Share

OK bab. 3

last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-14 10:30:52

Aku menarik napas cepat, rasa lelahku berganti waspada. Mama jarang berbicara dengan nada seperti itu dan jika beliau sampai menunggu di apartemen tanpa memberi tahuku sebelumnya, berarti ada sesuatu yang diinginkannya dariku.

Aku melangkah mendekat, menyisir kekacauan dengan tatapan sinis. Nara, seperti biasa, bersikap santai seolah tak peduli. Mungkin karena aku terlalu memanjakannya hingga tak ada lagi rasa hormatnya terhadapku.

"Mama mau bicara apa?" tanyaku dingin. Tubuhku menuntut istirahat, tetapi bagaimana aku bisa tenang dengan keberadaan mereka?

Sejak kuliah, aku memilih tinggal sendiri demi ketenangan. Rumah yang seharusnya memberi rasa nyaman hanya dipenuhi oleh teriakan dan makian yang membekas dalam ingatan. Setelah perpisahan Mama dan Papa, hidupku dibebankan dengan tanggung jawab yang tiada habisnya.

"Mama butuh uang lima ratus juta untuk bisnis yang menjanjikan."

Aku tersentak. Lagi-lagi uang. Seperti jalangkung yang datang tanpa diundang dan pulang tanpa pamit. Hatiku meringis, dibalik kesuksesan yang kumiliki aku tak ubahnya mesin ATM bagi orang tuaku sendiri.

"Bisnis? Apa uang yang Mama habiskan sebelumnya tidak cukup? Bukannya setiap bulan aku mengirimkan uang bulanan untuk Mama. Apa itu tidak cukup?"

"Kebutuhan Mama banyak, Kiara. Sementara Mama gak mungkin meminta semuanya padamu. Makanya Mama berbisnis agar bisa memenuhi kebutuhan Mama sendiri tanpa memberatkanmu," dalih Mama terasa seperti nyanyian sumbang di telingaku.

Dalih yang hampir sama setiap kali kami berdebat tentang masalah uang. Dua puluh lima juta jumlah uang yang kuberikan padanya terasa seperti segelas air yang tertuang di lautan. Tak terlihat dan berbekas, padahal untuk memperolehnya aku rela mengorbankan masa mudaku yang kini terasa sia-sia.

"Keinginan Mama yang banyak. Cobalah untuk sedikit berhemat, Ma. Mama harus sadar kalau hidup kita tidak seperti dulu lagi. Mama bukan lagi istri seorang pengusaha tambang."

Aku menatapnya lama, mencoba menahan gelombang emosi. Lima ratus juta bukan jumlah kecil dan lebih dari itu, ini bukan pertama kalinya.

"Maksud kamu apa, Kiara? Kenapa jadi merembet kemana-mana. Mama meminta uang padamu untuk berbisnis agar bisa menghasilkan uang, bukannya foya-foya!" balas Mama tak terima akan nasehatku.

"Tapi bisnis yang Mama lakukan selama ini hanyalah cangkang kosong. Tak pernah ada keuntungan."

Mama mengembuskan napas kasar. "Namanya bisnis ada untung ruginya. Ditambah Mama kan masih pemula dan baru belajar, jadi wajar kalau kemarin-kemarin bisnisnya gagal. Tapi kali ini Mama yakin. Berikan 500 juta dan Mama janji tidak akan mengecewakanmu."

Aku diam bukan karena tengah menimbang permintaan Mama, tetapi tengah memikirkan cara keluar dari masalah ini.

Kulirik adik yang lebih muda lima tahun dariku. Nara terlihat bersandar pada sofa dengan santai. Seandainya aku bisa seperti dia, tak peduli dan tak terbebani.

Aku menarik napas panjang. "Mama yakin akan berhasil?" tanyaku, dengan suara yang nyaris tanpa emosi.

Mama mengangguk cepat, matanya berbinar, penuh harapan. “Iya, kali ini pasti berhasil. Kamu tinggal percaya sama Mama.”

