Share

OK bab. 2

last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-14 10:29:44

Aku merasa akhir-akhir ini Dewi kesialan tengah mengutukku. Setelah kabur seperti seorang buronan dari dekapan lelaki asing yang memiliki pikiran gila, kini aku dihadapkan dengan dua orang wanita yang menyebalkan.

"Gila, tampan banget. Aku tidak menyangka lelaki setampan dan semuda ini sudah memiliki perusahaan besar."

"Aku penasaran dia sudah punya istri atau belum, ya?"

"Jangan mimpi, banyak wanita yang mengincarnya dan kamu gak mungkin ada dalam urutan itu?"

"Kalau aku nggak, apalagi kamu. Aku rasa dari segi penampilan dan juga karier aku lebih unggul darimu."

Kupingku terasa berdenging mendengar percakapan dua wanita yang ujung-ujungnya berakhir pada sebuah pertengkaran. Dan sialnya dua wanita itulah yang harus kuhadapi setiap hari.

Kutahan napas, berusaha meredam dorongan untuk menutup telinga dengan kedua tangan. Sejujurnya, aku masih sulit menerima kenyataan bahwa setiap hari harus berbagi ruang dengan Intan dan Violita—dua wanita yang lebih sering beradu ego daripada bekerja sama.

Pekerjaan di kantor sudah cukup membuatku pusing ditambah lagi dengan perdebatan tidak berkesudahan dari mereka, rasanya seperti ujian ketahanan mental. Aku menghela napas pelan, berusaha tetap fokus pada layar komputer di hadapanku, namun suara mereka terus merembes ke dalam kesadaranku, membuat konsentrasi semakin rapuh.

"Aku yakin kalau aku sedikit lebih agresif, aku bisa mendapatkan perhatiannya," suara Violita terdengar penuh keyakinan.

Intan mendengus sinis. "Terserah. Tapi jangan bawa-bawa aku dalam usahamu yang sia-sia."

Aku yang hilang kesabaran pun beranjak, kemudian merampas kumpulan kertas yang ada di tangan Intan.

"Apa yang kalian perdebatkan?"

"Pak Diego. Lelaki tampan itu membuat surgawiku bergetar," sahut Violeta absurd.

Aku bergidik melihat tingkahnya. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana mereka bisa mencurahkan begitu banyak energi untuk memperdebatkan hal-hal seperti ini.

"Diego Navarro?" tanyaku memastikan nama yang akhir-akhir ini sering muncul dalam percakapan para pebisnis dan media ekonomi. Lelaki yang memiliki kecerdasan dan ambisi yang membuatnya melesat cepat dalam dunia bisnis.

Usianya yang muda tak menghalanginya untuk mengembangkan perusahaan yang dia miliki menjadi sebuah perusahaan besar yang memiliki beberapa anak cabang.

Aku tahu namanya tetapi tidak tahu sosoknya karena kebanyakan majalah jarang melampirkan fotonya saat memuat berita, mungkin karena wajahnya terlalu beharga.

"Memangnya setampan apa dia?" tanyaku minat. Aku juga sedikit penasaran setelah mendengar pujian hiperbola yang keluar dari kedua bibir mereka.

"Lihat saja di situ!" Intan menunjuk dengan bibirnya pada majalah yang aku pegang. "Halaman tiga."

Tak susah menemukannya, hanya dengan sekali sapuan halaman depan yang dikatakan Intan pun terbuka.

Mataku melebar mendapati sosok yang telah menghabiskan satu malam panas denganku kini terpampang dalam sebuah gambar.

"Ini Diego?"

"Kenapa? Pasti kaget karena melihat wajah tampannya," goda Violita. Aku tak mampu berkata-kata, otak ini terasa blank setelah mendapati kenyataan yang ada.

"Aku dengar dia jarang muncul di media karena ingin menjaga privasinya," ujar Intan, suaranya terdengar lebih serius kali ini.

Violita mengangguk setuju. "Iya, katanya dia lebih suka bekerja di balik layar. Tapi tetap saja, pesonanya tidak bisa disembunyikan."

