Martin mengerucutkan bibirnya saat sang istri memotong pembicaraannya. Ada raut kekecewaan di wajah Martin, seolah tidak terima dengan pernyataan Lestari tentang ayahnya dan juga William.
“Sudahlah Ayah, tak usah berbicara hal yang tidak-tidak. Lebih baik Ayah pikirin jalan keluar untuk hutang piutang Ayah yang banyak itu,” jelas Lestari lagi tanpa sedikitpun terkecoh dengan raut wajah suaminya yang sudah berubah warna.
“Ayah tidak mengada-ngada kok Bu. Ini semua memang benar adanya. Ibu menuduh Ayah berbohong?”
Kini Martin beralih menatap kedua anaknya secara bergantian, berusaha meyakinkan Cla dan juga Caesar. “Dulu kakekmu adalah asisten pribadi dan juga sahabat dekat dari Ceo William Ains-Sofft Grup yang sebelumnya. Jadi bisa dikatakan jika kakek Buczer adalah salah satu orang penting di dalam perusahaan yang terkenal itu.”
“Tidak bisa dipercaya. Jika itu benar, kenapa kita masih miskin seperti ini,” Lestari mendonggakkan kepalanya melihat ke wajah suaminya. Lestari benar-benar kesal sekarang, pasalnya belum usai persoalan surat hutang piutang suaminya, kini lelaki itu malah membuat isu baru.
“Tidak pernah ada tuh teman ayah mertua dari William Ains-Soft Grup yang datang menemui Ayah. Setidaknya untuk memberi hadiah kecil untuk keluarga kita yang begitu melarat ini. Dan kalau ternyata Ayah mertua memang bagian dari perusahaan besar itu, kenapa Ayah tetap saja melakukan usaha pangkas rambut ini? kenapa tidak ke William Ains-Soft Grup saja,” ucap Lestari meledek Martin.
“Hei, aku ini tidak berbohong. Tapi tidak apa-apa kalau Ibu tidak percaya denganku. Aku akan menyiapkan resep minyak rambut baru sekarang. Ada begitu banyak pekerjaan yang harus ku kerjakan dibanding harus berdebat dengan Ibu.”
“Emm tapi kenapa sih setiap kali kita cerita soal William Ains-Soft Grup, Ayah bawaannya selalu emosi begini ya. Apa memang ucapannya itu benar?” tanya Lestari kepada diri sendiri.
“Aku tidak cenderung emosi. Aku hanya berbicara yang sebenarnya.” Suara Lestari yang setengah berbisik ternyata mampu terdengar oleh Martin yang hanya berjarak sejengkal saja darinya. Dengan nada suara tinggi, Martin mengangkat perlengkapan ramuan minyak rambutnya lalu berdiri dan meninggalkan tempat itu.
“Benarkah?”
Tidak ada jawaban lagi, hanya ada punggung Martin yang semakin tidak terlihat saja.
***
Masih pagi-pagi sekali Bodi sudah duduk di ruang tamu kediaman Jason. Bodi sudah sejak tiga puluh menit yang lalu berada di tempat itu. Terkait tugas yang diberikan atasannya, kali ini Bodi sengaja menunggu Jason di sana.
Selang lima menit kemudian, Jason datang dengan wajah ceria.Melihat kehadiran Bodi di ruang tamu membuat Jason menerka-nerka tentang berita baik apa yang akan dikabarkan oleh asisten pribadinya itu. Jason ikut duduk di sofa, meneguk kopinya lebih dulu sebelum ia membuka suara.
“Bagaimana perkembangan tentang calon istri Al. Apakah sudah ada kemajuan?”
“Jadi begini Pak, soal teman lama Tuan William, ternyata memang betul dia memiliki seorang anak lelaki. Dia membuka usaha pangkas rambut rumahan di pinggir kota. Dan kabar baiknya adalah, kebetulan dia memiliki seorang putri yang seumuran dengan Tuan Muda Al. Ini fotonya, Tuan.” Martin mengambil foto yang terselip di buku catatan miliknya dan memberikannya kepada Jason.
“Jadi gadis kecil ini adalah calon istri Al.”
“Anda bisa menyangkalnya, Tuan. Karena sekali lagi putra dari teman lama Tuan William ini sudah lama sekali loss contact dengan Tuan William. Jika kita tidak berempati, aku rasa tidak akan ada yang tahu soal hal ini.”
“Jika itu kamu menurutmu bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan?”
“Maaf tuan,” sambil membungkukkan badan ke arah Jason. “Jika itu saya, maka saya akan menepati janji.” Dengan lugas Bodi menjawab pertanyaannya.
Mendengar jawaban dari Bodi membuat Jason tersenyum ke arahnya. “Aku bersyukur telah bertemu orang sepertimu Bodi. Bekerja denganku dan mengurus banyak hal dengan sangat bijak dan juga adil.”
“Saya minta tolong kamu urus semua ini dengan tuntas dan segeralah untuk menghubungi keluarga ini secepatnya.”
“Baik Pak.”
