Share

Bab 5 – Flashback Lamaran

Sejak kecil Sheril memang dimanja oleh kedua orang tuanya. Apa pun yang ia inginkan, pasti akan dituruti. Pun juga, mungkin salah satu alasan Sean menjodohkan putrinya dengan Ais karena sejak kecil Sheril sangat menyukai Ais.

“Mommy Celil pengin cepedaaaa!”

Suara cempreng anak berusia tujuh tahun menggema memenuhi ruangan.

April memijit keningnya, pusing bukan main. Astaga, padahal rumah ini sangat besar tapi bisa-bisanya teriakan Sheril terdengar di mana-mana.

“Mommy Pleasee, beyiin Celil cepeda,” mohonnya lagi untuk kesekian kalinya sambil menampilkan ekspresi sememelas mungkin.

“Nggak Sheril. Kan, Mommy udah bilang kalau kamu mau sesuatu itu kamu harus nabung dulu buat ngedapetin apa yang kamu mau.”

Sheril tidak mau mendengarkan penjelasan Mommy-nya. Pokoknya dia tidak akan berhenti menangis sampai keinginannya dituruti.

“Lagian kamu kemarin udah beli barbie satu set, lho, ya. Inget nggak?” tambah April mengingatkan.

Sheril memanyunkan bibirnya kesal. Huh, kalau saja Daddy-nya ada di sini. Pasti Daddy akan langsung membelikannya sepeda. Percuma minta sesuatu kepada Mommy! Bukannya dituruti malahan diceramahi. Beginilah nasibnya memiliki Daddy royal tapi Mommy-nya pelit.

“Pokoknya Celil mau cepeda!”

Tangis Sheril semakin kencang. Sekarang bocah kecil yang masih mengenakan seragam merah putihnya itu berdrama berguling-guling di lantai marmer putih rumah mereka.

Tiga asisten rumah tangga April hanya mampu berdiri berjejer di tempat kejadian perkara ikut bingung. Berkali-kali mereka mencoba menenangkan Nona kecil mereka tapi Sheril malah semakin mengamuk.

“Mommy jiahat! Mommy nggak cayang sama Celil!” teriak Sheril masih berguling-guling.

April bersedekap dada. Anak ini benar-benar....

“Bik, tolong ambilin botol air di kulkas,” titah April membuat pembantu yang disuruhnya mengerutkan dahi, bingung. Masalahnya botol air itu untuk apa? Apakah untuk menyiram Non Sheril supaya tidak berguling-guling lagi atau untuk minum Bu April?

“Buruan, Bibi.”

“I-iya Nyonya. Sebentar saya ambilkan.” Daripada banyak berpikir, lebih baik ia bergegas mengambilkan botol air minum yang diperintahkan Nyonyanya.

“Bangun, Nak. Lantainya kotor itu.”

“NGGAK MAUUUU!!!” teriak Sheril. April hanya mampu mengembuskan napas lelah dari tempat duduknya sambil mengamati Sheril yang masih sulit ditenangkan.

“Ini Nyonya airnya.”

“Pegangin. Nanti kalau Sheril udah capai nangis, baru kasih ke dia.”

“Eh?” pembantu tersebut masih tidak mengerti apa maksud ucapan Nyonyanya.

Yah, memang begitulah cara menghadapi anak yang sedang tantrum. Sebenarnya April tidak sedang bersikap jahat kepada putrinya. Inilah yang diyakininya benar dalam mendidik anak. Karena semua ini bukan masalah uang. April bisa saja langsung menggesekkan kartu debitnya yang berwarna hitam mengkilat untuk membelikan Sheril sepeda. Tapi jika April bertindak seperti itu makan besok-besok Sheril akan tumbuh menjadi anak yang manja. Tangisnya pasti akan ia jadikan sebagai senjata supaya keinginannya dituruti.