Aku salah satu orang yang mengutuk pemikiran itu. Dadaku terasa sesak, seolah udara di ruangan ini mendadak menipis.

Tangan yang tadi menggenggam majalah kini terasa dingin, sementara mataku masih terpaku pada gambar di tanganku. Seolah aku menelusuri ulang malam itu, mencoba menghubungkan potongan-potongan kenangan yang selama ini kusimpan dengan sosok yang kini terpampang begitu jelas.

Apa yang akan terjadi jika mereka tahu aku telah menghabiskan satu malam dengan lelaki yang dikaguminya? Lalu bagaimana dengan karier maupun hidupku?

Pikiran-pikiran itu menumpuk di kepala hingga menjadi ledakan kuat, daripada ocehan Intan dan Violita yang masih sibuk memuja-muji kehadirannya di dunia. Aku ingin menertawakan betapa naifnya mereka.

Mereka tergila-gila pada seorang pria yang mereka pikir tidak terjangkau, sedangkan aku tanpa pernah merencanakan, justru telah menjangkaunya lebih dari yang bisa mereka bayangkan.

"Oh, ya, Kiara. Ngomong-ngomong kamu kan sekarang single. Kamu mau gak aku jodohin sama saudara aku? Dia juga seorang pengusaha dan tampan."

Aku belum selesai dengan keterkejutan yang baru saja aku dapati kini aku harus kembali terkejut kembali. Tawaran konyol yang baru saja keluar dari mulut Violita terasa seperti gangguan yang tidak diinginkan di tengah badai pikiran yang berkecamuk.

"Saudaramu?" Aku akhirnya bersuara, meski dengan nada datar.

"Iya, dia cocok buat kamu!" Violita menyeringai bangga. "Kamu cantik, karier pun bagus, cuma pasangan saja yang kamu tidak punya."

Intan mendengus. "Jangan paksa dia, Vi. Lihat saja wajahnya, seperti orang yang baru melihat hantu."

Aku menghela napas, pujian itu justru terdengar seperti cibiran di telingaku. Pikiranku kini terus melayang pada kejadian malam itu beradu bersamaan kilatan-kilatan kenangan di masa lalu. Ada rasa cemas yang perlahan-lahan menghantuiku dan menghadirkan buliran-buliran keringat dingin di pelipis.

"Dengar, Violita," ucapku pelan tapi penuh tekanan. "Aku tidak tertarik untuk dijodohkan saat ini."

Violita merajuk. "Ck, kamu sulit sekali."

"Aku masih banyak hal yang ingin kukejar saat ini dan semua itu tak akan terwujud jika aku tak fokus. Cinta hanya akan membuatku bodoh!"

"What?" seru Intan dan Violita bersamaan.

Aku berlalu kembali ke meja kerjaku, menatap layar datar dan kembali bergelut dengan segudang pekerjaan yang harus aku selesaikan.

Waktu terasa begitu cepat berputar. Jam dipergelangan tangan sudah menunjukkan pukul enam sore. Aku telah beranjak meninggalkan gedung tinggi tempatku mencari nafkah, menggunakan mobil sedan keluaran terbaru, aku pun bertolak menuju apartemen milikku.

Emerald Heights residence lantai 15. Sebuah hunian yang menjadi impianku dengan view padatnya keramaian kota, jaraknya yang cukup dekat dengan tempat kerja dan juga fasilitas kota.

"Kamu sudah pulang?"

Baru saja membuka pintu aku sudah disambut pemandangan yang membuat darahku seketika naik ke ubun-ubun.

Aku mematung di ambang pintu, napasku tertahan di tenggorokan.

Apartemen tempat ternyamanku setelah penat dari hiruk-pikuk kesibukan dunia luar kini berubah menjadi medan perang kecil.

Sofa digeser ke posisi yang absurd, snack-snack yang tersusun di lemari serta buah dari lemari pendingin kini telah berpindah di atas meja. Sebagian yang tinggal kulit berserakan tak tentu arah. Dan di tengah semua itu, duduk dua sosok yang tak asing.

