"Dasar gila!"
Dirga tertawa kecil mendengar umpatan dari Bagas. Sejak semalam Bagas tak henti mengoceh karena tindakan Dirga yang menurut Bagas sangat di luar nalar. Kebiasan buruk Dirga, pria itu tak segan menghamburkan uang jika sedang mengalami tekanan atau masalah.Seperti malam tadi, pria berpangkat CEO itu membeli sebuah penthouse mewah di salah satu apartemen terkemuka di kawasan Jakarta Pusat dan membayar cash malam itu juga. Lebih gilanya lagi, Dirga mengatakan pada Bagas jika dia memiliki seorang pacar seorang mahasiswi. Hal yang membuat Bagas tercengang tidak percaya, sejak kapan Dirga menjadi seliar itu?"Udah ngapain aja?" tanya Bagas penasaran."Apanya?" Dirga masih fokus mengecek berkas laporan keuangan bulanan."Iya, udah ngapain aja sama pacar kamu itu? Pelukan? Ciuman? Atau …." Bagas semakin tidak sabar."Belum aku apa-apain. Masih segel," jawab Dirga asal."Yakin masih segel? Kalau udah bobol?" Pertanyaan Bagas mendapat delikan mata dari Dirga.Takut, Bagas segera mengambil berkas yang sudah diperiksa Dirga dan segera keluar dari ruangan sang atasan. Masih banyak berkas yang belum diperiksa, tetapi seluruh tubuh Dirga terasa sangat lelah. Pria itu menyender pada punggung kursi sambil sesekali memijat dan memutar leher secara perlahan. Kadang juga dia terbatuk, saat memegang dahi suhu tubuhnya sedikit agak hangat.Dirga menyerah, dia memijit pelipis saat sakit kepala menyerang tiba-tiba. Tubuhnya semakin tidak nyaman, Dirga merasa kedinginan padahal suhu badan cukup hangat. Dirga yakin jika ia masuk angin."Bagas, hari ini semua pekerjaan kamu yang handle. Aku mau pulang. Badanku tiba-tiba meriang." Dirga memberi perintah pada Bagas melalui panggilan telepon.***"Bisa kebetulan begini?""Ada apa, Lun?"Aluna masih memandangi ponsel, melihat sebuah pesan masuk dari seseorang yang sempat tidak ada kabar selama seminggu lebih. Entah kebetulan atau takdir, Dirga mengirim pesan singkat pada Aluna. Meminta gadis itu untuk bertemu hari ini. Tepat di saat Aluna sedang membutuhkan uang.Hari ini hari terakhir pembayaran uang praktikum. Sial bagi Aluna karena di samping itu, laptop Aluna mendadak rusak sehingga dia tidak bisa mengerjakan tugas. Biaya untuk memperbaiki laptop cukup mahal dan saat ini Aluna tidak mempunyai simpanan uang sama sekali. Upah dari hasil kerja part time sebagai kasir minimarket belum bisa diambil mengingat ini masih tengah bulan."Aku harus pergi dulu, Re." Aluna mengaitkan tas pada bahunya."Ke mana?" tanya Rere."Ketemu sama partner bisnis." Aluna tersenyum tipis."Maksud kamu CEO itu?"Aluna mengangguk. "Iya, Re. Dia lagi butuh aku dan aku juga lagi butuh uang.""Jangan, Lun. Nanti aku bantu kamu cari pinjaman. Pliss, jangan cari jalan pintas." Rere terlihat cemas."Nggak ada jalan lain. Mungkin memang sudah jalan hidup aku seperti ini, Re. Harapanku sekarang cuma lulus menjadi sarjana dan bergabung di penerbit terkenal. Doakan aku agar tuhan tidak memberiku hukuman atas perbuatan kotorku ini. Aku melakukannya karena terpaksa."Terlihat cairan bening dari sudut mata Aluna. Buru-buru gadis itu menyeka air mata dan berusaha memasang tampang tegar di