Share

Bertemu Sena

Risa membuka pintu kamar adiknya. Dia mendengar Rayna berteriak histeris, memanggil-manggil nama Gama.

"Siapa Gama?" tanya Risa yang terlihat panik melihat adiknya.

"Gama," lirih Rayna lagi masih mengatur nafasnya.

"Minum dulu," Risa menyodorkan gelas berisi air putih kepada adiknya, yang baru saja terbangun dari tidurnya.

"Mimpi apa kamu? Sampai kaget begitu? Apa kamu mimpi ketemu mantan?" tanya Risa sedikit meledek adiknya yang baru saja mengerjapkan matanya itu.

"Kakak," lirih Rayna dan kembali memeluk kakaknya.

"Udah dong, manjanya. Kamu sudah berumur dua puluh lima tahun, loh. Malu di lihat ayam sama kucing di belakang rumah," timpal Risa yang dipukul kasar oleh Rayna.

"Kakak nggak ada perhatiannya sama adik sendiri. Sejak kemarin, terus saja meledek," gerutu Rayna terlihat kesal.

Risa memenangkan adiknya. Kini keduanya duduk manis di tepi ranjang dan saling berbincang. Rayna, mulai menceritakan semua masalahnya kepada kakaknya. Wanita dua puluh lima tahun itu mulai berkeluh-kesah mengenai hubungannya bersama Gama yang kandas di tenga jalan. Suasana keduanya kembali mencair. Gelak tawa Rayna dan Risa, membuat ibu yang saat ini sudah terlelap menjadi bangun.

"Kalian ini kenapa, sih? Lihat jam berapa sekarang?" tanya ibunya yang masuk kedalam kamar Rayna, karena mendengar suara ribut dari kedua putrinya.

"Ini, Bu. Rayna. Jam segini sudah mengigau mantannya," sahut Risa, membuat ibu menggeleng.

"Kalian ini, sekarang ayo kita tidur lagi. Masih malam, nih," titah ibu dan pergi meninggalkan kamar Rayna.

"Kenapa Kakak, nggak ikut keluar sekalian," ketus Rayna.

"Oh ... jadi pengen Kakak keluar, nih," ledek Risa.

"Huh," ketus Rayna, yang kini sudah kembali berbaring di kasurnya.

"Baiklah, kalau begitu. Kakak keluar dulu. Ingat! Mantan itu dibuang, jangan disimpan!" sindir Risa lagi.

Rayna tidak mau membalas sindiran dari kakaknya. Dia lebih memilih diam tanpa harus merespon kakaknya yang suka sekali mengganggunya itu.

Risa hanya tersenyum dan menggeleng. Dia masih belum percaya, kalau adiknya itu sudah pacaran. Sifatnya yang kekanak-kanakan, serta manja, membuat Risa tidak yakin kalau Rayna berani pacaran.

Tidak terasa, pagi kembali menyapa kediaman Rayna dan keluarganya. Terlihat Risa sudah bersiap-siap untuk pergi ke toko butiknya. 

"Ayah, Ibu. Risa berangkat dulu," ucap Risa sambil mencium pipi kedua orang tuanya.

"Jadi, hanya Ayah dan Ibu aja nih, yang di cium," ketus Rayna yang saat ini masih berdiri di tepi tangga.

"Kamu baru bangun, belum mandi. Siapa juga yang sudi mencium," sambung Risa dan pergi melewati Rayna.

"Hah, dasar. Kakak nggak punya akhlak!" teriak Rayna.

"Eh, Rayna. Sekarang cuci muka dulu dan kita sarapan bareng, yuk," ucap Ibu kepada putri bungsunya itu.

"seperti apa sih, calon suaminya Kakak, Bu?" tanya Rayna yang kini memeluk ibunya.

"Mandi dulu, Rayna. Bau nih," sambung ayah yang berada di samping ibunya.

"Ayah pelit banget sih, ngasih informasi. Setidaknya Rayna bisa menilai, seperti apa calon Kakak iparku itu," rengek Rayna, membuat ibu dan ayahnya terkekeh.

"Makanya, semalam harusnya kamu ikut. Pasti nggak akan nyesel. Karena, calon Kakak iparmu itu, nyaris sempurna," sambung ayah, membuat Rayna semakin penasaran.

"Dia sudah bekerja, atau pengangguran?" tanya Rayna lagi.

"Ngawur kamu, Na. Dia seorang dosen tau!" tegas Ibu, membuat Rayna tercengang sejenak.

"Dosen?" 

"Iya, dia seorang dosen yang tampan, sopan dan berkharisma. Nggak nyesel deh pokoknya, kakakmu dapat, Nak Praga," sambung ibu sedikit menjelaskan.

Rayna sedikit lebih lega, karena nama pria itu bukan Gama.

"Kenapa?" tanya ibu penasaran.

"Nggak, Rayna hanya berpikir aja. Bagaimana rasanya punya Kakak ipar seorang dosen." jawab Rayna dengan senyum kecut di bibirnya.

