Share

OK bab. 4

last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-14 10:32:05

Pernah tidak kalian mendengar ada yang bilang, lebih baik capek badan daripada capek otak? Capek badan bisa hilang saat dibawa istirahat, tetapi capek otak mau tidur 24 jam sekalipun tak mampu membuat hilang sakit di kepala.

Itulah yang tengah Kiara alami pagi ini. Suasana pagi yang cerah tetapi tubuhnya terasa loyo tak bertenaga. Tentang lelaki bernama Diego Navarro, ditambah masalah usia yang mendekati expired serta tuntutan uang 500 juta kini berputar-putar di dalam otaknya.

Pagi yang cerah seharusnya membawa ketenangan, tetapi di dalam kepala Kiara, badai pikiran berputar-putar tanpa henti. Diego Navarro—sosok yang ingin ia lupakan dan angka 500 juta yang menggantung seperti pedang di atas kepala.

Wanita yang kini mengenakan blazer itu menarik napas, mencoba mengabaikan rasa berat di dada. Jalanan mulai ramai, suara kendaraan dan langkah kaki bercampur menjadi latar belakang yang samar. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kebisingan dalam pikirannya sendiri.

Ia kembali terduduk di ruangan kecil di mana layar datar yang menjadi titik fokusnya saat ini. Bermain-main dengan benda yang disebut tikus kecil di tangan serta setumpuk kertas yang harus diperiksa dengan teliti. Hanya saat bekerja ia bisa melupakan sejenak masalah dan membiarkan waktu agar terasa berputar cepat.

Sepulang jam kerja ia tak langsung pulang ke rumah melainkan memutuskan untuk duduk santai di sebuah cafe yang menyediakan aneka cake. Kiara membutuhkan sesuatu yang manis sebagai booster semangatnya.

Dia duduk dengan sepotong cake cream stoberi. Suasana cafe yang tak terlalu ramai dipadu musik live yang mengalun lembut menambah suasana nyaman.

"Kiara?"

Ia menoleh, menatap wajah seorang wanita yang memanggil namanya. Mata lentiknya menatap dalam wanita bergaun motif vintage yang kini telah berdiri anggun di hadapan.

Senyum manis merekah yang disuguhkan wanita di hadapan langsung mengingatkannya pada seseorang yang dulu begitu dekat dengannya.

"Anggi?" tanya Kiara memastikan sosok yang ia lihat ini benar adalah Anggi sahabatnya dulu saat zaman SMA. Pasalnya ia ragu, penampilan Anggi yang ia kenal begitu banyak berubah dari dulu.

Anggi yang dulu ia kenal sedikit tomboy dengan potongan rambut sebahu dan wajah natural tanpa polesan make up, tetapi Anggi yang ada di hadapannya ini adalah Anggi yang full make up dengan memakai dress yang panjangnya di atas lutut.

"Iya, ini aku," jelasnya.

Kiara yang senang sontak beranjak memeluk tubuh kecil itu erat, ia luapkan rindu yang selama ini tersimpan tanpa bisa terbalaskan.

"Sudah! Kamu mau membunuhku," ringis Anggi yang langsung membuat pelukan erat Kiara mengurai seraya tersimpul malu.

"Maaf, aku suka kelepasan kalau sedang senang. Aku tu senang banget kita bisa bertemu setelah terakhir kamu pergi kuliah luar negeri. Aku pikir gak akan bertemu denganmu lagi?"

"Mana mungkin! Justru aku yang berpikir kamu gak akan mengenaliku lagi. Atau pura-pura tak mengenaliku," balas Anggi sembari menarik kursi dan duduk di depan tanpa aku persilakan terlebih dahulu.

"Dari penampilan ... jujur aku sedikit bingung apa benar itu kamu, karena kamu banyak berubah, tetapi senyum dengan lesung pipi yang menjadi ciri khasmu yang membuatku mengingatmu," jawab Kiara.

Pertemuan yang tak terduga ini menghangatkan hatinya, sejenak mengusir badai yang berputar di pikiran. Ia tersenyum, masih menatap Anggi dengan sedikit tak percaya.

