Share

BAB 6 B

PAPA MUDA 6 B

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Entah kenapa ada perasaan tidak enak mendengar permintaan cucunya. Tidak biasanya Gala berseri keras meminta sesuatu. Ia pun diam-diam memperhatikan wanita yang tengah menikmati makan siangnya. 

"Masih muda. Dari cara bersikap sepertinya menyukai anak-anak. Tapi, kenapa baru lihat sekarang? Apa Alsaki mencari karyawan baru?" tebaknya lagi dan lagi. 

Wanita yang memberi perhatian sejak kecil pada sang cucu kembali mengulum senyum, lalu membelai kepala dan pipi mungil bocah di depannya. "Sayang ... dengerin Nenek. Tante itu di sini kerja. Bukan untuk main. Kita ke tempat Papa aja ya?" rayunya lagi dengan suara begitu lembut. 

Seketika wajah Gala tertunduk lesu. Ia merasa tidak bisa bermain dengan orang selain Papa dan neneknya. Namun, sikapnya mengiakan ucapan yang didengarnya. 

Ketika dua manusia beda usia itu hendak melangkah, satu ucapan berhasil menghentikan mereka. Dyra yang diam-diam mencuri dengar percakapan mereka merasa kasian. Ia mendadak teringat Cantika—ponakannya yang kerap merajuk seperti itu. 

"Maaf, Bu ... kalau boleh, saya bersedia mengajak Gala bermain sebentar. Waktu saya masih ada sepuluh menit. Mungkin dia memang butuh sesuatu yang baru." Ucapan Dyra sukses membuat keduanya berbalik dengan wajah menegang. Heran. 

Seketika Gala merekahkan bibirnya, mendekat dan memeluk wanita yang pernah ditemuinya di sekolah. Ada binar bahagia terpancar dari matanya bisa berinteraksi dengan orang lain selain Papa dan neneknya. 

"Hore ...! Beneran, Tante, mau main sama Gala?" tanyanya lagi memastikan. 

"Bener dong ... tapi nggak bisa lama. Soalnya bentar lagi mau kerja. Oh, ya, satu lagi ... jangan panggil Tante, ya ... berasa jadi tua. Padahal belum menikah," pinta Dyra dengan senyum begitu manis mengalahkan kismis. 

Bocah yang wajahnya kembali ceria tiba-tiba menempelkan telunjuk di bibirnya sendiri. Seakan tengah berpikir layaknya orang dewasa. "Em ... Gala panggil Kakak aja ya?" ujarnya sembari menatap wanita yang menurutnya cantik dan baik.

"Boleh. Mau main apa?" 

"Kalau bantuin mewarnai gimana, Kak? Gala ada tugas sekolah mewarnai gambar keluarga. Tapi, bingung mau warna apa untuk gambar Mama," jawabnya dengan wajah menunduk. Terlihat jelas ada kesedihan di sana.

Dyra mengerutkan dahinya. Ia berpikir pemilik Gala Cell adalah suami idaman bagi keluarganya, tetapi sorot bocah di depannya tidak mengatakan demikian. Hal itu mengundang kesimpulan yang tidak-tidak dalam kepala. Meskipun memulai ikatan suci dari usia muda bukan menjadi alasan untuk memberi mendung di mata anaknya. 

Wanita yang mulai termakan asumsi mencoba membelai lembut pipi Gala dan tersenyum manis sebelum meluncurkan satu pertanyaan. "Gala, Sayang ... kok, bingung mau kasih warna apa untuk Mama? Bukankah setiap hari selalu ada untukmu?" tanya Dyra dengan nada selembut mungkin agar bocah di depannya tidak terluka. 

Gala menggeleng, "Gala tidak tahu punya Mama atau nggak. Papa nggak pernah menunjukkan gambarnya. Selama ini, Gala hanya tahu Papa sama Nenek aja. Juga Kakek," jawabnya jujur. Matanya pun seakan berubah menjadi sungai air mata. 

Dyra seketika menelan ludahnya sendiri. Pikirannya benar-benar tidak bisa mencerna ucapan bocah di depannya. "Apa maksudnya Alsaki, duda? Duda di usia muda? Tapi, dia bilang nikah usia muda. Bukankah hidup mereka harusnya berlipat bahagia bisa memiliki anak seaktif Gala?" tanyanya dalam hati tanpa henti.

Ucapan Gala berhasil membuat kewarasan seorang Andyra Arsha menghilang tertelan pikirannya sendiri. Namun, wajah polos di depannya menyadarkan akalnya. 

"Ya udah. Gala nggak usah sedih. Gimana kalau warna bajunya sama kayak punya Kakak? Anggap aja Kakak ini seperti Mama yang tidak pernah diceritakan oleh papamu. Coba pewarna sama gambarnya keluarkan. Kita warnai sama-sama. Gimana?" usulnya yang tanpa henti membelai kepala Gala dengan penuh kasih. 

Entah kenapa simpatinya langsung terangsang akan nasib bocah seperti Gala. Selama dirinya membantu sang kakak merawat Cantika, ia bisa banyak belajar menjadi seorang ibu. Sayang, seusia Gala tidak pernah merasakan tangan kuat itu memberikan ketenangan bersama sentuhannya. Ia merasa beruntung bisa dilahirkan dari orang tua yang lengkap dan penuh kasih sayang. Bahkan sang kakak tidak keberatan turun tangan memberi uang jajan kala pekerjaan menjadi bunga tidur baginya. Menjaga Cantika tidak sebanding dengan kebaikannya. 

"Semoga kamu tumbuh menjadi lelaki hebat," doanya dalam hati, lalu menerima pewarna yang disodorkan Gala. Keduanya larut dalam kebersamaan kecil yang mungkin memberikan efek besar pada keadaan mental bocah di sebelahnya. Senyum keduanya seakan begitu tulus dan murni, tanpa dibuat-buat apalagi direkayasa. Karena seorang anak akan lebih peka dan nyaman dengan orang-orang yang memiliki hati baik. 

Sang nenek yang melihat adegan di depan matanya hanya bisa menitikan air mata. Ia tidak menyangka kalau Gala bisa akrab begitu mudah dengan orang lain. Banyak kata andai tiba-tiba datang layaknya angin puting beliung yang menyapu bersih rasa khawatirnya. 

"Haruskah aku menjodohkan mereka? Tapi, akankah wanita itu mau menerima Alsaki yang pernah memiliki masa kelam? Mungkin aku harus merayunya. Atau membiarkan keadaan mendekatkan mereka?"

------***------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status