MasukKiara merasa akhir-akhir ini Dewi kesialan tengah mengutuknya. Setelah beberapa hari yang lalu bersusah payah kabur seperti seorang buronan dari dekapan lelaki asing yang memiliki pikiran gila, kini ia dihadapkan dengan dua orang wanita yang menyebalkan.
"Gila, tampan banget. Aku tidak menyangka lelaki setampan dan semuda ini sudah memiliki perusahaan besar." "Aku penasaran dia sudah punya istri atau belum, ya?" "Jangan mimpi, banyak wanita yang mengincarnya dan kamu gak mungkin ada dalam urutan itu?" "Kalau aku nggak, apalagi kamu. Aku rasa dari segi penampilan dan juga karier aku lebih unggul darimu." Kuping Kiara terasa berdenging mendengar percakapan dua wanita yang ujung-ujungnya berakhir pada sebuah pertengkaran. Dan sialnya dua wanita itulah yang harus dia hadapi setiap hari. Kiara menghela napas, berusaha meredam dorongan untuk menutup telinga dengan kedua tangannya. Sejujurnya, ia masih sulit menerima kenyataan bahwa setiap hari harus berbagi ruang dengan Intan dan Violita—dua wanita yang lebih sering beradu ego daripada bekerja sama. Pekerjaan di kantor sudah cukup membuatnya pusing ditambah lagi dengan perdebatan tidak berkesudahan dari mereka, rasanya seperti ujian ketahanan mental. Kembali menghela napas pelan, berusaha tetap fokus pada layar komputer di hadapannya, namun suara mereka terus merembes ke dalam kesadarannya, membuat konsentrasinya semakin buyar. "Aku yakin kalau aku sedikit lebih agresif, aku bisa mendapatkan perhatiannya," suara Violita terdengar penuh keyakinan. Intan mendengus sinis. "Terserah. Tapi jangan bawa-bawa aku dalam usahamu yang sia-sia." Kiara yang mulai hilang kesabaran pun beranjak, kemudian merampas kumpulan kertas yang ada di tangan Intan. "Apa yang kalian perdebatkan?" "Pak Diego. Lelaki tampan itu membuat surgawiku bergetar," sahut Violeta absurd. Kiara bergidik melihat tingkahnya. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana mereka bisa mencurahkan begitu banyak energi untuk memperdebatkan hal-hal sepele seperti ini. "Diego Navarro?" tanya Kiara memastikan nama yang akhir-akhir ini sering muncul dalam percakapan para pebisnis dan media ekonomi. Lelaki yang memiliki kecerdasan dan ambisi yang membuatnya melesat cepat dalam dunia bisnis. Usianya yang muda tak menghalanginya untuk mengembangkan perusahaan yang dia miliki menjadi sebuah perusahaan besar yang memiliki beberapa anak cabang. "Memangnya setampan apa dia?" tanyaku minat. Aku juga sedikit penasaran setelah mendengar pujian hiperbola yang keluar dari kedua bibir mereka. "Lah ... memangnya kamu tak tahu?" Kiara menggelengkan kepala pelan."Aku tahu namanya tetapi tidak tahu sosoknya karena kebanyakan majalah jarang melampirkan fotonya saat memuat berita, mungkin karena wajahnya terlalu beharga," jawabnya pelan. Intan dan Violetta tersenyum simpul penuh makna sebelum akhirnya Intan yang menjawab. "Lihat saja di situ!" Intan menunjuk dengan bibirnya pada majalah yang aku pegang. "Halaman tiga." Tak susah menemukannya, hanya dengan sekali sapuan halaman depan yang dikatakan Intan pun terbuka. Mata Kiara melebar sempurna dengan dada yang berdesir kuat. Ia tak menyangka akan melihat sosok yang telah menghabiskan satu malam panas dengannya kini wajahnya terpampang dalam sebuah gambar majalah. "Ini Diego?" tanya Kiara antara kaget dan tak percaya. "Kenapa? Pasti kaget karena melihat wajah tampannya," goda Violita. Kiara tak mampu berkata-kata, otaknya ini terasa