Waktu memang mengubah banyak hal, tetapi ada sesuatu yang tetap tak berubah dari sosok Anggi—caranya tersenyum, sorot matanya yang cerah dan caranya berbicara yang selalu penuh semangat.

“Apa kabar kamu sekarang?” tanyanya lembut. Ia mencoba menenangkan diri dari kejutan yang baru saja menghampiri.

Anggi menyesap kopinya yang baru datang dengan elegan sebelum menjawab, “Aku baik. Hidup seperti roller coaster, tapi aku menikmati setiap momennya. Dan kabar baiknya, aku sudah menikah.”

Anggi tersenyum bangga dengan statusnya sebagai seorang istri.

"Benarkah? Selamat, dan maaf aku gak bisa ikut hadir di hari pentingmu," ucap Kiara senang bercampur sedih.

Tiba-tiba ia teringat saat mereka pernah saling berjanji untuk terus bersama hingga saat menikah. Dirinya hadir sebagai pendamping di hari pernikahan Anggi dan begitu pula sebaliknya. Namun nyatanya, kabar pernikahan sahabatnya itu baru ia dengar saat ini saat sahabatnya itu telah menikah.

"Justru aku yang minta maaf karena tidak mengabarimu. Aku sempat hilang kontak denganmu dan saat itu aku gak tahu harus menghubungimu ke mana," balas Anggi seraya tersenyum tipis, ia juga sedikit sedih tetapi nasi telah menjadi bubur.

“Aku juga merasa bersalah karena kita sempat terpisah begitu lama. Tapi sekarang kita bertemu lagi, dan aku gak akan melewatkan kesempatan ini," lanjut Anggi mencoba mencairkan suasana agar lebih bersemangat lagi.

Kiara mengangguk, mencoba menikmati kembali kebersamaan yang dulu sempat hilang. “Jadi, bagaimana kehidupan pernikahanmu? Aku ingin mendengar semuanya.”

Anggi tertawa kecil, membetulkan letak cangkir kopinya. “Jujur, tidak selalu mudah. Aku dan suamiku baru menikah selama 8 bulan. Kami punya banyak perbedaan, tapi kami belajar menyesuaikan diri satu sama lain.”

Anggi menatap dengan ekspresi penuh nostalgia. “Seperti kita dulu, kan? Sering berdebat tentang hal-hal kecil tapi tetap gak bisa jauh.”

Kiara tersenyum simpul, memori di kepalanya kembali berputar mengingat kenangan manis mereka dulu.

“Benar sekali. Dulu kamu selalu bersikeras kalau warna biru lebih bagus daripada hijau dan aku gak pernah setuju.”

"Padahal itu hanya karena selera kita yang tak sama saja. Anehnya kita berdua justru repot-repot mempermasalahkannya."

Anggi membalas ucapan Kiara kemudian tertawa bersama, suasana semakin hangat. Percakapan mengalir begitu saja, seperti tidak pernah ada jarak di antara kami.

"Kamu sendiri bagaimana? Apa sudah menikah dan punya anak berapa?" Kini Anggi yang berbalik bertanya tentang kehidupan pribadi Kiara.

Wajah Kiara berubah datar, ia menarik napas dalam-dalam, menikmati kopinya yang hampir dingin. Pertanyaan ini sudah sering sekali ia dengar tetapi entah kenapa tetap saja membuatnya tak nyaman.

"Sepertinya jodoh masih jauh dariku."

"Benarkah? Mana mungkin tak ada yang mau denganmu yang cantik begini. Saat sekolah dulu juga kamu sering jadi rebutan di kelas. Ini pasti karena kamu yang banyak memilih, iya, kan?" tukas Anggi yang tak peka. Ia tak menyadari perubahan wajah sahabatnya yang cukup kentara. Anggi mengira Kiara hanya sedang bercanda atau tengah merendah darinya.

"Bukan soal memilih atau tidak memilih," jawab Kiara pelan, jemarinya tanpa sadar mengusap permukaan cangkir kopi. "Hanya saja ... ada banyak hal lain yang lebih mendesak daripada memikirkan soal jodoh."

