Share

OK bab. 3

last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-14 10:30:52

Kiara menarik napas cepat, rasa lelahnya berganti waspada. "Mama jarang berbicara dengan nada seperti itu dan jika beliau sampai menunggu di apartemen tanpa memberi tahuku sebelumnya, berarti ada sesuatu yang diinginkannya dariku."

Lagi-lagi Kiara hanya mampu bergumam di dalam hati, walau seribu tanya telah penuh sesak di kepala.

Kiara melangkah mendekat, menyisir kekacauan dengan tatapan sinis. Nara, seperti biasa, bersikap santai seolah tak peduli. Mungkin karena ia terlalu memanjakannya hingga tak ada lagi rasa hormat terhadapnya.

"Mama mau bicara apa?" tanya Kiara dingin. Di jatuhkannya tubuh yang menuntut istirahat itu ke atas sofa yang lembut, tetapi bagaimana ia bisa tenang dengan keberadaan mereka?

Sejak kuliah, Kiara yang masih muda memilih tinggal sendiri demi ketenangan. Rumah yang seharusnya memberi rasa nyaman hanya dipenuhi oleh teriakan dan makian yang membekas dalam ingatan. Setelah perpisahan Mama dan Papa, hidupnya dibebankan dengan tanggung jawab yang tiada habisnya.

"Mama butuh uang lima ratus juta untuk bisnis yang menjanjikan."

Kiara sedikit tersentak. Lagi-lagi uang. Seperti jalangkung yang datang tanpa diundang dan pulang tanpa pamit. Hatinya meringis, raut wajahnya seketika mendung tanpa hujan. Di balik kesuksesan yang ia miliki, ia tak ubahnya seperti mesin ATM bagi orang tuanya sendiri.

"Bisnis? Apa uang yang Mama habiskan sebelumnya tidak cukup? Bukannya setiap bulan aku mengirimkan uang bulanan untuk Mama. Apa itu tidak cukup?"

"Kebutuhan Mama banyak, Kiara. Sementara Mama gak mungkin meminta semuanya padamu. Makanya Mama berbisnis agar bisa memenuhi kebutuhan Mama sendiri tanpa memberatkanmu," dalih ibunya terasa seperti nyanyian sumbang di telinga.

Dalih yang hampir sama setiap kali mereka berdebat tentang masalah uang. Dua puluh lima juta jumlah uang yang Kiara berikan pada ibunya terasa seperti segelas air yang tertuang di lautan.

Tak terlihat dan berbekas, padahal untuk memperolehnya gadis yang telah berubah menjadi wanita itu rela mengorbankan masa mudanya yang kini terasa sia-sia.

"Keinginan Mama yang terlalu banyak. Cobalah untuk sedikit berhemat, Ma. Mama harus sadar kalau hidup kita tidak seperti dulu lagi. Mama bukan lagi istri seorang pengusaha tambang."

Kiara menatapnya lama, mencoba menahan gelombang emosi. Lima ratus juta bukan jumlah kecil dan lebih dari itu, ini bukan pertama kalinya.

"Maksud kamu apa, Kiara? Kenapa jadi merembet kemana-mana. Mama meminta uang padamu untuk berbisnis agar bisa menghasilkan uang, bukannya untuk foya-foya!" balas Ranti ketus. Ia tak terima akan nasehat putrinya.

"Tapi bisnis yang Mama lakukan selama ini hanyalah cangkang kosong. Tak pernah ada keuntungan."

Wanita bersanggul rendah itu mengembuskan napas kasar. "Namanya bisnis ada untung ruginya. Ditambah Mama kan masih pemula dan baru belajar, jadi wajar kalau kemarin-kemarin bisnisnya gagal. Tapi kali ini Mama yakin. Berikan 500 juta, dan Mama janji tidak akan mengecewakanmu."

Kiara terdiam bukan karena tengah menimbang permintaan ibunya, tetapi tengah memikirkan cara keluar dari masalah tersebut. Ucapan Ranti selalu saja meyakinkan dengan penuh antusias, namun pada akhirnya akan tetap sama. Habis tak bersisa.

Mata lentik Kiara beralih melirik ke arah adik yang lebih muda lima tahun darinya. Nara terlihat bersandar pada sofa dengan santai.

