Share

Bab 4 – Bukannya Kamu Juga Suka Dengannya?

Ais melangkahkan kakinya keluar dari kamar tipe honeymoon suite tempatnya bermalam untuk mencari udara segar. Mungkin membeli kopi instant di minimarket dekat hotel ini adalah opsi yang terbaik.

Lorong hotel yang dilaluinya tampak sepi. Pun sama, di dalam lift tempatnya berpijak juga hanya ada dirinya seorang. Lagi pula siapa juga yang kurang kerjaan keluyuran di malam hari kecuali dia yang sedang lari dari kenyataan bahwa sekarang ini dia sudah resmi menjadi seorang sumi. Yang berengsek.

Ais menekan tombol ke lantai paling dasar, kemudian ia menyandarkan punggungnya pada dinding lift yang terasa dingin sampai meresap ke punggung. Ketika denting lift berbunyi, seketika indra pendengaran Ais disambut selamat datang oleh suara cekikikan yang terdengar sangat familier.

Merasa penasaran, Ais mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari di mana sumber suara berasal.

Di depan sana, Ais melihat kembarannya sedang duduk dengan kaki naik sebelah ala orang yang sedang asyik makan di angkringan.

Heh, sedang apa bocah itu tengah malam cekikikan di sini?

Aim tidak sendirian, di sana dia juga ditemani oleh kedua temannya.

Setelah mendekat, Ais mengumpati mereka bertiga. Bisa-bisanya mereka asyik main gaple.

Ais memijit pangkal hidungnya. Kadang ia heran, kenapa pula saudaranya yang satu ini paling beda sendiri di keluarga mereka? Umi Abati saja kalem, Dek Kalila juga kalem, pun sama, Ais juga merasa kalau dirinya ini kalem. Tapi kenapa si tengah malahan kelakuannya seperti kutu loncat? Bahkan Ais ingat betul dulu ketika masih kecil dia selalu mengejek adiknya kalau Aim bukan anak Umi Abati, melainkan anak yang dipungut di pinggir jalan. Dan soal kemiripan wajah, Ais mengarang cerita mungkin itu hanyalah kebetulan semata. Kalau sudah seperti itu, maka Aim akan menangis dan mengadukannya ke Umi mereka.

Bahkan jika dipikir-pikir lagi, sifat Aim malahan mirip seperti Om Sean. Sableng.

“Ngapain lu di sini!” ucap Ais sambil menepuk bahu kembarannya yang sedang menyeruput kopi.

“Gila lo bang! Ngagetin aja! Kalau gue keselek gimana?” jawab Aim sewot.

“Lo ngapain tengah malem di sini?” ulang Ais sambil menggelengkan kepala. Tanpa diminta Ais mendaratkan bokongnya di salah satu kursi yang kosong.

“Main gaple,” jawab Aim sambil menyengir kuda.

“Kalau sampai Abati tahu lu main gaple, pasti lu bakalan diamuk.”

“Dari padamainin perasaan anaknya orang, ya, mending main gaple-lah, Bang.”

Jleb! Ais merasa tertohok mendengarnya, jelas saja tadi Aim sedang menyindirnya.

“Gue minta, ya?” ucap Ais mengambil salah satu kopi instant yang belum terbuka.

“Lagian, nih, ya, Bang. Tenang aja, Abati nggak bakal tahu kita main gaple di sini. Orang Umi sama Abati lagi bermesraan di dalam kamar sembari membuat adik keempat untuk kita.”

Ais mencoba bersikap biasa saja, padahal saat ini pipinya memerah mendengar ucapan adiknya barusan. Memang kembarannya ini kalau ngomong suka seenaknya.

“Tapi, Bang. Omong-omong lu sendiri kenapa jam segini keluyuran? Bukannya lu lagi malem pertama sama Sheril?” tanya Aim penuh selidik, mata Aim berbinar menuntut jawaban dari kakaknya.

Ais memilih jalan aman, yaitu diam.

“Masa, sih, Bang jam segini lu udah keluar. Lemes banget, dah, itu si joni,” tambahnya lagi sambil menyengir kuda.

Ais memejamkan mata, sumpah demi apa kembarannya ini benar-benar menjengkelkan.

