Share

05. SALAH PAHAM

"Dasar gila!"

Dirga tertawa kecil mendengar umpatan dari Bagas. Sejak semalam Bagas tak henti mengoceh karena tindakan Dirga yang menurut Bagas sangat di luar nalar. Kebiasan buruk Dirga, pria itu tak segan menghamburkan uang jika sedang mengalami tekanan atau masalah.

Seperti malam tadi, pria berpangkat CEO itu membeli sebuah penthouse mewah di salah satu apartemen terkemuka di kawasan Jakarta Pusat dan membayar cash malam itu juga. Lebih gilanya lagi, Dirga mengatakan pada Bagas jika dia memiliki seorang pacar seorang mahasiswi. Hal yang membuat Bagas tercengang tidak percaya, sejak kapan Dirga menjadi seliar itu?

"Udah ngapain aja?" tanya Bagas penasaran.

"Apanya?" Dirga masih fokus mengecek berkas laporan keuangan bulanan.

"Iya, udah ngapain aja sama pacar kamu itu? Pelukan? Ciuman? Atau …." Bagas semakin tidak sabar.

"Belum aku apa-apain. Masih segel," jawab Dirga asal.

"Yakin masih segel? Kalau udah bobol?" Pertanyaan Bagas mendapat delikan mata dari Dirga.

Takut, Bagas segera mengambil berkas yang sudah diperiksa Dirga dan segera keluar dari ruangan sang atasan. Masih banyak berkas yang belum diperiksa, tetapi seluruh tubuh Dirga terasa sangat lelah. Pria itu menyender pada punggung kursi sambil sesekali memijat dan memutar leher secara perlahan. Kadang juga dia terbatuk, saat memegang dahi suhu tubuhnya sedikit agak hangat.

Dirga menyerah, dia memijit pelipis saat sakit kepala menyerang tiba-tiba. Tubuhnya semakin tidak nyaman, Dirga merasa kedinginan padahal suhu badan cukup hangat. Dirga yakin jika ia masuk angin.

"Bagas, hari ini semua pekerjaan kamu yang handle. Aku mau pulang. Badanku tiba-tiba meriang." Dirga memberi perintah pada Bagas melalui panggilan telepon.

***

"Bisa kebetulan begini?"

"Ada apa, Lun?"

Aluna masih memandangi ponsel, melihat sebuah pesan masuk dari seseorang yang sempat tidak ada kabar selama seminggu lebih. Entah kebetulan atau takdir, Dirga mengirim pesan singkat pada Aluna. Meminta gadis itu untuk bertemu hari ini. Tepat di saat Aluna sedang membutuhkan uang.

Hari ini hari terakhir pembayaran uang praktikum. Sial bagi Aluna karena di samping itu, laptop Aluna mendadak rusak sehingga dia tidak bisa mengerjakan tugas. Biaya untuk memperbaiki laptop cukup mahal dan saat ini Aluna tidak mempunyai simpanan uang sama sekali. Upah dari hasil kerja part time sebagai kasir minimarket belum bisa diambil mengingat ini masih tengah bulan.

"Aku harus pergi dulu, Re." Aluna mengaitkan tas pada bahunya.

"Ke mana?" tanya Rere.

"Ketemu sama partner bisnis." Aluna tersenyum tipis.

"Maksud kamu CEO itu?"

Aluna mengangguk. "Iya, Re. Dia lagi butuh aku dan aku juga lagi butuh uang."

"Jangan, Lun. Nanti aku bantu kamu cari pinjaman. Pliss, jangan cari jalan pintas." Rere terlihat cemas.

"Nggak ada jalan lain. Mungkin memang sudah jalan hidup aku seperti ini, Re. Harapanku sekarang cuma lulus menjadi sarjana dan bergabung di penerbit terkenal. Doakan aku agar tuhan tidak memberiku hukuman atas perbuatan kotorku ini. Aku melakukannya karena terpaksa."

Terlihat cairan bening dari sudut mata Aluna. Buru-buru gadis itu menyeka air mata dan berusaha memasang tampang tegar di hadapan Rere agar sang sahabat tidak khawatir. Rere yang melihat itu hanya bisa menatap nanar sang sahabat. Dia merasa tidak berguna karena tidak bisa menolong Aluna.

"Aku pergi dulu, ya, Re." Aluna bergegas dari hadapan Rere dan segera pergi dari area kampus untuk menemui Dirga.

Taksi online yang dipesan Aluna sudah datang. Alamat yang diberikan Dirga tidak terlalu jauh dari kampus. Aluna tahu apartemen yang Dirga maksud. Mungkin hanya akan memakan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai kesana.

"Kamu datang ke sini, ya. Saya sedang butuh kamu. Saya cuma minta kamu menginap dua hari di sini. Nggak usah bawa pakaian, biar nanti orang suruhan saya yang belikan kamu baju. Saya tunggu kamu sekarang."

