Share

Our Story
Our Story
Penulis: Shinta R

Sahabat Rasa Pacar

"Daf, lo nggak ... gay, kan?"

Aira terkekeh geli setelah memberi pertanyaan konyol itu kepada Daffa, membuat cowok itu membuang napas pelan guna menahan kekesalan. 

"Ra, kalo ngomong yang bener dikit, kek."

"Ya, lo, sih. Nggak ada niatan buat cari cewek gitu? Lo nggak bosen jadi jomblo mulu?" 

"Ngapain bosen? Kan, ada lo," balas Daffa santai. Begitu mendengar jawaban yang satu ini, Aira berdecak malas, Daffa selalu saja tidak mengerti maksud dari ucapannya. 

"Daffa, please, deh."

"Dalem, Ra. Kenapa, sih?" 

Sebelum menjawab, Aira berusaha bersabar dan menghela napas panjang. "Gini lho, Daf. Lo udah gede, bentar lagi mau lulus SMA, masa lo mau ngintil gue terus? Udah saatnya lo buat buka hati ke cewek lain, Daf."

"Itu bukan kewajiban gue, Ra. Lagian gue juga nggak mau pacaran, lo juga tau itu, kan?" jawab Daffa, sejauh ini dirinya memang tidak mau berpacaran.

"Iya gue tau, tapi maksud gue lo coba kek, pelan-pelan buka hati. Coba deketin cewek trus minta kenalan. Siapa atau aja dengan itu lo bisa dapet jodoh, kan?" tebak Aira sembari mengangkat bahunya.

"Terserah gue mau cari jodoh dengan cara apa, perjalanan gue masih panjang. Urusan jodoh mah, belakangan, Ra."

Daffa kembali menikmati makanannya dengan santai, tidak terlalu menggubris perkataan Aira. Sementara gadis itu mati-matian menahan kekesalan agar tidak membludak. Memiliki sahabat seperti Daffa, memang harus mempunyai stok kesabaran yang cukup banyak.

"Astaga, Daffa. Susah ya, ngomong sama lo. Bikin darah naik aja," dengkus Aira. Daffa yang selesai makan, lantas terkekeh pelan melihatnya.

"Lo yang mulai. Lagian buat apa, sih, nanya begituan? Apa lo kira gue nggak bakal laku, gitu? Trus lo mendadak jadi biro jodoh buat gue?" 

"Bukan gitu juga konsepnya!" Aira mendengkus keras, mengambil sendoknya lagi lalu menyuapkan bakso ke dalam mulutnya sendiri dengan kasar.

"Ya, emang mau presentasi, pake konsep-konsepan segala? Jangan ngawur, deh, Ra." 

Daffa tertawa seolah ucapan Aira tadi lawakan, padahal dirinya yang sebenarnya paham berusaha untuk mengelak agar tidak lagi membahas mengenai hal demikian. 

"Wes, mbohlah, Daf, Daf. Stres gue lama-lama ngomong sama lo." Aira akhirnya pasrah karena malas beradu mulut.

"Makanya stok obat yang banyak, udah dari jaman ileran lo kayak nggak kenal gue aja, Ra. Makanya introspeksi diri, kek."

"Dih, apa hubungannya coba?" sahut Aira, lalu menatap Daffa dengan tajam.

"Dih, situ nggak nyadar kalo masih jomblo juga?" Daffa menahan tawa setelahnya, sedangkan Aira meneguk minumannya lalu mendecih pelan.

"Suka-suka gue, lah. Lagian gue nggak jomblo, tai. Cuma belum dapet yang perfect aja."

Daffa mendelik. "Mulut kasar gitu, mana bisa dapet cowok perfect? Jangan halu, Ra. Istighfar sana."

"Tampang kek pantat panci gitu, mana bisa dapetin cewek sholihah? Bangun kali, Daf. Nggak baik kebanyakan mimpi. Yang ada lo malah dapetin si sholikhin nanti," balas Aira tidak kalah kesal.

"Iyain biar seneng."

"Gue seneng kalo lo mau beliin gue—"

"Satu es krim rasa semangka nanti gue beliin pulang sekolah," potong Daffa yang sudah hafal dengan kebiasaan Aira.

"Astaga, Daf. Lo kalo sering-sering kayak gini makin cakep, dah. Sumpah gue kagak boong." Aira tersenyum manis menatap Daffa, sahabatnya itu sudah dia tebak pasti akan peka terhadapnya.

"Orang-orang juga tau kali kalo gue ganteng sejak lahir. Mata lo aja yang burem, Ra," balas Daffa tersenyum miring, dia ingin membuat Aira kesal lagi. Dan benar saja, setelahnya Aira langsung kembali ke mode awal.

"Kan, lo ngeselin lagi, kan."

"Kan, lo kalo kesel gemesin, kan."

"Daffa, Tai."

"Aira, Kebo."

Daffa tertawa renyah, jemarinya mengacak rambut panjang Aira dengan gemas kemudian menarik hidung gadis itu. Namun Aria tidak kesal, dia justru tertawa geli dan balas mencubit kedua pipi Daffa.