Cara menghadapi anak yang sedang tantrum adalah membiarkan mereka menangis sampai tenang sendiri. Nah, jika sudah tenang ajaklah anak bicara baik-baik dari hati ke hati. Ajarkan mereka mana yang benar dan mana yang salah.

Setelah lelah menangis Sheril duduk bersila di lantai. Bibirnya bagian bawah masih mewek.

“Udah selesai nangisnya?” tanya April kepadanya.

Sheril merajuk, ia bersedekap dada dan membuang muka ke samping membuat April terkekeh. Kalau dilihat-lihat lagi Sheril yang seperti itu mirip sekali dengan Daddy-nya.

“Sayang. Sini sama Mommy. Sheril pasti capai, ya, abis nangis. Ini diminum dulu airnya,” bujuk April. Sikapnya yang semula tegas kini berubah lembut. Namun Sheril bergeming lantaran bukan itu barang yang dia harapkan.

“Nggak mau! Mommy JIA-HAT!”

April tertawa, gemas waktu Sheril mengatakan ‘jia-hat’. “Nggak, dong. Mommy ini sayang banget tahu sama kamu.”

“Kalau sayang kenapa Chelil nggak dibeyiin cepeda!” protesnya.

Hah... ya, sudahlah mau bagaimana lagi.

April menatap ke arah pintu rumah dengan lesu. Kapan suaminya pulang? Hanya dia yang dapat menenangkan Sheril.

“Kalau Deddy pulang pasti Deddy bakalan beyiin Celil cepeda,” gumam Sheril pelan. April hanya menyimak sambil menahan senyuman.

“Mommy, mah, peyit. Enakan cama Daddy. Kalau cama Daddy apa-apa pasti Celil dibeyiin,” tambah Sheril lagi.

Panjang umur. Suara dengung mobil terdengar. Sheril yang semula bersedih pun kini air mukanya berubah berbinar.

“Daddy pulaaaang!”

Sheril memang hapal suara mobil Papanya ketika memasuki halaman. Buru-buru bocah kecil itu berlari untuk menyambutnya.

“Daddy!!!”

Sean merentangkan tangan menunggu pelukan Sheril yang berlari ke arahnya. Sheril mengalungkan kedua lengan kecilnya pada leher Sean.

“Woah kesayangan Daddy.” Diciuminya pipi tembam bocah itu saking gemasnya.

“Celil kangen Daddy!” Sean tertawa, “Daddy juga kangen sama putri cantiknya Daddy.”

“Sheril... hayo Daddy baru pulang. Biar Daddy istirahat dulu,” ucap April menginterupsi. April hendak mengambil Sheril dari gendongan Sean. Tapi bocah itu semakin mengeratkan pelukannya pada Daddynya.

“Gamau!”

Sean terkekeh, mengkode kepada istrinya kalau tidak apa.

“Anak Daddy, kok, matanya berair? Habis nangis, ya?” tanya Sean ketika menyadari mata Sheril bengap.

“Iya Daddy!” Bibir mungil itu mewek.

“Kenapa, kok, nangis? Siapa yang nakal, nanti biar Daddy yang marahin.”

Sean duduk di sofa, memangku princess kesayangannya. Setiap kali dia pulang, setiap kali penghujung harinya bertemu dengan istri dan anak yang dicintainya. Rasa lelah Sean seakan menguap, sirna begitu saja terganti rasa senang.

“Tuhhh...” Sheril menunjuk Mommy-nya yang duduk di kursi seberang.

“Oh, ya? Mommy nakal? Nanti biar Daddy hukum di kamar,” ucap Sean sambil menyengir penuh kode, dihadiahi pelototan dari April. Bisa-bisanya Sean berkata seperti itu di depan Sheril!

“Jadi Daddy... ceritanya Celil pengen cepeda. Tapi Mommy nggak mau beyiin Celil cepeda!”

April mendengus. Lihatlah, sekarang anak itu mengadu ke ayahnya. Sheril juga memasang puppy-eyes andalannya supaya hati Sean luluh.