***
Ruang keluarga nampak sepi dibandingkan hari kemarin. Tidak ada satu orang pun di sana. Mungkin saja mereka sudah berangkat ke kantor atau ke tempat lain untuk melakukan pekerjaan masing-masing. Al pun akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman yang ada di belakang rumahnya karena sudah terlalu bosan duduk sendirian di dalam kamarnya. Namun ketika ia baru saja hendak melangkahkan kakinya keluar rumah, tiba-tiba saja Tari memanggilnya. Suaranya terdengar dari arah ruang makan. Hal itulah yang membuat Al segera menuju ke sana. Ternyata Tari baru saja selesai makan.
Al berbalik haluan dan berjalan menuju Tari. Menghampirinya lalu mencium punggung tangan wanita itu dan juga pipinya. “Oma Tari kenapa?”
“Panggil omaku saja. Kamu kok banyak berubah sejak dari Paris.”
Al hanya tertawa mendengar omelan Tari barusan. Namun sebagai cucu yang baik, ia harus mengikuti perintah omanya.
“Iya omaku,” ucapnya sambil memeluk Tari.
Tari yang riang mendapatkan perlakuan manis dari cucunya itu segera menggiring Al menuju ruang keluarga dan duduk di sana dengannya.
“Sini duduklah. Oh iya Bi Dunda, tolong ambilkan manisan yang aku buat tadi di dapur.”
“Iya nyonya.”
“Al, kamu belum menjawab pertanyaan Oma kemarin. Bagaimana pendapatmu tentang rencana pernikahan ini?”
Dengan menelan air liur dan menarik napas beberapa kali Al mencoba menjawab pertanyaan omanya dengan sangat hati-hati. Ia takut jika jawabannya justru akan membuat omanya marah ataupun bersedih hati.
“Jika aku menjawabnya sebagai seorang Al, aku akan mengatakan bahwa aku tidak setuju dengan semua rencana Oma dan juga Ayah. Tapi jika aku menjawabnya sebagai putra satu-satunya Ayah, melangsungkan pernikahan atas dasar perjanjian. Maka aku tidak bisa menghindarinya, Oma. Bukankah sekali janji tetaplah janji. Harus ditepati bukan.”
“Jawaban yang sangat bagus.”
“Sedekat apa orang itu dengan kakek? sampai dia menjanjikan hal semacam itu padanya.”
“Dulu saat awal-awal perusahaan William Ains-Soft Grup ini di didirikan untuk pertama kalinya, dia adalah satu-satunya teman kakek yang sangat dekat dengannya. Dia banyak membantu kakek hingga perusahaan kita bisa sebesar sekarang. Dan yang harus kita lakukan sekarang adalah menemui keluarganya dan membawakan kembali janji yang telah dibuat oleh kakekmu di masa lalu sebelum akhirnya beliau meninggal. Anggap saja ini adalah pengorbanan yang kamu lakukan untuk kakekmu semasa hidupmu, Al. Dengan melihat yang kamu lakukan ini, hal itu akan membuatnya tersenyum bahagia di surga.”
Tari mengelus lembut tangan cucunya sambil membelai rambutnya dengan manja. Memandangi wajah cucunya yang sudah beranjak dewasa itu. Di balik bola mata sayu milik Al, ia menaruh banyak harapan kepadanya. Dan baginya sungguh tak ada yang lebih membahagiakan dan membuatnya tenang di dunia yang kejam dan keras ini selain berada di sisi orang-orang yang ia sayangi. Al salah satunya.
Dalam hal ini Tari berharap Al akan mendengarkannya dan menuruti semua keinginannya, termasuk menikah.
“Al, kamu mau menepati janji ataupun tidak itu semua terserah dan kembali lagi kepadamu. Oma tidak ingin membebanimu. Oma hanya menyampaikan permintaan terakhir dari kakekmu semasa beliau masih hidup. Meskipun ini semua adalah janji namun semuanya Oma kembalikan lagi kepadamu.”
Al menatap kedua bola mata omanya yang semakin berkerut karena keriput diwajahnya yang tidak muda lagi. Di sana terlihat jelas bahwa banyak harapan yang digantungkan kepadanya. Dengan hembusan napas lega, ia pun mendekap omanya dengan sepenuh hati. “Apapun yang akan membuat Oma bahagia, pasti akan Al usahakan.”
