Di sebuah danau dengan pemandangan yang sangat indah, dua orang remaja tengah duduk di salah satu kursi yang berada di tepi. Pandangan mereka sama-sama menatap ke depan, tepatnya ke arah matahari yang hampir akan tenggelam sore ini.
"Akhirnya setelah sekian lama gue bisa liat senja lagi. Gue inget banget terakhir kali ke sini pas almarhum papa meninggal," ucap Aira sembari tersenyum. Pandangannya tidak lepas menatap cahaya indah di depan sana.
Daffa sempat terkekeh geli membalasnya. "Dulu lo nangis kejer di sini, Ra. Gue yang nggak tau harus apa, cuma bisa beliin lo es krim."
Siapa sangka Aira tidak mengira Daffa akan mengingatnya. Dia menoleh seketika, dengan raut antusias. "Eh, tapi setelah lo beliin, gue tetep aja nangis sambil makan es krimnya. Gue inget waktu itu, lo akhirnya beliin gue boba setelah es krimnya abis dan gue nangis lagi. Duh, ngakak banget, sih."
"Anehnya gue kok mau-mau aja, ya? Padahal harusnya waktu itu gue belajar buat olimpiade be
Esok yang buruk, Aira tidak menginginkannya. Tetapi, tetap saja terjadi. Karena tidak ingin menerima itu semua, Aira berlari menuju belakang sekolah. Setelah sampai dan menemukan Rehan di sana, Aira langsung menggeram marah ke depannya."Batalin perjodohan itu!"Rehan yang terkejut, tersentak melihat kedatangan Aira yang tiba-tiba. "Maksud lo apa, sih? Perjodohan?""Jangan munafik! Gue tau ini semua pasti ulah lo, kan? Jawab gue, Re!" teriak Aira yang sudah sangat marah. Namun, tangannya dia tahan sekuat mungkin agar tidak menyakiti siapa pun.Rehan pura-pura syok, bahkan sembari menutup mulut seolah benar terkejut. Ada kekehan geli setelahnya. "Wih, jadi lo udah tau, ya? Gimana? Suka sama kejutannya nggak?""Berengsek lo! Batalin perjodohan itu! Gue nggak suka sama lo! Gue benci!" bentak Aira, langkah maju satu langkah dan menatap Rehan nyalang."Benci bisa jadi cinta, Ra. Jalanin aja kenaoa, sih?" balas Rehan sembari tersenyum geli, tangan
Realita hidup memang sekejam itu, semua yang seolah sudah terjadi dan terjalani dengan baik, tetapi tidak ada yang mengira jika di masa depan takdir kejam ternyata benar-benar ada. Sungguh, Aira tidak bisa menahan air matanya saat ini."Daf, gimana, dong? Soal perjodohan itu, gue beneran nggak mau," lirih Aira dengan kepala menunduk. Berkali-kali helaan napas panjang terdengar."Gua juga bisa apa, Ra? Tawaran gue tadi konyol, kan?" Daffa ikut membuang napas berat, kepalanya sedang pening saat ini."Tapi, tapi itu juga nggak buruk, sih. Cuma ... cuma gue belum siap aja, Daf," jawab Aira, sejujurnya memang alasan itu yang membuat Aira enggan melakukan ide gila dari Daffa tadi.Daffa menatap ke atas, ke langit siang ini. "Kalo ngomongin siap nggak–nya, lo tunangan sana Rehan pun, nggak siap juga, kan? Gue rasa nggak ada jalan lain selain itu.""Tapi percuma juga kalo papa gue nggak setuju, Daf," jawab Aira mengingatkan, pandangannya ikut menatap
Jika saja bukan karena perjodohan yang dibuat papa tirinya itu, Aira juga enggan berbaik hati dengan Serin, kakak tirinya yang paling tidak suka dengan dirinya. Pula, jika bukan karena Serin menyukai Rehan dan akhirnya rencana pertama tercipta, Aira juga tidak sudi menginjakkan kaki di depan pintu kamar Serin malam ini."Kak!"Aira mengetuk pintu di depannya itu, sesaat setelah seseorang di dalam memanggilnya masuk, Aira melangkah setelah sejenak membuang napas panjang. Rautnya harus dia buat sehangat mungkin. Dia akhirnya masuk, melihat Serin menyambutnya dengan raut penuh kejut."What? Lo bilang apa? Coba ulangi, deh. Kuping gue radha konslet." Serin melebarkan telinganya, setidaknya meski kesal, Aira dengan sabar kembali mengulangi panggilannya tadi."Kak."Serin mengerjap, ternyata dia tidak salah mendengar. "Lo kerasukan apa, ha?""Gue mau ngomong sesuatu sama lo, Kak. Please, kali ini gue serius," jawab Aira, tanpa izin duduk di
