Share

OK bab. 4

last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-14 10:32:05

Pernah tidak kalian mendengar ada yang bilang, lebih baik capek badan daripada capek otak? Capek badan bisa hilang saat dibawa istirahat, tetapi capek otak mau tidur 24 jam sekalipun tak mampu membuat hilang sakit di kepala.

Itulah yang tengah aku alami pagi ini. Suasana pagi yang cerah tetapi tubuhku terasa loyo tak bertenaga. Diego Navarro, usia yang mendekati expired ditambah tuntutan uang 500 juta kini berputar-putar di dalam otakku.

Pagi yang cerah seharusnya membawa ketenangan, tetapi di dalam kepalaku, badai pikiran berputar-putar tanpa henti. Diego Navarro—sosok yang ingin kulupakan dan angka 500 juta yang menggantung seperti pedang di atas kepala.

Aku menarik napas, mencoba mengabaikan rasa berat di dada. Jalanan mulai ramai, suara kendaraan dan langkah kaki bercampur menjadi latar belakang yang samar. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kebisingan dalam pikiranku sendiri.

Aku kembali terduduk di ruangan kecil di mana layar datar yang menjadi titik fokusku saat ini. Bermain-main dengan tikus kecil di tangan serta setumpuk kertas yang harus diperiksa dengan teliti. Hanya saat bekerja aku bisa melupakan sejenak masalahku, hingga waktu kembali berputar begitu cepat.

Sepulang jam kerja aku tak langsung pulang dari rumah melainkan memutuskan untuk duduk santai di sebuah cafe yang menyediakan aneka cake. Musik live yang mengalun menambah suasana nyaman.

"Kiara."

Aku menoleh, menatap wajah seorang wanita yang memanggil namaku. Wanita bergaun motif vintage itu berdiri anggun di hadapanku, senyumnya yang merekah mengingatkanku pada seseorang yang dulu begitu dekat denganku.

"Anggi?" tanyaku memastikan sosok yang aku lihat ini benar adalah Anggi sahabatku dulu saat zaman SMA. Pasalnya penampilan Anggi yang kukenal banyak jauh berubah dari sekarang.

Anggi yang dulu kukenal sedikit tomboy dengan potongan rambut sebahu dan wajah natural tanpa polesan make up, tetapi Anggi yang ada di hadapanku kini adalah Anggi yang full make up dengan memakai dress yang panjangnya di atas lutut.

"Iya, ini aku," jelasnya membuatku begitu senang. Aku beranjak memeluk tubuh kecilnya erat meluapkan rindu yang selama ini tersimpan.

"Sudah! Kamu mau membunuhku."

Sontak aku mengurai pelukan eratku seraya tersenyum malu. Aku suka kelepasan jika sedang senang.

"Maaf, aku senang banget kita bisa bertemu setelah terakhir kamu pergi kuliah luar negeri. Aku pikir gak akan bertemu denganmu lagi."

"Mana mungkin! Justru aku yang berpikir kamu gak akan mengenaliku lagi. Atau pura-pura tak mengenaliku," balasnya sembari menarik kursi dan duduk di depanku tanpa aku persilakan terlebih dahulu.

"Dari penampilan jujur aku sedikit bingung apa benar itu kamu karena kamu banyak berubah, tapi senyum dengan lesung pipi yang menjadi ciri khasmu yang membuatku mengingatmu," jawabku masih tak percaya bisa bertemu dengan sahabat yang sudah hampir sepuluh tahun tak bertemu.

Pertemuan yang tak terduga ini menghangatkan hatiku, sejenak mengusir badai yang berputar di pikiranku. Aku tersenyum, masih menatap Anggi dengan sedikit tak percaya.

Waktu memang mengubah banyak hal, tetapi ada sesuatu yang tetap tak berubah—cara dia tersenyum, sorot matanya yang cerah dan caranya berbicara yang selalu penuh semangat.

“Apa kabar kamu sekarang?” tanyaku, mencoba menenangkan diri dari kejutan yang baru saja menghampiri.

Anggi menyesap kopinya yang baru datang dengan elegan sebelum menjawab, “Aku baik. Hidup seperti roller coaster, tapi aku menikmati setiap momennya. Dan kabar baiknya, aku sudah menikah.”

Anggi tersenyum bangga dengan statusnya sebagai seorang istri.

"Benarkah? Selamat, dan maaf aku gak bisa ikut hadir di hari pentingmu," ucapku sedih.

Dulu kami pernah saling berjanji untuk terus bersama hingga saat menikah. Aku hadir sebagai pendampingnya di hari pernikahannya, begitu pula sebaliknya. Namun nyatanya, kabar pernikahannya saja baru aku dengar saat ini.

"Justru aku yang minta maaf karena tidak mengabarimu. Aku sempat hilang kontak denganmu dan saat itu aku gak tahu harus menghubungimu ke mana."

Anggi tersenyum tipis, sedikit menyesal tetapi juga penuh kehangatan. “Aku juga merasa bersalah karena kita sempat terpisah begitu lama. Tapi sekarang kita bertemu lagi, dan aku gak akan melewatkan kesempatan ini.”

