“Astaga, kepalaku pusing sekali,” gerutu wanita cantik bernama Amber, berdiri di lorong hotel yang remang-remang. Gaunnya yang indah sudah kusut dan berlumuran noda, mencerminkan keadaan hatinya yang hancur berantakan. Tidak … bukan hanya penampilannya yang kacau, tapi rambut pirangnya sekarang sudah berantakan tak menentu.
“Aku seperti terkena kutuk! Hidupku menderita sekali!” Amber berseru dengan nada penuh putus asa. Dia baru saja kehilangan seorang ayah, dan diusir oleh ibu tirinya yang licik, kata-kata kasar dan penghinaan wanita licik itu masih terngiang di telinganya. Amber tak tahu harus ke mana, hanya rasa sakit dan frustrasi yang menemaninya saat ini. Tanpa arah tujuan, Amber berjalan sempoyongan, kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya yang lemah karena alkohol. Dia tersandung beberapa kali, hampir jatuh, tetapi berhasil bangkit kembali. Akhirnya, dia sampai di depan sebuah pintu kamar hotel. Dia mengeluarkan kartu pass dari tasnya yang berantakan, berusaha keras untuk menempelkannya ke sensor. Namun, sayangnya pintu tak kunjung terbuka. Amber mencoba lagi, dan lagi, tapi sia-sia. Rasa frustrasi mulai menggerogoti dalam dirinya. Rasa putus asa telah merayap dalam diri wanita cantik itu—hingga membuatnya rasanya seperti orang paling sial di muka bumi ini. “Kenapa tidak mau terbuka?!” teriak Amber dengan suara parau, air mata yang hampir mengalir membasahi pipinya. “Kau juga ingin menyiksaku, huh?” tanyanya ke pintu di hadapannya. Amber mulai meracau, menendang pintu dengan kakinya yang lemah. Dia menggedor-gedor gagang pintu dengan panik, tak peduli dengan suara gaduh yang ditimbulkannya. Namun, tiba-tiba, pintu terbuka. Di balik pintu berdiri seorang pria tampan dan gagah tampak terkejut melihat Amber yang mabuk dan berantakan. “Ughhh, akhirnya terbuka,” Amber terhuyung masuk tanpa memedulikan pria tampan itu. “Aku pikir pintu ini juga akan bersikap jahat padaku.” Amber masuk ke dalam kamar hotel itu, dan langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Pria berperawakan tampan, melangkah mendekat ke arah Amber yang terbaring di ranjang. “Kau mendatangi tamumu dengan keadaan kacau seperti ini?” seru pria tampan itu, dengan sorot mata dingin. Amber bergerak-gerak di ranjang, tak memedulikan ucapan pria tampan itu padanya. Rambut pirang berantakan di atas ranjang megah dan mewah. Dia meracau tak jelas—membuat pria tampan itu semakin tampak kesal. Pria tampan itu bermaksud mengambil ponselnya yang ada di atas nakas, tapi tiba-tiba tangannya ditarik oleh Amber. Keseimbangan yang tak terjaga, membuat tubuh pria tampan itu terjatuh menindih tubuh Amber. Mata sayu Amber menatap pria tampan yang ada di atas tubuhnya. “Kau tampan sekali, kau siapa?” tanyanya seraya membelai rahang pria itu. Alkohol telah menguasai Amber, membuat kewarasan di otaknya tak terkendali. Meskipun mabuk, tapi penglihatan Amber sangat baik di kala dia melihat wajah pria yang menindih tubuhnya itu sangat tampan. Rahang tegas, hidung mancung menjulang bibir, sorot mata tajam, alis tebal, jambang tipis, dan aroma parfume yang menggoda—membuat Amber memuja sosok pria yang ada di hadapannya itu. Tanpa ragu, dia berani memberikan kecupan di rahang pria itu, menciumi aroma pria yang menindih tubuhnya. Pria tampan itu menggeram, mengumpat di kala lehernya mulai dicumbu oleh Amber. Meski datang dalam keadaan kacau, tapi pria tampan itu tak menampik Amber memiliki paras yang luar biasa cantik. Rambut pirang wanita itu membuatnya semakin seksi dan menawan. “Tampan, kenapa kau hanya diam saja, huh? Katakan padaku siapa kau?” bisik Amber di telinga pria itu, sambil menciuminya. Pria tampan itu mengumpat tak bisa menahan diri di kala mendapatkan sentuhan dari Amber. Dia langsung menyambar bibir Amber, hingga membuatnya kewalahan. Amber memukuli lengan kekar pria itu, tapi dengan sigap pria tampan itu menarik kedua tangan Amber—ke atas kepala wanita itu. “Kau benar-benar tahu cara menggoda tamumu,” bisik pria tampan itu serak seraya mengisap leher Amber, meninggalkan jejak kemerahan di sana. Amber mengerang di kala lehernya diisap oleh pria tampan itu. Rasa sakit, geli, bercampur dengan kenikmatan. Kata-kata yang terlontar dari pria tampan itu tak dia pedulikan. Alkohol rupanya benar-benar membuat kewarasan Amber hilang. “Ah!” desahan lolos di bibir Amber, membuat pria tampan itu semakin melancarkan aksinya. Tangan pria tampan itu mulai menjamah setiap inci tubuh Amber. Ciumannya turun mengecupi dada bulat dan padat milik Amber. Erangan