"Mama? Nara?"

Mereka berdua tersenyum dengan ekspresi tanpa dosa.

"Ah, akhirnya Kak Kiara pulang juga. Kami sudah bosan menunggu lama di sini," ujar Nara santai, seakan tak perduli dengan tatapan mata tajamku.

"Kiara duduk sini! Ada yang ingin Mama bicarakan."

Bicara? Alarm tanda bahaya seketika berbunyi di kepalaku. Apa lagi yang mereka inginkan dariku?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Orang ketiga.   OK bab. 7

    Rasa gelisah menjalar pelan seperti kabut dingin yang menyusup ke tulang. Aku mendesah panjang, mataku menatap lurus ke arah ponsel yang kini diam membisu setelah menyampaikan ancaman yang membakar dada. Dunia terasa mengecil, menyempit oleh tekanan yang datang dari segala arah—keluarga, perasaan bersalah dan kesendirian yang seolah tak berujung. Aku berdiri perlahan, menapaki lantai dengan langkah pelan menuju jendela apartemen. Dari balik kaca bening itu, lampu-lampu kota masih menyala terang, seolah tak peduli pada kekacauan batinku. Setitik harapan menyelinap di antara kepingan hati yang rapuh. Pasti ada cara untuk keluar dari ini semua kesulitan tanpa kehilangan diriku sendiri. Telepon itu masih dalam genggaman. Pesan itu belum aku hapus. Walau sering mendapatkan pesan seperti ini setiap kali tak mampu memenuhi, tetap saja aku masih merasa tak nyaman. Tapi sampai kapan aku akan terus mendapatkan perlakuan seperti ini? Kupilih untuk mengabaikan pesan tersebut. Memblokir satu

  • Orang ketiga.   OK bab. 6

    Tak pernah terbayangkan dalam mimpi sekalipun untuk menjadi duri dalam pernikahan orang lain. Namun nyatanya takdir membawaku pada lorong gelap yang tak tahu kemana ujungnya. Kesalahan satu malam kini mulai perlahan mengubah hidupku. Apa yang harus aku lakukan agar bisa terhindar dari masalah rumit yang ingin membelitku. "Dari sekian banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus suami temanku sendiri? Kenapa Tuhan? Aku mohon, biarkan semuanya berlalu begitu saja. Sepertinya setelah ini lebih baik aku tak perlu bertemu dengan mereka lagi." Mobil yang kukendarai melaju dengan cepat membelah keheningan malam dengan pikiran yang semakin kusut. Angin malam yang berhembus membelai pipi putihku. Ada lubang kekosongan yang kian melebar. Aku tak memiliki siapa pun untuk tempatku mengadu, bahkan ibu yang dianggap rumah bukanlah tempatku untuk berpulang walau hanya sekedar merebahkan kepala untuk mengusir penat. Sesampainya di apartemen aku merebahkan tubuhku ke atas sofa. Tubuhku teras

  • Orang ketiga.   OK bab. 5

    Anggi tersenyum, dia tentu tak menyadari perubahan yang tiba-tiba menguasai atmosfer. "Sayang, ini Kiara, sahabatku sejak SMA." Pria itu diam sejenak, lalu mengulurkan tangannya. "Diego." ucapnya singkat. Aku menatap tangan itu, ragu sebelum akhirnya menyambutnya. Kulitnya dingin, genggamannya kuat. Seolah bukan sekadar salam perkenalan, tapi lebih dari itu. Sementara tatapan matanya yang tajam mengartikan sesuatu yang sulit kupahami. Rasa cemas pun mulai menyergap hatiku. Aku cepat melepaskan tautan tangan kami dan dengan canggung mempersilakannya duduk seolah kami berdua tak pernah bertemu sebelumnya. Pelayan menghampiri kami dan mencatat pesannya, kemudian pergi dan kembali lagi dalam waktu beberapa menit. Selama waktu itu kesunyian pun menyapa diantara kami berdua, kecuali Anggi yang terus mengajakku bercerita. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis. Kehadiran lelaki berkulit coklat itu menghantamku seperti gelombang yang tak terduga. Diego Navarro. Nama yang seharusnya

