Dimitri adalah anak emas, menurut Sera. Semua sikap menyebalkan yang pria itu miliki terbentuk karena merasa menjadi poros dunia. Kelewat tidak pedulian, suka memerintah seenaknya, keras kepala, abai pada perasaan orang lain,menggampangkan segala, semua itu tercipta karena Dimitri tahu bahwa orang menganggapnya istimewa.
Hal itu terbukti hari ini. Semua orang, mulai dari Mirna, Maudi, Dante dan para ART dibuat repot hanya karena Dimitri, si sulung keluarga Adinata, mengalami demam dan tidak bisa beranjak dai tempat tidur.
Sera bilang, itu hanya siasat. Dimitri sengaja melebih-lebihkan sakitnya agar bisa membuat seluruh penghuni rumah kelimpungan. Seperti saat ini, entah sudah berapa orang yang membujuk, tetapi lelaki itu tak kunjung mau makan.
Keadaan ini jelas membuat Sera menjadi orang yang paling kesusahan. Lima kali memasak bubur, tak ada satu pun yang dimakan. Bolak-balik membuatkan teh hangat dan susu, tidak satu pun
Berusaha menguasai diri dari rasa takut dan terkejut, Sera berlari menuju Dimitri dan Dante yang sudah berguling-guling di lantai. Saling bertukar pukulan, dimana Dimitri yang mendominasi.Sekuat tenaga perempuan itu menarik Dimitri yang memukuli wajah Dante. Seelah mereka berhasil menjauh, ia malah didorong kasar. Mata pria yang napasnya penuh kemarahan itu menatap nyalang."Berhenti," cicit Sera.Dimitri mengusap wajah kasar. Ia tertawa hambar. "Berhenti? Maumu saya tidak memukuli dia? Lalu, beri saran apa yang harus saya lakukan!"Teriakan barusan membuat Sera mundur satu langkah. Menyeramkan melihat pria itu semarah sekarang."Sera!" Dimitri menumpahkan semua kesal dan amarahnya. Nyeri di tubuh atau kepala yang pusing akibat demam yang belum turun ia abaikan.Dante yang kesusahan berdiri angkat suara. Sisa-sisa rasa terkejut masih bisa dilihat di wajahnya yang penuh lebam. Dimitri tak pernah seperti in
Terjadi sesuatu yang lucu di kediaman Adinata. Majikan dan pelayannya serempak, kompak mengalami demam. Sejak pagi hingga sore ini, Sera dan Dimitri tidak keluar dari kamar masing-masing, asyik menikmati sakit.Dimitri yang lebih dulu flu lalai istirahat dan meminum obat, karenaya bukannya sembuh, malah semakin parah. Sedangkan Sera, karena insiden menjatuhkan diri ke kolam renang kemarin, akhirnya ikut-ikutan tumbang.Satu orang saja yang sakit, Mirna sudah cemas. Ditambah Sera, yang notabene selalu menjadi orang yang diandalkan mengurusi Dimitri. Alhasil, wanita itu kelimpungan, terutama untuk merawat si sulung yang semakin keras kepala. Tak hanya menolak makan, lelaki juga mengurung diri di kamar, tidak membiarkan satu orang pun masuk.Saat Mirna dan Maudi sedang duduk di ruang tamu karena sudah lelah mengetuk-ngetuk pintu kamar Dimitri yang sialnya tidak punya kunci cadangan, si anak malah menampakkan diri.
Tangan Dante menggantung di udara. Setelah memutuskan memberi jeda pada kemarahan Sera akibat tindakannya di rooftop ini beberapa hari lalu, sore ini Dante memtuskan menemui perempuan itu. Keberanian sudah dikumpulkan kesempatan meminta maaf. Sera marah. Itu jelas. Siapa yang tidak akan marah bila diperlakukan tidak senonoh begitu. Hampir dua hari perempuan itu terus mendiamkannya. Membuat jarak saat berpapasan, tidak menoleh atau menyahut saat dipanggil, bahkan kabur ketika Dante nekat mengajak bicara kemarin malam. Saat ini pun, Sera juga hendak melakukan hal yang sama--kabur. Beruntung Dante bisa memegangi daun pintu, mencegahnya ditutup Sera. "Saya perlu bicara sama kamu, Sera. Sebentar saja, hmm?" Memiringkan kepala, menampilkan raut mengiba, pria itu mengganjal pintu yang sudah ditarik Sera dengan kakinya. "Ini sudah hampir tiga hari. Marah pada seseorang lebih dari tiga hari itu d
Akhirnya punya waktu olahraga, sore ini Dimitri berhasil memutari komplek perumahan sebanyak dua kali. SeperSera datang, meletakkan segelas air dingin di meja. Dimitri melirik sekilas, mulai sibuk dengan ponsel.Sebenarnya, hubungan mereka masih biasa saja. Masih jarang ada konversasi panjang. Namun, setidaknya, Dimitri sudah jarang melihat Sera menatap benci. Yang sering perempuan itu lakukan sekarang adalah kabur, melarikan diri saat obrolan mulai terasa serius."Biarkan saja. Saya yang akan menyimpan sepatu dan mencuci kaus kaki itu."Menghabiskan air dingin, Dimitri mencegah Sera membawa sepatu olahraganya. Perempuan itu mengerling kesal."Biar saya aja, Pak. Nanti, Bapak malah menaruhnya di bawah tempat tidur lagi, lalu membusuk di sana." Sera mengingatkan apa yang bosnya lakukan minggu lalu. Berdalih ingin mencuci sendiri, kaus kaki itu nyatanya berada di kolong tempat tidur, nyaris membusuk.