merdu tak henti lolos di bibir Amber, membuat rangsangan pria tampan itu semakin dahsyat. Pria tampan itu merobek gaun Amber, melucuti setiap helai benang yang melekat di tubuh wanita itu. Suara lenguhan panjang lolos di bibir Amber, di kala bibir hangat pria tampan itu mencumbu kedua payudaranya. Amber hilang kendali. Dia tak sadar akan apa yang dia lakukan telah membuatnya dalam malapetaka. Sekarang yang Amber tahu adalah rasa nikmat tiada tara yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pria tampan itu bangkit berdiri, melucuti sendiri pakaiannya. Dia mencari pengaman di laci, tapi sialnya dia tak menemukan pengaman. Dia mengumpat pelan. Pria tampan itu sudah tak lagi bisa mengatasi gairah. Tubuh telanjang wanita yang ada di hadapannya terlalu indah untuk diabaikan. Tanpa memedulikan apa pun, pria tampan itu memulai penyatuan dengan satu kali hentakkan keras. Sontak tubuh Amber tercodong ke depan, bersamaan dengan jeritan keras yang lolos di bibir wanita itu. Pria tampan itu mengumpat pelan di kala merasakan sulitnya memasuki Amber. Dia terus mencoba menerobos liang sempit Amber, sayangnya sangat sulit. Raut wajah pria itu berubah, tampak berpikir sejenak, tapi dia memilih mengabaikan sesuatu hal di pikirannya. Dia kembali mencoba menekan semakin dalam, memasuki Amber dengan sangat keras. “Ah!” Amber menjerit seraya mencapkan kukunya ke punggung kekar pria itu. Pria tampan itu sedikit merintih di kala kuku Amber menancap punggung kekarnya. Namun, dia mengabaikan rasa sakit itu. Sebab rasa nikmat yang diciptakan akibat permainan panas itu membuat rasa sakitnya seakan hilang. Amber mengerang dahsyat dan langsung dibungkam oleh pria itu dengan bibirnya. Perlahan pria tampan itu menghunjamnya dengan tempo yang pelan, sedang dan keras. Lenguhan panjang lolos di bibir keduanya. Suara ranjang berdencit, serta AC kamar tak lagi terasa akibat permainan panas yang dahsyat itu. Berkali-kali Amber menjerit, tapi pria tampan itu sama sekali tak memberikan jeda padanya. “Pelan! S-sakit!” rintih Amber, memohon pria di atasnya untuk melakukan dengan pelan. Pria tampan itu tak memedulikan rintihan Amber, dan permohonannya. Yang dia kembali lakukan adalah menyambar bibir Amber dengan bibirnya. Ciuman itu sangat panas dan liar, membangkitkan hasrat keduanya. Malam panjang itu, membuat Amber telah terjebak di dalam lingkaran api. Kenikmatan yang muncul akibat kewarasan yang hilang, membuatnya melewati batas berbahaya yang selama ini selalu dia jaga dengan baik.Alunan musik mengiringi pengantin wanita yang memasuki ballroom hotel mewah yang ada di New York. Amber didampingi James—ayah kandung Julian—memasuki sebuah ballroom hotel. Tampak para tamu undangan tak lepas menatap penampilan Amber yang begitu cantik dan sempurna. Amber seharusnya ditemani oleh ayahnya. Namun, takdir memiliki rencana yang berbeda. Hari yang indah itu, Amber ditemani oleh calon ayah mertuanya, karena ayah kandungnya telah berada di surga. Meski ada rasa sedih, tetapi hatinya tetap bersyukur. Kilat kamera wartawan terus terarah pada Amber yang baru saja memasuki ballroom hotel. Seluruh keluarga tersenyum haru bahagia melihat Amber yang hari itu terlihat seperti seorang putri raja yang sangat cantik dan menawan. Hanya satu kata yang menggambarkan Amber hari itu yaitu sempurna. Ya, pernikahan Amber dan Julian diadakan secara mewah. Ribuan tamu yang datang dari berbagai kalangan. Mulai dari artis ternama, model ternama, hingga pengusaha-pengusaha ternama yang hadir
Langit megah seakan mendukung hari itu adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Amber dan Julian. Dua insan yang saling mencintai itu sebentar lagi akan mengikat hubungan mereka lebih sakral—di mana tidak akan ada yang bisa memisahkan mereka kecuali maut. Upacara pernikahan akan segera diadakan. Amber sudah tampil cantik, dan membuat sang make up artis terkagum. Bukan hanya sang make artis yang kagum, tetapi Jessie yang ada di sana sangat kagun akan penampilan Amber. Tubuh indah Amber terbalut oleh gaun pengantin yang sangat indah. Tiara berlian yang ada di kepala Amber, membuat semua kaum hawa pasti akan menjerit iri. Ya, Amber layaknya seorang putri raja yang akan segera menikah dengan seorang pangeran tampan. Persiapan pernikahan Amber dan Julian benar-benar singkat, tetapi dari segi kesiapan semuanya berjalan seakan telah tertata dengan sempurna. Bisa dilihat dari penampilan Amber yang memukau dan hotel berbintang lima yang dipilih sebagai resepsi, begitu menunjukkan kemewahan.