Aku mengangguk, mencoba menikmati kembali kebersamaan yang dulu sempat hilang. “Jadi, bagaimana kehidupan pernikahanmu? Aku ingin mendengar semuanya.”

Anggi tertawa kecil, membetulkan letak cangkir kopinya. “Jujur, tidak selalu mudah. Aku dan suamiku baru menikah selama 8 bulan. Kami punya banyak perbedaan, tapi kami belajar menyesuaikan diri satu sama lain.” Dia menatapku dengan ekspresi penuh nostalgia. “Seperti kita dulu, kan? Sering berdebat soal hal kecil tapi tetap gak bisa jauh.”

Aku tersenyum, mengingat masa-masa itu. “Benar sekali. Dulu kamu selalu bersikeras kalau warna biru lebih bagus daripada hijau, dan aku gak pernah setuju.”

Kami tertawa bersama, suasana semakin hangat. Percakapan mengalir begitu saja, seperti tidak pernah ada jarak di antara kami.

Dia mengangkat alis, nada suaranya berubah lebih serius. “Kamu sendiri bagaimana? Apa sudah menikah?"

Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati kopiku yang hampir dingin. Pertanyaan ini sudah sering sekali aku dengar tetapi entah kenapa tetap saja membuatku tak nyaman.

"Sepertinya jodoh masih jauh dariku."

"Benarkah? Mana mungkin tak ada yang mau denganmu yang cantik begini. Saat sekolah dulu juga kamu sering jadi rebutan di kelas. Ini pasti karena kamu yang banyak milih, iya, kan?" tukas Anggi.

Aku tersenyum tipis, menatap Anggi dengan sedikit kebingungan. "Bukan soal memilih atau tidak memilih," jawabku pelan, jemariku tanpa sadar mengusap permukaan cangkir kopi. "Hanya saja ... ada banyak hal lain yang lebih mendesak daripada memikirkan soal jodoh."

Anggi mengernyit, jelas tak puas dengan jawabanku. "Sepertinya ada cerita lain di balik ini, ya?"

Aku hendak menjawab, tapi Anggi keburu melambaikan tangan memanggil seseorang membuatku menoleh.

Sosok tinggi berjas abu-abu berjalan mendekat ke arah meja kami, ekspresinya datar memancarkan aura ketegasan yang dingin.

"Kiara, kenalkan, ini suamiku."

Tubuhku membeku seakan jantungku berhenti berdetak saat pandangan mata kami bertemu. Dunia ini terasa begitu sempit, dari sekian banyak manusia kenapa lelaki yang menghabiskan satu malam panas waktu itu bersamaku ternyata adalah suami sahabatku sendiri.

Semua ini terasa seperti mimpi buruk untukku. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Orang ketiga.   OK bab. 7

    Rasa gelisah menjalar pelan seperti kabut dingin yang menyusup ke tulang. Aku mendesah panjang, mataku menatap lurus ke arah ponsel yang kini diam membisu setelah menyampaikan ancaman yang membakar dada. Dunia terasa mengecil, menyempit oleh tekanan yang datang dari segala arah—keluarga, perasaan bersalah dan kesendirian yang seolah tak berujung. Aku berdiri perlahan, menapaki lantai dengan langkah pelan menuju jendela apartemen. Dari balik kaca bening itu, lampu-lampu kota masih menyala terang, seolah tak peduli pada kekacauan batinku. Setitik harapan menyelinap di antara kepingan hati yang rapuh. Pasti ada cara untuk keluar dari ini semua kesulitan tanpa kehilangan diriku sendiri. Telepon itu masih dalam genggaman. Pesan itu belum aku hapus. Walau sering mendapatkan pesan seperti ini setiap kali tak mampu memenuhi, tetap saja aku masih merasa tak nyaman. Tapi sampai kapan aku akan terus mendapatkan perlakuan seperti ini? Kupilih untuk mengabaikan pesan tersebut. Memblokir satu

  • Orang ketiga.   OK bab. 6

    Tak pernah terbayangkan dalam mimpi sekalipun untuk menjadi duri dalam pernikahan orang lain. Namun nyatanya takdir membawaku pada lorong gelap yang tak tahu kemana ujungnya. Kesalahan satu malam kini mulai perlahan mengubah hidupku. Apa yang harus aku lakukan agar bisa terhindar dari masalah rumit yang ingin membelitku. "Dari sekian banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus suami temanku sendiri? Kenapa Tuhan? Aku mohon, biarkan semuanya berlalu begitu saja. Sepertinya setelah ini lebih baik aku tak perlu bertemu dengan mereka lagi." Mobil yang kukendarai melaju dengan cepat membelah keheningan malam dengan pikiran yang semakin kusut. Angin malam yang berhembus membelai pipi putihku. Ada lubang kekosongan yang kian melebar. Aku tak memiliki siapa pun untuk tempatku mengadu, bahkan ibu yang dianggap rumah bukanlah tempatku untuk berpulang walau hanya sekedar merebahkan kepala untuk mengusir penat. Sesampainya di apartemen aku merebahkan tubuhku ke atas sofa. Tubuhku teras

