"Daf, lo nggak ... gay, kan?"
Aira terkekeh geli setelah memberi pertanyaan konyol itu kepada Daffa, membuat cowok itu membuang napas pelan guna menahan kekesalan.
"Ra, kalo ngomong yang bener dikit, kek."
"Ya, lo, sih. Nggak ada niatan buat cari cewek gitu? Lo nggak bosen jadi jomblo mulu?"
"Ngapain bosen? Kan, ada lo," balas Daffa santai. Begitu mendengar jawaban yang satu ini, Aira berdecak malas, Daffa selalu saja tidak mengerti maksud dari ucapannya.
"Daffa, please, deh."
"Dalem, Ra. Kenapa, sih?"
Sebelum menjawab, Aira berusaha bersabar dan menghela napas panjang. "Gini lho, Daf. Lo udah gede, bentar lagi mau lulus SMA, masa lo mau ngintil gue terus? Udah saatnya lo buat buka hati ke cewek lain, Daf."
"Itu bukan kewajiban gue, Ra. Lagian gue juga nggak mau pacaran, lo juga tau itu, kan?" jawab Daffa, sejauh ini dirinya memang tidak mau berpacaran.
"Iya gue tau, tapi maksud gue lo coba kek, pelan-pelan buka hati. Coba deketin cewek trus minta kenalan. Siapa atau aja dengan itu lo bisa dapet jodoh, kan?" tebak Aira sembari mengangkat bahunya.
"Terserah gue mau cari jodoh dengan cara apa, perjalanan gue masih panjang. Urusan jodoh mah, belakangan, Ra."
Daffa kembali menikmati makanannya dengan santai, tidak terlalu menggubris perkataan Aira. Sementara gadis itu mati-matian menahan kekesalan agar tidak membludak. Memiliki sahabat seperti Daffa, memang harus mempunyai stok kesabaran yang cukup banyak.
"Astaga, Daffa. Susah ya, ngomong sama lo. Bikin darah naik aja," dengkus Aira. Daffa yang selesai makan, lantas terkekeh pelan melihatnya.
"Lo yang mulai. Lagian buat apa, sih, nanya begituan? Apa lo kira gue nggak bakal laku, gitu? Trus lo mendadak jadi biro jodoh buat gue?"
"Bukan gitu juga konsepnya!" Aira mendengkus keras, mengambil sendoknya lagi lalu menyuapkan bakso ke dalam mulutnya sendiri dengan kasar.
"Ya, emang mau presentasi, pake konsep-konsepan segala? Jangan ngawur, deh, Ra."
Daffa tertawa seolah ucapan Aira tadi lawakan, padahal dirinya yang sebenarnya paham berusaha untuk mengelak agar tidak lagi membahas mengenai hal demikian.
"Wes, mbohlah, Daf, Daf. Stres gue lama-lama ngomong sama lo." Aira akhirnya pasrah karena malas beradu mulut.
"Makanya stok obat yang banyak, udah dari jaman ileran lo kayak nggak kenal gue aja, Ra. Makanya introspeksi diri, kek."
"Dih, apa hubungannya coba?" sahut Aira, lalu menatap Daffa dengan tajam.
"Dih, situ nggak nyadar kalo masih jomblo juga?" Daffa menahan tawa setelahnya, sedangkan Aira meneguk minumannya lalu mendecih pelan.
"Suka-suka gue, lah. Lagian gue nggak jomblo, tai. Cuma belum dapet yang perfect aja."
Daffa mendelik. "Mulut kasar gitu, mana bisa dapet cowok perfect? Jangan halu, Ra. Istighfar sana."
"Tampang kek pantat panci gitu, mana bisa dapetin cewek sholihah? Bangun kali, Daf. Nggak baik kebanyakan mimpi. Yang ada lo malah dapetin si sholikhin nanti," balas Aira tidak kalah kesal.
"Iyain biar seneng."
"Gue seneng kalo lo mau beliin gue—"
"Satu es krim rasa semangka nanti gue beliin pulang sekolah," potong Daffa yang sudah hafal dengan kebiasaan Aira.
"Astaga, Daf. Lo kalo sering-sering kayak gini makin cakep, dah. Sumpah gue kagak boong." Aira tersenyum manis menatap Daffa, sahabatnya itu sudah dia tebak pasti akan peka terhadapnya.