“Daddy beyiin Celil cepeda, ya? Ya, ya, ya? Celil pengen cepeda.” Jelas saja Sean luluh. Kalau putri imutnya sudah seperti ini masak dia tidak menurutinya. Tapi di seberang tempatnya duduk, April menyilngkan tangan, mengkode ‘No!’ kepada Sean namun kode tersebut dibalas Sean dengan kode lain yaitu cium jauh. Buru-buru April memutar bola mata membuat suaminya terkekeh.

“Sekarang coba Sheril kasih tahu ke Daddy kenapa Sheril pengin banget beli sepeda?”

“Coalnya Kak Ais punya cepeda. Kak Aim juga punya cepeda. Masak Celil doang yang nggak punya cepeda!”

Sean tertawa. Owalah jadi itu alasannya Sheril sangat ingin punya sepeda.

“Tapi, kan, kamu belum bisa naik sepeda. Apa Sheril nggak takut kalau nanti jatuh?”

Sheril menggeleng. “Nggak, dong. Celil, kan, kuat. Kalau nanti Celil jatuh Celil juga nggak bakal nangis.”

“Yang bener?” goda, Sean.

“Iya, Daddy. Pokoknya Daddy beyiin Celil cepeda,” Sheril merengek sampai menarik-narik kemeja Daddynya. Wajah imutnya tidak dapat terbatahkan, pasti semua yang melihat Sheril akan merasa gemas.

“Oke! Ayo kita beli sepeda. Nanti kita beli 7 sepeda HAHAHA. Jadi nanti hari Senin Sheril pakai warna merah, Selasa kuning, Rabu hijau....”

“Yeay! Horeeee! Daddy memang terbaik!” Sheril senang bukan main mendengarnya. Sean juga ikut senang.

“Apa-apaan! Nggak ada. Sheril kemarin udah beli boneka satu set sampai mau habis sejuta, ya,” ucap April membuat ayah dan anak itu tersenyum kecut.

“Daddy....” Sheril bersedih kembali.

Mata April menyipit, seolah menyampaikan kode kepada Sean; ‘Awas aja kalau kamu turuti. Nanti malam tidur di luar!’

Menghela napas, Sean pasrah. Dia dan April memang sudah bersepakat kalau Sheril sedang tantrum maka salah satu tidak boleh membela atau menuruti.

“Please Daddy....” Sebenarnya Sean juga tidak tega, sih.

“Sayang, belinya bulan depan, ya. Atau kalau mau cepet nanti Sheril nabung, terus Daddy yang nambahi uangnya. Gimana? Setuju?” bujuk Sean mencari jalan keluar.

Bibir Sheril gemetar, hendak menangis lagi.

“Ada apa ini? Kok, ribut-ribut?” suara Mama Linda—alias mertua April—membuat orang-orang yang berada di rumah refleks menatap ke arahnya. Mama memang baru pulang dari luar.

“Super Glanmaaaa!” Sheril berteriak antusias. Kaki kecilnya merangsek turun dari pangkuan Sean untuk menyambut Nenek kesayangannya.

“Mama kenapa nggak telepon Sean buat dijemput? Kan, pulangnya bisa sekalian sama Sean.”

“Mama udah dianter supir, kok.”

Mama Linda mengulurkan tangan menggendong cucu manisnya. Sheril senang bukan main, karena kalau Daddy-nya tidak menuruti keinginannya. Pasti Super Grandma yang akan membelikannya sepeda!

“Grandma kangen banget sama kamu.”

“Celil juga kangen sama Glandma!”

Sean dan April mengamati keduanya dari tempat duduk. Kini April pindah duduk di sebelah Sean.

“Anak kamu, tuh, sok-sokan pakai bahasa Inggris segala,” ucap April membuat Sean terkekeh. Sean memang mengajarkan beberapa kosa kata menggunakan bahasa Inggris kepada Sheril supaya Sheril terbiasa.