hadapan Rere agar sang sahabat tidak khawatir. Rere yang melihat itu hanya bisa menatap nanar sang sahabat. Dia merasa tidak berguna karena tidak bisa menolong Aluna."Aku pergi dulu, ya, Re." Aluna bergegas dari hadapan Rere dan segera pergi dari area kampus untuk menemui Dirga.Taksi online yang dipesan Aluna sudah datang. Alamat yang diberikan Dirga tidak terlalu jauh dari kampus. Aluna tahu apartemen yang Dirga maksud. Mungkin hanya akan memakan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai kesana."Kamu datang ke sini, ya. Saya sedang butuh kamu. Saya cuma minta kamu menginap dua hari di sini. Nggak usah bawa pakaian, biar nanti orang suruhan saya yang belikan kamu baju. Saya tunggu kamu sekarang."Menatap ke luar dari balik jendela mobil, Aluna melayangkan tatapan kosong seraya mengingat kembali pesan dari Dirga. Pria itu masih menagih janji pada Aluna untuk menginap bersamanya. Hal yang sangat wajar karena sampai saat ini Aluna belum membalas jasa pria itu karena menolong Aluna dari Doni. Juga beberapa rupiah yang sudah diterima Aluna dengan jumlah lumayan banyak, sangat pantas bagi pria itu untuk meminta hak pada Aluna sesuai perjanjian.Aluna sudah sampai di sebuah apartemen mewah yang Dirga maksud. Gadis itu segera menaiki lift dan menekan tombol menuju lantai paling atas. Melihat angka di lift yang terus merangkak naik sukses membuat jantung Aluna berdegup dengan kencang. Sesekali dia menarik napas dalam dan membuangnya perlahan demi mengusir perasaan grogi."Om, aku sudah sampai di depan pintu kamar apartemen yang Om maksud." Aluna menghubungi Dirga."Masuk saja. Saya sengaja tidak mengunci pintunya."Dengan tangan yang ditaruh di dada, Aluna bisa merasakan degupan jantung yang berdetak hebat. Keringat dingin mulai mengucur dari pelipis. Hawa sekitar mendadak panas padahal Aluna mengenakan sleeve top berbahan tipis. Sengaja dia tidak memakai cardi atau jaket sebagai penutup pakaian pendeknya. Lagipula, nanti juga semua pakaian Aluna akan terlepas dari tubuh satu per satu. Begitu pikir Aluna."Maafkan aku, Tuhan. Kau juga tahu aku terpaksa melakukannya."Aluna menarik napas saat tangan sudah di handle pintu. Spontan ia menelan saliva karena gugup. Bunyi khas saat pintu terbuka semakin membuat gadis itu frustasi bukan main. Berjalan dengan perlahan, Aluna melangkahkan kaki untuk mencari keberadaan Dirga."Aku ada di kamar. Masuk saja. Pintunya tidak di kunci."Pekikan baritone itu terdengar parau dari salah satu ruangan. Aluna yakin Dirga sedang ada di dalam sana. Entah apa yang sedang pria itu lakukan sehingga enggan keluar. Aluna mulai berjalan masuk menuju kamar tersebut."Om, Om sedang ngapain?"Satu pertanyaan lolos saat Aluna mendapati tubuh pria itu sedang berada di atas ranjang king size dengan berbalut selimut tebal berwarna putih. Tidak ada jawaban dari Dirga. Hal itu membuat Aluna semakin berjalan mendekati Dirga."Ya ampun, Om. Om baik-baik saja?"Aluna terkejut saat tatapan mereka bertemu. Pria itu terlihat menggigil dengan posisi meringkuk. Wajahnya terlihat pucat. Aluna segera mengambil tempat di tepi ranjang dekat pria itu. Meski sedikit ragu, Aluna