Share

BAB 7 A

PAPA MUDA 7 A

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Kehidupan yang terajut benang penuh kehitaman bisa menyisakan kekhawatiran tanpa ujung. Apalagi bias hasrat memulai hubungan baru tidak kunjung berpendar setelah lima tahun lamanya. Entah karena masih sakit atau cinta itu telah terkikis dan menyempit, tidak ada yang tahu. 

Wanita yang memilih menemani perjalanan sang anak hingga detik ini perlahan mendekat ke arah dua manusia beda usia di depannya. Ia memutuskan untuk membiarkan keadaan bisa merayu waktu supaya perasaan itu lekas bersemayam. 

"Gala, Sayang ... Nenek ke ruangan papamu dulu ya? Kalau udah selesai nanti nyusul aja," ucapnya seakan memberi ruang pada cucunya untuk menikmati kebersamaan dengan orang baru. 

Gala menjawab tanpa melepaskan krayon di tangan, "iya, Nek. Nanti kalau udah selesai, Gala ke ruangan Papa." 

Sang nenek tersenyum. Cucunya itu memang istimewa. Meski terlahir dari usia wanita belum matang secara mental, tetapi ia bisa tumbuh menjadi anak yang baik dan cerdas. Hal itu terbukti akan sikapnya yang cepat akrab dengan orang lain. Belum lagi hampir tidak pernah membahas wanita yang melahirkannya. Ya, kecuali beberapa hari yang lalu. Entah sebab apa bibir mungilnya bertanya tentang keberadaan Arista—wanita yang melahirkan sekaligus meninggalkannya. 

Ketika Gala kembali menatap gambar keluarga yang sempurna, sang nenek melirik wanita di sebelah cucunya. Wajahnya terlihat masih muda, auranya pun seakan mencintai dunia anak.

"Maaf, Mbak ... tolong jaga Gala sampai mewarnai gambarnya selesai ya? Nanti biar saya yang bilang sama Alsaki kalau kamu terlambat kerjanya. Kalau boleh tahu nama kamu siapa? Sepertinya karyawan baru," ujar wanita yang mulai menumbuhkan kagum disertai penasaran.

Dyra menghentikan sejenak fokusnya pada anak kecil di sebelah, lalu berbalik menatap wanita yang tidak lain ibu dari Alsaki—pemilik Gala Cell tempatnya bekerja. 

"Nama saya Andyra Arsha, Tante ... insyaallah akan saya jaga sampai selesai mewarnai. Terima kasih sudah mengizinkan keterlambatan saya pada Mas Al," jawabnya sembari menunduk sebagai bentuk rasa hormat.

"Sama-sama. Sebelumnya saya juga terima kasih. Kalau begitu saya tinggal," ujarnya begitu sopan, lalu berbalik dan melangkah meninggalkan keduanya. 

Sebagai ibu yang mengetahui sifat anaknya, ia tidak tahu jika Alsaki menerima karyawan baru seorang wanita. Karena selama ini hanya ada dua karyawan pria yang membantu pekerjaannya. Namun, ia tidak ingin terlalu ikut campur urusan konter. Baginya Alsaki cukup pandai mengelola hingga detik ini. 

"Apa dia ingin suasana baru di sini, hingga menerima karyawan wanita muda? Sepertinya masih bebas juga. Apa jangan-jangan ... sudah meniatkan menikah dan melupakan Arista?" tanyanya dalam hati sembari melangkah maju hingga sampai ke depan ruangan Alsaki—anaknya. 

Tanpa mengetuk pintu, wanita yang memiliki andil dalam pencapaian saat ini masuk ruangan begitu saja. Ia dapat melihat anaknya tengah sibuk menatap lembaran kertas di meja. Mungkin sedang mencocokkan jumlah barang dan pengeluaran. 

"Siang, Al ... masih sibuk, kah? Ibu datang sama Gala. Katanya ingin main ke sini," sapanya langsung memberi kode kedatangannya. 

Pria yang kini memiliki tanggung jawab besar di pundaknya menoleh, menatap wanita yang begitu diliputi rasa sabar mau berbagi merawat  Gala—anaknya. Kedatangan mereka berdua di konter hampir setiap hari, membuat Alsaki bisa memantau perkembangan anaknya lebih mudah.

"Ibu ke sini sama Gala? Terus Gala mana? Kok, hanya Ibu yang masuk?" tanyanya tanpa henti karena tidak melihat Gala di sebelah ibunya. 