Amber menyambut kedatangan Julian. Wanita cantik itu memberikan kecupan dan pelukan di tubuh pria yang sangat dia cintai itu. Waktu menunjukkan pukul lima sore, dan Julian baru saja kembali ke kantor. Sementara kembar sudah pulang dijemput oleh sopir. “Kembar di mana?” tanya Julian seraya mengurai pelukan Amber, tapi memberikan kecupan di kening wanita itu. “Kembar sedang di ruang belajar. Mereka sedang menyelesaikan tugas-tugas mereka,” jawab Amber sambil membantu meletakan jas Julian ke tempat pakaian kotor. “Julian, bagaimana harimu di kantor? Semua baik-baik saja, kan?” tanyanya hangat. Julian melepaskan arlojinya, meletakan ke tempat penyimpanan arloji. “Ya, pekerjaanku semua baik. Tadi, ayahku mengubungiku, memintaku untuk tidak terlalu banyak memikirkan pekerjaan. Ayahku memintaku fokus pada rencana pernikahan kita. Tapi, aku sudah menjelaskan padanya, rencana pernikahan kita semua sudah diurus dengan baik. Mark banyak membantuku.” Amber mendekat, memeluk Julian dari belak
Kabar rencana pernikahan Amber dan Julian sudah tersebar di seluruh media. Pemberitaan sebelumnya yang heboh karena kematian Clara, mulai tergantikan dengan berita kebahagiaan rencana pernikahan Amber dan Julian. Dua insan saling mencintai itu bahkan tidak jarang mengumbar kemesraan di publik. Mereka saling menunjukkan cinta mereka yang luar biasa. Ya, ini bagaikan kisah yang tak pernah Amber sangka dalam hidupnya. Wanita cantik itu tidak pernah mengira akan bertemu kembali dengan Julian, dan melanjutkan kisah mereka yang berawal dari sebuah hal yang tak mungkin. Amber dulu terpuruk di saat ayahnya meninggal dunia. Dia merasakan sendiri di dunia. Sampai semua berubah di kala dirinya bertemu dengan Julian—membuatnya dan Julian terlibat hubungan yang sangat rumit. Seperti permainan takdir yang tak disangka-sangka. Hubungan Amber dan Julian tidak seperti kisah romansa yang lain. Mereka penuh lika-liku. Bahkan kejadian buruk kerap menghantam hubungan mereka, tetapi untungnya takdir mem
Amber dan Julian bersama kembar sudah pulang. Tinggal Gracey dan James berdua di mansion megah mereka. Tampak pasangan suami istri yang sudah tidak lagi muda itu terus berpelukan. Lebih tepatnya Gracey tak ingin melepaskan pelukannya pada James. “Jika kau terus menerus memelukku seperti ini, aku bisa mati karena sesak napas,” ucap James dingin, dengan raut wajah datar. Gracey langsung mengurai pelukannya, menatap hangat sang suami. “Maaf, aku terlalu senang akhirnya kau memberikan restu untuk putra kita menikahi Amber. Aku sangat bahagia, Sayang.” “Aku hanya melakukan apa yang sudah seharusnya aku lakukan,” jawab James lagi masih dengan nada dingin. Gracey tersenyum lembut. “Saat aku mendengar kau memanggil polisi untuk membantu Julian menyelamatkan Amber, aku sangat bahagia. Aku selalu berdoa pada Tuhan agar kau bisa memberikan restu agar Amber dan Julian menikah. Ternyata Tuhan benar-benar mendengar apa yang aku doakan. Terima kasih, Sayang.” Sebelumnya, Gracey sudah tahu tenta
Amber membantu Gracey dan pelayan yang menghidangkan makanan ke atas meja makan. Banyak menu makanan lezat yang terhidang. Tampak kembar riang sejak tadi riang dan tak sabar untuk menikmati makanan lezat itu. Namun, sayang di kala kembar riang, Amber malah terlihat muram. “Amber, ayo kita makan. Kembar sudah tidak sabar,” ajak Gracey lembut, mengajak Amber untuk makan bersama. Amber terdiam sebentar. “Tapi, Julian dan Tuan James masih belum turun, Mom. Lebih baik kita tunggu mereka saja.” Gracey tersenyum hangat. “Kau sebentar lagi akan menikah dengan Julian masih saja memanggil James dengan sebutan Tuan James. Harusnya kau memanggil ayah Julian itu dengan sebutan Daddy, Amber.” Amber belum merespon ucapan Gracey. Tentu selama ini dia tidak berani memanggil James dengan panggilan ‘Daddy’, karena dia sadar bahwa selama ini James tidak pernah menyukai dirinya. Gracey yang melihat Amber melamun, langsung menyentuh bahu Amber. “Lebih baik kita makan dulu. Tidak usah tunggu Julian dan