  • Orang ketiga.   OK bab. 5

    Anggi tersenyum, dia tentu tak menyadari perubahan yang tiba-tiba menguasai atmosfer. "Sayang, ini Kiara, sahabatku sejak SMA." Pria itu diam sejenak, lalu mengulurkan tangannya. "Diego." ucapnya singkat. Aku menatap tangan itu, ragu sebelum akhirnya menyambutnya. Kulitnya dingin, genggamannya kuat. Seolah bukan sekadar salam perkenalan, tapi lebih dari itu. Sementara tatapan matanya yang tajam mengartikan sesuatu yang sulit kupahami. Rasa cemas pun mulai menyergap hatiku. Aku cepat melepaskan tautan tangan kami dan dengan canggung mempersilakannya duduk seolah kami berdua tak pernah bertemu sebelumnya. Pelayan menghampiri kami dan mencatat pesannya, kemudian pergi dan kembali lagi dalam waktu beberapa menit. Selama waktu itu kesunyian pun menyapa diantara kami berdua, kecuali Anggi yang terus mengajakku bercerita. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis. Kehadiran lelaki berkulit coklat itu menghantamku seperti gelombang yang tak terduga. Diego Navarro. Nama yang seharusnya

  • Orang ketiga.   OK bab. 4

    Pernah tidak kalian mendengar ada yang bilang, lebih baik capek badan daripada capek otak? Capek badan bisa hilang saat dibawa istirahat, tetapi capek otak mau tidur 24 jam sekalipun tak mampu membuat hilang sakit di kepala. Itulah yang tengah aku alami pagi ini. Suasana pagi yang cerah tetapi tubuhku terasa loyo tak bertenaga. Diego Navarro, usia yang mendekati expired ditambah tuntutan uang 500 juta kini berputar-putar di dalam otakku. Pagi yang cerah seharusnya membawa ketenangan, tetapi di dalam kepalaku, badai pikiran berputar-putar tanpa henti. Diego Navarro—sosok yang ingin kulupakan dan angka 500 juta yang menggantung seperti pedang di atas kepala. Aku menarik napas, mencoba mengabaikan rasa berat di dada. Jalanan mulai ramai, suara kendaraan dan langkah kaki bercampur menjadi latar belakang yang samar. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kebisingan dalam pikiranku sendiri. Aku kembali terduduk di ruangan kecil di mana layar datar yang menjadi titik fokusku saat ini. Berm

  • Orang ketiga.   OK bab. 3

    Aku menarik napas cepat, rasa lelahku berganti waspada. Mama jarang berbicara dengan nada seperti itu dan jika beliau sampai menunggu di apartemen tanpa memberi tahuku sebelumnya, berarti ada sesuatu yang diinginkannya dariku. Aku melangkah mendekat, menyisir kekacauan dengan tatapan sinis. Nara, seperti biasa, bersikap santai seolah tak peduli. Mungkin karena aku terlalu memanjakannya hingga tak ada lagi rasa hormatnya terhadapku. "Mama mau bicara apa?" tanyaku dingin. Tubuhku menuntut istirahat, tetapi bagaimana aku bisa tenang dengan keberadaan mereka? Sejak kuliah, aku memilih tinggal sendiri demi ketenangan. Rumah yang seharusnya memberi rasa nyaman hanya dipenuhi oleh teriakan dan makian yang membekas dalam ingatan. Setelah perpisahan Mama dan Papa, hidupku dibebankan dengan tanggung jawab yang tiada habisnya. "Mama butuh uang lima ratus juta untuk bisnis yang menjanjikan." Aku tersentak. Lagi-lagi uang. Seperti jalangkung yang datang tanpa diundang dan pulang tanpa pamit

  • Orang ketiga.   OK bab. 2

    Aku merasa akhir-akhir ini Dewi kesialan tengah mengutukku. Setelah kabur seperti seorang buronan dari dekapan lelaki asing yang memiliki pikiran gila, kini aku dihadapkan dengan dua orang wanita yang menyebalkan. "Gila, tampan banget. Aku tidak menyangka lelaki setampan dan semuda ini sudah memiliki perusahaan besar." "Aku penasaran dia sudah punya istri atau belum, ya?" "Jangan mimpi, banyak wanita yang mengincarnya dan kamu gak mungkin ada dalam urutan itu?" "Kalau aku nggak, apalagi kamu. Aku rasa dari segi penampilan dan juga karier aku lebih unggul darimu." Kupingku terasa berdenging mendengar percakapan dua wanita yang ujung-ujungnya berakhir pada sebuah pertengkaran. Dan sialnya dua wanita itulah yang harus kuhadapi setiap hari. Kutahan napas, berusaha meredam dorongan untuk menutup telinga dengan kedua tangan. Sejujurnya, aku masih sulit menerima kenyataan bahwa setiap hari harus berbagi ruang dengan Intan dan Violita—dua wanita yang lebih sering beradu ego daripada bek

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status