Aku merasa akhir-akhir ini Dewi kesialan tengah mengutukku. Setelah kabur seperti seorang buronan dari dekapan lelaki asing yang memiliki pikiran gila, kini aku dihadapkan dengan dua orang wanita yang menyebalkan.
"Gila, tampan banget. Aku tidak menyangka lelaki setampan dan semuda ini sudah memiliki perusahaan besar." "Aku penasaran dia sudah punya istri atau belum, ya?" "Jangan mimpi, banyak wanita yang mengincarnya dan kamu gak mungkin ada dalam urutan itu?" "Kalau aku nggak, apalagi kamu. Aku rasa dari segi penampilan dan juga karier aku lebih unggul darimu." Kupingku terasa berdenging mendengar percakapan dua wanita yang ujung-ujungnya berakhir pada sebuah pertengkaran. Dan sialnya dua wanita itulah yang harus kuhadapi setiap hari. Kutahan napas, berusaha meredam dorongan untuk menutup telinga dengan kedua tangan. Sejujurnya, aku masih sulit menerima kenyataan bahwa setiap hari harus berbagi ruang dengan Intan dan Violita—dua wanita yang lebih sering beradu ego daripada bekerja sama. Pekerjaan di kantor sudah cukup membuatku pusing ditambah lagi dengan perdebatan tidak berkesudahan dari mereka, rasanya seperti ujian ketahanan mental. Aku menghela napas pelan, berusaha tetap fokus pada layar komputer di hadapanku, namun suara mereka terus merembes ke dalam kesadaranku, membuat konsentrasi semakin rapuh. "Aku yakin kalau aku sedikit lebih agresif, aku bisa mendapatkan perhatiannya," suara Violita terdengar penuh keyakinan. Intan mendengus sinis. "Terserah. Tapi jangan bawa-bawa aku dalam usahamu yang sia-sia." Aku yang hilang kesabaran pun beranjak, kemudian merampas kumpulan kertas yang ada di tangan Intan. "Apa yang kalian perdebatkan?" "Pak Diego. Lelaki tampan itu membuat surgawiku bergetar," sahut Violeta absurd. Aku bergidik melihat tingkahnya. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana mereka bisa mencurahkan begitu banyak energi untuk memperdebatkan hal-hal seperti ini. "Diego Navarro?" tanyaku memastikan nama yang akhir-akhir ini sering muncul dalam percakapan para pebisnis dan media ekonomi. Lelaki yang memiliki kecerdasan dan ambisi yang membuatnya melesat cepat dalam dunia bisnis. Usianya yang muda tak menghalanginya untuk mengembangkan perusahaan yang dia miliki menjadi sebuah perusahaan besar yang memiliki beberapa anak cabang. Aku tahu namanya tetapi tidak tahu sosoknya karena kebanyakan majalah jarang melampirkan fotonya saat memuat berita, mungkin karena wajahnya terlalu beharga. "Memangnya setampan apa dia?" tanyaku minat. Aku juga sedikit penasaran setelah mendengar pujian hiperbola yang keluar dari kedua bibir mereka. "Lihat saja di situ!" Intan menunjuk dengan bibirnya pada majalah yang aku pegang. "Halaman tiga." Tak susah menemukannya, hanya dengan sekali sapuan halaman depan yang dikatakan Intan pun terbuka. Mataku melebar mendapati sosok yang telah menghabiskan satu malam panas denganku kini terpampang dalam sebuah gambar. "Ini Diego?" "Kenapa? Pasti kaget karena melihat wajah tampannya," goda Violita. Aku tak mampu berkata-kata, otak ini terasa blank setelah mendapati kenyataan yang ada. "Aku dengar dia jarang muncul di media karena ingin menjaga privasinya," ujar Intan, suaranya terdengar lebih serius kali ini. Violita mengangguk setuju. "Iya, katanya dia lebih suka bekerja di balik layar. Tapi tetap saja, pesonanya tidak bisa disembunyikan." Aku salah satu orang yang mengutuk pemikiran itu. Dadaku terasa sesak, seolah udara di ruangan ini mendadak menipis. Tangan yang tadi menggenggam majalah kini terasa dingin, sementara mataku masih terpaku pada gambar di tanganku. Seolah aku menelusuri ulang malam itu, mencoba menghubungkan potongan-potongan kenangan yang selama ini kusimpan dengan sosok yang kini terpampang begitu jelas. Apa yang akan terjadi jika mereka tahu aku telah menghabiskan satu malam dengan lelaki yang dikaguminya? Lalu bagaimana dengan karier maupun hidupku? Pikiran-pikiran itu menumpuk di kepala hingga menjadi ledakan kuat, daripada ocehan Intan dan Violita yang masih sibuk memuja-muji kehadirannya di dunia. Aku ingin menertawakan betapa naifnya mereka. Mereka tergila-gila pada seorang pria yang mereka pikir tidak terjangkau, sedangkan aku tanpa pernah merencanakan, justru telah menjangkaunya lebih dari yang bisa mereka bayangkan. "Oh, ya, Kiara. Ngomong-ngomong