Tiga bulan setelah pesta tahun baru di Bali.
Sherly kini berada di dalam kamarnya sambil menatap sebuah benda kecil panjang dengan dua garis samar di bagian tengahnya. Bola matanya bergerak menatap toga yang masih tergantung di dinding kamarnya. Ia baru saja menggelar acara wisuda satu bulan yang lalu, dan akan melanjutkan kuliah ke Australia bulan depan. Tapi semua rencana itu mutlak berantakan karena benda kecil yang sedang digenggamnya kini.
Tubuh Sherly terasa lunglai, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang itu. Tangannya bergerak mengirimkan foto benda kecil itu pada Bianka. Dalam hitungan detik, Bianka pun meneleponnya.
“Sher? Lo seriusan hamil?” Terdengar suara Sherly yang terkejut di ujung sana.
Sherly meneguk ludahnya. “Gue sih berharapnya ini cuman prank, Bi,” desisnya.
“Oh my god, Sherly! Lo kok ceroboh banget, sih? Emangnya kalian nggak pakai pengaman apa?”
“Duh, plis, deh, Bi. Gue nelpon lo bukan minta penghakiman, ya?” dengus Sherly.
“Sorry. So, apa yang mau lo lakuin sekarang? Lo mau nyari ayah tuh bayi ke mana?” tanya Bianka akhirnya.
“Kok lo malah mikirin tuh cowok, sih? Lo pikirin dong ini nasib gue gimana entar. Sebulan lagi gue bakal kuliah di Australia lho, Bi! Kalau bokap nyokap gue tahu gue hamil di luar nikah-“
Praangg….!
Belum sempat Sherly menyelesaikan kalimatnya, ia lebih dahulu mendengar suara pecahan piring di depan pintu, tampaklah mamanya yang sedang berdiri dengan tangan gemetar memegangi gelas yang masih ada di tangannya. Kedua bola mata Sherly kontan terbelalak. Itulah kiamat baginya.
“Papa…!” Rita langsung berteriak memanggil suaminya.
***
Sherly kini duduk di hadapan Papa, Mama, dan seorang kakak perempuannya bernama Sheina. Test pack yang tergelatak di atas meja sudah cukup membuktikan bahwa Sherly memang tengah berbadan dua.
“Jawab Papa sekarang! Siapa laki-laki yang telah menghamili kamu!” bentak Thomas pada putri bungsunya itu.
Sherly hanya bisa menundukkan kepala, ia benar-benar tidak punya jawaban, ia sendiri pun tidak tahu nama laki-laki itu, bahkan mereka hanya bertemu satu kali di malam itu.
“Jangan diam saja, Nak! Ayo, jawab! Siapa laki-laki itu? Dia harus bertanggung jawab dan segera menikahi kamu,” tambah Rita. “Jangan takut, Nak! Ayo, katakan!”
“Sher-sherly tidak tahu, Ma,” lirih Sherly akhirnya.
“Tidak tahu?” suara Thomas terdengar makin tinggi. “Bagaimana mungkin kamu tidak tahu? Memangnya berapa orang laki-laki yang sudah meniduri kamu, hah?”
“Papa!” Rita menahan ucapan suaminya.
“Anak kamu ini sudah bikin malu keluarga. Di dalam garis keturunanku, tidak ada yang bikin aib seperti ini. Tapi lihat apa yang dia lakukan sekarang, ia mencetak sejarah dengan mengandung anak haram pertama di garis keturunanku!” kecam Thomas yang sudah begitu kalut dan emosi. Ia merasa dikhianati oleh putri yang sangat dibanggakannya itu.
Sherly bersusah payah menampung air mata di kelopaknya. “Maafkan Sherly, Pa,” lirihnya.
“Maaf? Apa kamu pikir semua ini bisa selesai dengan kata maaf, hah? Mau ditarok di mana muka Papa ini, Sherly? Apa kata orang-orang jika seorang Thomas Siregar sudah memiliki cucu sebelum memiliki menantu?” bentak Thomas lagi. Sherly hanya bisa diam.
Thomas mondar-mandir dengan matanya yang merah. “Papa tidak mau tahu. Semua keluarga besar sudah tahu bahwa bulan depan kamu akan kuliah di Australia, jadi mulai bulan depan, Papa tidak mau melihat wajah kamu di rumah ini.”
Wajah Sherly langsung terangkat mendengar ucapan ayahnya itu. Hatinya terasa perih. “Papa ngusir aku?”