“Hen lo beli kopi ini di mana?” tanya Ais mencoba mengalihkan pembicaraan. Hendra adalah salah satu dari teman Aim yang ikutan main gaple.

“Di deket sana, tuh.” Hendra mengedikkan dagu menunjuk ke arah mini market yang letaknya tak jauh dari hotel ini berada.

“Gue kira kalau lu punya bini seseksi Sheril bakalan lima ronde, Bang. Hehehe.”

Ais melotot. Aim buru-buru menutup mulutnya yang tercipta tanpa filter ini.

“Hen lo mau ke mini market nggak? Gue pengin nitip kopi. Ini duit kembaliannya ambil aja buat beli rokok.”

Hendra memang perokok aktif, sedangkan Ais dan Aim tidak. Hendra tahu sebenarnya Ais tidak betul-betul menginginkan kopi, melainkan Ais sedang mengkode secara tidak langsung kalau dia ingin bicara empat mata dengan adiknya.

“Oke. Gue juga lagi pengin cari camilan.”

“Thanks.”

“Yuk, Bro ikut,” ucap Hendra mengajak teman satunya lagi.

Kini tersisa Ais dan Aim di sana.

Ais bersedekap dada sambil menatap kembarannya dengan tatapan tajam membuat Aim ngeri.

“Apa, sih, Bang!”

Kalau sudah ditatap seperti itu biasanya Aim akan salah tingkah, dan mencari bahan pembicaraan baru adalah jalan ninjanya.

“Bang... Tadi gue ngelihat si Dara dateng ke sini,” gumam Aim sambil memunguti kartu gaplenya tanpa memandang Ais.

“Gue kira dia nggak punya muka buat dateng ke nikahan lo. Tapi ternyata dateng juga. Eh, bentar-bentar... Tapi kalian udah putus, kan, Bang?”

Yup, Aim memang tahu kalau kakaknya itu sudah pacaran lama dengan Dara. Kalila juga tahu, tetapi karena itu urusan pribadi masing-masing. Aim dan adiknya hanya diam saja. Terkadang yang membuat Aim takjub adalah Ais bisa-bisanya menyembunyikan hubungannya dengan Dara rapat-rapat sampai tidak tercium oleh kedua orang tua mereka.

“Kok, lu cuma diem, sih, Bang?”

Kali ini Aim mengerutkan dahi. Tatapannya serius. Tapi Abangnya malah berdehem yang entah apa maksudnya pun Aim tidak tahu. Jadi, Aim menyimpulkan sendiri jawaban atas pertanyaannya barusan.

“Lo nggak bisa Bang menyukai dua cewek secara bersamaan. Gue emang lebih muda dari lo. Sebenernya Gue nggak berhak ngomong kayak gini apa lagi sampai sok-sokan ngasih nasihat ke Elo karena kesannya pasti Gue kayak ikut campur banget sama kehidupan lo.”

Ada jeda sejenak ketika Aim mengucapkan kalimat panjang lebar tersebut. Hingga sampailah ke penghujung kata, yaitu kesimpulan dari itu semua. “Gue cuma ngingetin, Bang. Jangan sekali-kali main api. Atau lo bakalan kebakar nantinya.”

Ais terdiam, kalah telak. Sebenarnya dia pun bingung. Tapi Ais bukan tipe yang gampang menceritakan masalahnya kepada orang lain. Kalau Aim anaknya heboh tapi sedikit ceroboh. Beda halnya dengan Ais, Ais sendiri pendiam dan apa-apa di pendam sendiri. Dan yang membuatnya tambah frustrasi adalah bisa-bisanya tadi sore dia berkata akan menemui Dara untuk menjelaskan ini semua. Bahkan dia sampai memeluk Dara dan mengatakan kelak jika berpisah dengan Sheril maka dia akan menikahi Dara.

Kenapa dengan bodohnya dia mengatakan hal itu! Padahal sudah bagus Ais menghindari Dara selama berbulan-bulan. Tapi... ketika dia melihat Dara menangis terisak, Ais tidak tega. Dijanjikanlah hal-hal semu itu untuk menenangkan Dara.

“Kayaknya lo lagi bingung sama perasaan lo sendiri, deh, Bang. Gue harap lo cepetan sadar sebelum semuanya terlambat.”