kamu kan sekarang single. Kamu mau gak aku jodohin sama saudara aku? Dia juga seorang pengusaha dan tampan." Aku belum selesai dengan keterkejutan yang baru saja aku dapati kini aku harus kembali terkejut kembali. Tawaran konyol yang baru saja keluar dari mulut Violita terasa seperti gangguan yang tidak diinginkan di tengah badai pikiran yang berkecamuk. "Saudaramu?" Aku akhirnya bersuara, meski dengan nada datar. "Iya, dia cocok buat kamu!" Violita menyeringai bangga. "Kamu cantik, karier pun bagus, cuma pasangan saja yang kamu tidak punya." Intan mendengus. "Jangan paksa dia, Vi. Lihat saja wajahnya, seperti orang yang baru melihat hantu." Aku menghela napas, pujian itu justru terdengar seperti cibiran di telingaku. Pikiranku kini terus melayang pada kejadian malam itu beradu bersamaan kilatan-kilatan kenangan di masa lalu. Ada rasa cemas yang perlahan-lahan menghantuiku dan menghadirkan buliran-buliran keringat dingin di pelipis. "Dengar, Violita," ucapku pelan tapi penuh tekanan. "Aku tidak tertarik untuk dijodohkan saat ini." Violita merajuk. "Ck, kamu sulit sekali." "Aku masih banyak hal yang ingin kukejar saat ini dan semua itu tak akan terwujud jika aku tak fokus. Cinta hanya akan membuatku bodoh!" "What?" seru Intan dan Violita bersamaan. Aku berlalu kembali ke meja kerjaku, menatap layar datar dan kembali bergelut dengan segudang pekerjaan yang harus aku selesaikan. Waktu terasa begitu cepat berputar. Jam dipergelangan tangan sudah menunjukkan pukul enam sore. Aku telah beranjak meninggalkan gedung tinggi tempatku mencari nafkah, menggunakan mobil sedan keluaran terbaru, aku pun bertolak menuju apartemen milikku. Emerald Heights residence lantai 15. Sebuah hunian yang menjadi impianku dengan view padatnya keramaian kota, jaraknya yang cukup dekat dengan tempat kerja dan juga fasilitas kota. "Kamu sudah pulang?" Baru saja membuka pintu aku sudah disambut pemandangan yang membuat darahku seketika naik ke ubun-ubun. Aku mematung di ambang pintu, napasku tertahan di tenggorokan. Apartemen tempat ternyamanku setelah penat dari hiruk-pikuk kesibukan dunia luar kini berubah menjadi medan perang kecil. Sofa digeser ke posisi yang absurd, snack-snack yang tersusun di lemari serta buah dari lemari pendingin kini telah berpindah di atas meja. Sebagian yang tinggal kulit berserakan tak tentu arah. Dan di tengah semua itu, duduk dua sosok yang tak asing. "Mama? Nara?" Mereka berdua tersenyum dengan ekspresi tanpa dosa. "Ah, akhirnya Kak Kiara pulang juga. Kami sudah bosan menunggu lama di sini," ujar Nara santai, seakan tak perduli dengan tatapan mata tajamku. "Kiara duduk sini! Ada yang ingin Mama bicarakan." Bicara? Alarm tanda bahaya seketika berbunyi di kepalaku. Apa lagi yang mereka inginkan dariku?Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah kubayangkan. Setelah seharian berperan sebagai fotografer dadakan, kini aku duduk di depan laptop dengan napas berat, membuka situs penjualan barang-barang bekas branded. Mata dan hatiku terasa perih setiap kali menyeret gambar tas atau sepatu ke dalam kolom unggah. Setiap barang yang kuketik harganya, seolah menampar realita: barang-barang ini bukan kekayaan, melainkan lambang dari kebodohan dan ketidakpedulian. Namun, di tengah getirnya kenyataan, ada sedikit rasa lega yang menyelinap di dada. Untuk pertama kalinya, aku melakukan sesuatu bukan demi mereka, tapi demi diriku sendiri. Aku ingin terbebas dari jerat yang selama ini tak terlihat—bukan hanya jerat hutang, tapi jerat batin karena terus menerus dijadikan “penanggung jawab” untuk kesalahan orang lain. "Ok, selesai!" Satu kali tekan "enter" seluruh foto yang sudah kususun rapi seperti album pun terkirim di blog pribadik
Pagi hariku kini dipenuhi dengan kekhawatiran hutang yang sudah mendekati jatuh tempo. Rasanya seperti menarik beban batu besar yang membuat seluruh tubuhku sakit. Aku menatap meja makan yang kosong. Tak ada aroma masakan hangat , tak ada gelak tawa yang mengiringi pagi. Hanya sunyi, seolah mencerminkan isi pikiranku yang kacau dan penuh tekanan. Piring-piring bersih tertata rapi, tapi perutku bahkan tak punya selera untuk diisi.Kepalaku terasa berat. Masalah yang datang bertubi-tubi seperti ribuan batu yang menimpaku tanpa rasa kasihan. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, berharap bisa mengusir rasa sesak yang mengikat dada. Tapi udara pagi pun kini terasa berat, seolah ikut menambah beban yang sudah terlalu lama kupikul.Pikiranku terus berputar—mencari jalan keluar, mencari harapan. Tapi hari-hari terasa semakin sempit. Seolah setiap detik yang berlalu hanya mengantarku lebih dekat pada jurang. Sampai kapan aku harus seperti ini? Sampai kapan aku b