"Seandainya aku bisa seperti dia, tak peduli dan tak terbebani," batin Kiara berandai. Ia terlalu lelah dengan segala tuntutan tanggung jawab sebagai anak pertama.

Di tariknya napas panjang dan menghembuskannya kembali dengan kasar hanya sekedar memberi ruang lebih untuk dadanya yang tengah sesak.

"Mama yakin akan berhasil?" lanjutnya bertanya dengan suara yang nyaris tanpa emosi. Lebih ke pada pasrah atau mungkin putus asa.

Ranti yang mendapatkan lampu hijau langsung mengangguk cepat, matanya berbinar, penuh harapan. “Iya, kali ini pasti berhasil. Kamu tinggal percaya sama Mama.”

Percaya? Kata itu terdengar manis namun nyatanya terasa pahit untuk dipercaya. Setelah kegagalan yang berulang kali menghabiskan saldo rekeningnya dan menguap tanpa hasil menyisakan perasaan sesak yang dalam. Masih bisakah Kiata memberikan kepercayaan itu dengan hati yang tenang?

Kiara membalas dengan tersenyum sinis. "Seperti sebelumnya?"

"Kali ini berbeda," kata Ranti cepat berusaha meyakinkan melalui tatapan mata dan senyumannya yang hangat.

Kiara membalas dengan tertawa kecil tanpa humor. "Bukankah selalu begitu?"

Tatapan mata Ranti seketika berubah, senyum di bibirnya surut. "Jadi, kamu mau bantu atau tidak?"

Kiara masih terdiam. Ia bisa saja langsung menyerah seperti biasa atau berkata "tidak!" kemudian berujung menerima label cap sebagai anak durhaka.

"Mama ingin bisnis yang menjanjikan?"

Ranti mengangguk cepat penuh semangat.

"Kalau begitu, tunjukkan rencana bisnisnya. Anggap aku investor, bukan mesin ATM."

Nara tersentak mendengar perkataan Kiara, binar matanya terlihat gelisah. Wanita muda itu segera mendekat dan membisikkan sesuatu pada ibunya yang membuat Kiara memicingkan mata.

"Ada apa?" tanyanya tajam.

"Tidak ada. Kalau kamu tidak mau memberi uangnya, pinjamkan dulu. Mama akan mengembalikannya," balas Ranti. Ia masih tetap ngotot pada uang yang tak kunjung ia dapatkan.

Kiara kini menghela napas, lalu mencondongkan tubuh ke depan. "Ma, sampai kapan begini? Aku tak bisa selamanya memenuhi keinginan Mama dan Nara. Bagaimana jika nanti aku menikah—"

"Kamu gak boleh menikah!" balas Ranti cepat. Nada suaranya meninggi. "Kamu tega mengabaikan kami? Kami hanya bergantung padamu!"

Sontak Kiara terdiam. Kata-kata itu seperti belati yang menancap tanpa peringatan. Lagi-lagi ia mendengar larangan menikah dari mulut Ranti. Awan kesedihan pun langsung menutupi raut wajahnya.

Sampai kapan aku harus menjadi penopang mereka? Aku juga ingin kehidupan seperti orang lain. Pertanyaan itu pun kembali bergema di benaknya namun sulit untuk ia utarakan.

Sadar akan kesalahan ucapannya dan tak ingin anak kesayangannya itu berpikir lebih dalam lagi dan kemudian memberontak. Ranti segera membujuknya.

“Bukan maksud Mama melarangmu. Tapi kami tak punya penghasilan lain. Mama mau bisnis agar tak lagi bergantung padamu. Mama butuh bantuanmu. Bisa kan."

"Aku tidak bisa memberikan uang untuk bisnis itu. Tapi ada jalan lain."

"Jalan keluar apa?" Nara akhirnya kembali menggantikan untuk bersuara.

"Gunakan uang itu untuk membeli kebun sawit. Setiap bulan hasilnya bisa ditransfer ke Mama."

Mama langsung berdiri. "Gak mau!" Ia terang-terangan menolak dengan tegas keputusan putra sulungnya itu.

“Kebun itu tidak akan memberi hasil secepat yang Mama butuhkan,” ujar Mama tajam. "Bisnis yang Mama rencanakan bisa langsung berjalan."

“Kalau kebun sawit berhasil, setiap bulan Mama dapat uang tanpa perlu menengok bisnis yang belum tentu berjalan.” lanjut Kiara membalas setiap alasan yang mereka lontarkan.