Anggi mengernyit, jelas tak puas dengan jawabannya. "Dalam banget maknanya, sok puitis," selorohnya.

Kiara terkekeh pelan. Ia ingin membalas ucapan sahabatnya namun terhenti di tenggorokan saat melihat Anggi melambaikan tangan memanggil seseorang membuatku menoleh.

Sosok tinggi berjas abu-abu berjalan mendekat ke arah meja mereka, ekspresinya datar memancarkan aura ketegasan yang dingin.

"Kiara, kenalkan, ini suamiku."

Tubuh Kiara membeku menatap sosok yang kini berdiri di hadapannya, seakan jantungnya berhenti berdetak saat pandangan mata mereka bertemu. Dunia ini terasa begitu sempit, ia tak menyangka jika lelaki yang pernah menghabiskan satu malam panas bersamanya adalah suami sahabatnya sendiri.

Semua ini terasa seperti mimpi buruk untuknya. Lalu apa yang harus Kiara lakukan sekarang?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
ya ampun mimpi apa km kiara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Orang ketiga.   OK bab. 24

    Kiara tersenyum melihat sejumlah nominal uang masuk ke dalam saldo rekeningnya. Nominal yang cukup lumayan dari hasil penjualan beberapa barang mewah milik Ranti dan juga Nara. Ia akhirnya bisa melunasi seluruh hutang-hutang yang telah jatuh tempo itu dan bahkan mendapatkan kelebihan sebesar enam puluh juta. Baru saja dirinya bernapas lega, pintu apartemennya terbuka begitu saja. Kiara mendengus kasar melihat dua sosok yang tak ia lihat selama beberapa hari ini. "Bodoh, kenapa tidak kuubah sandinya," rutuknya pelan membodohi diri sendiri. Ranti dan Nara mendekat. Wajah mereka yang coklat kini sudah memerah dengan mata yang membesar. "Mama dan Nara sudah pulang? Bagaimana liburan kalian?" sapa Kiara berbasa-basi. Ia sudah letih seharian bekerja sehingga tak memiliki tenaga lagi untuk memulai pertengkaran malam ini. Nara menyeringai, tapi senyuman itu hanya bertahan sepersekian detik sebelum berubah menjadi tatapan tajam yang bisa menguliti siapa pun.

  • Orang ketiga.   OK bab. 23

    Hal paling menyenangkan di dunia ini? Hidup santai dan liburan. Titik. Koper penuh itu seharusnya berat, namun rasanya ringan di tangan Nara. Mungkin karena ia menyeretnya dengan hati yang masih dipenuhi sisa tawa dan hangatnya matahari Hawai. Langit siang begitu terang ketika Nara dan ibunya melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara. Roda koper mereka berderit pelan di atas lantai granit yang dingin—kadang terdengar gesekan, kadang hanya gema tawa mereka yang mengalahkan riuh para penumpang lain. Nara melirik Mamanya. Meski wajah sang ibu terlihat sedikit lusuh dan rambutnya kusut akibat tidur di pesawat, ada sesuatu yang memancar dari sorot matanya—semangat. Senyum itu belum benar-benar pergi sejak mereka mendarat. “Next time,” ujar Ranti sambil merapikan rambut dengan jari, “kita harus coba yang lebih ekstrem. Naik balon udara atau camping di gurun, gimana?” Nara sampai harus berhenti sejenak menarik koper karena tertawa. “Ma

  • Orang ketiga.   OK bab. 22

    Mobil Kiara melaju begitu cepat, membelah jalan raya malam yang terasa seperti jurang tak berujung. Langit kelam menggantung tanpa satu pun bintang yang menari. Tak ada rembulan yang biasanya menjadi teman perjalanan; malam itu hanya menyisakan pekat yang diam, seolah mengerti betapa sesaknya hati yang tengah Kiara bawa. Angin malam menerobos dari jendela yang sedikit terbuka, menghantam wajahnya, namun tak mampu menghapus hampa yang mengakar di dadanya.Sepanjang perjalanan, ucapan Julia terus berputar dalam kepalanya, seperti gema yang tak mau padam. Ada sakit hati yang menumpuk, yang belum sempat ia luapkan. Ia meninggalkan kafe dengan langkah mantap, tetapi hatinya kacau. Ada sesuatu yang harus ia pastikan, ada seseorang yang harus ia temui—dan ia tak bisa menunggu sampai besok untuk mendapatkan jawaban itu.Mobilnya berhenti di basement apartemen Reymond. Tempat itu terasa begitu sunyi, terlalu kontras dengan gejolak yang ia rasakan. Ia menyiapkan dirinya, men

