LOGINSetelah mandi dan berpakaian, Rayner dan Deborah akhirnya turun ke lantai bawah. Rambut keduanya masih basah, menunjukkan betapa terburu-burunya mereka setelah menghabiskan waktu terlalu lama di kamar. Langkah-langkah keduanya terdengar mulai menuruni anak tangga, meski pelan, akan tetapi tetap menarik perhatian semua orang yang sudah berkumpul di ruang makan.
Di meja makan, Mommy Olivia duduk di ujung meja dengan tatapan tegas, sementara Daddy Zay sibuk menuangkan kopi ke dalam cangkirnya. Raynard duduk di samping mereka, sudah siap dengan pakaian rapi dan wajah yang tampak tidak begitu puas. Saat Rayner dan Deborah masuk ke ruang makan, semua mata langsung tertuju pada kedua pasangan suami istri tersebut. Mommy Olivia, akhirnya lega melihat putra bungsunya bersama menantu kesayangannya, akhirnya turun juga dari kamar mereka. Dengan senyum tipis di wajahnya, menyambut keduanya dengan hati senang walaupun juga sang ibu berusaha menahan kesal, dengan tingkah Rayner. Nyonya Olivia segera berkata, “Akhirnya kalian turun juga. Ayo, bergabung di meja makan, sarapan sudah siap.” Rayner hanya mengangguk sambil tersenyum, menarik kursi untuk Deborah sebelum akhirnya duduk di sampingnya. "Terima kasih, Mom," sahut keduanya serentak. Deborah, terlihat masih menata rambutnya yang basah dengan jari-jarinya, hanya memberikan senyum malu-malu sebelum mulai mengambil sepotong roti. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Raynard, yang duduk tepat di seberang mereka, menatap tajam ke arah adik kembarnya dan Deborah. Matanya melirik ke arah rambut basah keduanya, dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar. "Rambut kalian masih basah, rupanya?" Raynard mencibir. "Sepertinya ada yang lupa waktu, nih! Kalian tidak tahu situasi kita saat ini, ya?" Rayner, yang sedang menuangkan teh untuk dirinya sendiri, berhenti sejenak. Tatapannya beralih ke arah Raynard, dan senyum sinis mulai muncul di wajahnya. "Ya, kalau sudah menikah, kamu juga bakal ngerti, kok. Nikmatnya surga dunia itu gak bisa ditahan, Raynard. Kamu mungkin bisa lebih paham kalau kamu segera menikah," jawabnya dengan nada tajam, tak kalah sengit dengan ucapan sang kakak. Raynard mengangkat alisnya, pria tampan itu jelas-jelas mulai tersinggung saat ini. "Oh ya? Jadi, kamu pikir aku nggak ngerti apa-apa soal hubungan suami istri karena belum menikah?" balasnya tak kalah tajam, suaranya juga mulai meninggi. "Setidaknya aku tahu kapan waktunya serius dan kapan waktunya harus bersikap profesional!" sindir Raynard lagi. Kamu juga, Deborah! Ngapain kamu menuruti semua mau Rayner?” ujar Raynard semakin menjadi-jadi. Rayner tersenyum, lalu memandang Deborah yang tampak canggung di antara pertikaian panas antara suaminya dan kakak iparnya. Dia kemudian kembali menatap Raynard. "Kalau kamu begitu profesional, kenapa kamu belum bisa move on dari Rebecca? Dia entah di mana sekarang, Raynard. Kamu masih nunggu sesuatu yang nggak pasti kah?" sindir Rayner semakin tajam. Kalimat itu langsung menghantam Raynard seperti badai. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam ke arah Rayner. "Jangan bawa-bawa Rebecca ke dalam hal ini!" tegas Raynard, suaranya bergetar karena marah. "Itu urusan pribadiku!" hardik Raynard. “Makanya kamu juga jangan ngatur-ngatur Deborah! Dia itu istriku! Kalian hanyalah bersahabat! Akulah, Rayner Brett yang berkuasa penuh atas istriku!” jawab Rayner kesal. Deborah, yang duduk di samping Rayner, segera meletakkan tangannya di lengan suaminya, mencoba meredakan ketegangan di antara kedua saudara kembar itu. "Rey, please," bisiknya, mencoba mencegah konflik lebih lanjut. Namun Rayner tetap melanjutkan, dan tidak memperdulikan teguran sang istri. "Aku hanya bilang kenyataan, Raynard. Kamu jangan buang-buang waktu terlalu lama untuk sesuatu yang sudah jelas-jelas nggak ada kepastian. Sudah saatnya kamu move on, cari orang baru yang bisa buat kamu bahagia." Raynard mengepalkan tangannya di atas meja, jelas-jelas tidak senang dengan arah pembicaraan ini. Dia pun menatap Rayner dengan penuh kemarahan, dan suasana di ruang makan seketika menjadi tegang. Mommy Olivia, yang dari tadi mendengarkan dengan cemas, mencoba mencairkan suasana. "Raynard, Rayner, sudah cukup berdebatnya!" serunya dengan nada tegas namun lembut. "Kita tidak punya waktu untuk pertengkaran seperti ini. Kalian harus fokus, kita akan terlambat ke bandara jika terus seperti ini." Namun, suasana di antara dua saudara kembar itu masih panas. Daddy Zay, yang dari tadi diam, akhirnya meletakkan cangkir kopinya dengan keras di atas meja, mengalihkan perhatian semua orang. "Cukup!" serunya, suaranya dalam dan penuh otoritas. "Daddy tidak mau mendengar lagi pertengkaran konyol di meja makan ini! Kita semua harus bersiap-siap untuk pergi. Sekarang, fokuslah pada sarapan kalian dan berhenti berbicara soal hal-hal yang tidak perlu." Rayner dan Raynard terdiam, meski jelas sekali ketegangan di antara mereka masih belum reda. Rayner mengambil napas dalam-dalam, lalu melirik Deborah yang memegang tangannya di bawah meja, mencoba menenangkannya. Sementara itu, Raynard menunduk, mengeraskan rahangnya, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Semua orang kemudian melanjutkan sarapan mereka dalam keheningan. Daddy Zay melanjutkan minum kopinya, sementara Mommy Olivia mencoba tersenyum, meski suasana di meja makan terasa sangat tegang. Deborah mengambil sepotong roti dan mulai menyuapi Rayner dengan lembut, berusaha mengembalikan suasana menjadi lebih ringan. “Rey, kamu makan dulu, ya!” ucapnya kepada suaminya. “Iya, Sayang.” jawab Rayner sambil mencuri satu kecupan di bibir Deborah, sengaja memanas-manasi saudara kembarnya. Sementara Raynard tidak bisa fokus pada makanannya. Perkataan Rayner tentang Rebecca terus terngiang-ngiang di kepalanya. Meskipun dia sadar jika apa yang diucapkan adiknya mungkin benar, Raynard merasa marah karena itu. Rayner Mengungkapkan tentang Rebecca di depan semua orang, membuatnya tampak lemah dan masih terikat pada masa lalu. Setelah beberapa menit dalam keheningan, Raynard akhirnya meletakkan garpunya dengan kasar ke piring. "Aku keluar sebentar, butuh udara segar," katanya sambil berdiri dari kursinya. Dia berjalan keluar rumah tanpa menunggu jawaban dari siapapun. Rayner menghela napas panjang, merasa sedikit bersalah meskipun dia tidak menyesali apa yang telah dikatakan olehnya. Deborah menatap suaminya dengan prihatin. "Rey, kamu jangan terlalu keras dengan Raynard dia hanya butuh waktu," ucapnya pelan, mencoba menenangkan hati Rayner. "Aku tahu, Sayang" jawab Rayner sambil memegang tangan Deborah. "Tapi aku hanya ingin Raynard melihat kenyataan. Sudah terlalu lama dia terjebak dengan perasaannya pada Rebecca. Aku nggak ingin dia terus-terusan seperti itu." Daddy