memberanikan diri untuk mengecek suhu tubuh Dirga."Om demam. Om lagi sakit?"Dirga mengangguk sebagai jawaban. Pria itu menatap sayu pada Aluna seraya mengulas senyum. Untuk sesaat, Dirga menikmati wajah cemas Aluna. Sudah lama sekali Dirga tidak mendapatkan tatapan seperti itu. Tatapan khawatir dari seseorang. Mayang sudah tidak peduli lagi padanya."Aku antar ke dokter, ya. Badan Om panas." Aluna menarik tangannya dari dahi Dirga."Tidak usah. Saya cuma masuk angin saja."Dirga mencoba untuk bangun, Aluna yang melihat itu dengan sigap membantu Dirga untuk bersandar di punggung ranjang. Pria itu menyuruh Aluna untuk mengambil obat yang ada di dalam laci nakas di samping tempat tidur. Aluna patuh, dengan cepat dia mengambil obat yang Dirga maksud."Om, O-Om mau ngapain?"Aluna terbelalak saat Dirga dengan santai membuka polo shirt putih yang ia kenakan dan menaruhnya sembarang. Gadis itu spontan menelan saliva saat melihat roti sobek yang terpampang nyata di depan mata. Tubuh atletis dengan kulit putih mulus, salahkan jika Aluna berpikiran mesum saat ini?"Bisa bantuin saya? Kamu bawa minyak angin, nggak?" Dirga sudah duduk memunggungi Aluna."Mi-minyak angin?" Aluna semakin tidak mengerti."Iya, saya suruh kamu ke sini karena mau minta tolong buat ngerokin saya. Kamu bisa kerokan, 'kan?""Hah?" Mulut Aluna menganga lebar. Rupanya dia salah paham dengan permintaan menginap Dirga.Aluna menelan saliva saat pria itu meloloskan kemeja putih dari tubuh atletisnya. Dirga sudah duduk membelakangi Aluna. Menyodorkan punggung putih mulus tersebut untuk mendapatkan terapi dari sang pacar rahasia. "Aku mulai, ya, Om."Aluna membalur minyak angin yang baru dia beli beberapa saat lalu pada punggung Dirga. Secara perlahan ia mengolesi minyak angin agar terbalur dengan rata. Tanpa Aluna sadari sentuhan lembut yang dia lakukan menimbulkan desiran asing pada aliran darah pria itu.. "Kalau sakit bilang, ya."Dirga mengangguk paham dan Aluna mulai mengerok punggung sang CEO dengan koin. Garis merah kini menghiasi punggung Dirga. Pria itu benar-benar sedang sakit. "Istri saya sudah mengakui kalau dia selingkuh. Kami berdua bertengkar."Aluna berhenti sejenak saat Dirga membuka suara. Pria itu tiba-tiba saja menceritakan permasalahannya dengan sang istri. Aluna tidak menanggapi, dia kembali mengerok punggung Dirga. "Sampai saat ini, kami belum dikaruniai seorang anak. Dia men
Sudah cukup lama Dirga berdiri di depan pintu kamar mandi. Menggedor secara berulang sambil memanggil nama Aluna. Hampir satu jam Aluna berada di dalam dan sampai saat ini gadis itu masih enggan keluar. "Teman saya sudah pulang. Apa kamu nggak bosan diam di dalam terus?""Sebentar lagi, Om," teriak Aluna dari dalam. "Kamu lagi ngapain, sih? Udah satu jam kamu di dalam."Dirga mendengus, semua ini gara-gara Bagas. Gadis itu pasti malu setengah mati karena kepergok hendak berbuat mesum. Sekali lagi Dirga mengetuk pintu, membujuk Aluna agar keluar dari sana. "Saya hitung sampai tiga. Kalau tidak keluar, saya dobrak pintunya." Dirga mulai berhitung. "Satu … dua … ti …."Handle pintu bergerak, Aluna perlahan membuka pintu kamar mandi dengan wajah tertunduk. Sumpah demi apa wajahnya kini sudah semerah tomat. Aluna berharap jika saat ini dia menjadi butiran debu saja yang tertiup hembusan angin. Dia tidak punya muka untuk menatap wajah Dirga saat ini. "Jalan-jalan, yuk. Saya bosan."Sat