***
“Takdir adalah sesuatu yang tidak dapat dipesan sambil menyaksikan senyumanmu di dalam kedamaian jiwaku. Apalah dayaku sebab ketadiksempurnaan ini selalu saja datang menemui dengan begitu angkuh di ujung lorong hidupku yang tak juga memiliki kuasa untuk segala hal yang hendak terjadi. Aku hanya sebatas insan, yang lemah di hadapan takdir.” Mentari benar-benar telah memancarkan sinarnya di balik cakrawala. Memecah kegelapan malam yang beranjak pergi tanpa sebuah kalimat selamat tinggal. Seperti sekumpulan mimpi-mimpi indah di malam hari. Bergerak pergi meski tanpa permisi dan hilang begitu saja seiring berjalannya waktu. Di kamar sempit berukuran 3x3 milik Cla, ia tengah dihinggapi rasa cemas tak berkesudahan. Tepat seminggu yang lalu sejak kedatangan keluarga Al ke rumahnya. Sehingga genap sudah waktu yang telah
Cla melangkah perlahan menuruni anak tangga satu demi satu, di ikuti dengan ibunya yang ada di belakangnya. Lestari membantu mengangkat gaun milik Cla yang lumayan panjang sehingga menjuntai di lantai. Dengan senyum kaku, Cla menuju ruang tamu untuk menemui tamu yang sudah sejak tadi menunggunya dengan sangat sabar. Al mendonggakkan kepalanya ketika Tari, omanya menyikut tangannya dengan kencang. Bola mata keduanya pun bertemu, saling tatap satu sama lain selama beberapa detik. Tanpa sengaja Al membalas senyum simpul dari Cla. Meskipun Cla cukup kaget juga dengan perubahan sikap lelaki yang ia tahu sangat menakutkan itu. Dengan sopan, Cla duduk di depan Al. Lalu bersalaman dengan kedua orang tua Al dan juga omanya. Senyum hangat pun terpancar di wajah keluarga Al. Nampak jelas bahwa mereka menerima Cla dengan begitu tulus. &nb
Malam kembali menghampiri kediaman William dengan gemerlap lampu-lampu taman yang berwarna-warni. Suara kodok yang ada di sekitaran kolam sesekali berbunyi memecah keheningan setiap sudut yang ada. Serta kunang-kunang yang beterbangan dengan indah hingga membentuk cahaya gemerlap. Lengkap sudah menghiasi malam di rumah dan di sekeliling taman kediaman milik William. Di ruang tengah rumah, sudah berkumpul Tari, Bella dan juga Jason. Tari sedang menyeruput teh hijaunya yang telah disediakan oleh Wijah. Sementara Bella, memulai pembicaraan yang semula hanya hening semata. “Aku mengerti bahwa dia memang masih sangat muda untuk urusan pernikahan, tetapi jika ku perhatikan sikapnya dengan sangat teliti sepertinya agak kurang cocok untuk tinggal di rumah ini dan juga tidak cocok untuk bersanding dengan Al. Aku jadi takut memikirkan apa yang akan terjadi
Suara riuh dari mahasiswa dan juga mahasiswi yang ada di dalam ruangan kini terdengar dengan kencang setelah dosen yang mengajar benar-benar meninggalkan ruang kelas. Mata kuliah hari ini telah usai sepenuhnya dan itu berarti usai sudah kegiatan Cla di kampus hari ini. Cla yang masih dicuekin oleh teman-temannya, langsung meraih tas dan keluar meninggalkan kelasnya. Dengan wajah yang sengaja ia tutupi oleh kain skrap, Cla berjalan keluar kampus. Sebisa mungkin ia menghindari setiap pandangan serta lirikan sinis teman-teman kampusnya setelah berita tentang pernikahannya dengan Tuan Muda Al berhasil menjadi trending topik diberbagai media yang ada. Setelah tiba di parkiran Cla mengambil sepedanya dan mendorongnya keluar. Pelan-pelan Cla berjalan menyusuri pinggiran jalan sambil menunduk melihat jalan raya. Cukup jauh ia berjalan hingga langkahnya tiba-tiba saja
Wangi masakan ayam tumis kecap milik Lestari mampu membuat Cla terbangun dari tidurnya. Dengan langkah tergopoh-gopoh Cla menuju dapur dengan mata yang masih setengah tertutup. Di meja makan kini sudah tertata rapi berbagai makanan. Namun rasa lesu Cla mengharuskan dia untuk meminum air putih terlebih dahulu. Setelahnya, ia meraih kripik potato yang tersimpan di lemari makanan yang ada di dapur, lalu memakannya. Sementara itu di depan rumah, Martin dan Lestari kini tengah berdesak-desakan dengan wartawan yang memaksa untuk menerobos masuk ke dalam rumahnya. Sebab kali ini para wartawan sungguh penasaran dengan calon tunangan Al. Entah dari mana berita menyebar dengan begitu cepatnya. Caesar yang baru saja pulang dari jogging pagi juga ikut kaget melihat rumahnya yang begitu ramai dengan wartawan. Dengan cepat ia berlari menuju Ayah dan Ibunya. Lalu segera bertanya perihal yang sedang terjadi saat ini. “Yah ada apa? kok ramai kayak gini?” “Aduh Ay
“Glen.” “Ya Ma, ada apa?” Perempuan itu menatap wajah anaknya yang kini duduk di sampingnya. “Sekarang adalah giliran kita sayang.” “Giliran kita?” “Al akan segera melangsungkan pernikahan.” “Oh soal pernikahan Al. Aku sempat melihat beritanya di media sosial. Tetapi kenapa sangat tiba-tiba seperti itu yah?” “Mereka tiba-tiba seperti itu tentu saja karena sedang ada masalah dalam perusahaan.” Ia tersenyum licik. “Kita harus mengambil kembali apa yang sudah seharusnya menjadi milik kita sayang. Dan sekaranglah waktunya,” ucapnya lagi. Mendengar permin