Zay menggelengkan kepala, lalu menatap Rayner. "Kadang-kadang, cara yang keras tidak selalu terbaik, Rayner. Biarkan kakakmu menemukan jalannya sendiri. Kita semua punya cara berbeda untuk menghadapi masa lalu." Rayner pun terdiam, mendengarkan nasihat ayahnya. Meski sang pria masih merasa jika apa yang dikatakannya tadi benar. Dia juga menyadari mungkin ada cara yang lebih baik untuk menyampaikan kebenaran itu kepada kakaknya. "Ayo, habiskan sarapan kalian," lanjut Daddy Zay. "Kita akan berangkat ke bandara sebentar lagi." Rayner dan Deborah pun kembali makan, meskipun suasana di meja makan tetap terasa berat. Semua tahu jika perjalanan pulang ke Indonesia mungkin akan membawa ketegangan yang masih tersisa, namun untuk saat ini, mereka harus menyelesaikan sarapan dan bersiap-siap untuk perjalanan panjang itu.Keesokan harinya, di ballroom sebuah Hotel di, Jakarta, ratusan wartawan berkumpul. Lampu kamera berkedip-kedip ketika Raynard dan Rayner naik ke podium bersama ayah mereka.Raynard membuka konferensi dengan percaya diri. “Kami ingin mengklarifikasi tuduhan pelanggaran hak paten oleh perusahaan asing terhadap perusahaan kami. Kami memiliki bukti kuat bahwa hak paten tersebut diperoleh lewat cara ilegal.”Rayner melanjutkan, “Kami telah menyerahkan semua dokumen kepada Kementerian Hukum dan HAM, serta melibatkan lembaga investigasi internasional.”Tuan Zay menutup pernyataan, “Brett Group berdiri atas fondasi integritas. Kami tidak akan tinggal diam melihat inovasi anak bangsa dicuri dan digunakan oleh pihak luar untuk tujuan menjatuhkan.”Salah satu wartawan bertanya, “Apakah benar ada keterlibatan pihak internal dari perusahaan?”Raynard menjawab tegas, “Ya. Kami telah mengidentifikasi pelakunya dan sedang menempuh jalur hukum. Kami juga akan memperkuat sistem keamanan data perus
Tiga hari setelah penyelamatan Rayner, suasana di rumah Keluarga Brett masih dipenuhi penjagaan ketat. Polisi mondar-mandir, membawa berkas dan laporan. Di ruang tamu, Rayner duduk di kursi roda, mengenakan kaus putih longgar dan celana santai. Luka lebam di pipinya mulai memudar, tapi matanya masih menyimpan bara.Raynard duduk di seberangnya sambil memeriksa dokumen hasil penyidikan.“Riche sudah ditahan. Dia coba kabur tadi malam dari hotel persembunyian di BSD, tapi tim kita lebih cepat,” ujar Raynard.Rayner mengangguk perlahan.“Bagus. Sekarang waktunya kita bersihkan jaringannya dari dalam perusahaan.”Raynard menoleh tajam. “Kamu curiga ada kaki tangannya di dalam perusahaan?”Rayner menatap lurus. “Riche terlalu cerdas untuk bergerak sendiri. Dia pasti dibantu oleh orang yang tahu ritme kerja kita.”Sementara itu, di lantai atas.Deborah duduk sendiri di kamar tidurnya. Cahaya matahari menembus jendela, tapi wajahnya tetap muram. Dia menggenggam bantal di dadanya, matanya sem
Sudah dua bulan sejak penangkapan Romi. Perusahaan Keluarga Brett, semakin melejit. Kepercayaan publik meningkat, dan berbagai kontrak besar masuk dari luar negeri. Kehidupan Rayner dan Deborah pun terasa semakin damai.Namun, di balik segala kejayaan itu, seseorang sedang menyusun rencana diam-diam.Namanya, Tuan Mandala.Seorang mantan mitra bisnis Tuan Zay Brett, ayah Rayner, yang pernah didepak karena terbukti memanipulasi laporan keuangan perusahaan gabungan mereka di masa lalu. Sejak itu, Mandala menghilang, membawa kebencian yang membara terhadap Keluarga BretJakarta, di malam hari, sebuah ruangan kantor gelap di lantai paling atas.Mandala berdiri menghadap jendela besar, menatap lampu-lampu kota. Di tangannya, secarik foto Rayner dan Deborah di sebuah acara gala.“Kamu pikir kamu bisa ambil semua ini dariku, Rayner?” gumamnya.Dari belakang, seorang pria muda bersetelan rapi masuk. “Tuan Mandala, dokumen perusahaan Tuan Zay Brett sudah kami periksa. Beberapa celah kecil dal