blank setelah mendapati kenyataan yang ada. "Aku dengar dia jarang muncul di media karena ingin menjaga privasinya," lanjut Intan, suaranya terdengar lebih serius kali ini. Violita mengangguk setuju. "Iya, katanya dia lebih suka bekerja di balik layar. Tapi tetap saja, pesonanya tidak bisa disembunyikan." Kiara salah satu orang yang mengutuk pemikiran teman kerjanya. Seakan kehadiran Diego bagaikan kedatangan bidadara khayangan yang kedatangannya harus di sambung dengan penuh sukacita. Tapi daripada itu, bayangan kejadian beberapa hari yang lalu mengusik pikirannya. Dada Kaira terasa sesak, seolah udara di ruangan itu mendadak menipis. Tangan yang tadi menggenggam majalah kini terasa dingin, sementara matanya masih terpaku pada gambar tersebut. "Apa yang akan terjadi jika mereka tahu aku telah menghabiskan satu malam dengan lelaki yang dikaguminya? Lalu bagaimana dengan karier maupun hidupku?" batin Kiara panik. Pertanyaan-pertanyaan itu menumpuk di kepala hingga menjadi ledakan kuat, daripada ocehan Intan dan Violita yang masih sibuk memuja-muji kehadirannya di dunia. Kiara justru ingin menertawakan betapa naifnya mereka. Mereka tergila-gila pada seorang pria yang mereka pikir tidak dapat dijangkau dengan mudah, sedangkan dirinya tanpa pernah merencanakan, justru telah memiliki lelaki itu lebih dari yang bisa temannya bayangkan. "Oh, ya, Kiara. Ngomong-ngomong kamu kan sekarang single. Kamu mau gak aku jodohin sama saudara aku? Dia juga seorang pengusaha dan tampan." Belum selesai dengan keterkejutan yang baru saja Kiara dapati kini ia harus terkejut kembali. Tawaran konyol yang baru saja keluar dari mulut Violita terasa seperti gangguan yang tidak diinginkan di tengah badai pikiran yang berkecamuk. "Saudaramu?" Kiara akhirnya bersuara, meski dengan nada datar. "Iya, dia cocok buat kamu!" Violita menyeringai bangga. "Kamu cantik, karier pun bagus, cuma pasangan saja yang kamu tidak punya." Intan mendengus. "Jangan paksa dia, Vi. Lihat saja wajahnya, seperti orang yang baru melihat hantu." Lagi-lagi Kiara menghela napas, pujian itu justru terdengar seperti cibiran di telinga. Kehilangan kehormatan dalam satu malam dengan seorang lelaki yang tak dikenal cukup membuat Kiara enggan membuka diri pada lelaki lain untuk saat ini. "Dengar, Violita," ucapnya pelan tapi penuh tekanan. "Aku tidak tertarik untuk dijodohkan saat ini." Violita merajuk. "Ck, kamu sulit sekali." "Aku masih banyak hal yang ingin kukejar saat ini dan semua itu tak akan terwujud jika aku tak fokus. Cinta hanya akan membuatku bodoh!" "What?" "Gak mungkin, kamu pasti bercanda!" Kedua wanita itu berseru serentak. Perpaduan antara mengejek dan rasa tak percaya. Kiara terlalu modern untuk dikategorikan sebagai wanita polos. Kiara tak mempedulikan tanggapan teman kerjanya, ia berlalu kembali ke meja kerjanya—menghadap layar datar dan kembali bergelut dengan segudang pekerjaan yang harus diselesaikan. ~ ~ ~ Waktu terasa begitu cepat berputar. Jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul enam sore. Kiara telah beranjak meninggalkan gedung tinggi tempatnya mencari nafkah. Ia menggunakan mobil sedan keluaran terbaru, ia pun bertolak menuju apartemen miliknya yang cukup mewah. Emerald Heights residence lantai 15. Sebuah hunian yang menjadi impianku dengan view padatnya keramaian kota, jaraknya yang cukup dekat dengan tempat kerja dan juga fasilitas kota. "Kamu sudah pulang?" Baru saja membuka pintu