Sherly dan Raymond sudah berada di dalam mobil, hendak menuju lokasi untuk bertemu dengan kliennya. Seperti biasa, Raymond yang menyetir. Sementara Sherly di sebelahnya sibuk membaca susunan agenda hari itu.
“… Sore nanti, pukul setengah empat ada konferensi pers dengan media, launching produk terbaru RR Tech-“
“Agenda konferensi per situ kamu undur saja jadi malam. Soalnya saya nggak yakin bisa terkejar sore,” potong Raymond.
“Kalau malam saya tidak bisa, Pak. Gimana kalau diundur sampai besok pagi saja, Pak?”
Raymond langsung mendelik pada wanita yang duduk di sebelahnya itu. “Di sini yang bos adalah saya, ya. Saya yang berhak ngatur kamu, bukan kamu yang malah ngatur saya!” tandas Raymond.
“Tapi saya benaran nggak bisa kalau malam, Pak. Kecuali kalau Bapak mau menghadiri acara konferensi pers itu tanpa saya ya silakan,” terang Raymond.
“Kamu ini lancang sekali, ya! S
"Terserah Oma saja. Silakan Oma yang atur sendiri," rajuk Raymond. Setelah berkata demikian, ia langsung ke luar dari kediaman Oma Kenanga.Sherly terbelalak mendengar jawaban Raymond yang tanpa perlawanan itu. Terserah Oma? Apa itu artinya Raymond menerima perjodohan tersebut?"Sherly! Cepat!"Sherly tersentak mendengar teriakan si bos dari luar. Setelah membungkukkan badan pada Oma Kenanga dan Bella, Sherly pun bergegas menyusul Raymond.Begitu Sherly masuk ke mobil, Raymond langsung tancap, tidak kalah ngebut dengan kecepatannya saat menuju kediaman Oma Kenanga tadi."Ki-kita mau ke mana, Pak?" tanya Sherly yang terhuyung-huyung dalam mobil itu."Ketemu klien," jawab Raymond dingin."Tapi kan semua agenda hari ini sudah dicancel, Pak."Tittttt....!Raymond menginjak rem secara mendadak. Sherly benar-benar dibuat jantungan. Mobil itu menepi ke pinggir jalan, dekat jembatan. Ada bapak-bapak pedagang yang menjual minuman kaleng. Raymond t
"Apa kamu mau menikah dengan saya, Sherly?"Uhukk! Uhuk! Sherly langsung terbatuk mendengar pertanyaan itu dari mulut sang CEO. Bergegas ia menyeruput minuman yang ada di sebelahnya, karena grogi, Sherly malah jadi meminum minuman Raymond. Raymond langsung tersenyum melihat hal itu."Katanya nggak mau minum di bekas bibir saya, eh ujung-ujungnya minuman saya diembat juga," sindir Raymond.Muka Sherly langsung berubah jadi merah padam. "So-sorry, saya nggak sengaja," ucap Sherly tergagap. "Lagian bapak juga, sih. Ngaco banget ngomongnya!""Saya yang ngaco atau kamu yang grogi?" Raymond menatap sambil menaikkan sebelah alisnya. Dari jarak yang dekat itu, tatapan Raymond terlihat amat memabukkan. Namun Sherly buru-buru mengalihkan wajahnya."Pokoknya Bapak ngaco! Masa tiba-tiba ngajak nikah kayak gitu?""Hahaha." Raymond tertawa, Sherly menatap curiga pada laki-laki itu."Kamu pikir saya emang serius ngajak kamu nikah, hah? Ya enggaklah. Saya hanya me
“Happy New Year…!” Sherly mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, yang disusul oleh teman-temannya hingga gelas-gelas itu beradu dan membunyikan dentingan kecil.“Cheeerrrsss…!” Sorak mereka sebelum menenggak minuman beralkohol itu secara bersamaan.“Sher…! Gue ke sana sebentar, ya…!” ujar Bianka pada Sherly. Suara dentuman musik yang keras mengharuskan mereka bicara sambil teriak.“Hah?”“Gue mau ke sana se-ben-tar…!” ulang Bianka sambil mengeja setiap kalimatnya agar lebih mudah dimengerti oleh Sherly.“Oh, oke!” Sherly mengacungkan jempolnya lantas kembali masuk ke kerumunan, ikut berjingkrakkan dengan orang-orang yang sedang menikmati pesta tahu baru di pinggir pantai Bali itu.Namanya Sherly Agatha Siregar, keturunan campuran Medan-Jawa yang menetap di Jakarta. Umurnya 22 tahun, ia baru saja menyelesaikan sidang komprehensif untuk gelar