Ais menyisir rambutnya ke belakang, satu embusan napas berat keluar dari mulutnya.

Iya, dia salah. Tapi bagaimana caranya dia keluar dari situasi ini? Padahal sebelumnya Ais ingin menolak perjodohannya dengan Sheril karena dia sudah punya kekasih yaitu Dara. Tetapi ketika dia memasuki ruang kerja Abatinya. Semua nyali Ais yang susah payah ia kumpulkan mati-matian sampai bercucur keringat pun surut. Di tambah bayangan di mana Uminya sangat menyayangi Sheril membuat Ais susah untuk menolaknya. Pasti hati kedua orang tuanya akan kecewa.

***

Ais. Tumben sekali kamu ke sini. Ada apa?” Hamkan melepaskan kacamatanya, rambutnya beberapa beruban. Meskipun sudah bertambah tua, namun Hamkan masih terlihat tampan. Apalagi jambang yang dibiarkan tumbuh di dagunya membuatnya seperti orang Arab. Inilah yang dinamakan semakin tua semakin berkharisma.

“Maaf kalau Ais ganggu Abati kerja.” Belum apa-apa Ais sudah kesusahan menelan ludah.

“Nggak pa-pa. Ayo silakan duduk.”

Ais merasa seketika otaknya menjadi buntu. Ia menebak-nebak apakah senyum hangat Abatinya akan berubah murka setelah dia mengutarakan keinginannya untuk membatalkan pernikahannya dengan Sheril?

“Ais mau ngomong soal pernikahan Ais sama Sheril, Abati.”

Hamkan tersenyum teduh. “Soal itu kamu jangan khawatir. Biar kami yang urus. Semoga semuanya berjalan dengan lancar sampai hari H, oke?”

Tidak! Bukan itu yang Ais maksud! Dan bukan itu pula jawaban yang Ais harapkan.

Namun ucapan Abati berikutnya membuat mata Ais membola, tercengang.

“Satu lagi. Setelah kalian resmi menikah. Abati bakalan nyerahin HAKA Group ke kamu buat kamu kelola. Bagaimanapun juga kamu akan menjadi kepala keluarga dan harus menghidupi keluarga kamu.”

A-apa?

Abati akan memberikan perusahaan kepadanya?

Ais kehilangan kata-kata. HAKA GROUP adalah perusahaan keluarga mereka yang bergerak di bidang property. Ais tahu sebagai salah satu keluarga Wijaya kelak dia akan mendapatkan bagian dari itu semua. Tapi Ais tidak mengira jika posisi sepenting itu akan diserahkan kepadanya dalam kurun waktu singkat.

Dan lagi... jika dia menjadi penerus HAKA Group, maka artinya dia akan memiliki uang, kekuasaan, nama, dan sebagainya.

Ais menggenggam erat pinggiran kursi tempatnya duduk. Itu artinya dia bisa memiliki banyak uang untuk biaya pengobatan Dara. Dia juga bisa membahagiakan Dara secara materi, memberinya kehidupan yang layak. Meskipun Ais tahu, harga yang harus dibayarkannya adalah dia harus menikah dengan wanita yang tidak dicintainya, yang pasti bukan Dara.

Maka dari itulah malam itu Ais mengurungkan niatnya membatalkan pernikahan. Dia tidak berpikir panjang, di otaknya adalah dia ingin Dara bahagia.

***

“Bang, lagian lo nggak takut gitu kalau nanti Om Sean tahu anak kesayangannya lo buat nangis?”

Deg! Ucapan Aim barusan seolah menamparnya ke kenyataan.

Seketika atmosfer di tempat ini menjadi dingin membuat Ais dan Aim merinding. Be-benar juga kata Aim. Apa yang akan terjadi jika Om Sean tahu hal ini? Mana Sheril putri kesayangannya lagi.

“Mampus lo, Bang. Bisa-bisa disunat dua kali si joni, Bang,” timpal Aim menakut-nakuti Abangnya.

“Diem lo,” Ais melempar kartu gaple tepat sasaran ke wajah adiknya.

Tiba-tiba Ais terpikiran sesuatu. Yang sedari dulu mengganjal di hatinya tetapi lupa ia tanyakan ke saudaranya karena tidak sempat.

