LOGIN“Aku … sudah capek, Ma.”
Kata-kata itu bukan teriakan. Bukan pembelaan.Itu pengakuan, sebuah pengakuan paling jujur yang akhirnya lolos setelah bertahun-tahun Kiara memakannya bulat-bulat.Suaranya pecah, rapuh, seperti kaca tipis yang akhirnya patah di bawah beban yang terlalu lama ia tanggung sendirian.Ranti menelan ludah. Jemarinya yang tadi terangkat siap memaki kini mengepal hingga buku-bukunya memutih. Wajahnya menegang dan sorot matanya makin tajam, tenggelam dalam amarah yang seolah tak mengenal akhir.Nara yang berdiri tak jauh dari mereka, mengalihkan pandangan. Ia menggigit bibir, tak nyaman melihat Kiara menangis. Bukan karena ia peduli, tetapi karena ia tidak mengerti kenapa kakaknya selalu jadi pusat masalah dalam keluarga mereka.Kiara menarik napas panjang, napas yang terdengar seperti seseorang yang telah berlari terlalu lama dalam gelap. Ia mendongak pelan, memperlihatkan wajah yang kini bukan lagi sekadar sedih. Ada kekecewaan, keputusasa“Aku … sudah capek, Ma.”Kata-kata itu bukan teriakan. Bukan pembelaan.Itu pengakuan, sebuah pengakuan paling jujur yang akhirnya lolos setelah bertahun-tahun Kiara memakannya bulat-bulat.Suaranya pecah, rapuh, seperti kaca tipis yang akhirnya patah di bawah beban yang terlalu lama ia tanggung sendirian.Ranti menelan ludah. Jemarinya yang tadi terangkat siap memaki kini mengepal hingga buku-bukunya memutih. Wajahnya menegang dan sorot matanya makin tajam, tenggelam dalam amarah yang seolah tak mengenal akhir.Nara yang berdiri tak jauh dari mereka, mengalihkan pandangan. Ia menggigit bibir, tak nyaman melihat Kiara menangis. Bukan karena ia peduli, tetapi karena ia tidak mengerti kenapa kakaknya selalu jadi pusat masalah dalam keluarga mereka.Kiara menarik napas panjang, napas yang terdengar seperti seseorang yang telah berlari terlalu lama dalam gelap. Ia mendongak pelan, memperlihatkan wajah yang kini bukan lagi sekadar sedih. Ada kekecewaan, keputusasa
Kiara tersenyum melihat sejumlah nominal uang masuk ke dalam saldo rekeningnya. Nominal yang cukup lumayan dari hasil penjualan beberapa barang mewah milik Ranti dan juga Nara. Ia akhirnya bisa melunasi seluruh hutang-hutang yang telah jatuh tempo itu dan bahkan mendapatkan kelebihan sebesar enam puluh juta. Baru saja dirinya bernapas lega, pintu apartemennya terbuka begitu saja. Kiara mendengus kasar melihat dua sosok yang tak ia lihat selama beberapa hari ini. "Bodoh, kenapa tidak kuubah sandinya," rutuknya pelan membodohi diri sendiri. Ranti dan Nara mendekat. Wajah mereka yang coklat kini sudah memerah dengan mata yang membesar. "Mama dan Nara sudah pulang? Bagaimana liburan kalian?" sapa Kiara berbasa-basi. Ia sudah letih seharian bekerja sehingga tak memiliki tenaga lagi untuk memulai pertengkaran malam ini. Nara menyeringai, tapi senyuman itu hanya bertahan sepersekian detik sebelum berubah menjadi tatapan tajam yang bisa menguliti siapa pun.