“Glandma-Glandma! Beyiin Celil cepeda, dong!” pinta Sheril merayu neneknya.

“Sheril pengin sepeda? Ayo nanti kita beli sepeda bareng-bareng. Kita beli yang paling bagus.”

“Yeay!!!” Bocah kecil itu kegirangan bukan main. Inilah salah satu alasan Sheril memanggil Neneknya dengan sebutan Super Grandma. Karena segalak-galaknya Mommy pasti akan kalah dengan Super Grandma.

“Tap—” April hendak protes, namun Sean memeluknya dari belakang untuk menghentikan ucapannya barusan.

“Udah biarin aja. Nanti biar aku yang ngomong baik-baik sama Mama.”

April mengalah. Ya, sudahlah.

“Boleh nggak, ya, ngebeliin anak kelas 1 SD motor? Biar bisa balapan gitu,” celetuk Sean membuat April melotot. “Awas, ya, kamu kalau aneh-aneh kayak gitu.” Sean menyengir kuda. Ampun... istrinya ini semakin galak saja.Bikin tambah sayang.

“Kamu itu, lho, jangan galak-galak sama Sheril. Nanti kalau dia mikir kamu lebih sayang sama adeknya daripada sama dia gimana?” ucap Sean sambil mengusap perut April yang mengandung anak kedua mereka. “Apalagi anak cewek itu sensitif, lho, Pril,” tambahnya lagi.

“Kamu, tuh, yang manjain dia. Aku nggak mau tahu nanti Sheril jadi anak manja kalau udah gede,” omel April kepadanya. Sean tidak melanjutkan perdebatannya dengan April, dia lebih memilih menciumi leher April dari belakang membuat April kegelian.

Jangankan sepeda. Seluruh dunia akan Daddy berikan untukmu, Nak.

***

Sean menatap putrinya yang sedang berjalan menuruni anak tangga.

Malam ini Sheril mengenakan gaun berwarna salem membuat dirinya terlihat semakin manis. Rambut hitam legam miliknya dibiarkan terurai begitu saja.

Sean tersenyum teduh. Kenapa anak zaman sekarang cepat sekali dewasanya, sih? Padahal rasanya baru kemarin sore Sheril menangis berguling-guling di lantai meminta dibelikan sepeda. Tapi kini dia tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita.

Sesampainya di ruang makan Sheril mengacak rambut adiknya dengan gemas. “Jayden sekarang sudah besar!”

Merasa malu diperlakukan seperti itu, Jayden buru-buru menepis tangan kakaknya.

“Apa, sih!” gerutu Jayden membuat Sheril terkekeh.

Astaga, adiknya ini galak sekali seperti Mamanya. Sheril, kan, rindu sekali dengan dirinya. Ia sudah bertahun-tahun tidak pulang ke rumah karena sibuk menyelesaikan study-nya di luar negeri tapi Jayden masih saja bersikap dingin kepadanya. Padahal kalau sedang video call dengan Mama Jayden sering ikutan nimbrung dan bertanya kepadanya ‘Kapan Kakak pulang?’

“Emang kamu nggak kangen sama kakak yang cantik ini?” goda Sheril lagi.

Jayden berdecih, kemudian membuang muka ke samping membuat Sheril terkekeh. Sheril yakin anak kelas tiga SMP ini bibit cowok cool yang kelak digilai banyak wanita di luar sana.

“Judes banget, sih, jadi cowok. Kakak tebak pasti gebetan kamu di sekolahan keburu diambil orang, ya?”

Pipi Jayden memerah mendengarnya.

“Pergi sana! Udah gede masih aja kayak bocah!” gerutu Jayden.

“Jayden!” Sean yang semula diam saja kini angkat suara. Menatap tajam ke arah Jayden, memperingatkan kalau jangan bicara seperti itu kepada kakaknya.