Menatap ke luar dari balik jendela mobil, Aluna melayangkan tatapan kosong seraya mengingat kembali pesan dari Dirga. Pria itu masih menagih janji pada Aluna untuk menginap bersamanya. Hal yang sangat wajar karena sampai saat ini Aluna belum membalas jasa pria itu karena menolong Aluna dari Doni. Juga beberapa rupiah yang sudah diterima Aluna dengan jumlah lumayan banyak, sangat pantas bagi pria itu untuk meminta hak pada Aluna sesuai perjanjian.

Aluna sudah sampai di sebuah apartemen mewah yang Dirga maksud. Gadis itu segera menaiki lift dan menekan tombol menuju lantai paling atas. Melihat angka di lift yang terus merangkak naik sukses membuat jantung Aluna berdegup dengan kencang. Sesekali dia menarik napas dalam dan membuangnya perlahan demi mengusir perasaan grogi.

"Om, aku sudah sampai di depan pintu kamar apartemen yang Om maksud." Aluna menghubungi Dirga.

"Masuk saja. Saya sengaja tidak mengunci pintunya."

Dengan tangan yang ditaruh di dada, Aluna bisa merasakan degupan jantung yang berdetak hebat. Keringat dingin mulai mengucur dari pelipis. Hawa sekitar mendadak panas padahal Aluna mengenakan sleeve top berbahan tipis. Sengaja dia tidak memakai cardi atau jaket sebagai penutup pakaian pendeknya. Lagipula, nanti juga semua pakaian Aluna akan terlepas dari tubuh satu per satu. Begitu pikir Aluna.

"Maafkan aku, Tuhan. Kau juga tahu aku terpaksa melakukannya."

Aluna menarik napas saat tangan sudah di handle pintu. Spontan ia menelan saliva karena gugup. Bunyi khas saat pintu terbuka semakin membuat gadis itu frustasi bukan main. Berjalan dengan perlahan, Aluna melangkahkan kaki untuk mencari keberadaan Dirga.

"Aku ada di kamar. Masuk saja. Pintunya tidak di kunci."

Pekikan baritone itu terdengar parau dari salah satu ruangan. Aluna yakin Dirga sedang ada di dalam sana. Entah apa yang sedang pria itu lakukan sehingga enggan keluar. Aluna mulai berjalan masuk menuju kamar tersebut.

"Om, Om sedang ngapain?"

Satu pertanyaan lolos saat Aluna mendapati tubuh pria itu sedang berada di atas ranjang king size dengan berbalut selimut tebal berwarna putih. Tidak ada jawaban dari Dirga. Hal itu membuat Aluna semakin berjalan mendekati Dirga.

"Ya ampun, Om. Om baik-baik saja?"

Aluna terkejut saat tatapan mereka bertemu. Pria itu terlihat menggigil dengan posisi meringkuk. Wajahnya terlihat pucat. Aluna segera mengambil tempat di tepi ranjang dekat pria itu. Meski sedikit ragu, Aluna memberanikan diri untuk mengecek suhu tubuh Dirga.

"Om demam. Om lagi sakit?"

Dirga mengangguk sebagai jawaban. Pria itu menatap sayu pada Aluna seraya mengulas senyum. Untuk sesaat, Dirga menikmati wajah cemas Aluna. Sudah lama sekali Dirga tidak mendapatkan tatapan seperti itu. Tatapan khawatir dari seseorang. Mayang sudah tidak peduli lagi padanya.

"Aku antar ke dokter, ya. Badan Om panas." Aluna menarik tangannya dari dahi Dirga.

"Tidak usah. Saya cuma masuk angin saja."

Dirga mencoba untuk bangun, Aluna yang melihat itu dengan sigap membantu Dirga untuk bersandar di punggung ranjang. Pria itu menyuruh Aluna untuk mengambil obat yang ada di dalam laci nakas di samping tempat tidur. Aluna patuh, dengan cepat dia mengambil obat yang Dirga maksud.

"Om, O-Om mau ngapain?"

Aluna terbelalak saat Dirga dengan santai membuka polo shirt putih yang ia kenakan dan menaruhnya sembarang. Gadis itu spontan menelan saliva saat melihat roti sobek yang terpampang nyata di depan mata. Tubuh atletis dengan kulit putih mulus, salahkan jika Aluna berpikiran mesum saat ini?

"Bisa bantuin saya? Kamu bawa minyak angin, nggak?" Dirga sudah duduk memunggungi Aluna.

"Mi-minyak angin?" Aluna semakin tidak mengerti.

"Iya, saya suruh kamu ke sini karena mau minta tolong buat ngerokin saya. Kamu bisa kerokan, 'kan?"

"Hah?" Mulut Aluna menganga lebar. Rupanya dia salah paham dengan permintaan menginap Dirga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status