"Diego. Apa yang kamu lakukan di sini?"Kehadirannya cukup membuatku kaget. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya di tempat ini setelah semua tentangnya hilang dalam hidupku selama beberapa waktuDiego mengabaikan pertanyaanku. Tangannya kembali menarik tanganku untuk ikut dengannya. Lagi-lagi aku berusaha untuk menepis tangannya, tetapi apa yang kulakukan tak membuatnya bergeming.Ia membawaku ke mobilnya dan menekan tubuhku di kursi samping supir. Jarak di antara kami terlalu dekat hingga hembusan napasnya membelai telingaku."Sepertinya hari ini kamu sangat bahagia setelah bertemu dengannya," ucapan Diego terdengar begitu dingin, bulu kudukku terasa meremang. Aku mengernyitkan kening untuk mencerna siapa yang ia maksud. Aku menatap matanya, mencari petunjuk tentang siapa yang sedang ia bicarakan. Tapi mata gelapnya, dipenuhi dengan sesuatu yang tak bisa langsung kuterjemahkan—antara cemburu, marah, atau justru ... sakit h
Setelah kejadian semalam, aku tak pernah bisa tidur dengan nyenyak dan selalu gelisah. Menuliskan keluh kesahku kepada molly pun tak juga bisa membantu. Aku seperti berlomba lari dengan waktu. Seminggu yang diberikan untuk mengumpulkan sembilan ratus juta terasa sangat mustahil. Siang ini aku menemui seseorang yang kuharap bisa sedikit membantu. Aku bisa saja menjual mobil dan apartemen, tetapi masalah menjual aset tak seperti menjual cabe di pasar sabtu. "Tumben lo ngajak gue ketemuan. Kangen ya?" ucap lelaki berambut kuning ini padaku. Alis matanya naik turun menggoda dapat menghadirkan sedikit senyum tipis di bibirku. Dia pamanku dan usianya terpaut tak jauh dariku, tentu saja terasa tak nyaman jika aku harus memanggilnya om atau paman. "Aku butuh uang. Bisakah kamu memberiku uang?" pintaku langsung tanpa adanya basa-basi. "Berapa?" balas Reymond santai sembari meminum minumannya. "Sembilan ratus juta." Seketika cairan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya tersemb
"Sekarang Mama puas?"Aku berbalik menatap tajam wanita yang telah menghadirkan ku ke dunia ini. Air mata yang telah kering kini kembali mengalir menghadirkan jejak baru di pipi dan menambah luka yang belum sembuh. "Kamu ngomong apa, Kak? Jangan salahkan Mama. Mama gak semuanya akan jadi seperti ini.""Diam kamu! Semua ini karena kamu!" Bentakku kencang hingga keduanya tersentak. Langkah kakiku mendekat padanya. "Karena aku? Apa tidak salah. Kamu menyalahkan semuanya padaku."Nara bangkit dan membalas tatapan mataku. Tak ada rasa bersalah yang tergambar di wajahnya, seakan apa yang terjadi memang seharusnya menjadi tanggung jawabku. "Karena semua ini memang karena kamu. Aku yakin kamu yang selalu memprovokasi Mama untuk melakukan bisnis itu. Aku yakin, yang menjadi perantara pasti pacar kamu yang pengangguran itu kan?" tukasku cepat. Bola mata Nara melebar menunjukkan jika dirinya tak terima dengan ucapanku. Tetapi k
"Dari awal aku sudah bilang untuk tidak melakukan apa yang tidak Mama mengerti. Mama selalu saja gagal dalam bisnis. Apa Mama lupa berapa banyak uang yang hilang melayang untuk bisnis Mama yang tidak pernah ada hasilnya itu!"Dadaku naik turun dengan nafas yang menderu cepat. Rasanya otakku ingin meledak saat ini juga. “Mama tak tahu kenapa bisa jadi begini” suara Mama akhirnya pecah, pelan dan nyaris putus asa. “Semua ini Mama lakukan karena mereka menjanjikan keuntungan yang menggiurkan. Mama hanya ingin memiliki usaha sendiri tanpa bergantung pada siapa pun.”Hatiku berkecamuk. Antara marah karena tidak diberi tahu sejak awal, bingung harus berbuat apa dan sedih karena merasa dijadikan tameng. Aku ingin berteriak, ingin mempertanyakan semuanya—kenapa harus aku yang diseret? Kenapa utang sebesar itu bisa terjadi tanpa sepengetahuanku?“Kenapa tidak mendengarkan ucapanku dari awal?” tanyaku, suaraku mulai bergetar. “Kalau saja Mama tidak keras kepala, semua ini tak akan terjadi. Tap