Bab 1

“Baring di atas ranjang dan buka kakimu.”

Dokter berdiri dan menarik gorden di belakangnya.

Aku pun berbaring dengan cemas, lalu Jimmy Halim menyuruhku untuk rileks sambil pergi mencuci tangan dan mensterilkannya.

Mendengar suara air, aku yang berusaha untuk rileks justru semakin cemas. Saat Jimmy mendekat, tanpa sadar aku menahan napas hingga wajahku memerah.

“Rileks saja, tarik napas dalam-dalam,” ucap Jimmy sambil mengenakan sarung tangannya.

Aku segera mengikuti arahannya dan menghembuskan napas panjang. Akibatnya, dadaku pun naik turun dengan hebat.

Tatapan Jimmy tertuju pada dadaku.

Dia sedang menatap payudara 36D aku.

“Dok …” Aku sapa dengan malu.

Dia tersadar dan bertanya, “Payudaramu mau dipercantik lagi?”

“Nggak usah.”

Jimmy malah berkata, “Aku boleh sekalian cek. Dari sudut pandang profesional seorang dokter ahli bedah plastik pria, biar kuberi tahu pacarmu bakal suka atau nggak.”

Aku tertarik akan perkataannya, lalu mengangguk dan berkata, “Makasih Dok.”

Jimmy meletakkan tangannya di dadaku dan meremasnya.

“Bentuk dan ukurannya bagus, berisi dan elastis. Sekarang aku mau buka bajumu untuk melihat bentuk dan warna putingmu.”

“Oke.”

Bajuku terangkat hingga ke tulang selangka, tatapan Jimmy tertuju pada payudaraku yang menjulang, lalu …

Bra terbuka dan sepotong daging lembut keluar dari kain renda.

Tangannya yang mengenakan sarung tangan tipis mengelus bagian teratas sebelah payudara. Aku bergetar dan wajahku memerah.

“Sebelah lagi.”

Tangan Jimmy yang satu lagi mengelus bagian teratas sebelahnya lagi. Aku terangsang, putingku pun menonjol.

“Kau sangat sensitif.”

Mendengar ini, aku merasa sangat malu.

Untung saja, Jimmy melepaskan tangannya saat ini. Aku pun ikut lega.

“Sempurna, nggak usah dipercantik lagi.”

Aku segera menjawab, “Baguslah kalau gitu.”

“Buka kakimu,” ucap Jimmy.

Aku pun mengikuti arahannya.

“Kaki harus ditekuk, pantat sedikit diangkat, lalu kau angkat roknya.”

Segera, kakiku terbentuk seperti huruf “M”, rokku terangkat hingga ke bagian pinggang dan pantatku juga sedikit terangkat.

“Celana dalamnya perlu dilepaskan?” tanyaku dengan pelan.

“Aku saja yang lepaskan.”

Aku menyadari tatapan Jimmy tertuju di antara kedua kakiku.

Saat ini, payudaraku tertekan keluar dari cup bra, putingnya menonjol dan kedua kakiku terbuka. Dokter pria yang tampan melepaskan celana dalamku dan menyelipkannya di samping daging montokku.

Aku merasa panas mengalir di antara kakiku dan sulit untuk ditahan.

Ini pertama kalinya aku ditatap begitu telanjang oleh seorang pria asing.

Jimmy tiba-tiba mendekat dan menghirup, “Wangi sekali, nggak bau.”

Bagian bawah tubuhku tiba-tiba terasa basah.

Demi menutupi rasa canggung, aku pun berkata, “Biasanya aku makan pil pewangi badan.”

Jimmy mengangguk dan menatap dengan saksama selama dua detik lalu berkata, “Bentuknya nggak jelek.”

“Be … benarkah?”

“Benar. Dari sudut pandang profesionalku, bukan hanya nggak jelek, tapi … pria bakal sangat menyukainya.”

Aku bertanya dengan heran, “Kenapa?”

“Aku masih perlu cek secara detail.”

“Apa?”

Pada detik berikutnya, tangannya menyentuh bagian bawahku. Seperti inspektur kualitas, dia membuka lipatan demi lipatan dengan cermat, menyentuh teksturnya dan mengukur ketebalan dengan gesekan jeamrinya.