Home / Romansa / PAWANG HATI SANG TUAN MUDA / BAB. 1 Permainan Panas Di Pagi Hari

Share

PAWANG HATI SANG TUAN MUDA
PAWANG HATI SANG TUAN MUDA
Author: Zemira Fortunatus

BAB. 1 Permainan Panas Di Pagi Hari

last update Last Updated: 2025-07-30 22:25:05

Pagi itu, matahari baru saja terbit di Kota San Francisco, sinar hangatnya menembus tirai-tirai jendela perumahan yang tenang di salah satu sudut kota. Di dalam rumah besar bergaya modern tersebut, suasana sibuk dan penuh aktivitas. Anggota keluarga besar ini sedang bersiap-siap untuk kembali ke Indonesia setelah beberapa waktu menghabiskan waktu bersama di Amerika.

Tuan dan Nyonya Brett menginginkan kedua putra kembar mereka untuk kembali ke tanah air setelah menyelesaikan pendidikan S2 di Stanford University. Raynard dan Rayner Brett diharapkan akan menjadi penerus kerajaan bisnis sang ayah yang telah berkembang pesat di Kota Jakarta, Indonesia.

Di lantai bawah rumah megah itu, Mommy Olivia terdengar sibuk memberikan perintah, memastikan semua orang siap untuk berangkat.

"Raynard, jangan lupa koper yang ada di kamarmu, dan tolong bantu Daddy Zay untuk membawa barang-barang ke dalam mobil!" Suara Mommy Olivia bergema dari dapur, membuat Raynard yang tengah melangkah ke ruang tamu hanya mengangguk, tanpa berniat menolak. Pria tampan itu sepertinya sudah terbiasa dengan perintah tegas ibunya.

Daddy Zay, pria paruh baya dengan rambut yang mulai beruban namun masih tampak gagah, sibuk mengatur koper-koper di dekat pintu depan. Dia memeriksa kembali tiket pesawat dan paspor mereka di tas tangannya. Sementara itu, Raynard, yang adalah saudara kembar Rayner, terlihat sedikit jengkel, matanya terus menoleh ke arah tangga.

"Mana Rayner? Masih di dalam kamar? Gila tuh anak! Ngapain dia dan Deborah nggak keluar juga dari kamar?" gumamnya pada dirinya sendiri, pria itu berjalan mendekat ke tangga, seraya melihat ke atas. Namun tanda-tanda sang adik kembarnya dan istrinya masih belum kelihatan juga.

Sementara di lantai atas, suasana sangat berbeda. Di balik pintu kamar yang tertutup rapat, Rayner dan Deborah, sepasang suami istri yang terus dipenuhi kebahagiaan karena saling mencintai, terlihat sedang larut dalam momen intim mereka. Keduanya seolah-olah lupa dengan kepulangan ke Indonesia yang sudah semakin dekat. Rayner dan Deborah malah semakin tenggelam dalam permainan hasrat yang sudah lama mereka nantikan.

“Sayang! Aku mau keluar,” ujar Rayner semakin mempercepat laju goyangannya.

Hingga di suatu ketika, keduanya sama-sama mencapai puncak nirwana.

“Argghh!”

“Akh!”

Namun sepertinya sang pria tampan tersebut masih belum puas juga. Rayner masih berbaring di ranjang besar itu, kulitnya bersentuhan dengan seprai putih bersih. Matanya langsung tertuju pada Deborah yang sedang duduk di sampingnya. Dia pun mulai tersenyum nakal. Lalu kembali menarik istrinya lebih dekat, mencium lehernya dengan lembut, yang membuat Deborah menggelitik manja.

"Rey, Sayang. Kita ... kita harus siap-siap. Semua orang pasti sedang menunggu kita," ucap Deborah setengah berbisik, suaranya serak karena mulai terbuai godaan dari suaminya.

Rayner tertawa pelan, tangannya masih melingkar di pinggang istrinya.

"He-he-he. Kita masih punya waktu, Sayang. Lagi pula, ini pagi terakhir kita di sini. Aku ingin memanfaatkan setiap detiknya bersamamu, Cintaku."