"Orang-orang juga tau kali kalo gue ganteng sejak lahir. Mata lo aja yang burem, Ra," balas Daffa tersenyum miring, dia ingin membuat Aira kesal lagi. Dan benar saja, setelahnya Aira langsung kembali ke mode awal.
"Kan, lo ngeselin lagi, kan."
"Kan, lo kalo kesel gemesin, kan."
"Daffa, Tai."
"Aira, Kebo."
Daffa tertawa renyah, jemarinya mengacak rambut panjang Aira dengan gemas kemudian menarik hidung gadis itu. Namun Aria tidak kesal, dia justru tertawa geli dan balas mencubit kedua pipi Daffa.
***
Bel masuk berbunyi lima menit yang lalu, sekarang waktunya mata pelajaran bahasa Indonesia, sebelum itu, sudah menjadi kebiasaan di hari Senin, waktunya setiap memberi menyumbangkan uangnya untuk kas kelas.
"Woy, bayar kas! Kalo nggak, gue bacok satu persatu! Khususnya itu cowok-cowok tengil yang di pojokan!"
Gadis berambut pendek dengan bibir mungil itu menggebrak meja di depannya dengan raut galak. Wajahnya yang terkesan judes, menjadi alasan mengapa wali kelas menjadikannya sebagai bendahara.
"Jangan sadis-sadis juga kali, Neng," sahut cowok berambut gondrong di meja paling belakang.
"Nah setuju, lagian tampang keren gini dibilang tengil, minta dicium ya, itu mulutnya, Mbak?" Cowok di sampingnya ikut berkomentar, disusul dengan tawanya yang terdengar menyebalkan.
"Cepetan mana uangnya! Gue nggak butuh basa-basi!" desis Rara dan sekali lagi menggebrak meja sembari berjalan ke depan beberapa laki-laki di bangku belakang.
"Sabar kenapa, sih?" Aira yang memang duduk di bangku nomor dua dari belakang ikut berkomentar, agaknya dia juga sedikit kesal.
"Daf, bayarin, dong. Gue lupa bawa uang, nih."
Aira bahkan sampai lupa tidak membawa uang saku hari ini, mau tidak mau, dia terpaksa menoleh menatap Daffa yang duduk di meja belakangnya. Rautnya dia buat semanis mungkin.
"Dih, Kebo. Sejak kapan papa lo jadi bangkrut?" Daffa bukannya prihatin, justru tertawa. Membuat Aira mendengkus keras karena pagi-pagi sudah dibuat kesal.
"Tai! Gue lupa bawa uang! Besok gue balikkin, dah. Pelit amat."
"Iya-iya, Kebo. Nggak usah diganti, gue ikhlas bayarin lo."
Daffa terkekeh pelan melihat kekesalan Aira, segera mungkin dia mengambil uang dari sakunya lalu menarik tangan Aira dan meletakkan beberapa lembar uang kertas di atasnya.
"Dih! Gue nggak bakal miskin kali, cuma balikin duit lo," balas Aira mendecih alih-alih merasa tidak enak hati dengan Daffa.
"Gue nggak butuh ganti duit. Entar malem gue jemput."
"Apaan?" Alis Aira menaut mendengar jawaban itu, tetepi yang di depannya justru tertawa singkat dan mengacak rambut Aira gemas.
"Karena gue nggak mau gantinya duit, ya, lo harus ganti dengan cara lain. Dengan cara lo temenin gue malam ini."
"Dih, ogah," tolak Aira yang langsung memutar tubuhnya menghadap ke depan. Tetapi, ucapan Daffa setelahnya membuat Aira dengan cepat menoleh kembali ke belakang.
"Ya udah, kalo lo mau punya utang sampe mati." Daffa mengangkat bahunya seraya tersenyum saat Aira kembali menatapnya namun dengan tatapan tajam.
"Kok gitu? Tadi kata ikhlas, gimana sih, Tai?"
"Lo tadi yang maksa buat ganti, ya gue turutin, lah."
"Gue cuma mau gantinya pake uang—astaga, Daf, lo jangan bikin gue darah tinggi, deh."
