Share

Meminta Anak Sherly

Tiga tahun kemudian.

Praangg… Brukkk… Setelah bunyi benda yang jatuh, terdengar juga suara tangisan seorang anak kecil. Sherly yang sedang memasak ikan di dapur langsung menuju kamar untuk memastikan keadaan anaknya.

“Bryan! No…!” Ia berteriak begitu melihat anaknya sedang merangkak menuju pecahan gelas di lantai. Bergegas Sherly mengangkat tubuh anak berumur dua tahun itu. Tampaknya Bryan terjatuh dari kasur dan menyenggol gelas yang ada di sebelah tempat tidur itu. Untunglah kasur itu tidak terlalu tinggi.

“Mana yang sakit, Sayang?” Sherly maniup-niup kepala dan lengan Bryan, berusaha menenangkan. “Astaga!” Sherly teringat masakannya di dapur. Dengan Bryan dalam gendongannya, Sherly pun kembali berlari kecil ke dapur.

“Aishh! Gosong!” dengus Sherly, lantas mematikan kompor.

Kriiingg… Ponselnya berdering. Sherly pun mengangkat telepon dari Bianka. “Ya, Bi?”

“Gue mau ke tempat lho nih. Mau dibawain apa?” tanya Bianka.

“Lo bawa badan dulu deh. Gue butuh lo banget nih buat jagain Bryan. Dari tadi masakan gue belum kelar juga, Bi. Mana si Bryan susah banget disuruh tidur lagi,” balas Sherly.

“Hahaha.” Bianka justru menertawakan nasib sahabatnya itu. “Oke. Oke. Gue langsung berangkat, ya.”

Begitu panggilan tersebut berakhir, Sherly langsung membawa Bryan duduk di sofa kecil yang ada di rumah itu. Ibu muda itu tampak menghela dan menghembuskan napas berkali-kali. Sudah maghrib tapi ia baru makan roti dan susu dari tadi pagi. Bryan yang berada dalam pangkuannya tampak memainkan rambut ibunya itu. Sherly tampak sudah pasrah hingga beberapa menit berselang ia pun mendengar suara ketukan pintu.

“Huft! Syukurlah Bianka datang,” gumam Sherly lantas membukakan pintu. Tapi saat pintu dibukakan, ternyata yang berada di hadapannya bukanlah Bianka, melainkan Sheina, kakaknya. “Kak Sheina…,” lirih Sherly.

“Hai, Dek! Boleh masuk?” balas Sheina. Mereka berdua tampak canggung karena sudah lama tidak bertemu.

Sherly pun membukakan pintu untuk kakaknya itu. Sheina memerhatikan tempat tinggal adiknya, rumah yang kecil dengan peralatan yang seadanya, belum lagi barang-barang yang berceceran di lantai, ditambah bau badan Sherly yang masih nempel dengan bumbu dapur. Sheina meneguk ludah, merasa prihatin dengan keadaan adiknya itu.

Sheina mengalihkan pandangan pada balita kecil di pangkuan Sherly. “Keponakan Kakak lucu sekali,” ucapnya.

“Ini bukan keponakan Kakak, ini anak aku,” tandas Sherly.

Sheina meneguk ludahnya sendiri. “Dek, kamu masih marah ya sama Kakak?”

“Langsung to the point aja deh, Kak. Tujuan Kak Sheina ke sini tuh apa? Kalau cuman buat basa-basi doang atau malah ngeledek, kayaknya aku nggak punya waktu buat ngeladenin.”

“Kakak ke sini buat jemput kamu, Dek,” ucap Sheina.

Sherly spontan menyunggingkan senyum sinisnya. Selama tiga tahun, tidak seorang pun keluarganya yang datang menjenguk ke sana. Sherly melewati masa-masa sulitnya seorang diri. Dan kini Sheina datang untuk mengajaknya pulang ke rumah. Ke mana mereka selama ini?

“Dek, Kakak sudah menikah dua tahun yang lalu,” ucap Sheina lagi. Sherly masih menatap sinis pada kakaknya itu. Ia memang tahu pernikahan sang kakak dari sosial media, tapi tidak seorang pun yang mengabarinya soal itu.

“Tapi pernikahan Kakak tidak berjalan baik, Dek. Kakak divonis tidak bisa hamil oleh dokter. Kakak dan suami sudah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan anak, tapi hasilnya nihil,” lanjut Sheina.

Sherly mengerutkan dahinya, masih belum bisa menerka pembicaraan sang kakak akan mengarah ke mana.