“Papa tidak ingin melihat anak haram itu lahir di rumah ini. Terserah kamu mau membawanya ke mana. Papa akan tetap membiayai kamu sampai anak itu lahir, tapi begitu anak itu lahir, silakan kamu pikirkan sendiri bagaimana cara membesarkannya! Papa tidak akan ikut serta!” tegas Thomas, setelah berucap demikian ia langsung memasuki kamarnya sebelum darah tingginya kumat.
“Pa! Jangan lakukan itu pada Sherly, Pa! Bagaimana pun Sherly tetaplah anak kita!” Rita menyusul suaminya ke kamar, berusaha membujuk untuk memberikan keringanan untuk Sherly.
Tinggallah Sherly dan Sheina di ruangan itu. Sheina melirik adeknya. “Dek…”
“Kenapa, Kak? Lo mau ikutan menghakimi gue juga? Lo mau ngatain gue murahan, hah?” balas Sherly ketus. Ia merasa tidak seorang pun yang memihaknya saat ini.
“Kakak sama sekali nggak punya pikiran kayak gitu, Dek. Kakak justru prihatin sama kamu,” ucap Sheina.
“Alaah. Kak Sheina nggak usah sok baik. Aku tahu Kakak juga senang dengan musibah yang menimpa aku sekarang. Selama ini Kakak iri kan karena Papa lebih sering ngebanggain aku daripada Kakak? Selamat, Kak! Mulai hari ini Kak Sheina akan jadi satu-satunya anak emas Papa,” ucap Sherly yang terdengar perih. Ia langsung memasuki kamarnya lantas mengemasi barang-barangnya, meski ia masih belum tahu harus melangkahkan kakinya ke arah mana.
***
Bianka memarkirkan mobilnya di sebuah rumah kecil di daerah Jakarta Selatan. “Kita sudah sampai, Sher,” ucapnya pada Sherly yang melamun sepanjang perjalanan tadi.
“Eh, iya.” Sherly mengusap air matanya lantas turun dari mobil sahabatnya itu. Bianka membantu menurunkan koper dan barang-barang Sherly.
“Ini rumah lama orang tua gue, dulu rumah ini dikontrakkan, tapi bulan lalu yang ngontrak sudah pindah. Sorry, ya, gue cuman bisa ngasih tempat tinggal yang kayak gini buat lo,” lirih Bianka.
“Ini juga udah lebih dari cukup buat gue, Bi. Makasi ya lo udah support gue, cuman lo yang masih berpihak ke gue di saat situasi gue yang kayak gini,” balas Sherly.
“I’ll be there for you, Bi. Pokoknya kalau lo butuh apa-apa, lo hubungin gue aja. Ingat, jangan ngelakuin hal ceroboh lagi yang bisa ngebahayain diri lo, apalagi janin di dalam kandungan lo,” ucap Bianka sambil menatap Sherly dengan tulus.
Sherly tersenyum getir. “Hidup gue udah hancur gini mau dibikin hancur kayak apa lagi, sih, Bi,” desisnya. Ia menatap nanar tempat tinggal barunya itu yang berbeda seperti langit dan sumur dengan rumah orang tuanya. Tapi bukan tinggal di tempat sederhanan itu yang membuat batinnya perih, melainkan membayangkan akan menjalani masa-masa sulit ke depannya seorang diri. Ia merasa sudah menjadi sebatang kara saat masih memiliki keluarga utuh.
Seolah membaca apa yang sedang dipikirkan Sherly, Bianka pun memeluk sahabatnya itu. “Gue yakin lo kuat, Sher,” bisiknya. Sherly pun terisak dalam pelukan Bianka.
Beberapa menit berselang, Bianka membukakan pintu lantas mempersilakan Sherly masuk. Ia juga membantu mempersiapkan semua kebutuhan Sherly. Furniture di rumah itu masih terbilang lengkap meski tidak terlalu bagus. Ada dua kamar yang bisa ditempati. Malam itu, Bianka akan menginap di sana untuk menemani Sherly. Tapi lusa Bianka juga harus pulang ke rumahnya, karena Bianka juga tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Ya, Bianka baru saja diterima menjadi karyawan tetap di sebuah Bank Swasta.