Aira tidak meneruskan ucapannya, percuma saja dia protes terhadap Daffa, pasti akan sia-sia karena sifat Daffa yang memang keras kepala dan selalu jahil terhadapnya. Aira akhirnya membuang napas panjang berusaha untuk bersabar.
"Itu pilihan, lo mau temenin gue malam ini. Atau punya utang sampai mati? Lagian biasanya lo juga mau-mau aja, kan?"
Aira menghela napas, sejujurnya dia juga mau melakukan itu. "Bukan gitu, sebenernya gue juga mau. Tapi masalahnya gue udah ada janji sama Rehan. Dia ngajak gue ke bioskop. Malam ini juga."
"Nggak, lo tetep harus ikut gue dan gue bakal bilang ke Rehan kalo lo nggak bisa karena ada urusan." Raut Daffa berubah serius, dia paling tidak suka jika nama Rehan sudah disebut. Apalagi oleh Aira yang notabenenya sahabatnya sendiri.
"Daf!"
"Dalem? Gue nggak mau lo sesat sama si Rehan, Ra."
"Dia bukan setan, Daf," balas Aira lalu mengusap wajahnya kasar. Sementara Daffa hanya bersedakap dada dan mengulas senyum tipis menatap Aira di depannya.
"Terserah, intinya gue nggak setuju lo pergi sama dia."
"Kalo emang Tai, ya bakal tetep Tai."
"Istighfar." Daffa tertawa singkat, tangannya lagi-lagi mengacak rambut hitam Aira dengan gemas.
Ruangan bernuansa putih itu hanya diisi oleh keheningan. Di dalam tampak sepi. Hanya suara denting jarum jam yang berputar tanpa henti. Serta merta AC yang menyala memberikan kesejukan di sekelilingnya, alih-alih, menambah suasana mencekam tengah terjadi di sana.Ada Aira menggeleng lemah, hatinya kembali sakit mengingat masa-masa kemarin. "Belum. Dari kemarin gue ke sini, sampai tadi pagi, dia belum siuman."Serin mengangguk, kemudian membuang napas sembari menyentuh sebelah pundak Aira. Berusaha menenangkan suasana hati gadis itu. "Lo tenang aja, dia pasti bakal sadar. Lo tau, kan, dia bukan cowok lemah. Gue yakin, dia pasti juga kangen liat wajah lo.""Ah, lo malah bikin gue tambah sesek, Kak." Aira mendengkus dengan senyum, meskipun matanya sempat berkaca-kaca.
Degup jantung Aira berdetak lebih kencang dari biasanya, langkah kakinya berlari cepat setelah membuka pintu rumah sakit. Tangis mengharu, bibir Aira terisak bahkan saat baru saja sampai—di depan pintu berwarna coklat itu. Kepalanya menunduk, tubuhnya ikut meluruh di depan pintu."Kenapa harus lo, sih, Daf? Kenapa harus hari ini? Bukannya lo udah bilang mau ngelamar gue, Daf?" yang beda."Isak tangis Aira semakin pecah, air mata tidak enggan berhenti. Sesak semakin pula menekan dadanya. Aria tidak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja—seolah takdirnya sekejam itu untuk bisa menerima semuanya. Aira tidak pernah mengakui dirinya lemah, tapi tidak untuk dari balik kaca dengan tatapan khawatir. Sekaligus merasa bersalah. Padahal nyatanya, dia cukup kesal."Ah, sial. Kenapa dia bikin gue kesel, sih? Harusnya dia bilang ke gue kalo mau jemput!"Aira berdecak, mendengkus, meski dengan Aira mata yang masih meluruh. Aira memutuskan untuk duduk di kursi penunggu dan berdoa untuk keselamatan Da
Pagi ini menjadi pagi yang paling Aira tunggu. Seperti janji Daffa kemarin yang mengatakan ingin ke rumah untuk melamarnya. Sungguh, Aira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi tetap saja kemarin malam dia tidak bisa tidur. Bayang-bayang wajah Daffa yang tersenyum memenuhi isi kepalanya—bahkan sampai pagi ini.Aira reflek menepuk kepalanya sendiri. "Udah gila lo, Ra. Bener-bener gila."Seragam hari ini sesuai jadwal sudah dia kenakan dan sempurna melekat di tubuhnya. Aira sesaat menatap pantulan dirinya di cermin sebelum mengulas senyum dan memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan raut sumringah. Sangat kentara jika Aira sudah tidak sabar menantikan malam nanti."Duh, padahal masih nanti malem, kok, gue sekarang udah deg-degan, ya?" batin Aira sembari memegang dadanya yang sudah memanas. Degup jantungnya berdetak kencang.Aira menggeleng, tersenyum geli. "Otak gue nggak bener, nih."Akhirnya karena tidak mau terlambat sekolah, Aira langsun