Percaya? Kata itu terasa pahit. Berkali-kali saldo rekeningku terkuras untuk bisnis yang hanya menguap tanpa hasil.

Percaya? Kata itu terasa pahit di lidahku. Setelah kegagalan yang berulang kali menghabiskan saldo rekeningku dan menguap tanpa hasil menyisakan perasaan sesak yang dalam. Masih bisakah aku memberikan kepercayaan itu dengan hati yang tenang?

Aku tersenyum sinis. "Seperti sebelumnya?"

"Kali ini berbeda," kata Mama cepat berusaha meyakinkanku melalui tatapan mata dan senyumnya.

Aku tertawa kecil tanpa humor. "Bukankah selalu begitu?"

Tatapan Mama berubah, ada frustrasi terselip di sana, tapi ia menepisnya. "Jadi, kamu mau bantu atau tidak?"

Aku bisa menyerah seperti biasa atau berkata tidak dan menerima label anak durhaka.

Sudut bibirku terangkat. "Mama ingin bisnis yang menjanjikan?"

Mama mengangguk cepat penuh semangat.

"Kalau begitu, tunjukkan rencana bisnisnya. Anggap aku investor, bukan mesin ATM."

Nara tersentak, gelisah. Ia membisikkan sesuatu pada Mama. Sesuatu yang membuatku curiga.

"Ada apa?" tanyaku tajam.

"Tidak ada. Kalau kamu tidak mau memberi uangnya, pinjamkan dulu. Mama akan mengembalikannya!" balasnya memaksa.

Aku menghela napas, lalu mencondongkan tubuh ke depan. "Ma, sampai kapan begini? Aku tak bisa selamanya memenuhi keinginan Mama dan Nara. Bagaimana jika nanti aku menikah—"

"Kamu gak boleh menikah!" suara Mama meninggi. "Kamu tega mengabaikan kami? Kami hanya bergantung padamu!"

Aku terdiam. Belati kata-kata itu menancap tanpa peringatan. Lagi-lagi Mama melarangku menikah. Sampai kapan aku harus menjadi penopang mereka? Aku juga ingin kehidupan seperti orang lain.

Mama mencengkeram pergelangan tanganku. “Bukan maksud Mama melarangmu. Tapi kami tak punya penghasilan lain. Mama mau bisnis agar tak lagi bergantung padamu. Mama butuh bantuanmu.”

Aku menarik napas, meredakan getaran tubuhku. "Aku tidak bisa memberikan uang untuk bisnis itu. Tapi ada jalan lain."

"Jalan keluar apa?" Nara akhirnya bersuara.

"Gunakan uang itu untuk membeli kebun sawit. Setiap bulan hasilnya bisa ditransfer ke Mama."

Mama langsung berdiri. "Gak mau!"

Ketegangan memenuhi udara. Mama tampak gusar, tangannya bergetar ringan. Nara menghela napas, sudah menebak ke mana arah percakapan ini.

“Kebun itu tidak akan memberi hasil secepat yang Mama butuhkan,” ujar Mama tajam. "Bisnis yang Mama rencanakan bisa langsung berjalan."

Aku tetap diam. Lima ratus juta bukan sekadar uang yang bisa diberikan tanpa perhitungan. Aku sudah melihat bisnis Mama runtuh tanpa jejak berkali-kali.

“Kalau kebun sawit berhasil, setiap bulan Mama dapat uang tanpa perlu menengok bisnis yang belum tentu berjalan.”

Mama melangkah lebih dekat. "Kamu tidak percaya sama Mama? Kamu pikir Mama akan gagal lagi?"

Aku menatapnya, lalu tersenyum kecil. "Ini bukan soal percaya, Ma. Ini soal kepastian."

Nara melirikku, seolah ingin aku menuruti keinginan Mama.

“Aku tidak bisa menyerahkan uang tanpa perhitungan. Kalau Mama serius ingin keluar dari ketergantungan ini, solusi terbaik adalah yang bisa berjalan jangka panjang. Kalau Mama memang serius, kita bisa bicarakan lebih jauh.”