 ***

Bel masuk berbunyi lima menit yang lalu, sekarang waktunya mata pelajaran bahasa Indonesia, sebelum itu, sudah menjadi kebiasaan di hari Senin, waktunya setiap memberi menyumbangkan uangnya untuk kas kelas.

"Woy, bayar kas! Kalo nggak, gue bacok satu persatu! Khususnya itu cowok-cowok tengil yang di pojokan!"

Gadis berambut pendek dengan bibir mungil itu menggebrak meja di depannya dengan raut galak. Wajahnya yang terkesan judes, menjadi alasan mengapa wali kelas menjadikannya sebagai bendahara.

 "Jangan sadis-sadis juga kali, Neng," sahut cowok berambut gondrong di meja paling belakang.

"Nah setuju, lagian tampang keren gini dibilang tengil, minta dicium ya, itu mulutnya, Mbak?" Cowok di sampingnya ikut berkomentar, disusul dengan tawanya yang terdengar menyebalkan.

"Cepetan mana uangnya! Gue nggak butuh basa-basi!" desis Rara dan sekali lagi menggebrak meja sembari berjalan ke depan beberapa laki-laki di bangku belakang.

"Sabar kenapa, sih?" Aira yang memang duduk di bangku nomor dua dari belakang ikut berkomentar, agaknya dia juga sedikit kesal.

"Daf, bayarin, dong. Gue lupa bawa uang, nih."

Aira bahkan sampai lupa tidak membawa uang saku hari ini, mau tidak mau, dia terpaksa menoleh menatap Daffa yang duduk di meja belakangnya. Rautnya dia buat semanis mungkin.

"Dih, Kebo. Sejak kapan papa lo jadi bangkrut?" Daffa bukannya prihatin, justru tertawa. Membuat Aira mendengkus keras karena pagi-pagi sudah dibuat kesal.

"Tai! Gue lupa bawa uang! Besok gue balikkin, dah. Pelit amat."

"Iya-iya, Kebo. Nggak usah diganti, gue ikhlas bayarin lo." 

Daffa terkekeh pelan melihat kekesalan Aira, segera mungkin dia mengambil uang dari sakunya lalu menarik tangan Aira dan meletakkan beberapa lembar uang kertas di atasnya.

"Dih! Gue nggak bakal miskin kali, cuma balikin duit lo," balas Aira mendecih alih-alih merasa tidak enak hati dengan Daffa.

"Gue nggak butuh ganti duit. Entar malem gue jemput."

"Apaan?" Alis Aira menaut mendengar jawaban itu, tetepi yang di depannya justru tertawa singkat dan mengacak rambut Aira gemas.

"Karena gue nggak mau gantinya duit, ya, lo harus ganti dengan cara lain. Dengan cara lo temenin gue malam ini."

"Dih, ogah," tolak Aira yang langsung memutar tubuhnya menghadap ke depan. Tetapi, ucapan Daffa setelahnya membuat Aira dengan cepat menoleh kembali ke belakang.

"Ya udah, kalo lo mau punya utang sampe mati." Daffa mengangkat bahunya seraya tersenyum saat Aira kembali menatapnya namun dengan tatapan tajam.

"Kok gitu? Tadi kata ikhlas, gimana sih, Tai?"

"Lo tadi yang maksa buat ganti, ya gue turutin, lah."

"Gue cuma mau gantinya pake uang—astaga, Daf, lo jangan bikin gue darah tinggi, deh." 

Aira tidak meneruskan ucapannya, percuma saja dia protes terhadap Daffa, pasti akan sia-sia karena sifat Daffa yang memang keras kepala dan selalu jahil terhadapnya. Aira akhirnya membuang napas panjang berusaha untuk bersabar.

"Itu pilihan, lo mau temenin gue malam ini. Atau punya utang sampai mati? Lagian biasanya lo juga mau-mau aja, kan?"

Aira menghela napas, sejujurnya dia juga mau melakukan itu. "Bukan gitu, sebenernya gue juga mau. Tapi masalahnya gue udah ada janji sama Rehan. Dia ngajak gue ke bioskop. Malam ini juga."

"Nggak, lo tetep harus ikut gue dan gue bakal bilang ke Rehan kalo lo nggak bisa karena ada urusan." Raut Daffa berubah serius, dia paling tidak suka jika nama Rehan sudah disebut. Apalagi oleh Aira yang notabenenya sahabatnya sendiri.

"Daf!"

"Dalem? Gue nggak mau lo sesat sama si Rehan, Ra."

"Dia bukan setan, Daf," balas Aira lalu mengusap wajahnya kasar. Sementara Daffa hanya bersedakap dada dan mengulas senyum tipis menatap Aira di depannya.

"Terserah, intinya gue nggak setuju lo pergi sama dia." 

"Kalo emang Tai, ya bakal tetep Tai."

"Istighfar." Daffa tertawa singkat, tangannya lagi-lagi mengacak rambut hitam Aira dengan gemas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status