Setelah lama berbincang, Rayna pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Dia akan bertemu dengan Sena, siang ini. Sahabat semasa kuliah yang selalu membuatnya tertawa itu, tiba-tiba menghubunginya kembali, setelah hampir dua tahun mereka kehilangan kontak. Saat itu Sena sakit hati karena Rayna memilih menjadi kekasih dosennya, ketimbang dia. Rasa cinta yang terpendam itu, tidak pernah di balas oleh Rayna.

"Loh, kamu kok sudah dandan cantik?" tanya ibu kepada putri bungsunya.

"Maaf, Bu. Rayna mau keluar sebentar, bertemu teman." 

"Teman? Cowok atau cewek?" tanya ibu lagi.

"Cowok," lirih Rayna.

"Cie ...."

"Sena, Bu. Urusan pekerjaan," sambung Rayna menatap malas pada wajah aneh ibunya.

"Oh, Sena. Tumben? Lama banget loh, anak itu nggak main ke sini," ucap Ibu santai.

"Kenapa? Kangen?" tanya Rayna yang sudah menenteng tasnya.

"Dia anak laki-laki idaman. Sudah ganteng, enerjik, rajin lagi."

"Jangan mulai deh, Bu," ketus Rayna yang langsung mencium kedua pipi ibunya dan pergi.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan dari Sena, membuat Rayna melengos kesal.

"Apa?"  jawab Rayna.

"Dimana? Aku sudah sampai, nih?" tanya Sena.

"Lagi dijalan, nih. Sabar dikit napa," ketus Rayna dan mengakhiri panggilannya.

Tidak lama, sampailah Rayna di lokasi. Dengan santai, wanita cantik itu berjalan menyusuri meja yang ada di sekeliling kafe. Terlihat, pria tampan dan manis, tersenyum padanya.

"Hai!" sapa Sena dari kejauhan, sambil melambaikan tangannya.

Segera Rayna berjalan menghampiri Sena. Wajahnya tak pernah berubah. Sena masih yerkibat ramah dan mempesona. Sayang, Rayna tidak pernah peka akan cinta sahabatnya itu.

"Nunggu lama, ya?" tanya Rayna.

"Lumayan, tapi belum jamuran, sih," sahut Sena dengan senyum manis menyungging di bibirnya.

"Kamu sudah pesan makanan belum?" tanya Rayna lagi.

"Belum, masih nungguin kamu."

"Ish, dasar!" gertak Rayna memukul pundak temannya itu.

"Sini, aku tulis. Mau pesan apa kamu?" tanya Sena yang sudah memegang buku menu.

"Hmm ... apa, ya?" 

"Cappucino dingin?" 

"Kok tahu," jawab Rayna sambil terkekeh.

"Kita kenal nggak cuma setahun dua tahun, Na. Delapan semester," jawab Sena dengan bangga.

"Halah, kamu ini!" Sena terus terkekeh melihat wajah cantik temannya itu.

"Setelah kelulusan itu, kamu kerja di mana? Perusahaan, Bokap mu?" tanya Rayna.

"Hm, kemana lagi. Aku males sudah lanjut S2," jawab Sena.

"Lagian, siapa yang mau kasih nilai orang tidur," sambung Rayna.

"Terus, sekarang aku masuk di bagian apa, nih?" tanya Rayna lagi terlihat sangat serius.

"Hmm, oke. Karena aku sekarang menjabat sebagai kepala bagian, jadi ... kamu aku angkat menjadi sekretaris pribadiku. Gimana?" tanya Sena.

"Sena!!!" teriak Rayna langsung memukul pundak pria tampan dan manis itu.

"Stop! Stop!" teriak Sena menghentikan kebrutalan temannya itu.

"Kamu kesurupan?" tanya Sena yang mengusap sakit pundaknya.

"Aku selalu serius, tapi kamu nggak pernah serius, Sena!" gertak Rayna lagi.

"Aku bukan saja serius, Na. Tapi, dobel serius!" tegas Sena menatap tajam dua bola mata Rayna.

"Jadi, ini beneran," lirih Rayna.

"Sejak kamu kenal aku. Kapan aku pernah berbohong?" tanya Sena membuat Rayna berpikir.

"Kayaknya belum pernah," sahut Rayna.

"Nah, jadi ... kualitasku sudah teruji, kan," ucap Sena lagi dengan tatapan mautnya.

"Ish, jangan tatap aku seperti itu, Sena," ucap Rayna terlihat sedikit malu.

"Kamu masih tetap cantik seperti pertama kita bertemu. Apakah kamu masih pacaran dengan dosen galak itu?" tanya Sena, kembali mengingatkan sakit hatinya.

"Nggak usah bahas dia lagi," ketus Rayna.

"Kenapa? Bukannya hubungan kalian baik-baik saja. Saat itu, aku nggak percaya loh, kalau dosen seganteng dan segalak Pak Gama, mau memacari kamu yang sableng ini," sambung Sena, menambah kesal Rayna.

"Apa kamu bilang? Aku sableng?" bisik Rayna, memasang wajah tajam pada Sena.

"Nggak, maksudku anu ... anu ... itu__"

"Nggak usah anu ... ini ... inu, Sena. Ngomong yang jelas!" gertak Rayna lagi.

"Eh, bukannya itu?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status