Sesaat kemudian kurasakan sebuah pukulan keras di tengkuk, hingga kemudian semua menjadi gelap.*********** *************"Awww sakit!"Saat aku membuka mata, kurasakan tengkukku masih nyeri, kepalaku juga teramat pusing dan juga ada rasa perih di lengan kananku.'Dimana aku kini?' pikirku.Kususuri sekitarku, aku kini berada di dalam sebuah ruangan, padahal seingatku tadi aku masih berada di pinggir jalan saat para laki-laki itu merampokku.Luka di lenganku ternyata telah di perban, begitupun saat kuraba, ternyata luka di dahiku kini pun telah di beri plester.'Apakah aku kini telah berada di rumah sakit?'Namun sepertinya tidak, karena ruangan ini tanpa ada peralatan medis tersedia, layaknya ruang perawatan di rumah sakit. Hanya seperti sebuah kamar dengan ranjan
"Ingat Dek, ini hanya permulaan saja, nantinya akan banyak hal lagi yang bisa membuatmu menderita dan mati secara perlahan!" ancam Mas Chandra padaku."Sungguh kejam kamu Mas!! Rela menghaibisi nyawa orang lain demi kepuasanmu belaka," ucapku sambil mendekat dan berusaha memukulinya."Hei apa-apaan kamu ini! Rahmat cepat bawa kesini tali itu! Ayo kita ikat tangan dan kakinya, agar tak bisa kemana-mana!" ucapnya.Mereka pun akhirnya berhasil mengikat kaki dan tanganku, dan kembali mendudukkanku di.atas kasur."Lepas! Lepaskan aku! Tunggu saja Mas, kamu akan mendapatkan balasaan yang setimpal!" teriakku."Duduk manis di sini ya sayang! Aku akan pulang dulu, besok aku akan kembali lagi ke sini, tentunya dengan kejutan baru pula untukmu!" ancam Mas Chandra."Tolongg! Tolong! Tolong!"
"Baiklah kamu tak akan ku ikat, tapi ingat jangan coba-coba kabur dan jangan berak di kamar ini! Mengerti?!"************* ************Sejak kepergian Bayu tadi, aku membuka korden kamar dan juga korden di ruang tamu, kucoba melepaskan tali yang ada di tangan pun tak bisa, lalu kucoba memukul pintu dengan bahu namun tak bisa juga.Ya Allah engkau adalah Maha Segala tolonglah aku pagi ini. Aku terus berdiri di depan jendela, hingga kudengar suara langkah kaki, dan dedaunan kering yang terinjak. Apakah itu suara manusia? Atau suara langkah kaki hewan? Ku pertajam pendengaranku. Hingga akhirnya ku dengar suara orang berbincang. Sebenarnya aku takut jika itu adalah anak buah Mas Chandra, karena memang kabut masih terlalu tebal di sini, namun aku tak boleh melewatkan kesemaptan ini. Yang penting sekarang harus teriak sekeras mungkin, masalah hasilnya nanti biar Allah yang tentukan.
"Keluar kamu Dita! Jangan sembunyi di dalam! Atau akan kubakar rumah ini!""Siapa itu?!" tanya Pak Amin."Sepertinya dia adalah Mas Chandra dan anak buahnya Pak," jawabku."Bagaimana dia bisa tahu keberadaan Mbak Dita? Ayo kita keluar semuanya!"Semua warga yang ada di dalam kamar ini pun keluar, tak terkecuali aku."Kamu di sini saja Nduk, nggak usah ikut keluar," ucap Mbah Ginem."Nggak apa-apa Mbah, aku ingin melihat kemarahannya."Kami berdua pun akhirnya ikut menyusul para warga yang telah lebih dulu keluar. Ternyata di luar ada lebih banyak lagi warga yang datang, mungkin karena suara motor yang memekakkan telinga itulah, yang mengundang para warga kesini."Hahaha akhirnya keluar juga kamu Dit! Cepat ikut kami kembali! Atau akan
Pov Chandra"Yank hari ini aku ada bisnis besar dengan temannya Bang Rendy, kemungkinan aku nanti malam tidak akan pulang. Nggak apa-apa 'kan Yank?" tanyaku pagi itu pada Raisa di dalam kamar."Ya terserah kamu saja, meski nggak pulang yang penting setoran lancar sih, tak masalah bagiku," jawabnya cuek.Hal seperti itulah yang tak kusuka dari istri baruku ini, di pikirannya hanya ada uang dan uang saja. Jujur kini aku menyesal menduakan Dita, hanya demi seorang perempuan sepertinya.Memang Dita dulu itu kadang jahat kepadaku, dan seolah-olah aku ini bagian dari komedi 'suami-suami takut istri', tapi Dita masih perhatian kepadaku, dan tak pernah meminta uang barang sepeserpun. Setiap aku belum pulang, atau telat dikit saja, dia akan segera menelepon,marah-marah nggak jelas. Tapi itukan bukti kalau dia khawatir denganku, dan memang mencintaiku.