  • Orang ketiga.   OK bab. 21

    Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah Kiara bayangkan. Setelah seharian berperan sebagai fotografer dadakan, kini ia duduk di depan laptop dengan napas berat, membuka situs penjualan barang-barang bekas branded yang selama ini hanya ia lihat tanpa pernah terpikir akan ia gunakan.Mata dan hatinya terasa perih setiap kali menyeret gambar tas atau sepatu ke dalam kolom unggah. Setiap barang yang ia ketik harganya, seolah menampar realita: barang-barang ini bukan kekayaan, melainkan lambang dari kebodohan dan ketidakpedulian. Namun, di tengah getirnya kenyataan, ada sedikit rasa lega yang menyelinap di dada. Untuk pertama kalinya, Kiara melakukan sesuatu bukan demi mereka, tapi demi dirinya sendiri.Ia ingin terbebas dari jerat yang selama ini tak terlihat—bukan hanya jerat hutang, tapi jerat batin karena terus menerus dijadikan “penanggung jawab” untuk kesalahan dua orang yang mengaku sebagai keluarganya. "Ok, selesai!" Satu kali tekan

  • Orang ketiga.   OK bab. 20

    Pagi itu, kekhawatiran kembali menyelimuti hari-hari Kiara.Setiap detik terasa berat, seolah ia sedang menyeret batu besar yang menekan seluruh tubuhnya. Hutang yang kian mendekati jatuh tempo menghantui pikirannya tanpa henti.Ia menatap meja makan yang kosong. Tak ada aroma masakan hangat, tak ada gelak tawa yang seharusnya mengiringi paginya. Hanya keheningan yang menggantung, memantulkan isi hatinya yang kacau dan penuh tekanan. Piring-piring tersusun rapi di rak, namun perutnya bahkan tak sanggup menerima sesuap makanan pun.Kepalanya terasa berat. Masalah datang bertubi-tubi, seperti ribuan batu yang menghantam tanpa memberi jeda. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan sesak yang mencengkeram dada. Tapi udara pagi pun terasa menekan, seolah ikut menambah beban yang tak kunjung reda.Pikirannya berputar tanpa henti—mencari jalan keluar, mencari secercah harapan. Namun semakin dicari, semakin terasa sempit. Setiap detik berjalan seperti langka

  • Orang ketiga.   OK bab. 19

    “Diego. Apa yang kamu lakukan di sini?” Nada suara Kiara terdengar kaget antara percaya dan tak percaya. Kehadiran lelaki itu benar-benar di luar dugaannya. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Diego di tempat itu—lelaki yang selama ini berusaha ia hapus dari kehidupannya, setidaknya begitu yang ia coba lakukan. Namun Diego sama sekali tidak menanggapi pertanyaannya. Tatapannya tajam, penuh tekanan. Tanpa berkata banyak, tangan berotot itu menarik pergelangan tangan Kiara kasar. Kiara berusaha melepaskan diri, menepis genggaman itu berkali-kali, tapi usahanya sia-sia. Tenaganya kalah oleh tarikan kuat Diego yang membawanya ke mobil.Begitu pintu tertutup, Diego menekan tubuh Kiara ke kursi penumpang. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga napas panas lelaki itu terasa di telinganya. “Sepertinya hari ini kamu sangat bahagia setelah bertemu dengannya,” ucap ucap Diego datar. Nada suaranya dingin, membuat bulu kuduk Kiara berdiri. Keningnya berkerut, mencoba memahami siapa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status