Deborah tersenyum mendengar jawaban suaminya. Dia lalu membelai wajah Rayner, matanya menatap dalam-dalam, sebelum mencium bibirnya. Ciuman mereka semakin membelit bibir keduanya, seakan-akan tak ada yang bisa mengganggu momen indah itu. Kedua tubuh mereka menyatu, memenuhi kamar dengan kehangatan yang tak tertahankan.

Deborah semakin kacau saat Rayner mulai menyedot kedua bukit kembarnya dengan mulutnya yang lihai sambil membelai pucuk pink kecoklatan itu dengan lidahnya.

“Rey, Sayang! Ah …! Sshhh!” desisnya mulai terbawa hasrat permainan panas suaminya.

Namun, dari luar kamar mulai terdengar suara teriakan Mommy Olivia yang semakin keras.

"Rayner! Deborah! Kalian berdua belum siap juga? Pesawat kita berangkat tiga jam lagi! Ayo cepat turun!"

Deborah berhenti sejenak, tertawa pelan dan meletakkan jari telunjuknya di bibir Rayner untuk menghentikan permainan panas suaminya.

"Rey sudah cukup. Mommy mulai marah," ucapnya sambil menatap ke arah suaminya.

Rayner hanya mengangkat bahu.

"Biarkan saja. Ini waktu kita, tidak ada yang bisa mengganggunya," jawabnya dengan suara malas, menarik Deborah kembali ke pelukannya.

“Tapi, Rey ….” protes Deborah lagi.

Namun Rayner malah membungkam bibir istrinya dengan bibirnya, sambil mulai menggoyangkan pinggulnya ke dalam gua sempit milik Deborah.

Deborah, yang awalnya terlihat ragu, akhirnya menyerah. "Kamu memang selalu tahu cara meyakinkanku, Sayang!" bisiknya sebelum kembali larut dalam cumbuan penuh gairah dengan Rayner, suaminya.

“Iya dong, Sayangku. Kan Mommy ingin segera menimang cucu dari kita. So, kita harus sering-sering olahraga ranjang, Baby!” cecar Rayner sambil terus bergoyang penuh hasrat.

Suasana di dalam kamar itu menjadi semakin panas, seolah-olah dunia luar tak ada artinya bagi Deborah dan Rayner. Mereka semakin terjebak dalam pusaran keintiman, lupa akan waktu dan kewajiban yang menanti di luar.

Sementara itu, di lantai bawah, Raynard mulai merasa tidak sabar dengan kedua pasangan suami istri itu. Dia pun mulai menghentakkan kaki dengan kesal sambil menatap Daddy Zay yang tetap tenang di sampingnya.

"Daddy, mereka masih belum turun. Apa aku harus ke atas dan menyeret Rayner keluar dari kamarnya?"

Daddy Zay hanya tersenyum kecil.

"Biarkan saja, Raynard. Mereka kan telah menikah, mungkin masih menikmati momen-momen berdua."

Raynard mendengus, merasa tidak puas dengan jawaban dari ayahnya itu.

"Iya sih, Dad. tapi kita juga harus mengejar penerbangan kita. Kalau terlambat, kita mungkin tidak bisa mendapatkan penerbangan pengganti dengan mudah. Rayner nih kadang-kadang nggak kenal waktu. Gass terus! Deborah juga terlalu mengikuti maunya Rayner," kesal Raynard.

“Ya, namanya Deborah sudah menjadi istrinya Rayner, memang harus nurut kata suami,” tukas sang ayah yang mendukung putra bungsunya demi untuk segera mendapatkan cucu penerusnya.

Mommy Olivia, yang baru saja keluar dari dapur, dengan cepat menyusul percakapan mereka. "Kalau begitu, naiklah ke atas dan panggil mereka. Mommy tak mau mendengar alasan Rayner lagi!" serunya.

“Siap, Mom!”

Raynard pun menghela napas berat sebelum akhirnya menaiki tangga dengan cepat, langkah kakinya terdengar jelas. Setibanya di depan kamar Rayner, dia mengetuk pintu dengan keras.

"Rayner! Deborah! Ayo kalian cepat keluar, kita akan terlambat!"

