Share

BAB-7

"Mbak Embun, mari kita berganti pakaian yang lain." Perias itu menghampiri dan membantu Embun untuk masuk kedalam rumah.

"ini, usap air matanya." Toro mengulurkan kertas lunak persegi kepada Embun. Tisu itu tak cukup mengeringkan air mata Embun. Dirinya terus mengeluarkan air mata didalam kamar.

Embun bertanya kepada perias, apakah make up diwajahnya luntur. Perias itu menggelengkan kepalanya dengan bibir yang melebar.

"Sabar ya mbak, pasti sedih sekali." Nada perias menenangkan hati Embun.

Hanya menganggukkan kepala yang menjadi tanggapan Embun. Alih-alih bisa mereda air yang mengalir di pipi, justru air itu semakin deras membasahi pipi. Embun merasa dirinya hanya seorang diri yang ditinggalkan oleh keluarganya.

"Yang sabar ya mbak, tidak perlu didengar." Alunan suara perias terus mengiringi hati Embun.

Siang itu, Lambung Embun dan nasi belum bertemu, musik di perut menjadi irama dari pengumuman bahwa dirinya telah lapar.

Menu makanan yang berjejer di ruangan itu membuat Embun semakin menelan air liurnya. Namun, belum juga ada yang menawari dirinya makan.

Papa dan Ibu mertua terlihat duduk berdekatan dengan rombongan keluarga besarnya, termasuk dengan keluarga angkat itu. Embun menundukkan pandangannya. Hati yang semakin terlempar merasa pilu.

Toro yang melihat hal itu, tak juga menyadari bahwa istrinya sedang terluka.

***

Selesai mengganti kebaya lainnya, kali ini Embun memakai hiasan kepala khas pengantin. Kebaya berwarna merah tua dan jarik yang membalut, membuat Embun semakin anggun.

"Pengantinnya sama penyanyinya masih cantikan penyanyinya." Ucap salah seorang rombongan itu.

Seketika Embun membatu ditempatnya berdiri.

"Kenapa mbak?" Tanya perias itu.

Kaki melangkah kebelakang, dan kepala yang menengok kearah orang tersebut, indra penglihatan yang tak berkedip memandang wajah yang melemparkan kata-kata itu kepadanya, perlahan Embun mengarahkan pandangannya kepada mertuanya yang tak jauh duduk disebelah rombongan itu.

Kepala wanita yang melempar kalimat menyayat menunduk seketika.

"Ayo kita jalan lagi." Ucap Embun dengan tegas dan pandangan lurus kedepan.

Banyak tamu yang sudah menunggu Embun didepan. Pandangannya mengarah kepada tangan yang melambai disana, matanya terfokus dengan seorang wanita muda seusianya yang berdiri diujung kursi tamu dengan kedua tangannya yang melambai.

Ternyata wanita tersebut adalah teman kuliahnya. Mata kini kembali terisi air yang menggenang, Embun merasa dirinya tidaklah sendirian dikampung ini.

Dia adalah Lusi. Teman baiknya yang memang sudah menikah dan tinggal dikampung yang sama seperti suaminya. Sekali lagi, dirinya tak menyangka bahwa suami Lusi sekampung dengan kampung suaminya.

Bibir yang melebar mempesona mengarah kepada teman wanitanya. Lusi berjalan menghampiri tempat pengantin. Orang tua Toro yang terlihat tak menghiraukan pertemuan dua wanita tersebut lebih asik mengobrol dengan saudara angkatnya.

"Aku awalnya kaget mendengar kamu berjodoh dengan seseorang dari kampung ini, teman-teman di grup hijau kita membagi foto undangan kamu, pas aku lihat kampung suamimu, aku terkejut dan senang. Selamat ya, akhirnya kita bisa ketemu lagi."

Embun memeluk temannya tersebut. Berbisik kepadanya bahwa dirinya setelah menikah akan tinggal dirumah mertuanya yang dikota. Sontak Lusi kaget karena takdir menginginkan mereka selalu bersama. Lusi berkata bahwa dirinya juga suaminya berencana untuk mencari rumah dikota yang Embun katakan.