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa malam sudah tiba. Aluna dan Dirga tengah duduk berhadapan menunggu pesanan mereka datang. Seharian bermain di pantai ternyata menyenangkan dan cukup menguras energi. Mereka tengah makan malam berdua di salah satu restoran yang ada di kawasan pantai Ancol. "Bagaimana laptopnya, sudah kamu coba?" "Sudah. Bagus, Om. Terima kasih. Saya tinggal pindahin semua filenya." Aluna nampak sumringah. "Papi, Papi Dirga. Jangan panggil Om lagi, oke!" Dirga mengingatkan. "Iya, Papi."Dirga tersenyum melihat sikap patuh Aluna. Tidak pernah sekalipun gadis itu menolak apapun yang Dirga minta. Jika diperhatikan lebih teliti lagi, Aluna cukup cantik, tidak kalah cantik dengan Mayang semasa muda dulu. Gadis berpenampilan sederhana itu terlihat menggemaskan dengan kedua lesung pipi. Menambah kesan manis apalagi ketika Aluna sedang tersenyum."Bagaimana kabar pria itu? Pria yang dijodohin sama kamu itu, apa dia datang lagi?" Dirga kembali membuka percakapan."Nggak
Dirga berjalan cepat setelah sampai di rumah sakit yang dituju. Setelah beberapa saat akhirnya Dirga sampai di ruangan tempat Mayang dirawat. Terlihat sang istri tengah terbaring dengan tangan di gips dan perban di kepala. "Mayang, kamu baik-baik saja? Kenapa bisa seperti ini?"Dirga sudah tidak bisa membendung lagi perasaan khawatir. Meraih sebuah kursi yang ada di sana, Dirga segera mengambil tempat di samping ranjang milik Mayang. Pria itu meraih tangan sang istri lalu mengusap punggung tangan mulus itu dengan lembut. "Pak Ilham tadi mengantuk. Jadi, ya gitu, deh. Seperti yang kamu lihat sekarang."Mayang sama sekali tidak berminat melihat kehadiran Dirga. Andai saja sebelah tangannya tidak di gips, mungkin dia akan mengambil posisi memunggungi sang suami. Meski mendapat perlakuan dingin dari sang istri, Dirga tetap berusaha memasang senyum dihadapan wanita terkasihnya. "Kamu udah makan? Mau aku belikan sesuatu?" bujuk Dirga. "Tidak usah. Aku nggak lapar," jawab Mayang seperlun
"Sudah sadar, Bro? Syukurlah."Bagas yang baru saja membuka curtain jendela bernapas lega saat melihat sang sahabat sudah sadarkan diri. Bagas berbalik, terlihat Dirga sedang membenahi posisi bersandar di punggung ranjang seraya mengurut pelipis. Melihat itu Bagas langsung mengambil segelas air kemudian memberikannya kepada Dirga. "Ini, Bro. Diminum dulu. Pak Bos kalau lagi patah hati nyusahin," keluh Bagas. "Terima kasih."Air tersebut habis dalam sekali teguk, pria itu kemudian menaruh gelas kosong tersebut di atas nakas. Dirga kembali bersandar, kepalanya masih terasa pusing. Mungkin ini akibat karena dia mabuk semalam. "Kamu yang antar saya balik ke apartemen, Gas?" tanya Dirga. "Menurutmu, siapa lagi?" cebik Bagas. Pria itu melipat tangan di dada. "Untung aja aku aktifin GPS, kalau nggak kamu bakal habis digerayangi sama cewek-cewek gatel disana." Bagas terlihat kesal. "Kamu kenapa, Bro? Ada masalah?"Dirga terlihat menghela napas, kejadian semalam masih teringat jelas dalam