Namun, dari dalam kamar, tidak ada respon apapun dari keduanya. Raynard mengetuk lebih keras lagi.

"Rayner! Kamu dengar aku, kan? Jangan membuat kami menunggumu lebih lama lagi!"

Di dalam kamar, Rayner hanya tertawa kecil sambil memandang Deborah.

"He-he-he! Ganggu saja nih Raynard! Dia nggak tahu apa nikmatnya bercinta di atas ranjang?" ujar Rayner yang terus saja menggoyangkan pinggulnya tidak terpengaruh sedikitpun dengan suara saudara kembarnya yang protes karena mereka tidak keluar dari kamar.

Deborah menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu memukul dada suaminya pelan sambil tertawa.

"He-he-he. Ayo, Rey, kita benar-benar harus turun. Ini sudah terlalu lama," ucap Deborah sambil beranjak dari ranjang, akan tetapi sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, Rayner menariknya kembali.

"Hanya sebentar lagi, Baby." bisik Rayner dengan nada menggoda, membuat Deborah tidak bisa menolak. Keduanya kembali terjerumus dalam hasrat yang menggebu-gebu, mengabaikan suara ketukan yang semakin keras di luar pintu.

Goyangan demi goyangan tercipta cepat bagaikan kecepatan mesin turbo tingkat tinggi. Deborah terlihat menutup mulutnya dengan kedua tangannya takut jika suara-suara aneh yang keluar dari bibirnya didengar oleh sahabatnya, Raynard.

Raynard, di sisi lain, semakin kesal kepada adik kembarnya.

"Aku tahu kalian mendengarku! Ayolah, ini bukan waktunya bermain-main!" teriaknya dari luar, namun tetap saja tidak ada jawaban.

"Sudahlah, Raynard. Biarkan mereka berduaan dulu." Daddy Zay tiba-tiba muncul di belakangnya, menepuk pundak putra sulungnya.

"Mereka akan turun sebentar lagi,” ucap sang ayah.

Raynard memutar matanya, jelas-jelas jengkel dengan sikap santai ayahnya.

"Kita tidak bisa membiarkan mereka terus-terusan seperti ini, Daddy. Mommy pasti akan marah besar kalau mereka terlambat."

"Tenang saja. Keduanya tidak akan membuat kita ketinggalan pesawat," ucap Daddy Zay dengan nada tenang sebelum berjalan kembali ke ruang tamu.

Raynard menggelengkan kepala, merasa tak berdaya. Akhirnya, dia memutuskan untuk turun kembali ke lantai bawah, meninggalkan adiknya dan Deborah di kamar.

“Coba dengar. Mereka tidak ada lagi di depan kamar kita,” tutur Rayner sambil terus bergoyang.

“Iya, Rey! Ah, pelan, Sayang! Oh!” desah Deborah semakin hanyut oleh permainan panas suaminya.

Setelah beberapa waktu, akhirnya Rayner dan Deborah mencapai puncak nirwana secara bersama-sama. Deborah lalu menatap Rayner dengan tatapan penuh kasih, sementara Rayner membalasnya dengan senyum puas. Mereka berdua sadar jika mereka harus segera bersiap-siap.

“Rey, aku duluan mandinya, ya!” ucap Deborah lalu segera berlari ke dalam kamar mandi dengan cepat dan tak lupa menguncinya dari dalam agar Rayner tidak menyusulnya, yang mungkin akan membuat sang suami memperpanjang durasi goyangan mautnya di dalam toilet.

Sementara Rayner sangat tercengang karena istrinya malah meninggalkannya sendiri di atas ranjang.

Mulai terdengar nada protes dari suaminya,

“Sayang, kok kamu malah ninggalin aku, sih?” serunya dari luar kamar mandi.

“Buka pintunya, Baby. Aku mau ikutan mandi juga,” tutur Rayner sambil membayangkan aktivitas panas yang akan mereka lakoni di dalam kamar mandi.

Namun satu teriakan dari Deborah membuat bibir Rayner menjadi manyun seketika.

