Laki-laki dengan wajah teduh itu tengah tersenyum memandang pantulan wajahnya sendiri. Ia tidak menyangka hari yang ditunggu akhirnya tiba juga. Tidak peduli apa kata orang tentang jalan pikirannya, karena hidupnya ia sendiri yang tahu. Kebahagiaan dalam hidup hanya dirinya dan Tuhan yang tahu, dan orang lain hanya bisa berkomentar akan hal tersebut.
Menurut orang-orang keputusannya mungkin salah, tapi percayalah betapa bahagia Naufal jika Allah menuliskan nama Arini Wulandari anak dari bapak Sukira sebagai jodohnya. Jangankan orang lain bahkan kedua orang tuanya pun sempat mempertanyakan keputusannya dalam memilih wanita tomboy dengan sebutan Oncom tersebut. Untung saja kedua orang tua yang sangat ia hormati itu tidak pandang bulu apalagi fisik, karena mereka meyakinkan jika semua adalah takdir Allah. Jika tidak sudah pasti Naufal yang akan nelangsa dalam menjalani hidup tanpa sang pujaan. Walaupun saat memikirkan itu Naufal selalu beristighfar karena merasa terlalu mempertanyakan ketentuan Allah dalam hidup.
"Astaghfirullah ya, Allah. Kenapa rasanya berdebar seperti ini? Tenangkan hamba-Mu ini ya,
Allah."
Naufal tidak menyangka rasanya se mendebarkan itu. Sepertinya Naufal lebih memilih untuk berdiri di atas panggung dengan dihadiri ribuan jamaah sekalipun dari pada malam ini karena gugupnya sungguh luar biasa.
"Assalamu'alaikum, Nak. Kamu udah siap belum?"
Ketukan dan pertanyaan akan kesiapan dirinya membuat Naufal menarik napas dalam. Mengeluarkan perlahan untuk mengurangi rasa gugup. Jangan berpikir jika seorang ustadz tidak bisa gugup apalagi ustadz muda sepertinya.
"Waalaikumsalam, Ibu. InsyaAllah Oval siap," jawabnya sedikit ragu.
"Ibu belum pernah melihat kamu segugup ini. Istighfar, Sayang. Jangan terlalu berlebihan mengagumi ciptaan, Allah." Nasihat wanita paruh baya yang bernama HJ. Rohayati atau yang biasa disebut Bu Nyai.
Bu Nyai tidak lagi bertanya atas keinginan dan keputusan anaknya. Karena ia yakin jika itu bukan hanya sebuah keputusan, melainkan ketetapan yang sudah digariskan yang Maha Kuasa.
Membayangkan akan memiliki menantu seperti Oncom seperti melihat pada masa lalunya dulu. Bu Nyai juga dulu bukanlah seorang muslimah yang taat, ia sama seperti Oncom yang hidupnya berantakan. Bedanya Oncom mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tuanya dan keras kepala. Sedangkan dirinya merupakan korban broken home yang membuat hidupnya tanpa arah dan berakhir di pesantren karena kebaikan pemilik pondok atau almarhumah ibu mertuanya.
"Astaghfirullahalazim. Maafkan hamba-Mu ini ya, Allah. Oval gugup, Bu. Nanti tolong Ibu jangan jauh-jauh dari Oval ya," pinta Naufal seperti anak kecil.
"Ibu selalu disamping kamu, Sayang. Sekarang kita pergi ya. Takut keburu malem," ajak Bu Nyai yang di iyakan oleh Naufal.
Mereka berangkat menuju rumah Oncom dengan satu mobil. Hanya Naufal kedua orang tuanya, Laila yang merupakan adik satu-satunya Naufal dan supir yang bernama Amir. Sebenarnya jarak antara pesantren dan rumah Oncom kurang dari lima menit, dengan berjalan kaki pun bisa. Namun, mereka tetap menggunakan mobil untuk menghindari kehebohan warga jika mereka berjalan secara bersamaan ke rumah Oncom.
Rumah yang merupakan paling besar dikampung mereka dengan halaman luas juga jarak yang tidak terlalu rapat dengan rumah tetangga, karena sekeliling rumah merupakan tanah milik keluarga Oncom.
"Assalamu'alaikum," salam keluarga Abah Yai kompak.