Aluna dan Rere terlihat tergesa. Bagaimana tidak, hari ini si dosen killer mengajar di jam pertama dan mereka sudah terlambat lima menit. Salahkan Aluna yang bangun kesiangan. Bahkan mereka berdua tidak mandi, hanya gosok gigi setelah itu memakai minyak wangi yang banyak agar bau tubuh mereka tersamarkan. "Loh?"Keduanya melongo, kelas ternyata belum dimulai. Aluna dan Rere lekas duduk di bangku masing-masing. Dengan napas terengah Aluna menyandarkan tubuhnya di punggung kursi, detik selanjutnya dia mulai mengeluarkan buku catatan di atas laptop yang ditaruh di atas meja. "Wow!!"Salah satu mahasiswi berjalan menuju tempat duduk Aluna dengan mulut menganga. Aluna memicingkan mata, terlebih saat mahasiswi itu meraih laptop Aluna. Memutar-mutar benda tersebut, memastikan jika ia tidak salah lihat. "Nggak salah, Lun? Ini punya kamu?" tanya mahasiswi yang bernama Rosi. "Iya, memangnya kenapa?" "Dapat uang darimana kamu? Jual diri, ya? Ini 'kan laptop keluaran terbaru. Aku aja nggak m
"Pelan-pelan! Nanti kita bisa jatuh!"Aluna tak peduli, dia terus bergegas menarik Dirga dari area kampus. Jangan sampai teman-temannya tahu ada pria tua yang datang menemui Aluna. Dia akan semakin dicap wanita nakal oleh seluruh mahasiswa."Ngapain Papi kesini? Kenapa tidak menelponku terlebih dahulu?"Gadis itu mendengus kesal, mereka berdua sudah berada di luar area kampus. Hari ini moodnya sudah rusak karena ulah Rosi dan kedatangan Dirga ke kampus semakin memperburuk suasana hati Aluna. Menarik napas dalam, Aluna mencoba menetralkan gemuruh di dada."Seperti yang saya bilang tadi, kita jalan-jalan," ucap Dirga."Harusnya Papi kabarin aku dulu. Lagipula ini jam masuk kelas. Papi nggak bisa seenaknya datang sesuka hati Papi. Aku juga punya kehidupan," cerocosnya. "Saya yang akan minta izin sama dosen kamu. Kamu nggak perlu khawatir.""Bukan begitu maksudku. Astaga …."Menepuk keningnya sendiri, Aluna tidak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki yang sudah memasuki usia kepala tig
Meeting selesai setelah menghabiskan waktu selama hampir dua jam. Pertemuannya dengan relasi baru berjalan dengan baik, Dirga memenangkan tender besar dengan jumlah keuntungan yang tidak main-main. Dirga selalu seperti itu, setiap menghadapi persaingan dia selalu memenangkannya. Tidak salah jika dia dijuluki raja tender oleh semua relasinya. "Good job, Bro!" Bagas bertepuk bangga. Mereka sedang membereskan sisa pekerjaan hari ini. "Itu juga berkat kamu, Gas. Aku percayakan proyek yang ada disini sama kamu. Kamu sanggup, 'kan?" tanyanya yang sudah selesai memeriksa semua proposal. "Percayakan padaku, Bro. Kaki tanganmu ini akan bekerja dengan baik."Dirga tersenyum, setelah selesai dengan semua urusan Bagas pamit keluar ruangan. Sementara Dirga segera meraih ponselnya. Dia hendak menghubungi orang rumah. "Halo, Bi Sum. Apa dia masih ada di rumah?" tanya Dirga to the point. "Iya, Tuan. Nyonya masih di dalam kamar. Nyonya terus berteriak ingin keluar. Apa perlu saya bukakan pintunya