Ternyata memang benar yang dikatakan Mas Chandra tadi, bangunan cafe baruku yang mayoritas berasal dari bambu ini habis terbakar. Menurut kepolisian tadi ada enam orang korban jiwa yang meninggal akibat kebakaran ini, dan aku pun sudah mengantongi identitasnya, nantinya akan kukirimkan uang santunan yang sepadan untuk keluarganya. Karena dendam seseorang kepadaku, hingga nyawa mereka harus melayang. Ya Allah semoga Engkau ampuni segala dosa mereka dan menjadi husnul khotimah."Le, ayo antar aku menuju rumah kepala desa di sini," ucapku kepada Leo dan kami pun segera meluncur ke sana.Kebetulan aku memang sudah tahu di mana rumah kepala desanya. Minggu yang lalu aku ke sana untuk meminta ijin pembangunan cafe ini. Sesampainya di sana kami langsung di sambut dengan ramah oleh Pak Kades dan istrinya."Begini Pak. Saya ingin menghibahkan separuh tanah itu untuk desa ini, mungkin bisa digunakan sebag
Jangan bergerak, naikkan tangan kalian ke atas! Cepat!" teriak salah satu polisi sambil mengarahkan pistolnya pada Bu Mirna.Ke lima wanita yang ada di ruangan itupun tak bisa berkutik, mereka semua langsung berdiri dan mengangakat kedua tangannya."Jangan ada yang coba-coba melarikan diri! Tempat ini sudah kami kepung!"Tiba-tiba dari dalam rumah keluar dua orang polisi juga, namun mereka berseragam preman, mungkin mereka lewat pintu belakang rumah Raisa. Sebagian polisi itu mulai memasukkan barang bukti yang ada di ruang tamu ke dalam plastik keresek besar."Cepat geledah ruangan-ruangan lain di rumah ini!"Dengan sigap para polisi itu mulai menyisir setiap sudut rumah Bu Mirna. Sementara itu kelima wanita tadi hanya bisa menangis, tak tega juga sebenarnya aku melihat mereka. Namun jika bisnis haram itu tidak segera di beran
Saat kami sedang menunggu makanan, dari arah pintu masuk, datanglah laki-laki dan perempuan, tepatnya sepasang kekasih, karena terlihat mereka berjalan berpelukan dan sangat mesra. Semakin mereka mendekat aku semakin yakin bahwa perempuan itu adalah Raisa, yang saat ini telah menjadi buronan kasus narkoba itu."Lin, bukannya itu Raisa ya?"Kataku sambil menyikut lengan Linda yang tengah asyik bermain handphone.Linda pun langsung menoleh dan melihat ke arah yang sama denganku."Eh, iya bener banget tuh Bu. Ku telepon polisi sekarang juga ya. Biar dia ngumpul di penjara sama keluarganya!" jawab Linda penuh emosi.Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Linda itu, kemudian dia langsung menelepon polisi. Sementara itu kini Raisa dan kekasih atau langganannya itu sudah duduk tak jauh dari kami, tepatnya di depan mejaku, tapi dia duduk membelakangi k