  • Orang ketiga.   OK bab. 4

    Pernah tidak kalian mendengar ada yang bilang, lebih baik capek badan daripada capek otak? Capek badan bisa hilang saat dibawa istirahat, tetapi capek otak mau tidur 24 jam sekalipun tak mampu membuat hilang sakit di kepala. Itulah yang tengah aku alami pagi ini. Suasana pagi yang cerah tetapi tubuhku terasa loyo tak bertenaga. Diego Navarro, usia yang mendekati expired ditambah tuntutan uang 500 juta kini berputar-putar di dalam otakku. Pagi yang cerah seharusnya membawa ketenangan, tetapi di dalam kepalaku, badai pikiran berputar-putar tanpa henti. Diego Navarro—sosok yang ingin kulupakan dan angka 500 juta yang menggantung seperti pedang di atas kepala. Aku menarik napas, mencoba mengabaikan rasa berat di dada. Jalanan mulai ramai, suara kendaraan dan langkah kaki bercampur menjadi latar belakang yang samar. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kebisingan dalam pikiranku sendiri. Aku kembali terduduk di ruangan kecil di mana layar datar yang menjadi titik fokusku saat ini. Berm

  • Orang ketiga.   OK bab. 3

    Aku menarik napas cepat, rasa lelahku berganti waspada. Mama jarang berbicara dengan nada seperti itu dan jika beliau sampai menunggu di apartemen tanpa memberi tahuku sebelumnya, berarti ada sesuatu yang diinginkannya dariku. Aku melangkah mendekat, menyisir kekacauan dengan tatapan sinis. Nara, seperti biasa, bersikap santai seolah tak peduli. Mungkin karena aku terlalu memanjakannya hingga tak ada lagi rasa hormatnya terhadapku. "Mama mau bicara apa?" tanyaku dingin. Tubuhku menuntut istirahat, tetapi bagaimana aku bisa tenang dengan keberadaan mereka? Sejak kuliah, aku memilih tinggal sendiri demi ketenangan. Rumah yang seharusnya memberi rasa nyaman hanya dipenuhi oleh teriakan dan makian yang membekas dalam ingatan. Setelah perpisahan Mama dan Papa, hidupku dibebankan dengan tanggung jawab yang tiada habisnya. "Mama butuh uang lima ratus juta untuk bisnis yang menjanjikan." Aku tersentak. Lagi-lagi uang. Seperti jalangkung yang datang tanpa diundang dan pulang tanpa pamit

  • Orang ketiga.   OK bab. 2

    Aku merasa akhir-akhir ini Dewi kesialan tengah mengutukku. Setelah kabur seperti seorang buronan dari dekapan lelaki asing yang memiliki pikiran gila, kini aku dihadapkan dengan dua orang wanita yang menyebalkan. "Gila, tampan banget. Aku tidak menyangka lelaki setampan dan semuda ini sudah memiliki perusahaan besar." "Aku penasaran dia sudah punya istri atau belum, ya?" "Jangan mimpi, banyak wanita yang mengincarnya dan kamu gak mungkin ada dalam urutan itu?" "Kalau aku nggak, apalagi kamu. Aku rasa dari segi penampilan dan juga karier aku lebih unggul darimu." Kupingku terasa berdenging mendengar percakapan dua wanita yang ujung-ujungnya berakhir pada sebuah pertengkaran. Dan sialnya dua wanita itulah yang harus kuhadapi setiap hari. Kutahan napas, berusaha meredam dorongan untuk menutup telinga dengan kedua tangan. Sejujurnya, aku masih sulit menerima kenyataan bahwa setiap hari harus berbagi ruang dengan Intan dan Violita—dua wanita yang lebih sering beradu ego daripada bek

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status