Ranti yang tampak emosi melangkah lebih dekat. "Kamu tidak percaya sama Mama? Kamu pikir Mama akan gagal lagi?"

Kiara membalas tatapan tajam itu dengan santai dan tersenyum tipis. "Ini bukan soal percaya, Ma. Ini soal kepastian." Kiara menjeda ucapannya sesaat untuk memberi ruang untuk ia kembali menarik napas panjang.

“Aku tidak bisa menyerahkan uang tanpa perhitungan. Kalau Mama serius ingin keluar dari ketergantungan ini, solusi terbaik adalah yang bisa berjalan jangka panjang. Kalau Mama memang serius, kita bisa bicarakan lebih jauh.”

Ranti memang terdiam, tapi matanya berisi keraguan dan kemarahan. Kiara tahu ini bukan akhir dari perdebatan, tapi kali ini ia tidak menyerah begitu saja.

Nara menghela napas dan ikutt berbicara. "Kak, Mama dan aku gak paham soal kebun. Lebih baik kamu berikan saja uangnya agar kami bisa mengelola bisnis dan tak perlu merepotkan kamu."

"Itu keinginan Mama atau keinginanmu?" balas Kiara tajam tanpa berkedip.

"Kok aku? Kalau kamu gak mau kasih ya sudah, jangan jadikan aku kambing hitam!"

Kiara pun tersenyum tipis, penuh ejekan. Bahkan ia yang lebih tahu dari siapa pun kemana mengalirnya uang yang selama ini ia berikan pada Ranti. Tapi kali ini Kiara mulai menetapkan batasan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Orang ketiga.   OK bab. 24

    Kiara tersenyum melihat sejumlah nominal uang masuk ke dalam saldo rekeningnya. Nominal yang cukup lumayan dari hasil penjualan beberapa barang mewah milik Ranti dan juga Nara. Ia akhirnya bisa melunasi seluruh hutang-hutang yang telah jatuh tempo itu dan bahkan mendapatkan kelebihan sebesar enam puluh juta. Baru saja dirinya bernapas lega, pintu apartemennya terbuka begitu saja. Kiara mendengus kasar melihat dua sosok yang tak ia lihat selama beberapa hari ini. "Bodoh, kenapa tidak kuubah sandinya," rutuknya pelan membodohi diri sendiri. Ranti dan Nara mendekat. Wajah mereka yang coklat kini sudah memerah dengan mata yang membesar. "Mama dan Nara sudah pulang? Bagaimana liburan kalian?" sapa Kiara berbasa-basi. Ia sudah letih seharian bekerja sehingga tak memiliki tenaga lagi untuk memulai pertengkaran malam ini. Nara menyeringai, tapi senyuman itu hanya bertahan sepersekian detik sebelum berubah menjadi tatapan tajam yang bisa menguliti siapa pun.

  • Orang ketiga.   OK bab. 23

    Hal paling menyenangkan di dunia ini? Hidup santai dan liburan. Titik. Koper penuh itu seharusnya berat, namun rasanya ringan di tangan Nara. Mungkin karena ia menyeretnya dengan hati yang masih dipenuhi sisa tawa dan hangatnya matahari Hawai. Langit siang begitu terang ketika Nara dan ibunya melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara. Roda koper mereka berderit pelan di atas lantai granit yang dingin—kadang terdengar gesekan, kadang hanya gema tawa mereka yang mengalahkan riuh para penumpang lain. Nara melirik Mamanya. Meski wajah sang ibu terlihat sedikit lusuh dan rambutnya kusut akibat tidur di pesawat, ada sesuatu yang memancar dari sorot matanya—semangat. Senyum itu belum benar-benar pergi sejak mereka mendarat. “Next time,” ujar Ranti sambil merapikan rambut dengan jari, “kita harus coba yang lebih ekstrem. Naik balon udara atau camping di gurun, gimana?” Nara sampai harus berhenti sejenak menarik koper karena tertawa. “Ma