“Bukannya dari dulu lo yang suka sama Sheril? Terus, kenapa bukan lo aja yang nikahin dia?”

Ya, karena Sheril sukanya sama lo, Bang!

Ingin rasanya Aim menjawab sedemikian rupa. Tapi kenyataanya Aim hanya bisa meminum kopinya sambil bersumpah serapah dalam hati.

“Dih! Mana ada. Ya, kali, Bang gue suka sama Sheril. Emangnya lo kira ini sinetron Ind*siar apa di mana Aku menikahi istri kakakku,” balas Aim mengelak.

Ais bersedekap dada. Meskipun dia tahu kalau dia ini manusia kurang peka di dunia ini. Tapi intuisinya dapat merasakan kalau adiknya memiliki rasa lebih kepada Sheril. Setidaknya cara Aim memperlakukan Sheril itu berbeda dari wanita-wanita lain yang mencoba mendekatinya. Hanya Sheril saja yang tidak Aim panggil dengan sebutan lo-gue. Terlebih ketika Aim berada di dekat Sheril, Ais merasa kalau Aim suka curi-curi pandang.

“Nggak usah bohong lo. Gue itu Abang lo yang udah hidup sama lo bertahun-tahun lamanya. Jadi wajah lo kelihatan banget kalau lo lagi ngelak dari pertanyaan gue,” tambah Ais penuh selidik.

Aim terkekeh, kemudian meletakkan pelan cangkir kopinya di atas meja.

“Orang kayak gue ini mana mungkin Bang ngedapetin Sheril.”

Dahi Ais mengerut mendengarnya. “Kenapa gitu?”

“Ya, secara Sheril itu anak kesayangannya Om Sean, Bang. Hidupnya kayak princess di dunia nyata. Dia pengin apa tinggal sebut pasti keturutan.”

Ais masih betah mengerutkan dahi. Menurutnya alasan adiknya itu sangat tidak logis.

“Gue sadar diri Bang kalau gue nikah sama Sheril. Gue nggak bakalan bisa ngebahagiain dia,” tambah Aim sambil menyandarkan punggungnya pada kursi, pandangannya menerawang lurus ke langit-langit ruangan.

Kenyatannya, meskipun jarak kelahirannya dengan Ais hanya beda setengah jam. Tapi yang pasti kelak perusahaan Abati akan diberikan kepada kakaknya untuk dipimpin. Alasannya karena Ais adalah anak pertama.

Sedangkan dirinya? Palingan hanya akan diberi jabatan manager atau ketua divisi oleh Abati.

Meskipun begitu Aim tidak pernah iri kakaknya. Malahan Aim merasa menjadi pemimpin perusahaan itu tidak enak. Dia yakin pasti bok*ngnya akan panas karena berlama-lama duduk di kursi kerja.

Kembali ke Sheril...

Ah, tidak usah dijelaskan lagi pun semua juga tahu kalau Sheril itu anaknya sultan. Sedari kecil Sheril sudah hidup enak. Apa pun yang dia minta pasti Om Sean berikan. Orang lontang lantung seperti dirinya ini mana bisa membahagiakan Sheril? Membahagiakan secara materi saja Aim tidak bisa, apalagi secara hati? Toh, yang dari kecil disukai Sheril itu Abangnya.

Kalau sudah membahas materi memang sensitif bagi laki-laki.

“Itu artinya lo nggak berjuang buat ngedapetin Sheril! Kalau lo cinta sama dia, harusnya lo bilang ke Abati. Pasti Abati bakalan bantu ngomong ke Om Sean!”

Sekarang Ais merasa kesal dengan penuturan adiknya. Sisi egoisnya menyalahkan Aim. Andai saja waktu itu Aim tidak diam saja pasti yang saat ini dinikahinya adalah Dara!

“Dan lagi, Sheril itu bukan cewek yang mandang seseorang dari hal ‘remeh’ kayak gitu.”

“Lo sendiri gimana? Emang udah berjuang buat cewek yang lo cinta?” Aim membalikkan perkataan membuat Ais kalah telak. Sunggingan senyuman di wajah Aim terlihat mengejek. Tapi apa mau dikata, itulah faktanya.

Fakta kalau dia pengecut.

Fakta dia tidak memperjuangkan Dara mati-matian.