Tiga bulan setelah pesta tahun baru di Bali.Sherly kini berada di dalam kamarnya sambil menatap sebuah benda kecil panjang dengan dua garis samar di bagian tengahnya. Bola matanya bergerak menatap toga yang masih tergantung di dinding kamarnya. Ia baru saja menggelar acara wisuda satu bulan yang lalu, dan akan melanjutkan kuliah ke Australia bulan depan. Tapi semua rencana itu mutlak berantakan karena benda kecil yang sedang digenggamnya kini.Tubuh Sherly terasa lunglai, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang itu. Tangannya bergerak mengirimkan foto benda kecil itu pada Bianka. Dalam hitungan detik, Bianka pun meneleponnya.“Sher? Lo seriusan hamil?” Terdengar suara Sherly yang terkejut di ujung sana.Sherly meneguk ludahnya. “Gue sih berharapnya ini cuman prank, Bi,” desisnya.“Oh my god, Sherly! Lo kok ceroboh banget, sih? Emangnya kalian nggak pakai pengaman apa?”“Duh, plis, deh, Bi. G
Tiga tahun kemudian.Praangg… Brukkk… Setelah bunyi benda yang jatuh, terdengar juga suara tangisan seorang anak kecil. Sherly yang sedang memasak ikan di dapur langsung menuju kamar untuk memastikan keadaan anaknya.“Bryan! No…!” Ia berteriak begitu melihat anaknya sedang merangkak menuju pecahan gelas di lantai. Bergegas Sherly mengangkat tubuh anak berumur dua tahun itu. Tampaknya Bryan terjatuh dari kasur dan menyenggol gelas yang ada di sebelah tempat tidur itu. Untunglah kasur itu tidak terlalu tinggi.“Mana yang sakit, Sayang?” Sherly maniup-niup kepala dan lengan Bryan, berusaha menenangkan. “Astaga!” Sherly teringat masakannya di dapur. Dengan Bryan dalam gendongannya, Sherly pun kembali berlari kecil ke dapur.“Aishh! Gosong!” dengus Sherly, lantas mematikan kompor.Kriiingg… Ponselnya berdering. Sherly pun mengangkat telepon dari Bianka. “Ya, Bi?”
Setelah satu minggu mencari mencari pekerjaan di internet, mengirimkan lamaran pekerjaan melalui email, bahkan sampai mengantarkan langsung ke perusahaan terkait, akhirnya Sherly mendapatkan panggilan interview.“Yes!” Sherly sampai berseru girang bahkan melompat-lompat di atas tempat tidurnya. Bryan tertawa melihat tingkah ibunya itu.“Sebentar lagi Mama akan kerja, Sayang. Mama bisa beliin banyak barang bagus buat kamu. Mama bisa beliin kamu susu dan mainan yang banyak!” ucap Sherly lantas menciumi balita yang berumur dua tahun itu.Keesokan harinya…Pagi-pagi sekali Sherly sudah bangun. Ia mempersiapkan kebutuhan Bryan terlebih dahulu sebelum mempersiapkan kebutuhannya sendiri. Tadi malam Sherly sudah mengobrak-abrik isi lemarinya, ia menemukan beberapa setelan kemeja dan rok yang masih bisa dipakai. Untunglah badan Sherly tidak melar setelah melahirkan, sehingga ia masih bisa memakai pakaian ketika masa kuliah dahulu.
Sherly berlari-lari kecil saat ke luar dari pintu lift. Ia ingin secepat mungkin meninggalkan perusahaan tersebut. Sherly sendiri tidak habis pikir kenapa ia bisa bertemu kembali dengan laki-laki itu. Meski sebenarnya Sherly juga mempertanyakan kenapa ia memilih kabur? Bukankah ia memang mencari laki-laki itu selama ini? Bukankah ia ingin meminta laki-laki itu untuk bertanggung jawab?Di lobi, Sherly justru bertemu dengan Diana. “Udah selesai wawancaranya?” tegur Diana yang heran melihat Sherly ke luar lift dengan raut ketakutan.“Su-sudah, Mbak.” Sherly bahkan sampai tergagap saat menjawab pertanyaan Diana. Ia menanggalkan blazer yang dikenakannya lantas mengembalikannya pada Diana. “Terima kasih banyak ya, Mbak,” ucap Sherly.“Gimana hasil wawancaranya?” tanya Diana lagi, nada bicaranya terdengar dingin, sama seperti Ibuk HRD tadi, pun tidak jauh berbeda dengan sang CEO tadi. Sherly sampai berpikir bahwa seisi ka
Semula Sherly hendak makan siang di warung tenda depan kantor saja, tapi karena mengingat waktu yang ia punya hanya setengah jam, Sherly pun memutuskan untuk makan siang di kantin kantor yang terletak di lantai lima. Karena Sherly datang saat jam makan siang sudah setengah jam berlalu, maka Sherly pun mendapati kantin itu tidak terlalu ramai. Ada beberapa orang yang tampak masih duduk mengobrol sambil menghabiskan makanannya.Sherly memesan menu makan siangnya lantas membawanya duduk ke sebuah meja. Karena merasa canggung, Sherly pun fokus pada makanannya saja, dari pada menjadi pusat perhatian karena wajahnya yang masih asing di kantor itu.“Karyawan baru, ya?” tegur seorang pria yang duduk di sebelah meja Sherly.“Iya, Mas,” sahut Sherly.“Divisi apa?” tanyanya lagi.“Hmmm…, saya sekretaris barunya CEO,” jawab Sherly.“Oh begitu.” Pria itu tampak manggut-manggut. “Oh,