Semua mata toxic itu memandang sinis obrolan Embun dan Lusi.

"Perasaanku kenapa tidak enak ya, kamu baik-baik saja kan dengan keluarga suamimu. Aku nampak mereka seperti kurang suka dengan dirimu. Maaf, aku harus jujur." ucap Lusi berbisik ditelinga Embun.

"Insyaallah mereka baik." Jawab singkat Embun berbisik ke telinga sahabatnya itu.

***

Selesai acara, semua orang berlalu lalang begitu saja berpapasan dengan dirinya. Termasuk mertuanya. Badan yang membatu berdiri sendiri di depan tiang teras rumah, bola mata yang bergerak ke kanan dan ke kiri, otak yang berfikir tentang kerjaan yang harus dia kerjakan seolah buntu begitu saja. Bayangan besar kedua orang tuanya terpampang jelas seolah berdiri dihadapannya.

"Aku nyapu saja ah." Ucap Embun didalam hati. Dengan langkah tak pasti, dirinya mencari sapu lantai seorang diri. Dibalik pintu tak ia temukan, Embun mencari sapu layaknya mencari perhiasan yang hilang. Tak lama kemudian ada seorang wanita paruh baya menyapanya.

"Cari apa nak? Jangan khawatir, nenek tetangga samping rumah kalian disini." Ucapnya sembari memegang pundak Embun yang sedang menunduk.

"Cari sapu nek." Jawab Embun dengan langsung menyambut tangan nenek tersebut dengan penuh hormat.

Tangan Embun digandeng oleh nenek tersebut kearah alat yang dicarinya.

"Nenek kira cari perhiasan yang hilang, cari sapu saja kok kayak cari sesuatu yang berharga."

"Nih mantu kamu mau nyapu nih, senang ya sekarang sudah ada menantu, rajin menantunya." Ucap nenek tersebut saat berpapasan dengan mertua Embun. Namun mertua Embun hanya tersenyum kearah nenek tersebut.

Dengan penuh teliti Embun membereskan ruangan yang seperti kapal pecah itu. Alih-alih sedang menyapu, Embun mempertanyakan kepergian Toro yang pergi tak pamit.

"Mas Toro kemana sih, pergi juga kok nggak pamit dulu, mana aku lapar lagi. Capek juga beres-beres rumah." Ucapnya dalam hati.

Tak seorangpun disana yang menawari atau hanya sekedar menanyakan apakah dirinya sudah makan atau belum.

"MasyaAllah bersih sekali, sudah makan belum mbak, kenalan dulu ya, saya bibinya Toro. panggil saja bibi Nur, Yuk makan dulu yuk sama bibi, bibi perhatikan kamu belum makan dari pagi. Bibi juga belum sarapan soalnya. Toro tadi kayaknya pergi sama tetangga disini, katanya ada perlu tu. Toro juga harusnya nemenin kamu makan dulu, gimana sih anak itu. yuk ah." Ucap bibi Nur dengan memberikan segelas air putih kepada Embun yang sedang duduk diteras dengan kertas ditangannya yang dikibaskan kearahnya.

Embun menyambut tangan bibi Nur dengan penuh hormat. Mencium tangannya seperti mencium tangan kedua orang tuanya.

Keduanya lantas berdiri dan berbalik kearah pintu masuk kerumah. Nampak Papa mertuanya yang sedang berjalan menuju keluar rumah, namun mertuanya itu nampak acuh dengan keberadaan Embun.

"Menantu belum sarapan nih bang. Kasian sendirian dari tadi diluar, selesai beres-beres rumah. Lihat deh, rapi sekarang ruangannya." Ucap bibi Nur kepada kakak laki-lakinya tersebut.

"Aku masih ada perlu, aku pergi dulu ya." Jawab lelaki itu dengan ketus dan meninggalkan topik dari adiknya.

Bibi Nur menggelengkan kepalanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status