Jayden semakin merengut. Papanya memang selalu membela kakaknya. Kalau dengan dirinya saja Papa bersikap tegas, tapi kalau dengan Kak Sheril Papa selalu lembut.

“Udah kalian jangan berantem mulu. Buruan dimakan.” April melerai keduanya. Dasar anak-anak. Kalau bertemu selalu bertengkar, tapi kalau jauh saling rindu. Mungkin inilah peribahasa jauh bau mawar, dekat bau tai. Tapi meski begitu, sebenarnya mereka saling sayang satu sama lain.

Sean mengambil beberapa makanan lalu menaruhnya ke atas piring Sheril, menyuruhnya untuk menghabiskannya.

“Hari ini makan malamnya, kok, banyak banget, Ma?” tanya Sheril ketika melihat porsi makanan yang tersaji di atas meja lebih banyak dari hari biasanya.

Sheril bertanya-tanya dalam hati apakah hari ini adalah hari spesial dan Sheril melupakannya? Contohnya seperti ulang tahun Jayden? atau kalau tidak hari jadi Mama dan Papa? Terlebih tadi sebelum turun ke bawah Mama meminta dirinya untuk berdandan secantik mungkin serta mengenakan pakaian paling bagus yang ia punya.

“Iya. Kita lagi ngerayain kepulangan kamu,” bohong April. Jelas saja itu bukan alasan utama kenapa dia dan suaminya mengadakan acara makan malam spesial ini.

Sheril acuh, ia melanjutkan menyantap makanannya lagi.

Ketika sedang asyik makanan, bel rumah mereka berbunyi. Pembantu April dengan sigap membukakan pintu untuk tamu yang datang.

Sheril mengerjap. Ternyata keluarga Tante Anha dan Om Hamkan yang datang berkunjung. Katanya mereka mampir setelah menghadiri acara di dekat sini.

Namun ada satu hal yang menyita perhatian Sheril. Di belakang Om Hamkan dan Tante Anha terlihat Kak Ais, Kak Aim dan Kak Kalila yang ternyata juga ikut datang ke mari.

Memang dari dulu keluarga Tante Anha dan keluarganya sangat dekat. Bahkan Sheril juga pernah mendengar kalau sebelum menikah dengan Mama, Papa sudah mengenal keluarga Tante Anha.

“Sheril apa kabar? Sekarang kamu udah gede, ya. Cantik banget lagi. Padahal dulu waktu kecil kamu sering main ke rumah Tante dan nyicipin kue buatannya Tante,” Anha menangkup wajah Sheril yang bersemu merah lantaran dipuji cantik.

“Sheril baik, kok, Tante,” jawab Sheril malu-malu.

“Ayo silakan duduk.”

Mama mempersilakan mereka untuk ikut makan bersama.

“Saya senang kita bisa kumpul lagi seperti ini,” ucap Om Hamkan berbasa-basi mencairkan suasana.

“Saya juga. Pokoknya kalian semua nggak boleh pulang sebelum kenyang, Hahaha.”

Papa tertawa, keduanya membahas segala hal namun Sheril tidak terlalu peduli dengan topik pembicaraan orang dewasa. Perhatiannya saat ini hanya tertuju pada Kak Ais yang duduk di kursi depannya.

Kak Ais terlihat tampan dengan balutan kemeja berwarna putih yang lengannya digulung sampai sesiku. Dua kancing bagian atas dibiarkannya terbuka membuat Kak Ais semakin menggoda, serta otot lengan yang terlihat samar. Hanya melihatnya saja sudah membuat Sheril berpikir yang tidak-tidak.

Sebenarnya Kak Aim juga tampan. Orang dia copy paste-annya Kak Ais. Tapi Sheril lebih menyukai Kak Ais karena Kak Aim itu playboy! Ceweknya di mana-mana! Tukang gombal! Ah, dan masih banyak lagi pokoknya.

Terlebih bukannya kebanyakan wanita menyukak lelaki seperti Kak Ais yang dingin dan cuek, ya. Tipe seperti itu lebih membuat wanita merasa penasaran.