Bapak Sukira beserta istrinya sudah menunggu di sofa depan. Menyambut dengan senyum kedatangan keluarga terhormat yang sudah ia anggap seperti orang tua sendiri.
"Waalaikumsalam, langsung ke dalam aja ya. Hati-hati, Bah."
Kondisi abah Yai yang sudah cukup renta membuat beliau di apit oleh Bapak Sukira dan juga Naufal. Sedangkan Ibu Sutirah dan Bu Nyai langsung bercipika cipiki dan mengikuti para lelaki.
Mereka duduk di sofa ruang tamu yang luas. Di atas meja sudah tersedia berbagai macam makanan ringan juga air mineral dalam gelas. Tidak lupa teh hangat kesukaan Abah Yai dan juga minuman dingin kesukaan yang lain.
Mereka mulai mengobrol basa-basi dengan bertanya kabar dan progres politik yang sedang dijalankan oleh Bapak Sukira. Obrolan berjalan dengan lancar dan mengurangi sedikit kegugupan Naufal yang tidak terlihat. Hingga kembali dilanda rasa itu saat Abah Yai memulai mengatakan maksud dan tujuannya.
"Langsung aja, Ra. Kamu tahu maksud dan tujuan Abah sekeluarga kesini untuk apa. Abah langsung aja minta jawaban dan kepastian kapannya."
Bapak Sukira dan Ibu Sutirah tersenyum mendengar perkataan Abah Yai. Namun, mereka tidak langsung menjawab walaupun mereka sangat ingin. Mereka sudah siap menahan malu dan rasa salah jika sampai putri bungsunya berubah pikiran, walaupun Oncom sudah berkata mau. Namun, mereka tetap tidak ingin memaksa demi kebahagiaan putri istimewanya.
"Begini, Bah. Kira sekeluarga sangat ingin dan berharap dengan maksud dan tujuan Abah sekeluarga. Karena hanya orang tua yang tidak masuk akal jika menolak calon menantu seperti Ustadz Naufal. Tapi balik lagi Kira tidak mau memaksa Arini karena nanti dia yang akan menjalani kehidupan. Satu lagi, Kira juga mau bertanya sungguh-sungguh sama Ustadz. Apakah benar Ustadz siap dan mau menerima lahir batin anak saya jika dia setuju untuk menikah. Sedangkan Ustadz tahu bagaimana akhlak dan kelakuan Arini selama ini yang sangat berantakan dalam menjalani hidup. Apakah Ustadz tidak malu memiliki istri seperti Arini yang bahkan dipanggil dengan nama, Oncom?"
Hati manusia memang tidak pernah ada yang tahu dan Sukira ingin memastikan tentang kesiapan Naufal dalam menerima anak kesayangannya itu. Walaupun Naufal seorang Ustadz dengan ahklak yang tidak perlu diragukan tapi ia tidak pernah bisa tahu apa maksud dan tujuannya sehingga menginginkan Oncom sebagai pendamping hidupnya.
Kini semua mata tertuju pada Naufal yang tersenyum sebelum menjawab pertanyaan calon mertuanya. Ia sudah siap dengan pertanyaan itu dan sudah memiliki jawaban, walaupun menurut pandangan manusia rasanya mustahil jika mereka hanya melihat fisik dan penampilan. Naufal meminta izin terlebih dahulu sebelum menjawab sebagai tanda kesopanan.
"Izinkan saya menjawab, Bah, Ibu. Perihal saya siap atau tidak untuk menikah dengan Arini, InsyaAllah saya siap. Perihal kenapa saya memilihnya sebagai calon istri walaupun menurut orang-orang penampilannya aneh, jawabannya adalah Allah dengan segala kekuasaan yang membuat saya memiliki perasaan pada beliau. Jikalau Arini bersedia, InsyaAllah saya akan membimbing sesuai marwahnya. Saya tidak pernah memiliki perasaan aneh pada lawan jenis selain pada Rini, walaupun saya hanya melihat dari jauh. Saya ingin segera menikah dengan Rini agar saya tidak berdosa saat ingin memandangnya, Pak. Maka dari itu saya meminta restu pada Bapak dan Ibu untuk saya melamar Arini Wulandari sebagai istri saya." Naufal berkata jujur atas perasaannya.