Hal paling menyenangkan di dunia ini? Hidup santai dan liburan. Titik. Koper penuh itu seharusnya berat, namun rasanya ringan di tangan Nara. Mungkin karena ia menyeretnya dengan hati yang masih dipenuhi sisa tawa dan hangatnya matahari Hawai. Langit siang begitu terang ketika Nara dan ibunya melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara. Roda koper mereka berderit pelan di atas lantai granit yang dingin—kadang terdengar gesekan, kadang hanya gema tawa mereka yang mengalahkan riuh para penumpang lain. Nara melirik Mamanya. Meski wajah sang ibu terlihat sedikit lusuh dan rambutnya kusut akibat tidur di pesawat, ada sesuatu yang memancar dari sorot matanya—semangat. Senyum itu belum benar-benar pergi sejak mereka mendarat. “Next time,” ujar Ranti sambil merapikan rambut dengan jari, “kita harus coba yang lebih ekstrem. Naik balon udara atau camping di gurun, gimana?” Nara sampai harus berhenti sejenak menarik koper karena tertawa. “Ma
Mobil Kiara melaju begitu cepat, membelah jalan raya malam yang terasa seperti jurang tak berujung. Langit kelam menggantung tanpa satu pun bintang yang menari. Tak ada rembulan yang biasanya menjadi teman perjalanan; malam itu hanya menyisakan pekat yang diam, seolah mengerti betapa sesaknya hati yang tengah Kiara bawa. Angin malam menerobos dari jendela yang sedikit terbuka, menghantam wajahnya, namun tak mampu menghapus hampa yang mengakar di dadanya.Sepanjang perjalanan, ucapan Julia terus berputar dalam kepalanya, seperti gema yang tak mau padam. Ada sakit hati yang menumpuk, yang belum sempat ia luapkan. Ia meninggalkan kafe dengan langkah mantap, tetapi hatinya kacau. Ada sesuatu yang harus ia pastikan, ada seseorang yang harus ia temui—dan ia tak bisa menunggu sampai besok untuk mendapatkan jawaban itu.Mobilnya berhenti di basement apartemen Reymond. Tempat itu terasa begitu sunyi, terlalu kontras dengan gejolak yang ia rasakan. Ia menyiapkan dirinya, men
Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah Kiara bayangkan. Setelah seharian berperan sebagai fotografer dadakan, kini ia duduk di depan laptop dengan napas berat, membuka situs penjualan barang-barang bekas branded yang selama ini hanya ia lihat tanpa pernah terpikir akan ia gunakan.Mata dan hatinya terasa perih setiap kali menyeret gambar tas atau sepatu ke dalam kolom unggah. Setiap barang yang ia ketik harganya, seolah menampar realita: barang-barang ini bukan kekayaan, melainkan lambang dari kebodohan dan ketidakpedulian. Namun, di tengah getirnya kenyataan, ada sedikit rasa lega yang menyelinap di dada. Untuk pertama kalinya, Kiara melakukan sesuatu bukan demi mereka, tapi demi dirinya sendiri.Ia ingin terbebas dari jerat yang selama ini tak terlihat—bukan hanya jerat hutang, tapi jerat batin karena terus menerus dijadikan “penanggung jawab” untuk kesalahan dua orang yang mengaku sebagai keluarganya. "Ok, selesai!" Satu kali tekan
Pagi itu, kekhawatiran kembali menyelimuti hari-hari Kiara.Setiap detik terasa berat, seolah ia sedang menyeret batu besar yang menekan seluruh tubuhnya. Hutang yang kian mendekati jatuh tempo menghantui pikirannya tanpa henti.Ia menatap meja makan yang kosong. Tak ada aroma masakan hangat, tak ada gelak tawa yang seharusnya mengiringi paginya. Hanya keheningan yang menggantung, memantulkan isi hatinya yang kacau dan penuh tekanan. Piring-piring tersusun rapi di rak, namun perutnya bahkan tak sanggup menerima sesuap makanan pun.Kepalanya terasa berat. Masalah datang bertubi-tubi, seperti ribuan batu yang menghantam tanpa memberi jeda. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan sesak yang mencengkeram dada. Tapi udara pagi pun terasa menekan, seolah ikut menambah beban yang tak kunjung reda.Pikirannya berputar tanpa henti—mencari jalan keluar, mencari secercah harapan. Namun semakin dicari, semakin terasa sempit. Setiap detik berjalan seperti langka