Tiga tahun kemudian.Praangg… Brukkk… Setelah bunyi benda yang jatuh, terdengar juga suara tangisan seorang anak kecil. Sherly yang sedang memasak ikan di dapur langsung menuju kamar untuk memastikan keadaan anaknya.“Bryan! No…!” Ia berteriak begitu melihat anaknya sedang merangkak menuju pecahan gelas di lantai. Bergegas Sherly mengangkat tubuh anak berumur dua tahun itu. Tampaknya Bryan terjatuh dari kasur dan menyenggol gelas yang ada di sebelah tempat tidur itu. Untunglah kasur itu tidak terlalu tinggi.“Mana yang sakit, Sayang?” Sherly maniup-niup kepala dan lengan Bryan, berusaha menenangkan. “Astaga!” Sherly teringat masakannya di dapur. Dengan Bryan dalam gendongannya, Sherly pun kembali berlari kecil ke dapur.“Aishh! Gosong!” dengus Sherly, lantas mematikan kompor.Kriiingg… Ponselnya berdering. Sherly pun mengangkat telepon dari Bianka. “Ya, Bi?”
Setelah satu minggu mencari mencari pekerjaan di internet, mengirimkan lamaran pekerjaan melalui email, bahkan sampai mengantarkan langsung ke perusahaan terkait, akhirnya Sherly mendapatkan panggilan interview.“Yes!” Sherly sampai berseru girang bahkan melompat-lompat di atas tempat tidurnya. Bryan tertawa melihat tingkah ibunya itu.“Sebentar lagi Mama akan kerja, Sayang. Mama bisa beliin banyak barang bagus buat kamu. Mama bisa beliin kamu susu dan mainan yang banyak!” ucap Sherly lantas menciumi balita yang berumur dua tahun itu.Keesokan harinya…Pagi-pagi sekali Sherly sudah bangun. Ia mempersiapkan kebutuhan Bryan terlebih dahulu sebelum mempersiapkan kebutuhannya sendiri. Tadi malam Sherly sudah mengobrak-abrik isi lemarinya, ia menemukan beberapa setelan kemeja dan rok yang masih bisa dipakai. Untunglah badan Sherly tidak melar setelah melahirkan, sehingga ia masih bisa memakai pakaian ketika masa kuliah dahulu.
Sherly berlari-lari kecil saat ke luar dari pintu lift. Ia ingin secepat mungkin meninggalkan perusahaan tersebut. Sherly sendiri tidak habis pikir kenapa ia bisa bertemu kembali dengan laki-laki itu. Meski sebenarnya Sherly juga mempertanyakan kenapa ia memilih kabur? Bukankah ia memang mencari laki-laki itu selama ini? Bukankah ia ingin meminta laki-laki itu untuk bertanggung jawab?Di lobi, Sherly justru bertemu dengan Diana. “Udah selesai wawancaranya?” tegur Diana yang heran melihat Sherly ke luar lift dengan raut ketakutan.“Su-sudah, Mbak.” Sherly bahkan sampai tergagap saat menjawab pertanyaan Diana. Ia menanggalkan blazer yang dikenakannya lantas mengembalikannya pada Diana. “Terima kasih banyak ya, Mbak,” ucap Sherly.“Gimana hasil wawancaranya?” tanya Diana lagi, nada bicaranya terdengar dingin, sama seperti Ibuk HRD tadi, pun tidak jauh berbeda dengan sang CEO tadi. Sherly sampai berpikir bahwa seisi ka
Semula Sherly hendak makan siang di warung tenda depan kantor saja, tapi karena mengingat waktu yang ia punya hanya setengah jam, Sherly pun memutuskan untuk makan siang di kantin kantor yang terletak di lantai lima. Karena Sherly datang saat jam makan siang sudah setengah jam berlalu, maka Sherly pun mendapati kantin itu tidak terlalu ramai. Ada beberapa orang yang tampak masih duduk mengobrol sambil menghabiskan makanannya.Sherly memesan menu makan siangnya lantas membawanya duduk ke sebuah meja. Karena merasa canggung, Sherly pun fokus pada makanannya saja, dari pada menjadi pusat perhatian karena wajahnya yang masih asing di kantor itu.“Karyawan baru, ya?” tegur seorang pria yang duduk di sebelah meja Sherly.“Iya, Mas,” sahut Sherly.“Divisi apa?” tanyanya lagi.“Hmmm…, saya sekretaris barunya CEO,” jawab Sherly.“Oh begitu.” Pria itu tampak manggut-manggut. “Oh,