Setelah itu mereka terdiam, lengang menengahi hingga berkonfrontasi tersebut mulai mereda.

Ais menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya lewat mulut. Padahal dia keluar hendak mencari angin segar supaya tidak stress. Tapi berdebat dengan Aim malahan membuat pikirannya semakin keruh.

“Kalau lo nggak suka sama dia, lebih baik lo tinggalin dia, Bang. Mumpung kalian belum jauh,” gumam Aim. “Gimana pun juga, Sheril punya perasaan, Bang.”

Ais membuka mulut, hendak menjawab, namun terkatup lagi ketika dia melihat dari kejauhan ternyata Hendra dan temannya sudah kembali dari supermarket sambil menjinjing dua kantung keresek penuh berisi camilan yang tadi ia pesan.

Ais merasa lega, ia berdiri dari posisi duduknya.

Akhirnya kecanggungan ini berakhir juga.

“Gue ke kamar dulu. Camilannya buat kalian aja. Plus jangan begadang!” tambah Ais berdiri dari posisi duduknya.

Aim memutar bola mata ke atas. Kakaknya ini cerewet sekali.

“Bang!” Ketika Ais baru berjalan beberapa langkah, Aim memanggilnya sehingga membuatnya berhenti.

“Gue penasaran sama satu hal. Emangnya selama ini lo nggak pernah ngelihat Sheril dari sudut pandang laki-laki, ya, Bang? Lo nggak nafsu gitu sama dia? Secara, kan, dia... seksi.”

Aim yang normal saja sampai hampir meneteskan liur ketika men-stalking foto-foto Sheril di I*******m. Apa iya kakaknya itu tidak pernah berpikiran yang tidak-tidak tentang Sheril? Kalau begitu hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, Joni Kakaknya benar-benar bermasalah. Kalau tidak, ya, bisa saja peletnya si Dara alias dada rata Itu ampuh sekali sampai-sampai membutakan kakaknya.

“Kalau lo ngomong kayak gitu lagi, gue beneran bakal ngehajar lo!”

Terkekeh, Aim menggelengkan kepala. Yah, setidaknya kakaknya itu betulan marah dan tidak terima ketika Sheril disinggung seperti itu.

***

Ais tiba di kamarnya yang masih bercahayakan remang. Ternyata Sheril masih tiduran miring ke samping.

Sejenak... ada satu hal yang membuat pipi Ais memanas.

Kenapa Ais tidak melihat garis Bra Sheril dari belakang? Apa iya perempuan ini tidur hanya mengenakan baju setipis itu?

Ais mengambil selimut untuk menutupi tubuh istrinya. Sheril mungkin kedinginan.

Ketika hendak menaikkan selimut sampai atas, gerakan Ais terdiam. Kulit bahu Sheril saja putih dan halus. Apalagi kulit lainnya yang tertutup kain?

Ais seolah tergerak sendiri. Dia mendekatkan kepalanya ke arah tubuh Sheril. Matanya terpejam. Indra penciumannya menghirup bau vanilla dari parfum yang Sheril kenakan. Sangat manis. Bahkan hidung Ais hampir menyentuh kulit bahu Sheril.

“Pokoknya kalau kamu cinta sama aku. Kamu harus janji sama aku kalau kamu nggak bakalan tidur sama dia.”

Tersentak. Buru-buru Ais menarik diri ke belakang. Layaknya pantangan, Ia teringat perkataan Dara.

Napas Ais kembang kempis. Padahal ini haknya sebagai suami. Tapi kenapa dia seperti orang bodoh yang menahan nafsunya ke pasangan halalnya?

“Bang... Gue penasaran sama satu hal. Emangnya lo selama ini nggak pernah ngelihat Sheril dari sudut pandang laki-laki, ya, Bang?”

Sial! Kini gantian ucapan Aim yang terngiang di kepala.

Yang jelas Ais pernah melihat Sheril dari sudut pandang laki-laki.

Ais memejamkan mata, berharap kantuk meluruhkan pikirannya yang tak karuan. Sampai kapan pun Ais memantapkan diri tidak akan menyentuh Sheril.

Karena itu janjinya. Janji kepada Dara.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nova Ugara
aim...kamu lucu yaa...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status