“Kalau kamu mau, Kakak berniat untuk mengadopsi anakmu. Biar kamu bisa melanjutkan cita-cita kamu lagi. Nanti Kakak juga akan bantu bicara ke Mama dan Papa. Kamu bisa kembali ke rumah seolah-olah kamu baru pulang dari luar negeri. Soal foto wisudamu di sana bisa diatur, Dek,” terang Sheina menyampaikan maksudnya.

Sherly melongo mendengar penuturan sang kakak. Beberapa detik berselang, ia mengurai tawa sinis. “Apa? Kakak mau meminta anakku?” Sherly menggelengkan kepalanya. “Ke mana Kakak di saat aku sedang kesusahan, Kak? Ke mana Kakak waktu aku hamil besar dan butuh seseorang untuk menemani aku? Kakak, Mama, dan Papa, tidak seorang pun dari kalian yang memperdulikan aku. Bahkan Kakak bisa saja melangsungkan acara pernikahan Kakak nan megah itu tanpa aku. Dan sekarang, Kakak mau meminta anakku? Jangan harap aku mau memberikannya pada Kakak! Juga tidak akan aku berikan pada siapapun!” bentak Sherly mengeluarkan apa yang disimpanny seorang diri selama ini.

“Jangan salah paham dulu, Dek. Kakak sama sekali tidak bermaksud jahat. Kakak hanya ingin membantu kamu dan anakmu agar kalian berdua kembali punya masa depan dan kehidupan yang layak.”

“Oh, jadi sekarang Kakak juga mengatakan hidupku dan anakku tidak layak? Tidak punya masa depan?” Sherly semakin tersinggung dengan kalimat kakaknya itu.

“Ya, lihatlah diri kamu sekarang, Dek! Tolonglah turunkan egomu sedikit saja! Jangan keras kepala! Ini juga buat kebaikan kamu dan anakmu!”

“Kakak yang egois!” bentak Sherly. “Sekarang juga Kakak ke luar dari rumahku sebelum kulempar wajah mulus Kakak itu dengan panci gosong!” teriaknya.

Sheina pun menghela napas. “Baik, Kakak akan pergi, tapi tolong kamu pertimbangkan saran Kakak yang tadi,” ucap Sheina, lantas ke luar dari rumah adiknya itu.

Sherly kembali menyandarkan punggungnya di sofa usang itu. Dadanya naik turun karena menahan emosi. Matanya juga terasa perih, tapi ia tidak menangis. Sherly merasa ia tidak boleh membuang air mata untuk keluarga yang tidak mempedulikannya itu.

Tidak lama berselang, Bianka datang dan heran melihat wajah Sherly yang masam. “Lo kenapa, Sher?” tanya Bianka.

Sherly menatap Bianka. “Mulai besok, gue akan cari pekerjaan,” ucapnya.

“Hah?” Bianka mengerutkan dahi. “Bukannya sekarang lo udah punya pekerjaan, ya?” tanya Bianka lagi. Semenjak hamil, Sherly memang menjadi penulis lepas agar punya penghasilan, dan menurut Bianka itu cukup untuk biaya hidup Sherly dan anaknya, lagipula bisa juga dilakukan tanpa harus meninggalkan Bryan.

“Gue mau punya pekerjaan yang layak,” tegas Sherly.

“Lo lagi butuh uang banget, ya? Butuh berapa, Sher? Gue bisa kok minjamin ke lo.”

“Gue mau buktiin ke keluarga gue kalau gue masih bisa ngasih kehidupan dan masa depan yang layak buat Bryan, tanpa belas kasihan dari mereka!”

“Lo kesambet apaan, sih? Apa yang terjadi, Sherly?” tanya Bianka yang masih bingung melihat sikap sahabatnya itu.

Sherly memindahkan Bryan ke pangkuan Bianka. Ia memasuki kamarnya untuk mengambil sesuatu dan kembali lagi dengan membawa sebuah map. “Lo lihat, ini adalah ijazah dan sertifikat perhargaan yang gue terima selama sekolah. Dengan semua prestasi ini, gue yakin bisa dapat pekerjaan yang bagus. Lo juga yakin kan, Bi?”

“Iya, gue yakin lo bisa dapat pekerjaan bagus. Tapi, kalau lo kerja, entar Bryan siapa yang ngurus, Sherly? Lo kan tahu gue juga nggak bisa ngejaga Bryan dua puluh empat jam,” terang Bianka.

“Gue akan nitipin Bryan ke penitipan anak selama gue kerja,” jawab Sherly. Tekadnya tampak sudah bulat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status