Pernah tidak kalian mendengar ada yang bilang, lebih baik capek badan daripada capek otak? Capek badan bisa hilang saat dibawa istirahat, tetapi capek otak mau tidur 24 jam sekalipun tak mampu membuat hilang sakit di kepala.
Itulah yang tengah aku alami pagi ini. Suasana pagi yang cerah tetapi tubuhku terasa loyo tak bertenaga. Diego Navarro, usia yang mendekati expired ditambah tuntutan uang 500 juta kini berputar-putar di dalam otakku. Pagi yang cerah seharusnya membawa ketenangan, tetapi di dalam kepalaku, badai pikiran berputar-putar tanpa henti. Diego Navarro—sosok yang ingin kulupakan dan angka 500 juta yang menggantung seperti pedang di atas kepala. Aku menarik napas, mencoba mengabaikan rasa berat di dada. Jalanan mulai ramai, suara kendaraan dan langkah kaki bercampur menjadi latar belakang yang samar. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kebisingan dalam pikiranku sendiri. Aku kembali terduduk di ruangan kecil di mana layar datar yang menjadi titik fokusku saat ini. Bermain-main dengan tikus kecil di tangan serta setumpuk kertas yang harus diperiksa dengan teliti. Hanya saat bekerja aku bisa melupakan sejenak masalahku, hingga waktu kembali berputar begitu cepat. Sepulang jam kerja aku tak langsung pulang dari rumah melainkan memutuskan untuk duduk santai di sebuah cafe yang menyediakan aneka cake. Musik live yang mengalun menambah suasana nyaman. "Kiara." Aku menoleh, menatap wajah seorang wanita yang memanggil namaku. Wanita bergaun motif vintage itu berdiri anggun di hadapanku, senyumnya yang merekah mengingatkanku pada seseorang yang dulu begitu dekat denganku. "Anggi?" tanyaku memastikan sosok yang aku lihat ini benar adalah Anggi sahabatku dulu saat zaman SMA. Pasalnya penampilan Anggi yang kukenal banyak jauh berubah dari sekarang. Anggi yang dulu kukenal sedikit tomboy dengan potongan rambut sebahu dan wajah natural tanpa polesan make up, tetapi Anggi yang ada di hadapanku kini adalah Anggi yang full make up dengan memakai dress yang panjangnya di atas lutut. "Iya, ini aku," jelasnya membuatku begitu senang. Aku beranjak memeluk tubuh kecilnya erat meluapkan rindu yang selama ini tersimpan. "Sudah! Kamu mau membunuhku." Sontak aku mengurai pelukan eratku seraya tersenyum malu. Aku suka kelepasan jika sedang senang. "Maaf, aku senang banget kita bisa bertemu setelah terakhir kamu pergi kuliah luar negeri. Aku pikir gak akan bertemu denganmu lagi." "Mana mungkin! Justru aku yang berpikir kamu gak akan mengenaliku lagi. Atau pura-pura tak mengenaliku," balasnya sembari menarik kursi dan duduk di depanku tanpa aku persilakan terlebih dahulu. "Dari penampilan jujur aku sedikit bingung apa benar itu kamu karena kamu banyak berubah, tapi senyum dengan lesung pipi yang menjadi ciri khasmu yang membuatku mengingatmu," jawabku masih tak percaya bisa bertemu dengan sahabat yang sudah hampir sepuluh tahun tak bertemu. Pertemuan yang tak terduga ini menghangatkan hatiku, sejenak mengusir badai yang berputar di pikiranku. Aku tersenyum, masih menatap Anggi dengan sedikit tak percaya. Waktu memang mengubah banyak hal, tetapi ada sesuatu yang tetap tak berubah—cara dia tersenyum, sorot matanya yang cerah dan caranya berbicara yang selalu penuh semangat. “Apa kabar kamu sekarang?” tanyaku, mencoba menenangkan diri dari kejutan yang baru saja menghampiri. Anggi menyesap kopinya yang baru datang dengan elegan sebelum menjawab, “Aku baik. Hidup seperti roller coaster, tapi aku menikmati setiap momennya. Dan kabar baiknya, aku sudah menikah.” Anggi tersenyum bangga dengan statusnya sebagai seorang istri. "Benarkah? Selamat, dan maaf aku gak bisa ikut hadir di hari pentingmu," ucapku sedih. Dulu kami pernah saling berjanji untuk terus bersama hingga saat menikah. Aku hadir sebagai pendampingnya di hari pernikahannya, begitu pula sebaliknya. Namun nyatanya, kabar pernikahannya saja baru aku dengar saat ini. "Justru aku yang minta maaf karena tidak mengabarimu. Aku sempat hilang kontak denganmu dan saat itu aku gak tahu harus menghubungimu ke mana." Anggi tersenyum tipis, sedikit menyesal tetapi juga