Sinar mentari belum sepenuhnya menembus jendela rumah sakit tempat Deborah dirawat. Rayner duduk di samping ranjang, menggenggam tangan istrinya yang masih lemah namun mulai membaik. Dia menatap wajah wanita itu dengan sorot yang penuh janji dan perlindungan.“Setelah ini,” ucap Rayner lirih, “Aku tidak akan biarkan siapapun menyentuhmu lagi, Deb.”Deborah membuka mata perlahan dan tersenyum lemah. “Kamu datang tepat waktu, aku pikir aku nggak akan bisa lihat kamu lagi.”Rayner mengecup tangan istrinya, lalu berdiri ketika Emir masuk ke kamar.“Maaf mengganggu, Bos,” ujar Asisten Emir. “Tapi ada perkembangan dari Pak Fikri.”Rayner menoleh cepat. “Apa itu?”Emir mengangkat selembar foto yang baru saja dicetak. Di dalamnya tampak seorang pria paruh baya, mengenakan jas mahal, tengah berbicara dengan Armand dalam rekaman CCTV yang diambil diam-diam dari lobi hotel bintang lima.“Inilah orangnya. Tim investigasi yakin jika orang ini adalah Hades,” ucap Emir serius. “Dan Anda nggak aka
Hari mulai beranjak siang, langit Jakarta tampak kelabu. Di halaman sebuah rumah megah bergaya klasik kolonial milik Tuan Riko, suara mobil mendadak memecah keheningan. Sebuah SUV hitam berhenti mendadak di depan pagar, diikuti dua mobil polisi.Dari dalam mobil, Rayner melompat turun dengan napas memburu. Wajahnya masih tampak lelah, namun sorot matanya menyala tajam. Di sampingnya, Emir, asistennya yang setia, ikut turun sambil membuka pintu untuk dua perwira polisi berseragam lengkap.“Pastikan semua sesuai prosedur,” bisik Rayner kepada Emir.“Jangan sampai Tuan Riko menutupi jejaknya.”“Siap, Tuan,” jawab Emir serius.Gerbang terbuka. Seorang penjaga rumah terlihat gugup ketika melihat polisi datang.“Rayner?” Suara berat memecah udara. Dari pintu depan, Tuan Riko muncul dengan setelan jas abu dan sorot mata mencurigai.Rayner melangkah maju. “Saya tidak datang untuk basa-basi, Tuan Riko. Saya datang untuk menuntut jawaban.”“Apa maksudmu datang membawa polisi ke rumah mertuamu
Pagi yang seharusnya tenang di kediaman mewah Tuan Riko berubah menjadi neraka. Di ruang kerjanya yang luas, suara gebrakan meja menggema.“Deborah! Masuk sini sekarang juga!” suara Tuan Riko membelah keheningan rumah.Deborah melangkah masuk perlahan, wajahnya tegang. Di atas meja, tergeletak tumpukan foto-foto dirinya dan Rayner duduk di sebuah kafe, berjalan di taman, bahkan berpelukan di tempat parkir.“Apa ini?” gertak Tuan Riko. “Selama ini kamu bohong sama Papi?”Deborah menggenggam tangannya sendiri, berusaha menenangkan detak jantungnya. “Papi, aku hanya ingin hidupku sendiri. Aku sudah menikah dengan Rayner. Di San Francisco.”Wajah Tuan Riko memucat, lalu memerah. “Kamu menikah tanpa restu, dengan pria itu!”Deborah mengangguk pelan.“Aku mencintainya, Papi. Hubungan kami juga sudah sah. Kami sudah daftarkan pernikahan kami di KJRI di San Francisco. Dokumen kami lengkap.”“Cukup!” Tuan Riko berdiri, mendorong kursinya hingga terjungkal. “Mulai hari ini, kamu tidak boleh







