerannya dengan Tuan Muda Al. “Dan kalian tahu... Tuan Muda Al yang kalian puja-puji itu tidak ada apa-apanya jika disandingkan dengan pangeran tak berwajah milikku ini.” Cla berkata dengan senyum mengembang di wajahnya. Tangannya yang mungil kini meraih buku gambar miliknya lantas memeluk buku itu dengan erat seakan-akan sedang memeluk pangeran yang ia kagumi selama ini. Namun kesenangan itu hanya berlangsung sebentar saja, sebab kini wajahnya yang dihiasi senyum indah harus pudar berantakan setelah Jessi berhasil menyemburkan air yang sedang berada di dalam mulut ke wajah Cla hingga basah kuyup dengan sempurna. “Ow oh, Cla aku nggak se-“ “J
Wajah Al kini berubah menjadi merah padam. Rahangnya pun mengeras, mencoba menahan amarah yang sudah hendak keluar sepenuhnya. Dengan tangan yang sudah mengepal sempurna, ia menatap Cla dengan tatapan tajam yang mematikan. “Ada apa Al?” tanya Reymon yang baru saja datang menghampiri Al. Namun bukannya menjawab pertanyaan temannya, Al malah beranjak pergi, berjalan meninggalkan tempat itu. Reymon, Rouben dan Beni pun mengikuti dari belakang meski mereka bertiga masih penasaran dengan situasi tegang yang baru saja mereka lihat. “Apa katamu? menurutmu karena kau adalah Tuan Muda sang pewaris perusahaan William Ains-Soft Grup dan juga pemilik yayasan kampus ini lantas bisa membuatmu berlaku seenaknya,” teriak Cla sambil mencoba berdiri dari tempatnya sedang terjatuh tadi. “Di rumahku, ibuku juga memanggilku Tuan Putri. Jadi, jangan pernah menganggap remeh orang lain hanya karena kamu punya segalanya.” Langkah kaki yang sudah hendak bergerak pergi seketika
“Saya sudah menemukannya Tuan,” ucap Ben lewat panggilan suara yang kini menghubungkannya dengan Al. Ben masih berdiri di depan pagar rumah pangkas rambut martin. Sudah sejak sepuluh menit yang lalu ia berada di sana. Sebisa mungkin ia mengintip ke dalam rumah namun tempat itu nampak begitu sunyi, tak seperti pangkas rambut kebanyakan yang biasanya ramai dengan pengunjung. Ben pun tidak bisa bertemu dengan sang pemilik rumah terlebih dengan calon tunangan atasannya. Namun meskipun demikian, Ben tetap tidak berani untuk masuk apalagi untuk melangkah lebih jauh lagi. Tugasnya hanya untuk memastikan alamat calon tunangan Al saja. Dan kini tugasnya telah selesai ia kerjakan. “Kalau gitu kirimkan saya alamat lengkapnya, saya akan menuju ke sana sekarang.” “Baiklah” Tuttt tuttt tuttt. Panggilan telepon pun akhirnya telah terputus. Dengan sigap Al mengambil kunci mobilnya dan segera berangkat m