Mama terdiam, matanya berisi keraguan dan kemarahan. Aku tahu ini bukan akhir dari perdebatan, tapi kali ini aku tidak menyerah begitu saja.

Nara menghela napas. "Kak, Mama dan aku gak paham soal kebun. Lebih baik kamu berikan saja uangnya agar kami bisa mengelola bisnis dan tak perlu merepotkan kamu."

Aku menatapnya tanpa berkedip. "Itu keinginan Mama atau keinginanmu?"

"Kok aku? Kalau kamu gak mau kasih ya sudah, jangan jadikan aku kambing hitam!"

Aku tersenyum miring. Kali ini, aku menetapkan batasan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Orang ketiga.   OK bab. 7

    Rasa gelisah menjalar pelan seperti kabut dingin yang menyusup ke tulang. Aku mendesah panjang, mataku menatap lurus ke arah ponsel yang kini diam membisu setelah menyampaikan ancaman yang membakar dada. Dunia terasa mengecil, menyempit oleh tekanan yang datang dari segala arah—keluarga, perasaan bersalah dan kesendirian yang seolah tak berujung. Aku berdiri perlahan, menapaki lantai dengan langkah pelan menuju jendela apartemen. Dari balik kaca bening itu, lampu-lampu kota masih menyala terang, seolah tak peduli pada kekacauan batinku. Setitik harapan menyelinap di antara kepingan hati yang rapuh. Pasti ada cara untuk keluar dari ini semua kesulitan tanpa kehilangan diriku sendiri. Telepon itu masih dalam genggaman. Pesan itu belum aku hapus. Walau sering mendapatkan pesan seperti ini setiap kali tak mampu memenuhi, tetap saja aku masih merasa tak nyaman. Tapi sampai kapan aku akan terus mendapatkan perlakuan seperti ini? Kupilih untuk mengabaikan pesan tersebut. Memblokir satu

  • Orang ketiga.   OK bab. 6

    Tak pernah terbayangkan dalam mimpi sekalipun untuk menjadi duri dalam pernikahan orang lain. Namun nyatanya takdir membawaku pada lorong gelap yang tak tahu kemana ujungnya. Kesalahan satu malam kini mulai perlahan mengubah hidupku. Apa yang harus aku lakukan agar bisa terhindar dari masalah rumit yang ingin membelitku. "Dari sekian banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus suami temanku sendiri? Kenapa Tuhan? Aku mohon, biarkan semuanya berlalu begitu saja. Sepertinya setelah ini lebih baik aku tak perlu bertemu dengan mereka lagi." Mobil yang kukendarai melaju dengan cepat membelah keheningan malam dengan pikiran yang semakin kusut. Angin malam yang berhembus membelai pipi putihku. Ada lubang kekosongan yang kian melebar. Aku tak memiliki siapa pun untuk tempatku mengadu, bahkan ibu yang dianggap rumah bukanlah tempatku untuk berpulang walau hanya sekedar merebahkan kepala untuk mengusir penat. Sesampainya di apartemen aku merebahkan tubuhku ke atas sofa. Tubuhku teras

  • Orang ketiga.   OK bab. 5

    Anggi tersenyum, dia tentu tak menyadari perubahan yang tiba-tiba menguasai atmosfer. "Sayang, ini Kiara, sahabatku sejak SMA." Pria itu diam sejenak, lalu mengulurkan tangannya. "Diego." ucapnya singkat. Aku menatap tangan itu, ragu sebelum akhirnya menyambutnya. Kulitnya dingin, genggamannya kuat. Seolah bukan sekadar salam perkenalan, tapi lebih dari itu. Sementara tatapan matanya yang tajam mengartikan sesuatu yang sulit kupahami. Rasa cemas pun mulai menyergap hatiku. Aku cepat melepaskan tautan tangan kami dan dengan canggung mempersilakannya duduk seolah kami berdua tak pernah bertemu sebelumnya. Pelayan menghampiri kami dan mencatat pesannya, kemudian pergi dan kembali lagi dalam waktu beberapa menit. Selama waktu itu kesunyian pun menyapa diantara kami berdua, kecuali Anggi yang terus mengajakku bercerita. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis. Kehadiran lelaki berkulit coklat itu menghantamku seperti gelombang yang tak terduga. Diego Navarro. Nama yang seharusnya