“Kamu mandi di dalam kamar Raynard ya, Sayang. Biar kita cepat turun ke bawah,” teriak istrinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PAWANG HATI SANG TUAN MUDA   BAB. 95 Kemenangan Brett Group

    Keesokan harinya, di ballroom sebuah Hotel di, Jakarta, ratusan wartawan berkumpul. Lampu kamera berkedip-kedip ketika Raynard dan Rayner naik ke podium bersama ayah mereka.Raynard membuka konferensi dengan percaya diri. “Kami ingin mengklarifikasi tuduhan pelanggaran hak paten oleh perusahaan asing terhadap perusahaan kami. Kami memiliki bukti kuat bahwa hak paten tersebut diperoleh lewat cara ilegal.”Rayner melanjutkan, “Kami telah menyerahkan semua dokumen kepada Kementerian Hukum dan HAM, serta melibatkan lembaga investigasi internasional.”Tuan Zay menutup pernyataan, “Brett Group berdiri atas fondasi integritas. Kami tidak akan tinggal diam melihat inovasi anak bangsa dicuri dan digunakan oleh pihak luar untuk tujuan menjatuhkan.”Salah satu wartawan bertanya, “Apakah benar ada keterlibatan pihak internal dari perusahaan?”Raynard menjawab tegas, “Ya. Kami telah mengidentifikasi pelakunya dan sedang menempuh jalur hukum. Kami juga akan memperkuat sistem keamanan data perus

  • PAWANG HATI SANG TUAN MUDA   BAB. 94 Ternyata Masalah Belum Sepenuhnya Selesai

    Tiga hari setelah penyelamatan Rayner, suasana di rumah Keluarga Brett masih dipenuhi penjagaan ketat. Polisi mondar-mandir, membawa berkas dan laporan. Di ruang tamu, Rayner duduk di kursi roda, mengenakan kaus putih longgar dan celana santai. Luka lebam di pipinya mulai memudar, tapi matanya masih menyimpan bara.Raynard duduk di seberangnya sambil memeriksa dokumen hasil penyidikan.“Riche sudah ditahan. Dia coba kabur tadi malam dari hotel persembunyian di BSD, tapi tim kita lebih cepat,” ujar Raynard.Rayner mengangguk perlahan.“Bagus. Sekarang waktunya kita bersihkan jaringannya dari dalam perusahaan.”Raynard menoleh tajam. “Kamu curiga ada kaki tangannya di dalam perusahaan?”Rayner menatap lurus. “Riche terlalu cerdas untuk bergerak sendiri. Dia pasti dibantu oleh orang yang tahu ritme kerja kita.”Sementara itu, di lantai atas.Deborah duduk sendiri di kamar tidurnya. Cahaya matahari menembus jendela, tapi wajahnya tetap muram. Dia menggenggam bantal di dadanya, matanya sem

  • PAWANG HATI SANG TUAN MUDA   BAB. 93 Rayner Diculik

    Sudah dua bulan sejak penangkapan Romi. Perusahaan Keluarga Brett, semakin melejit. Kepercayaan publik meningkat, dan berbagai kontrak besar masuk dari luar negeri. Kehidupan Rayner dan Deborah pun terasa semakin damai.Namun, di balik segala kejayaan itu, seseorang sedang menyusun rencana diam-diam.Namanya, Tuan Mandala.Seorang mantan mitra bisnis Tuan Zay Brett, ayah Rayner, yang pernah didepak karena terbukti memanipulasi laporan keuangan perusahaan gabungan mereka di masa lalu. Sejak itu, Mandala menghilang, membawa kebencian yang membara terhadap Keluarga BretJakarta, di malam hari, sebuah ruangan kantor gelap di lantai paling atas.Mandala berdiri menghadap jendela besar, menatap lampu-lampu kota. Di tangannya, secarik foto Rayner dan Deborah di sebuah acara gala.“Kamu pikir kamu bisa ambil semua ini dariku, Rayner?” gumamnya.Dari belakang, seorang pria muda bersetelan rapi masuk. “Tuan Mandala, dokumen perusahaan Tuan Zay Brett sudah kami periksa. Beberapa celah kecil dal