Sang ibu memilih duduk di sofa yang tersedia khusus dalam ruangan. Alsaki memang sengaja menata ruangannya untuk bersantai dan serius sekaligus. Hal itu dikarenakan Gala kerap menghabiskan waktunya di konter untuk menemani bekerja hingga sore menyapa. Berbagai kegiatan dari tangan kecilnya kadang mampu menghasilkan karya seni indah sesuai usianya. Meski berantakan tapi cukup memberi hiburan.

"Kamu tenang saja. Gala lagi mewarnai di dekat taman belakang sama Dyra. Kok, kamu tidak cerita kalau ada karyawan baru. Wanita dan masih muda lagi. Kamu tahu, Al ... dia gampang sekali akrab dengan Gala. Katanya Dyra itu Tante teman sekolahnya. Ibu mau kamu nanti tidak marah kalau dia datang terlambat. Kamu tahu sendiri kalau Gala sudah memegang krayon," cerita sang ibu dengan wajah berseri layaknya lampu yang telah menemukan pijar. Bahkan hasrat untuk meminta mencari pengganti Arista kembali menggebu mengacak pikiran. 

Alsaki menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tetapi kepalanya masih belum menangkap pertanyaan sang ibu mengarah ke mana. Tidak ada salahnya menambah karyawan satu lagi dan seorang wanita. Bukan kebetulan juga jika wanita itu adalah Dyra—tantenya Cantika— teman sekolah anaknya. Akan tetapi, tentang anaknya yang bisa bergaul dengan orang baru menarik pikiran untuk membahas lebih lanjut. 

"Maksud Ibu apa? Gala lagi sama Dyra?" tanya Alsaki seolah menyelidik kebenaran itu. Akalnya masih berpikir bagaimana mungkin Gala bisa akrab secepat itu dengan orang baru. Padahal biasanya butuh waktu. "Apa karena Dyra itu tantenya Cantika? Cantika, kan, teman sekolahnya. Otomatis Gala pasti sering bertemu dengannya," pikirnya dalam hati. 

Wanita yang sempat mengutarakan keinginannya memiliki menantu kedua kali tersenyum manis. Entah kenapa rasa mengungkapkan isi hati menyeruak lagi tanpa bisa dibendung lebih lama. Dengan  menarik napas dalam, ia menatap lekat anak lelakinya. 

"Al ... Dyra itu cantik, masih muda. Bisa akrab sama Gala lagi. Apa kamu tidak ingin menjadikan Dyra sebagai istri dan mama untuk anakmu? Ibu rasa dia wanita yang mengerti tugasnya jika menikah nanti. Menikahlah, Al ... apa kamu tidak pernah berpikir kalau Gala masih membutuhkan sosok mama?" ucap sang ibu terdengar begitu serius. Ia tidak peduli lagi akan mendapat penolakan bertubi-tubi seperti sebelumnya. Karena kenyataannya memang Gala—cucu kesayangannya masih membutuhkan sosok wanita bergelar mama.

Pria yang masih ingin hidup sendiri itu menelan ludahnya susah payah. Ternyata wanita di depannya begitu kekeh meminta mama pengganti untuk Gala—anaknya. Namun, seluruh hatinya masih dikuasi sakit yang membuat akalnya menepi dari urusan cinta. Bukan tidak ingin mencari, tetapi ada trauma karena luka ditinggal pergi lima tahun lalu masih membayangi bagaikan mimpi buruk. 

Apalagi Dyra masih muda. Ia pasti punya banyak mimpi yang ingin digapai, persis seperti Arista dulu. Ia tidak mau terluka kedua kali karena melepas cinta yang tidak ingin tinggal. Bukankah hanya sakit jika menahan orang yang kita cintai? Lagipula belum tentu Dyra memiliki perasaan untuknya ketika waktu baru mempertemukan beberapa kali. 

"Sudahlah, Bu ... jangan bahas tentang ini. Sakit itu masih terasa ketika dia dengan tega memilih pergi hanya untuk menjadi penulis. Bahkan berbalik pun enggan saat aku memohon. Dyra tidak ada hubungannya dengan semua ini. Jangan bawa-bawa dia. Semisal pun takdir memanahkan cinta di sini, aku akan berpikir puluhan kali untuk memintanya. Karena menjadi mama pengganti itu tidak semudah membalikkan telapak tangan." Alsaki berusaha mematahkan impian sang ibu yang belum terlanjur tinggi.

Ia tidak ingin berharap banyak dari hubungan yang belum jelas akan berakhir seperti apa dan ke mana. Lagian hubungan yang ada dengan Dyra masih sebatas atasan dan karyawan. Masih terlalu jauh jika sudah berbicara cinta di awal. Walau tidak memungkiri sempat ada kagum saat pertama kali bertemu. 

-------***------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status