Karena ditinggalkan Raymond seorang diri di restorant itu, Sherly terpaksa balik ke kantor dengan menggunakan transportasi umum. Semula ia ingin memesan taksi, tapi karena uang di sakunya hanya seratus ribu, sementara jarak restoran dan kantor tersebut cukup jauh, Sherly pun memutuskan untuk menaiki bus kota saja.Suasana jalanan yang sangat macet sore itu menyebabkan Sherly baru tiba di kantor pukul lima sore. Sherly pun bergegas menuju ruang CEO yang berada di lantai tujuh, di dalam lift, ia sibuk menyeka keringatnya sendiri, sementara karyawan lain tampak sudah bersiap untuk meninggalkan kantor.Tok! Tok! Tok!Sherly mengetuk pintu ruangan CEO. Tidak lama berselang pintu pun dibukakan oleh Raymond hanya mengenakan celana pendek dan baju kaos. Sherly mengerutkan dahi, merasa heran kenapa pria itu mengenakan pakaian informal di dalam kantornya.“Mau apa kamu?” tanya Raymond dengan nada ketus.“Hmm … tadi kan Bapak nyuruh s
Raymond yang sedang berlari-lari kecil di treadmill bergegas mengurangi kecepatan alat olahraga itu ketika mendengar ponselnya berdering. Dengan menggunakan bantuan headset yang sudah terpaut di telinganya, Raymond pun mengangkat panggilan tersebut.“Halo!”“Raymond! Ini Oma.” Terdengar seseorang menyahut di ujung sana.“Ya, kenapa, Oma?”“Tadi Oma ke apartementmu, tapi apartement itu kosong. Oma juga tanya ke petugas keamanan di sana, katanya apartement itu jarang dihuni. Kamu masih rutin menginap di kantor, ya?”“Iya, Oma. Sedang banyak kerjaan sekarang. Lagian lebih efektif menginap di kantor dari pada bolak-balik ke apartemen,”“Tapi kan kamu itu seorang CEO RR Tech, Rey, masa seorang CEO menginap di kantor, seperti tidak terurus saja.”Raymond tersenyum kecil. “Kantor Raymond kan besar, Ma. Lagipula ruangan CEO-nyo juga sudah Raymond renovasi, ada kamar
Karena semalam menginap di rumah Oma-nya, Raymond jadi terlambat datang ke kantor. Raymond langsung menghampiri meja sekretarisnya. “Apa saja agenda saya hari ini?” tanya Raymond pada Sherly yang sedang asik membaca profil perusahaan.Sherly yang terkejut dengan kedatangan Raymond pun langsung berdiri. “Saya tidak tahu, Pak,” jawabnya.“Hah? Bagaimana kamu sampai tidak tahu? Kamu kan sekretaris pribadi saya? Kamu harus tahu semua jadwal saya,” bentak Raymond yang langsung tersulut emosi.“Tapi kan saya baru masuk kemarin, Pak,” balas Sherly.Raymond tampak menghembuskan napas. “Ya, sudah, kamu ikut ke ruangan saya sekarang.”“Baik, Pak.”“Di atas meja saya itu ada buku agenda, nanti kamu salin ke catatan kamu, ya. Sekalian tolong kamu cek agenda saya hari ini!” perintah Raymond. Ia tampak memasuki bilik kecil dalam ruang CEO itu untuk mengganti kemejanya yang
Raymond melepaskan jemari Sherly yang menggenggam lengannya. “Tidak bisa Sherly. Ini kita sudah terlambat. Nanti saja cari toilet di hotelnya. Lagian salah kamu juga, siapa suruh masukin obat pencahar ke minuman saya.”Raymond terus mengoceh, hingga tiba-tiba …Prutt…! Brruutt…!Raymond terbelalak mendengar suara yang diiringi aroma tidak sedap itu. Ia menghadap Sherly sambil melotot.“Maaf, Pak. Saya tidak tahan,” lirih Sherly, matanya sayu karena menahan kesakitan sedari tadi.“Aishhh…!” Raymond langsung menepikan mobilnya dan ke luar dari mobil itu.“Saya kasih kamu lima menit untung menghilangkan aroma busuk itu!” teriak Raymond dari luar mobil.Sherly menurunkan kaca mobilnya. “Apa Bapak mau membelikan celana dalam dan rok buat saya di toko itu baju itu, Pak? Kotoran saya ke luar sedikit,” pinta Sherly menahan malu sendiri.“Hah?&