  • Orang ketiga.   OK bab. 22

    Mobil Kiara melaju begitu cepat, membelah jalan raya malam yang terasa seperti jurang tak berujung. Langit kelam menggantung tanpa satu pun bintang yang menari. Tak ada rembulan yang biasanya menjadi teman perjalanan; malam itu hanya menyisakan pekat yang diam, seolah mengerti betapa sesaknya hati yang tengah Kiara bawa. Angin malam menerobos dari jendela yang sedikit terbuka, menghantam wajahnya, namun tak mampu menghapus hampa yang mengakar di dadanya.Sepanjang perjalanan, ucapan Julia terus berputar dalam kepalanya, seperti gema yang tak mau padam. Ada sakit hati yang menumpuk, yang belum sempat ia luapkan. Ia meninggalkan kafe dengan langkah mantap, tetapi hatinya kacau. Ada sesuatu yang harus ia pastikan, ada seseorang yang harus ia temui—dan ia tak bisa menunggu sampai besok untuk mendapatkan jawaban itu.Mobilnya berhenti di basement apartemen Reymond. Tempat itu terasa begitu sunyi, terlalu kontras dengan gejolak yang ia rasakan. Ia menyiapkan dirinya, men

  • Orang ketiga.   OK bab. 21

    Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah Kiara bayangkan. Setelah seharian berperan sebagai fotografer dadakan, kini ia duduk di depan laptop dengan napas berat, membuka situs penjualan barang-barang bekas branded yang selama ini hanya ia lihat tanpa pernah terpikir akan ia gunakan.Mata dan hatinya terasa perih setiap kali menyeret gambar tas atau sepatu ke dalam kolom unggah. Setiap barang yang ia ketik harganya, seolah menampar realita: barang-barang ini bukan kekayaan, melainkan lambang dari kebodohan dan ketidakpedulian. Namun, di tengah getirnya kenyataan, ada sedikit rasa lega yang menyelinap di dada. Untuk pertama kalinya, Kiara melakukan sesuatu bukan demi mereka, tapi demi dirinya sendiri.Ia ingin terbebas dari jerat yang selama ini tak terlihat—bukan hanya jerat hutang, tapi jerat batin karena terus menerus dijadikan “penanggung jawab” untuk kesalahan dua orang yang mengaku sebagai keluarganya. "Ok, selesai!" Satu kali tekan

  • Orang ketiga.   OK bab. 20

    Pagi itu, kekhawatiran kembali menyelimuti hari-hari Kiara.Setiap detik terasa berat, seolah ia sedang menyeret batu besar yang menekan seluruh tubuhnya. Hutang yang kian mendekati jatuh tempo menghantui pikirannya tanpa henti.Ia menatap meja makan yang kosong. Tak ada aroma masakan hangat, tak ada gelak tawa yang seharusnya mengiringi paginya. Hanya keheningan yang menggantung, memantulkan isi hatinya yang kacau dan penuh tekanan. Piring-piring tersusun rapi di rak, namun perutnya bahkan tak sanggup menerima sesuap makanan pun.Kepalanya terasa berat. Masalah datang bertubi-tubi, seperti ribuan batu yang menghantam tanpa memberi jeda. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan sesak yang mencengkeram dada. Tapi udara pagi pun terasa menekan, seolah ikut menambah beban yang tak kunjung reda.Pikirannya berputar tanpa henti—mencari jalan keluar, mencari secercah harapan. Namun semakin dicari, semakin terasa sempit. Setiap detik berjalan seperti langka

  • Orang ketiga.   OK bab. 19

    “Diego. Apa yang kamu lakukan di sini?” Nada suara Kiara terdengar kaget antara percaya dan tak percaya. Kehadiran lelaki itu benar-benar di luar dugaannya. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Diego di tempat itu—lelaki yang selama ini berusaha ia hapus dari kehidupannya, setidaknya begitu yang ia coba lakukan. Namun Diego sama sekali tidak menanggapi pertanyaannya. Tatapannya tajam, penuh tekanan. Tanpa berkata banyak, tangan berotot itu menarik pergelangan tangan Kiara kasar. Kiara berusaha melepaskan diri, menepis genggaman itu berkali-kali, tapi usahanya sia-sia. Tenaganya kalah oleh tarikan kuat Diego yang membawanya ke mobil.Begitu pintu tertutup, Diego menekan tubuh Kiara ke kursi penumpang. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga napas panas lelaki itu terasa di telinganya. “Sepertinya hari ini kamu sangat bahagia setelah bertemu dengannya,” ucap ucap Diego datar. Nada suaranya dingin, membuat bulu kuduk Kiara berdiri. Keningnya berkerut, mencoba memahami siapa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status