  • Orang ketiga.   OK bab. 4

    Pernah tidak kalian mendengar ada yang bilang, lebih baik capek badan daripada capek otak? Capek badan bisa hilang saat dibawa istirahat, tetapi capek otak mau tidur 24 jam sekalipun tak mampu membuat hilang sakit di kepala. Itulah yang tengah aku alami pagi ini. Suasana pagi yang cerah tetapi tubuhku terasa loyo tak bertenaga. Diego Navarro, usia yang mendekati expired ditambah tuntutan uang 500 juta kini berputar-putar di dalam otakku. Pagi yang cerah seharusnya membawa ketenangan, tetapi di dalam kepalaku, badai pikiran berputar-putar tanpa henti. Diego Navarro—sosok yang ingin kulupakan dan angka 500 juta yang menggantung seperti pedang di atas kepala. Aku menarik napas, mencoba mengabaikan rasa berat di dada. Jalanan mulai ramai, suara kendaraan dan langkah kaki bercampur menjadi latar belakang yang samar. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kebisingan dalam pikiranku sendiri. Aku kembali terduduk di ruangan kecil di mana layar datar yang menjadi titik fokusku saat ini. Berm

  • Orang ketiga.   OK bab. 3

    Aku menarik napas cepat, rasa lelahku berganti waspada. Mama jarang berbicara dengan nada seperti itu dan jika beliau sampai menunggu di apartemen tanpa memberi tahuku sebelumnya, berarti ada sesuatu yang diinginkannya dariku. Aku melangkah mendekat, menyisir kekacauan dengan tatapan sinis. Nara, seperti biasa, bersikap santai seolah tak peduli. Mungkin karena aku terlalu memanjakannya hingga tak ada lagi rasa hormatnya terhadapku. "Mama mau bicara apa?" tanyaku dingin. Tubuhku menuntut istirahat, tetapi bagaimana aku bisa tenang dengan keberadaan mereka? Sejak kuliah, aku memilih tinggal sendiri demi ketenangan. Rumah yang seharusnya memberi rasa nyaman hanya dipenuhi oleh teriakan dan makian yang membekas dalam ingatan. Setelah perpisahan Mama dan Papa, hidupku dibebankan dengan tanggung jawab yang tiada habisnya. "Mama butuh uang lima ratus juta untuk bisnis yang menjanjikan." Aku tersentak. Lagi-lagi uang. Seperti jalangkung yang datang tanpa diundang dan pulang tanpa pamit

  • Orang ketiga.   OK bab. 2

    Aku merasa akhir-akhir ini Dewi kesialan tengah mengutukku. Setelah kabur seperti seorang buronan dari dekapan lelaki asing yang memiliki pikiran gila, kini aku dihadapkan dengan dua orang wanita yang menyebalkan. "Gila, tampan banget. Aku tidak menyangka lelaki setampan dan semuda ini sudah memiliki perusahaan besar." "Aku penasaran dia sudah punya istri atau belum, ya?" "Jangan mimpi, banyak wanita yang mengincarnya dan kamu gak mungkin ada dalam urutan itu?" "Kalau aku nggak, apalagi kamu. Aku rasa dari segi penampilan dan juga karier aku lebih unggul darimu." Kupingku terasa berdenging mendengar percakapan dua wanita yang ujung-ujungnya berakhir pada sebuah pertengkaran. Dan sialnya dua wanita itulah yang harus kuhadapi setiap hari. Kutahan napas, berusaha meredam dorongan untuk menutup telinga dengan kedua tangan. Sejujurnya, aku masih sulit menerima kenyataan bahwa setiap hari harus berbagi ruang dengan Intan dan Violita—dua wanita yang lebih sering beradu ego daripada bek

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status