Kini, dengan pagi yang cukup redup sebab awan hitam tampak menghiasi langit, di kelas, Aira dan Daffa membahas soal tadi malam. Mengenai rencana pertama mereka untuk membujuk dan mengajak Serin bekerja sama membatalkan perjodohan Aira dengan Rehan."Gimana, lo udah coba?" tanya Daffa, dia duduk di depan bangku Aira."Lumayanlah, Daf. Seenggaknya dia udah tau rencana yang gue maksud kayak gimana," jawab Aira, mengatakan yang sebenarnya."Dia setuju?"Aira membuang napas untuk kali ini, kemarin Serin memang belum mengatakan 'setuju' terhadapnya. "Gue belum tau kalo itu.""Terus? Kemarin lo dapet jawaban apa dari dia? Lo nggak harus ngemis-ngemis, kan? Lo nggak—"Aira tersenyum dan cepat-cepat memotong. "Nggak, kok, Daf. Gue cuma sedikit kasih kata-kata persuasif, sih. Tau, kan?""Dan?""Dan, dia bilang kalo ucapan gue ada benernya juga. Itu artinya ada tanda-tanda kalo dia setuju, kan?"Tepat sekali, Daffa mengulas s
Pulang sekolah, rumah masih sepi. Aira tidak terkejut karena hal itu, apalagi dia sudah mengetahui bagaimana kedua orang tuanya yang yang gila harta. Lagi pula, kalau pun rumah ini ramai, Aira tidak yakin jika dirinya tetap tidak akan merasa sendirian.Setelah memastikan pintu kamar Serin sedikit terbuka yang menandakan dia ada di dalam, Aira melangkah untuk mengetuk pintunya. Entah sudah berapa kali embusan napas dia buang guna menghilangkan rasa gugupnya, Aira harus tetap bersikap biasa saja di depannya Serin nantinya."Kak? Lo di dalem?" panggil Aira setelah mengetuk dua kali. Lalu, tidak lama terdengar suara yang memintanya untuk masuk.Barulah, Aira bisa membuang napas lega. Setidaknya ini sudah meyakinkan dirinya jika rencananya pelan-pelan akan berhasil. Aira akhirnya masuk, kemudian kembali menutup pintunya. Dan, begitu melihat Serin yang memakai masker, dia sempat tersentak."L–lo ngagetin banget, sih," gerutu Aira yang membuat Serin
"Hai, calon istri?"Aira yang kebetulan berjalan di belakang sekolah tiba-tiba berpapasan dengan Rehan. Cowok itu menahan lengannya dan tersenyum menatapnya. Terpaksa, Aira menghentikan langkahnya. Tidak ingin berdebat. Tetapi sayangnya, ucapan cowok setelahnya itu membuat Aira tidak menahan untuk tidak kesal."Bisa nggak, lo jaga mulut sialan itu? Gue nggak sudi jadi siapapun di hidup lo, Re!" desis Aira, melepas kasar tangan Rehan.Rehan kembali mengambil lengan Aira, kali ini dia mencekal lebih kuat dengan tangannya. "Eits ... lo lupa?" Alis Rehan terangkat sebelah."Gue pernah nggak jawab!" sahut Aira mendecih, menatap tajam ke dalam mata Rehan yang kini menatapnya dengan hangat. Sungguh, itu hanya membuat Aira merasa jijik dan marah."Justru sekarang gue mau lo jawab," balas Rehan santai. Kini, tubuhnya sudah sempurna berhadapan dengan Aira.Aira memberontak, namun sayangnya tenaganya kalah kuat. "Nggak! Gue nggak sudi!""Ya udah
Aira baru saja selesai makan malam dengan Serin, sementara dia menuju ruang tamu hendak menutup pintu, lalu Serin berjalan ke kamar untuk menunggu aksinya tiba. Yah, malam ini kepulangan sang papa menjadi awal rencana pertama untuk mereka yang segera akan dimulai."Kamu tidak lupa dengan permintaan saya beberapa hari yang lalu, bukan?" Sang papa membuka pintu ketika Aira belum sempat menutupnya.Aira tersentak sesaat, lebih tepatnya berlagak terkejut, diikuti dengan kepalanya yang tampak menunduk setelahnya. "Maaf, Pa."Andi, sang papa tersenyum sinis. "Maaf? Kamu mau membuat saya kecewa lagi?""Maaf, tapi untuk permintaan papa yang satu itu ... Aira tetep nggak bisa," jawab Aira, mengutarakan isi hati serta benaknya. Dia memang tidak mau menerima perjodohan itu."Lagi, kamu mau membuat saya kecewa lagi, Aira?" Sang papa melangkah maju, mendudukkan diri dengan decihan pelan. Aria melihatnya tampak menghela napas, ini memang masih dalam dramanya, te
"Kenapa lo nggak cerita tentang rumor itu, Ra? Gue bisa bantu buat selesain semuanya."Di atas roof top, dengan semilir angin yang sesekali menerpa wajah. Menebarkan hawa sejuk di panasnya matahari yang terik. Tempat itu luas, lebih dari cukup untuk membuat Aira dan Daffa mencari ketenangan. Tidak banyak orang yang berada di sana. Kebanyakan lebih memilih ke kantin di jam istirahat seperti ini."Maaf."Daffa hanya membuang napas panjang ketika jawaban yang terdengar lirih itu keluar dari mulut Aira. Ada banyak kesedihan serta penyesalan di dalamnya. Daffa tahu, Aira tidak semata menyembunyikan itu darinya tanpa alasan. Maka, dia hanya membalas dengan senyum tipis setelahnya."Lo nggak salah, gue yang nggak becus buat jadi sandaran buat lo," ucap Daffa, rasa kesalnya menjadi sirna begitu saja. Padahal tadi dia ingin sekali memarahi gadis di sampingnya itu.Aira menggeleng cepat, bukan itu yang dia maksud. "Nggak ada yang bilang lo nggak becus,