ia sudah disambut pemandangan yang membuat darahnya berdesir kencang naik ke ubun-ubun. Wanita cantik dengan balutan kemeja putih tulang itu mematung di ambang pintu, napasnya tertahan di tenggorokan. Apartemen tempat ternyamannya setelah penat dari hiruk-pikuk kesibukan dunia luar kini berubah menjadi medan perang kecil. Sofa digeser ke posisi yang absurd, snack-snack yang tersusun di lemari serta buah dari lemari pendingin kini telah berpindah di atas meja—sebagian yang tinggal kulit berserakan tak tentu arah. Dan di tengah semua itu, duduk dua sosok yang tak asing. "Mama? Nara?" Melihat kedatangan Kiara, mereka berdua hanya tersenyum dengan ekspresi tanpa dosa. "Ah, akhirnya Kak Kiara pulang juga. Kami sudah bosan menunggu lama di sini," ujar Nara santai, seakan tak perduli dengan tatapan mata tajamnya. "Kiara duduk sini! Ada yang ingin Mama bicarakan." Bicara? Alarm tanda bahaya seketika berbunyi di kepalanya. "Apalagi yang mereka inginkan dariku?" batin Kiara pun langsung waspada.Kiara tersenyum melihat sejumlah nominal uang masuk ke dalam saldo rekeningnya. Nominal yang cukup lumayan dari hasil penjualan beberapa barang mewah milik Ranti dan juga Nara. Ia akhirnya bisa melunasi seluruh hutang-hutang yang telah jatuh tempo itu dan bahkan mendapatkan kelebihan sebesar enam puluh juta. Baru saja dirinya bernapas lega, pintu apartemennya terbuka begitu saja. Kiara mendengus kasar melihat dua sosok yang tak ia lihat selama beberapa hari ini. "Bodoh, kenapa tidak kuubah sandinya," rutuknya pelan membodohi diri sendiri. Ranti dan Nara mendekat. Wajah mereka yang coklat kini sudah memerah dengan mata yang membesar. "Mama dan Nara sudah pulang? Bagaimana liburan kalian?" sapa Kiara berbasa-basi. Ia sudah letih seharian bekerja sehingga tak memiliki tenaga lagi untuk memulai pertengkaran malam ini. Nara menyeringai, tapi senyuman itu hanya bertahan sepersekian detik sebelum berubah menjadi tatapan tajam yang bisa menguliti siapa pun.
Hal paling menyenangkan di dunia ini? Hidup santai dan liburan. Titik. Koper penuh itu seharusnya berat, namun rasanya ringan di tangan Nara. Mungkin karena ia menyeretnya dengan hati yang masih dipenuhi sisa tawa dan hangatnya matahari Hawai. Langit siang begitu terang ketika Nara dan ibunya melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara. Roda koper mereka berderit pelan di atas lantai granit yang dingin—kadang terdengar gesekan, kadang hanya gema tawa mereka yang mengalahkan riuh para penumpang lain. Nara melirik Mamanya. Meski wajah sang ibu terlihat sedikit lusuh dan rambutnya kusut akibat tidur di pesawat, ada sesuatu yang memancar dari sorot matanya—semangat. Senyum itu belum benar-benar pergi sejak mereka mendarat. “Next time,” ujar Ranti sambil merapikan rambut dengan jari, “kita harus coba yang lebih ekstrem. Naik balon udara atau camping di gurun, gimana?” Nara sampai harus berhenti sejenak menarik koper karena tertawa. “Ma
Mobil Kiara melaju begitu cepat, membelah jalan raya malam yang terasa seperti jurang tak berujung. Langit kelam menggantung tanpa satu pun bintang yang menari. Tak ada rembulan yang biasanya menjadi teman perjalanan; malam itu hanya menyisakan pekat yang diam, seolah mengerti betapa sesaknya hati yang tengah Kiara bawa. Angin malam menerobos dari jendela yang sedikit terbuka, menghantam wajahnya, namun tak mampu menghapus hampa yang mengakar di dadanya.Sepanjang perjalanan, ucapan Julia terus berputar dalam kepalanya, seperti gema yang tak mau padam. Ada sakit hati yang menumpuk, yang belum sempat ia luapkan. Ia meninggalkan kafe dengan langkah mantap, tetapi hatinya kacau. Ada sesuatu yang harus ia pastikan, ada seseorang yang harus ia temui—dan ia tak bisa menunggu sampai besok untuk mendapatkan jawaban itu.Mobilnya berhenti di basement apartemen Reymond. Tempat itu terasa begitu sunyi, terlalu kontras dengan gejolak yang ia rasakan. Ia menyiapkan dirinya, men
Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah Kiara bayangkan. Setelah seharian berperan sebagai fotografer dadakan, kini ia duduk di depan laptop dengan napas berat, membuka situs penjualan barang-barang bekas branded yang selama ini hanya ia lihat tanpa pernah terpikir akan ia gunakan.Mata dan hatinya terasa perih setiap kali menyeret gambar tas atau sepatu ke dalam kolom unggah. Setiap barang yang ia ketik harganya, seolah menampar realita: barang-barang ini bukan kekayaan, melainkan lambang dari kebodohan dan ketidakpedulian. Namun, di tengah getirnya kenyataan, ada sedikit rasa lega yang menyelinap di dada. Untuk pertama kalinya, Kiara melakukan sesuatu bukan demi mereka, tapi demi dirinya sendiri.Ia ingin terbebas dari jerat yang selama ini tak terlihat—bukan hanya jerat hutang, tapi jerat batin karena terus menerus dijadikan “penanggung jawab” untuk kesalahan dua orang yang mengaku sebagai keluarganya. "Ok, selesai!" Satu kali tekan
Pagi itu, kekhawatiran kembali menyelimuti hari-hari Kiara.Setiap detik terasa berat, seolah ia sedang menyeret batu besar yang menekan seluruh tubuhnya. Hutang yang kian mendekati jatuh tempo menghantui pikirannya tanpa henti.Ia menatap meja makan yang kosong. Tak ada aroma masakan hangat, tak ada gelak tawa yang seharusnya mengiringi paginya. Hanya keheningan yang menggantung, memantulkan isi hatinya yang kacau dan penuh tekanan. Piring-piring tersusun rapi di rak, namun perutnya bahkan tak sanggup menerima sesuap makanan pun.Kepalanya terasa berat. Masalah datang bertubi-tubi, seperti ribuan batu yang menghantam tanpa memberi jeda. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan sesak yang mencengkeram dada. Tapi udara pagi pun terasa menekan, seolah ikut menambah beban yang tak kunjung reda.Pikirannya berputar tanpa henti—mencari jalan keluar, mencari secercah harapan. Namun semakin dicari, semakin terasa sempit. Setiap detik berjalan seperti langka
“Diego. Apa yang kamu lakukan di sini?” Nada suara Kiara terdengar kaget antara percaya dan tak percaya. Kehadiran lelaki itu benar-benar di luar dugaannya. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Diego di tempat itu—lelaki yang selama ini berusaha ia hapus dari kehidupannya, setidaknya begitu yang ia coba lakukan. Namun Diego sama sekali tidak menanggapi pertanyaannya. Tatapannya tajam, penuh tekanan. Tanpa berkata banyak, tangan berotot itu menarik pergelangan tangan Kiara kasar. Kiara berusaha melepaskan diri, menepis genggaman itu berkali-kali, tapi usahanya sia-sia. Tenaganya kalah oleh tarikan kuat Diego yang membawanya ke mobil.Begitu pintu tertutup, Diego menekan tubuh Kiara ke kursi penumpang. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga napas panas lelaki itu terasa di telinganya. “Sepertinya hari ini kamu sangat bahagia setelah bertemu dengannya,” ucap ucap Diego datar. Nada suaranya dingin, membuat bulu kuduk Kiara berdiri. Keningnya berkerut, mencoba memahami siapa