"Daf," panggil Aira dengan nada pelan dan malas. Seolah tak bertenaga padahal di depannya sudah ada beberapa makanan serta minuman penghilang dahaga."Heum? Kenapa? Lo laper?" balas Daffa ngawur. Padahal sudah jelas-jelas Aira selesai makan. Dan di atas meja sudah tersaji beberapa camilan untuk gadis itu dan dirinya sendiri.Aira berdecak, menghela napas panjang. "Gue butuh semangat buat balikin mood. Gue makin stres karena Serin nggak pulang dari kemarin."Pergerakan jemari Daffa yang semula mengetik sesuatu di ponsel, spontan terhenti kala mendengar berita itu. "Why? Kok bisa? Gimana ceritanya?"Aira mengangkat bahu. Jika dia tahu, mungkin dia tidak akan bertanya. "Gue juga nggak tau ada apa di rumah selama gue sekolah. Dia kemarin emang nitip surat ke gue karena dia nggak masuk sakit. Eh, pas gue pulang dia malah kabur."Daffa meletakkan ponselnya. Punggungnya dia tegakkan dan menghadap Aira. Kepalanya menggeleng. "Nggak, pasti ini ada yang aneh. Buat apa dia kabur pas sakit dan buk
Aira sedang berjalan-jalan menuju belakang sekolah, niatnya hanya ingin mencari udara segar sebab di kelas sudah sangat pengap. Lagi pula, hari ini guru-guru sedang rapat. Aira yang bosan dengan suasana halaman belakang lantas berjalan menaiki anak tangga menuju roof top.Sampai di sana, dia bisa menghela napas panjang. Udara sungguh sejuk disertai dengan semilir angin yang berembus dan menerpa wajah serta beberapa helai rambutnya. Bibir Aira tersenyum, setidaknya keadaan yang semula tenang sebelum sebuah cekalan di lengannya membuat Aira tersentak."Lo? Ngapain ke sini? Lepasin gue nggak?!" teriak Aira ketika melihat Rehan berdiri di depannya dengan tangan yang mencekal kuat pergelangan tangannya.Tatapannya tersorot tajam dan dingin. Rahangnya mengeras sebelum Rehan membentak Aira. "Nggak akan sebelum lo minta maaf ke gue!"Aira reflek tersentak, degup jantungnya ikut berdegup kencang. "Apa-apaan, sih! Gue nggak ada salah apapun sama lo! Jangan ngarep gue bakal minta maaf, Re!""Gue
Kerap kali masalah yang menimpa hidup selalu menjengkelkan. Setiap manusia, nyatanya memang punya masalah. Tetapi, banyak dari mereka yang menghindar dari masalah itu. Padahal, semakin lama dibiarkan, masalah justru semakin banyak dan tentunya—jauh lebih menjengkelkan.Aira sangat berharap masalahnya segera berakhir, dia hanya ingin hidup tenang, tanpa beban, dan bebas dari segala ancaman. Namun, lagi-lagi semesta seolah tidak membiarkan. Masalah satu baru saja selesai, tapi masalah yang lain justru menghampiri. Sungguh, Aira selalu mempunya keinginan untuk menyerah."Daf, gue capek. Gue pengen nyerah. Boleh nggak, sih?"Pertanyaan langka yang baru pertama kali Daffa dengar dari mulut Aira setelah beberapa tahun bersahabat. Aira yang selalu tampak kuat dan semangat, kini tampak lesu dan tidak berdaya. Datang dari dapur, sudah mendapat ekspresi serta keluhan demikian. Lantas, karena tidak setuju, kepala Daffa menggeleng."Nggak, lo nggak bisa lakuin itu. Kenapa, sih? Lo jangan gampang n