  • PAWANG HATI SANG TUAN MUDA   BAB. 92 Menangkap Biang Kerok Yang Masih Tersisa

    Sinar mentari belum sepenuhnya menembus jendela rumah sakit tempat Deborah dirawat. Rayner duduk di samping ranjang, menggenggam tangan istrinya yang masih lemah namun mulai membaik. Dia menatap wajah wanita itu dengan sorot yang penuh janji dan perlindungan.“Setelah ini,” ucap Rayner lirih, “Aku tidak akan biarkan siapapun menyentuhmu lagi, Deb.”Deborah membuka mata perlahan dan tersenyum lemah. “Kamu datang tepat waktu, aku pikir aku nggak akan bisa lihat kamu lagi.”Rayner mengecup tangan istrinya, lalu berdiri ketika Emir masuk ke kamar.“Maaf mengganggu, Bos,” ujar Asisten Emir. “Tapi ada perkembangan dari Pak Fikri.”Rayner menoleh cepat. “Apa itu?”Emir mengangkat selembar foto yang baru saja dicetak. Di dalamnya tampak seorang pria paruh baya, mengenakan jas mahal, tengah berbicara dengan Armand dalam rekaman CCTV yang diambil diam-diam dari lobi hotel bintang lima.“Inilah orangnya. Tim investigasi yakin jika orang ini adalah Hades,” ucap Emir serius. “Dan Anda nggak aka

  • PAWANG HATI SANG TUAN MUDA   BAB. 91 Deborah Diculik

    Hari mulai beranjak siang, langit Jakarta tampak kelabu. Di halaman sebuah rumah megah bergaya klasik kolonial milik Tuan Riko, suara mobil mendadak memecah keheningan. Sebuah SUV hitam berhenti mendadak di depan pagar, diikuti dua mobil polisi.Dari dalam mobil, Rayner melompat turun dengan napas memburu. Wajahnya masih tampak lelah, namun sorot matanya menyala tajam. Di sampingnya, Emir, asistennya yang setia, ikut turun sambil membuka pintu untuk dua perwira polisi berseragam lengkap.“Pastikan semua sesuai prosedur,” bisik Rayner kepada Emir.“Jangan sampai Tuan Riko menutupi jejaknya.”“Siap, Tuan,” jawab Emir serius.Gerbang terbuka. Seorang penjaga rumah terlihat gugup ketika melihat polisi datang.“Rayner?” Suara berat memecah udara. Dari pintu depan, Tuan Riko muncul dengan setelan jas abu dan sorot mata mencurigai.Rayner melangkah maju. “Saya tidak datang untuk basa-basi, Tuan Riko. Saya datang untuk menuntut jawaban.”“Apa maksudmu datang membawa polisi ke rumah mertuamu

  • PAWANG HATI SANG TUAN MUDA   BAB. 90 Deborah Disidang Oleh Ayahnya

    Pagi yang seharusnya tenang di kediaman mewah Tuan Riko berubah menjadi neraka. Di ruang kerjanya yang luas, suara gebrakan meja menggema.“Deborah! Masuk sini sekarang juga!” suara Tuan Riko membelah keheningan rumah.Deborah melangkah masuk perlahan, wajahnya tegang. Di atas meja, tergeletak tumpukan foto-foto dirinya dan Rayner duduk di sebuah kafe, berjalan di taman, bahkan berpelukan di tempat parkir.“Apa ini?” gertak Tuan Riko. “Selama ini kamu bohong sama Papi?”Deborah menggenggam tangannya sendiri, berusaha menenangkan detak jantungnya. “Papi, aku hanya ingin hidupku sendiri. Aku sudah menikah dengan Rayner. Di San Francisco.”Wajah Tuan Riko memucat, lalu memerah. “Kamu menikah tanpa restu, dengan pria itu!”Deborah mengangguk pelan.“Aku mencintainya, Papi. Hubungan kami juga sudah sah. Kami sudah daftarkan pernikahan kami di KJRI di San Francisco. Dokumen kami lengkap.”“Cukup!” Tuan Riko berdiri, mendorong kursinya hingga terjungkal. “Mulai hari ini, kamu tidak boleh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status