"Memang menurut pandangan dangkal manusia aneh rasanya jika Naufal menyukai, Oncom. Tapi kita harus kembali pada ketetapan yang sudah digariskan oleh Allah. Dan mungkin saja Allah menitipkan rasa itu pada Naufal memang untuk merubah kehidupan Oncom supaya lebih baik hidupnya," ucap Abah Yai.
Selama ini Sukira memang selalu menceritakan dan meminta saran pada Abah Yai dalam menghadapi Oncom yang keras kepala dan juga nekat. Oncom juga cukup dekat dengan beliau dan Bu Nyai. Bahkan sepertinya hanya Oncom dan Laila yang bisa bercanda dengan mereka tanpa rasa segan, karena mereka memang menganggap Oncom seperti anaknya sendiri. Dan kebetulan Naufal menyukai bahkan meminta pada kedua orang tuanya untuk melamar Oncom yang membuat pasangan paruh baya itu kaget. Mereka hanya percaya akan kekuasaan Allah, sehingga menitipkan rasa pada Naufal untuk Oncom.
"Alhamdulilah kalau memang Ustadz benar-benar menginginkan Arini tanpa paksaan. Ya udah, Bu. Tolong ajak Oncom ke sini," perintah Sukira pada istrinya.
Mendengar itu Naufal kembali dilanda gugup. Sebagai manusia biasa tentunya Naufal memiliki rasa takut akan penolakan, apalagi mengingat bagaimana Oncom dengan segala jalan pikiran yang hidup semaunya. Naufal terlihat tenang dan biasa saja, tapi siapa yang tahu jika saat ini hatinya dag dig dug menanti kehadiran dan keputusan Oncom.
Apa yang paling penting dalam sebuah hubungan selain komunikasi? Disaat kasih sayang berlimpah diiringi materi yang cukup belum bisa membuat suatu hubungan berjalan lancar tanpa adanya komunikasi yang baik. Bahkan untuk hal sekecil apa pun harus dibicarakan pada pasangan agar hubungan nyaman tanpa ada yang merasa bersalah atau terbebani.Untuk kali ini Naufal menyadari kesalahannya, dia yang kurang peka tentang perasaan istrinya karena terlalu bahagia atas hadirnya anak mereka. Benar memang Saka sudah banyak yang menyayangi dan memperhatikan, bahkan saat anak kecil itu menangis semua orang khawatir dan saat tertidur semua orang akan bahagia dengan terus memuji dan membangga-banggakannya. Naufal harusnya lebih memperhatikan istrinya yang sedang berjuang untuk membuat anaknya selalu dalam keadaan kenyang dan nyaman. "Maafin Aa yang enggak ngertiin perasaan, Neng."Obrolan mereka diawali dengan Naufal yang meminta maaf pada istrinya. Duduk ditepi ranjang yang entah mengapa rasanya cangg
Oncom bingung bagaimana ia harus menjawab pertanyaan mereka. Rasanya memalukan jika yang ia permasalahkan adalah rasa iri pada anaknya sendiri yang mengambil semua perhatian orang lain. Sikap mereka tetap sama menyayangi dirinya tapi mereka semua selalu tertuju pada Saka. Suaminya bahkan sering tidak mendengar panggilan darinya saat sedang bermain dengan bayi itu."Gue enggak tau kenapa, cuma gue ngerasa iri sama anak sendiri. Kadang-kadang gue mikir kalau anak gue itu ngerebut semua perhatian orang. Setiap orang yang datang aja langsung berebut entah cuma pengen liat atau pengen gendong. Bahkan suami gue juga perhatiannya kayak cuma terpusat sama, Saka."Naufal yang mendengar jawaban istrinya sangat merasa bersalah. Ia tidak tahu jika sang istri merasakan hal seperti itu karena selama ini sikapnya biasa saja. Ia memang terlalu bahagia dan menyayangi anaknya hingga benar-benar memusatkan perhatian pada malaikat kecil itu. Gita langsung memeluk sahabatnya yang kini sedang menangis ka