penuh kehangatan. “Aku juga merasa bersalah karena kita sempat terpisah begitu lama. Tapi sekarang kita bertemu lagi, dan aku gak akan melewatkan kesempatan ini.” Aku mengangguk, mencoba menikmati kembali kebersamaan yang dulu sempat hilang. “Jadi, bagaimana kehidupan pernikahanmu? Aku ingin mendengar semuanya.” Anggi tertawa kecil, membetulkan letak cangkir kopinya. “Jujur, tidak selalu mudah. Aku dan suamiku baru menikah selama 8 bulan. Kami punya banyak perbedaan, tapi kami belajar menyesuaikan diri satu sama lain.” Dia menatapku dengan ekspresi penuh nostalgia. “Seperti kita dulu, kan? Sering berdebat soal hal kecil tapi tetap gak bisa jauh.” Aku tersenyum, mengingat masa-masa itu. “Benar sekali. Dulu kamu selalu bersikeras kalau warna biru lebih bagus daripada hijau, dan aku gak pernah setuju.” Kami tertawa bersama, suasana semakin hangat. Percakapan mengalir begitu saja, seperti tidak pernah ada jarak di antara kami. Dia mengangkat alis, nada suaranya berubah lebih serius. “Kamu sendiri bagaimana? Apa sudah menikah?" Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati kopiku yang hampir dingin. Pertanyaan ini sudah sering sekali aku dengar tetapi entah kenapa tetap saja membuatku tak nyaman. "Sepertinya jodoh masih jauh dariku." "Benarkah? Mana mungkin tak ada yang mau denganmu yang cantik begini. Saat sekolah dulu juga kamu sering jadi rebutan di kelas. Ini pasti karena kamu yang banyak milih, iya, kan?" tukas Anggi. Aku tersenyum tipis, menatap Anggi dengan sedikit kebingungan. "Bukan soal memilih atau tidak memilih," jawabku pelan, jemariku tanpa sadar mengusap permukaan cangkir kopi. "Hanya saja ... ada banyak hal lain yang lebih mendesak daripada memikirkan soal jodoh." Anggi mengernyit, jelas tak puas dengan jawabanku. "Sepertinya ada cerita lain di balik ini, ya?" Aku hendak menjawab, tapi Anggi keburu melambaikan tangan memanggil seseorang membuatku menoleh. Sosok tinggi berjas abu-abu berjalan mendekat ke arah meja kami, ekspresinya datar memancarkan aura ketegasan yang dingin. "Kiara, kenalkan, ini suamiku." Tubuhku membeku seakan jantungku berhenti berdetak saat pandangan mata kami bertemu. Dunia ini terasa begitu sempit, dari sekian banyak manusia kenapa lelaki yang menghabiskan satu malam panas waktu itu bersamaku ternyata adalah suami sahabatku sendiri. Semua ini terasa seperti mimpi buruk untukku. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah kubayangkan. Setelah seharian berperan sebagai fotografer dadakan, kini aku duduk di depan laptop dengan napas berat, membuka situs penjualan barang-barang bekas branded. Mata dan hatiku terasa perih setiap kali menyeret gambar tas atau sepatu ke dalam kolom unggah. Setiap barang yang kuketik harganya, seolah menampar realita: barang-barang ini bukan kekayaan, melainkan lambang dari kebodohan dan ketidakpedulian. Namun, di tengah getirnya kenyataan, ada sedikit rasa lega yang menyelinap di dada. Untuk pertama kalinya, aku melakukan sesuatu bukan demi mereka, tapi demi diriku sendiri. Aku ingin terbebas dari jerat yang selama ini tak terlihat—bukan hanya jerat hutang, tapi jerat batin karena terus menerus dijadikan “penanggung jawab” untuk kesalahan orang lain. "Ok, selesai!" Satu kali tekan "enter" seluruh foto yang sudah kususun rapi seperti album pun terkirim di blog pribadik
Pagi hariku kini dipenuhi dengan kekhawatiran hutang yang sudah mendekati jatuh tempo. Rasanya seperti menarik beban batu besar yang membuat seluruh tubuhku sakit. Aku menatap meja makan yang kosong. Tak ada aroma masakan hangat , tak ada gelak tawa yang mengiringi pagi. Hanya sunyi, seolah mencerminkan isi pikiranku yang kacau dan penuh tekanan. Piring-piring bersih tertata rapi, tapi perutku bahkan tak punya selera untuk diisi.Kepalaku terasa berat. Masalah yang datang bertubi-tubi seperti ribuan batu yang menimpaku tanpa rasa kasihan. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, berharap bisa mengusir rasa sesak yang mengikat dada. Tapi udara pagi pun kini terasa berat, seolah ikut menambah beban yang sudah terlalu lama kupikul.Pikiranku terus berputar—mencari jalan keluar, mencari harapan. Tapi hari-hari terasa semakin sempit. Seolah setiap detik yang berlalu hanya mengantarku lebih dekat pada jurang. Sampai kapan aku harus seperti ini? Sampai kapan aku b