Tiga puluh menit berlalu, Dimitri sudah mengubah posisi. Duduk di depan pintu dengan menekuk lutut. Kepalanya tertunduk, sesekali memejam karena suara-suara yang Sera buat dari dalam kamar.Entah berapa banyak obat di dalam air mineral itu hingga bisa membuat Sera yang biasanya diam jadi gemar meracau seperti sekarang."AC-nya nyala, saya udah lepas hoodie. Kenapa masih panas, Pak?"Perempuan itu bertanya dengan nada frustrasi, Dimitri lebih frustrasi lagi. Selama ini mati-matian menjaga jarak, sekarang keadaan Sera seolah sedang mengejeknya."Dimitri, panas!""Itu karena obat. Aku bisa apa? Kamu mau aku melakukan apa?" Dimitri berteriak pada pintu di depan mata.Entah kapan pagi datang. Dimitri sangsi ia akan bisa bertahan dalam kewarasan sampai matahari terbit. Sera yang hanya diam saja mampu membuatnya berimajinasi yang aneh-aneh. Konon saat begini. Perem
Menapaki lantai ruang tamu sepulang bekerja sore itu, Dimitri disambut banyak orang. Mirna ternyata tidak bohong saat menelepon dan berkata ada ayah dan ibu Maudi di rumah mereka."Sore, Om, Tante." Menyalami mereka, Dimitri menyapa sekenanya. Otak mulai mengatur segala hal untuk kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja hadir.Pertemuan keluarga inti begini, biasanya untuk sesuatu yang serius."Pantas Maudi betah di sini. Sulungmu ini tampan sekali, Mir," puji ibunya Maudi.Demi sopan santun dan pencitraan, Dimitri mendudukkan diri di sofa yang sama dengan Maudi. Gadis itu melempar senyum malu padanya, dibalas anggukkan kaku.Para orang tua di sana bertukar kabar dan cerita sebentar, Dimitri menanti inti bahasan dengan tak sabar. Dua lengan di atas paha, jemarinya bertaut. Sesekali menjawab pertanyaan Handoko--ayah Maudi-- atau ikut tersenyum saat diberi candaan."Saya seben
Melepas embusan napas kasar dari mulut, Dimitri yang duduk di sudut toko memutar bola mata saat melihat nama yang muncul pada layar ponsel yang bergetar. Tampaknya, Maudi adalah orang yang gigih. Panggilan-panggilan sebelumnya diabaikan, gadis itu masih tak mau menyerah.Memang sedang istirahat, lelaki itu memutuskan menggeser tombol hijau di layar."Kamu sibuk, ya?" Suara dari seberang terdengar antusias dan lega."Iya." Dimitri membawa pandangan berkeliling. Mengamati karyawan yang bertugas, juga para pelanggan yang menyempatkan diri melempar senyum ke arahnya."Untuk pertunangan kita, aku jadi pakai EO, ya? Kata Tante, nanti kalau kita yang tangani, takutnya keteter."Si pria memijat pangkal hidung. Baru sehari sejak perbincangan soal pertunangan. Tanggal saja belum ditentukan dan Maudi sudah merepotkan diri soal acara dan segala macamnya."Kita masih harus membicarakan
Satu tangan memegang kemudi, tangan yang bebas Dimitri gunakan untuk meraih jemari Sera. Gagal. Perempuan itu mengelak, semakin merapatkan diri ke pintu mobil. Terus menatapi ke luar jendela, sikap tubuh yang Dimitri bisa baca sebagai ekspresi cemas.Selepas pernyataan cinta di tempat kelewat tidak romantis tadi, sebagai permintaan terakhir, laki-laki itu membawa Sera ke rumah. Bukan kediaman Mirna, melainkan rumahnya sendiri.Sempat menolak dan melontarkan berbagai alasan yang terdengar lucu, Sera berhasil ia buat ikut setelah beberapa pemaksaan dan pengancaman. Sera tetaplah Sera, keras kepala dan suka membantah."Kita mau ngapain ke sini, Pak?" Dengan nada suara persis bagai anak kecil yang akan segera menangis, perempuan itu bertanya saat mobil terparkir di halaman rumah itu.Tidak menyahut, si pria turun. Membuka pintu di samping Sera, meraih lengan kecil itu untuk digenggam. Menuntun langkah masuk, m