Selain hamil, masa menyusui adalah masa-masa paling berat yang dialami oleh seorang ibu. Air susu sedikit, anak yang terus menangis bahkan banyak wanita kurang beruntung yang tidak mendapatkan dukungan dari orang terdekat adalah masa paling berat untuk dijalani. Maka dari itu banyak wanita mengalami baby blues bahkan sampai membahayakan nyawa anaknya karena terlalu lelah jika berada dilingkungan tanpa support yang baik. Untuk Oncom sendiri gejalanya berbeda, asi nya deras, anaknya tidak terlalu cengeng, keluarganya mendukung penuh apa yang ia lakukan dan selalu ikut menjaga Saka hingga ia tidak lelah sendirian. Suami siaga bahkan mertua juga orang tua yang dua puluh empat jam menjaga dirinya juga bayinya. Jika Saka sedang rewel mereka tidak akan membiarkan Oncom bergadang sendirian dan sebisanya menenangkan membuat Oncom bersyukur. Namun, satu hal menyerang Oncom selama ia dalam masa menyusui di mana ia iri pada anaknya sendiri. Oncom merasa anaknya mengambil perhatian semua orang t
Untuk Oncom hari menjadi seorang ibu yang sesungguhnya dimulai saat pertama kali dirinya memberikan asi pada putranya. Susah dan penuh perjuangan walau sudah mencoba beberapa kali. Air susu yang belum keluar juga puting yang kecil menjadi tantangan karena putranya bingung."Udah bisa yeay!!"Oncom sedikit bersorak saat bayi kecil itu berhasil menyedot putingnya walau belum keluar air susu, tidak apa-apa karena itu untuk rangsangan."Alhamdulillah, pinternya anak, Abba.""Tangan Aa luka."Oncom baru sadar saat ia melihat tangan kanan suaminya yang terluka dan mengeluarkan darah yang sudah kering. Oncom tahu itu luka karena apa dan sangat sadar jika dirinya yang melakukan tadi saat sedang berjuang melawan rasa sakit untuk mengeluarkan anak mereka. Padahal kukunya pendek tapi tetap menggores tangan suaminya."Enggak apa-apa, Sayang. Ini enggak sakit kok," balas Naufal karena sakit yang dirasakan istrinya berkali-kali lipat dibandingkan luka kecil yang ia rasa. "Bu bidan, tolong ke sini
Naufal benar-benar menunjukkan sisi lemahnya tanpa peduli jika ada orang lain di dalam ruangan itu. Jika tidak melihat istrinya dan berusaha sekuat tenaga untuk bersikap tegar sudah pasti ia akan luruh ke lantai karena jujur saja kakinya bergetar saat melihat proses istrinya berjuang. Genggaman tangannya bahkan belum lepas dengan sorot mata penuh rasa bahagia sekaligus bangga. "Laper, A."Setelah berjuang mengeluarkan tubuh anak lelakinya dengan mata yang sangat berat kini perut Oncom terasa sangat keroncongan. Oncom juga merasakan keanehan pada perutnya yang kini seolah kosong apalagi setelah bidan selesai membersihkan dan menjahit bagian intimnya. Dua jahitan dalam dan tiga jahitan luar karena posisi Oncom yang bagus jadi tidak ada sobekan tapi tetap dijahit untuk proses percepatan."Mau makan apa, Sayang?" tanya Naufal semangat."Nasi padang enak kayaknya.""Ustadz anaknya boleh diadzani dulu," sela bidan membawa anaknya yang sudah rapi dengan kain bedong berwarna biru muda."Adz
Terlahir menjadi seorang wanita memang tidak bisa menghindari rasa sakit dari banyak hal. Dari sakit ringan saat datang tamu bulanan bahkan sampai sakit yang harus mempertaruhkan nyawa seperti melahirkan baik secara normal maupun operasi Caesar karena semuanya sama-sama meninggalkan rasa sakit yang tidak akan terlupakan. Butuh perjuangan berat bagi seorang perempuan untuk melahirkan seorang anak ke dunia ini. Jika secara normal tidak memungkinkan maka operasi adalah pilihan dan jangan pernah menganggap jika seorang wanita tidak sempurna jika tidak melahirkan secara normal, karena bagaimanapun cara seseorang lahir ke dunia tetaplah membuat seorang ibu kesakitan tanpa bisa dihindari. Naufal sangat berusaha menguatkan diri agar ia bisa menemani istrinya berjuang mengeluarkan anak mereka. Matanya tidak beralih dari mata istrinya dengan terus mengucapkan kata-kata semangat juga do'a agar diringankan dan juga dilancarkan semuanya."Coba kita liat lagi ya udah pembukaan berapa," ajak bidan.