"Diego. Apa yang kamu lakukan di sini?"Kehadirannya cukup membuatku kaget. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya di tempat ini setelah semua tentangnya hilang dalam hidupku selama beberapa waktuDiego mengabaikan pertanyaanku. Tangannya kembali menarik tanganku untuk ikut dengannya. Lagi-lagi aku berusaha untuk menepis tangannya, tetapi apa yang kulakukan tak membuatnya bergeming.Ia membawaku ke mobilnya dan menekan tubuhku di kursi samping supir. Jarak di antara kami terlalu dekat hingga hembusan napasnya membelai telingaku."Sepertinya hari ini kamu sangat bahagia setelah bertemu dengannya," ucapan Diego terdengar begitu dingin, bulu kudukku terasa meremang. Aku mengernyitkan kening untuk mencerna siapa yang ia maksud. Aku menatap matanya, mencari petunjuk tentang siapa yang sedang ia bicarakan. Tapi mata gelapnya, dipenuhi dengan sesuatu yang tak bisa langsung kuterjemahkan—antara cemburu, marah, atau justru ... sakit h
Setelah kejadian semalam, aku tak pernah bisa tidur dengan nyenyak dan selalu gelisah. Menuliskan keluh kesahku kepada molly pun tak juga bisa membantu. Aku seperti berlomba lari dengan waktu. Seminggu yang diberikan untuk mengumpulkan sembilan ratus juta terasa sangat mustahil. Siang ini aku menemui seseorang yang kuharap bisa sedikit membantu. Aku bisa saja menjual mobil dan apartemen, tetapi masalah menjual aset tak seperti menjual cabe di pasar sabtu. "Tumben lo ngajak gue ketemuan. Kangen ya?" ucap lelaki berambut kuning ini padaku. Alis matanya naik turun menggoda dapat menghadirkan sedikit senyum tipis di bibirku. Dia pamanku dan usianya terpaut tak jauh dariku, tentu saja terasa tak nyaman jika aku harus memanggilnya om atau paman. "Aku butuh uang. Bisakah kamu memberiku uang?" pintaku langsung tanpa adanya basa-basi. "Berapa?" balas Reymond santai sembari meminum minumannya. "Sembilan ratus juta." Seketika cairan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya tersemb
"Sekarang Mama puas?"Aku berbalik menatap tajam wanita yang telah menghadirkan ku ke dunia ini. Air mata yang telah kering kini kembali mengalir menghadirkan jejak baru di pipi dan menambah luka yang belum sembuh. "Kamu ngomong apa, Kak? Jangan salahkan Mama. Mama gak semuanya akan jadi seperti ini.""Diam kamu! Semua ini karena kamu!" Bentakku kencang hingga keduanya tersentak. Langkah kakiku mendekat padanya. "Karena aku? Apa tidak salah. Kamu menyalahkan semuanya padaku."Nara bangkit dan membalas tatapan mataku. Tak ada rasa bersalah yang tergambar di wajahnya, seakan apa yang terjadi memang seharusnya menjadi tanggung jawabku. "Karena semua ini memang karena kamu. Aku yakin kamu yang selalu memprovokasi Mama untuk melakukan bisnis itu. Aku yakin, yang menjadi perantara pasti pacar kamu yang pengangguran itu kan?" tukasku cepat. Bola mata Nara melebar menunjukkan jika dirinya tak terima dengan ucapanku. Tetapi k
"Dari awal aku sudah bilang untuk tidak melakukan apa yang tidak Mama mengerti. Mama selalu saja gagal dalam bisnis. Apa Mama lupa berapa banyak uang yang hilang melayang untuk bisnis Mama yang tidak pernah ada hasilnya itu!"Dadaku naik turun dengan nafas yang menderu cepat. Rasanya otakku ingin meledak saat ini juga. “Mama tak tahu kenapa bisa jadi begini” suara Mama akhirnya pecah, pelan dan nyaris putus asa. “Semua ini Mama lakukan karena mereka menjanjikan keuntungan yang menggiurkan. Mama hanya ingin memiliki usaha sendiri tanpa bergantung pada siapa pun.”Hatiku berkecamuk. Antara marah karena tidak diberi tahu sejak awal, bingung harus berbuat apa dan sedih karena merasa dijadikan tameng. Aku ingin berteriak, ingin mempertanyakan semuanya—kenapa harus aku yang diseret? Kenapa utang sebesar itu bisa terjadi tanpa sepengetahuanku?“Kenapa tidak mendengarkan ucapanku dari awal?” tanyaku, suaraku mulai bergetar. “Kalau saja Mama tidak keras kepala, semua ini tak akan terjadi. Tap