Sheril menggigit bibir bagian bawahnya. Ia ingin menanyakan bagaimana kabar Kak Ais? Sheril juga ingin mengajak Kak Ais, Kak Aim dan Kak Kalila jalan-jalan minggu depan tapi kenyataannya Sheril tidak berani. Nyalinya tidak sebesar itu. Padahal dulu ketika mereka bertiga masih kecil Sheril selalu menempel pada Kak Ais dan Kak Aim. Sekarang setelah besar mereka saling malu.

“Kedip Sheril!” Kalila menyikut pelan lengan Sheril membuat Sheril malu karena ketahuan memperhatikan Kak Ais.

Kalila tersenyum. Dia memang mengetahui kalau Sheril memiliki perasaan kepada Kakaknya. Tapi mereka terjerat cinta segitiga. Maka dari itu demi menjaga perasaan Kakaknya nomor dua —yang ternyata juga memiliki perasaan kepada Sheril meskipun Sheril tidak peka —Kalila bersikap biasa saja seolah ia tidak tahu apa-apa.

“Oh, iya. Kedatangan kami kemari hendak membahas tentang hal itu.”

Sheril mengunyah makanannya sambil menyimak ucapan Om Hamkan.

Membahas apa memangnya?

Sampai saat ini Sheril belum paham apa yang sebenarnya terjadi.

“Ya, udah kalau gitu mari kita tanyakan aja ke anaknya langsung.”

Hamkan mengangguk. “Oh, iya, Nak Sheril. Kalau seumpama Om Hamkan minta kamu jadi anak gadisnya Om dan Tante. Kamu mau nggak?” tanya Hamkan kepada Sheril.

Sheril menghentikan gerakan mengunyahnya.

“Maksudnya?”

Sheril berpikir sejenak. Anak Om Hamkan, kan, tiga orang yaitu Kak Ais, Kak Aim, dan Kak Kalila. Lalu, kenapa pula tadi Om Hamkan mengatakan hal itu kepada dirinya? Apa jangan-jangan ia hendak diangkat menjadi anak oleh keluarga Om Hamkan?

Hamkan terkekeh melihat wajah polos Sheril.

“Maksud Om... Kamu mau, ya, nikah sama salah satu anak Om biar kamu bisa jadi anak Om juga,” ucapan Hamkan barusan membuat Sheril, Ais, Aim dan Kalila terkejut karena yang tahu hal ini hanya para orang tua.

Sheril menelan ludah. A-apa dia tidak salah dengar?!

Sean mengangguk kepadanya. Mau Ais atau Aim, Sean tidak masalah. Keduanya sama-sama anak baik dan tidak pernah neko-neko.

“Om Hamkan lagi bercanda, kan?” tanya Sheril yang masih tidak percaya dengan ini semua. Maksudnya Om Hamkan sedang menjodohkannya?

Om Hamkan pun melanjutkan ucapannya kembali. “Om nggak lagi bercanda, Sheril. Om pengin ngejodohin kamu sama AIS.”

Seketika, mata Ais membola. Ia terkejut bukan main. Saking terkejutnya sampai-sampai tanpa Ais sadari ia berdiri dari posisi duduknya membuat semua orang yang berada di ruang menatap ke arahnya.

A-apa?

Sheril hendak dinikahkan dengannya?!

Bahkan tidak perlu berpikir dua kali pun dalam hati Ais langsung menolak mentah-mentah Sheril yang hendak dinikahkan dengannya.

Karena sebenarnya....

Ais sudah mencintai seseorang pilihannya sendiri.

Dan tentunya....

Orang tersebut bukanlah Sheril.

***

Yang Mau Baca Novel kisah cintanya ortu Sheril ada di lapakku judulnya: DINIKAHI BERONDONG KAYA. Selamat membaca.

I*******m Penulis: Mayangsu_

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status