“Yeay! Daddy dan Mommy sudah datang!” Victor dan Violet berseru riang gembira melihat kedua orang tuanya datang. Mereka berlari, menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tuanya itu. Julian dan Amber tersenyum hangat mendapatkan sambutan dari anak kembar mereka. Bisa dikatakan Julian dan Amber sudah tak sabar bertemu dengan anak kembar mereka yang belakangan ini dititipkan di rumah kedua orang tua Julian. “Selama bersama Grandpa dan Grandma kalian jadi anak yang patuh, kan?” tanya Amber seraya membelai pipi Victor dan Violet dengan lembut. Victor menoleh menatap Violet. “Mommy, aku selalu patuh. Violet suka nakal, Mommy. Violet tidak patuh pada Grandpa dan Grandma.” Violet berdecak kesal di kala Victor menyalahkan dirinya. “Aku ini anak yang patuh, Victor! Kau jangan sembarangan bicara.” Victor mengulurkan lidahnya, meledek Violet. “Kau menyebalkan!” Violet hendak memukul Victor, tetapi Amber segera menahan tangan Violet. “Violet, sudah jangan seperti itu,” kata Amber menging
Suasana kafe di Manhattan tampak sunyi dan tentram. Beberapa pengunjung datang, dan tak menimbulkan suara berisik. Bisa dikatakan kafe itu memang tidak terlalu banyak pengunjung. Namun, meski tak terlalu banyak pengunjung—kafe itu memiliki desain klasik yang luar biasa menakjubkan. “Kau Tuan Johan Maes?” tanya Julian, dengan nada dingin di kala tiba di hadapan sosok pria bernama ‘Johan Maes’. Johan mengangguk singkat. “Kau Julian Kingston yang mengajakku bertemu?” balasnya, dengan nada tenang. Julian duduk di hadapan Johan. “Aku senang kau ada di New York, jadi pertemuan kita bisa berlangsung lebih cepat.” Julian meminta Mark untuk mengatur pertemuan dengan Johan Maes—pria asal Belgia—yang menahan perusahaan keluarga Amber. Beruntung Johan sedang ada di New York, jadi Julian bisa segera bertemu dengan pria itu. Johan mengambil wine yang ada di atas meja, dan menyesap perlahan. “Asistenmu Mark bilang kau ingin membahas sesuatu hal yang menguntungkan. Aku lihat profil perusahaanmu
Amber membuka kedua matanya di kala sudah terbangun dari tidurnya, tatapannya mengendar ke sekitar—melihat ke jam dinding waktu menunjukkan pukul delapan malam, tapi dia belum melihat keberadaan Julian. Dia meraih ponsel, bermaksud ingin menghubungi Julian, tetapi belum juga dia menghubungi, ternyata pintu kamar terbuka—dan Julian muncul di ambang pintu. “Julian? Akhirnya, kau pulang.” Amber tersenyum lega melihat Julian pulang, dia mendekat dan memberikan pelukan hangat. “Maaf, membuatmu menunggu.” Julian membalas pelukan Amber, dan mengecupi puncak kepala wanita itu. Amber mendongak, menatap hangat Julian. “Apa Mark membahas pekerjaan padamu?” tanyanya ingin tahu. Julian membelai pipi Amber lembut. “Ya, ada beberapa hal mengenai pekerjaan yang dibahas Mark. Amber, ada yang ingin aku beri tahu.” “Kau ingin memberitahuku apa, Julian?” tanya Amber lembut. Julian menarik dagu Amber, mencium dan melumat lembut bibir wanita itu. “Besok kita harus datang ke pemakaman Clara.” Raut wa