Tiba di bandara,
Setelah menempuh beberapa saat dalam perjalanan, Keluarga Brett akhirnya tiba di Bandara Internasional San Francisco yang sangat sibuk. Gedung bandara dipenuhi dengan orang-orang yang tergesa-gesa untuk bepergian, akan tetapi Tuan Zay Brett dan Nyonya Olivia Brett terlihat tenang, seolah-olah telah terbiasa dengan perjalanan jarak jauh seperti ini. Di sebelah mereka, putra sulungnya berdiri, Raynard Brett, yang sedang berjalan dengan langkah yang berat. Wajahnya tampak suram, meski dia berusaha menyembunyikan kesedihannya. Sementara itu, Rayner, putra bungsu mereka, terlihat berjalan dengan penuh kebahagiaan sambil bergandengan tangan dengan istrinya, Deborah. Mereka terlihat harmonis, akan tetapi jauh di lubuk hati, Deborah merasa gundah dengan masa depan yang akan mereka hadapi di Jakarta nanti. Setelah berjalan beberapa menit di area di dalam bandara Anggota Keluarga Brett, akhirnya tiba di area check-in dan segera disambut oleh petugas bandara yang sudah menunggu. "Selamat pagi, Tuan Zay. Kami sudah menyiapkan semua keperluan Anda," ucap salah satu petugas bandara dengan ramah. "Terima kasih," jawab Tuan Zay singkat, namun penuh wibawa. Setelah semua pemeriksaan selesai, Anggota Keluarga Brett lalu berjalan menuju pintu keluar VIP yang langsung menghubungkan mereka dengan landasan tempat jet pribadi Tuan Zay sudah menunggu. Pilot dan kru pesawat berdiri di depan pintu pesawat, menyambut kedatangan anggota keluarga itu dengan senyuman tulus. "Selamat datang kembali, Tuan Zay, Nyonya Olivia. Semoga perjalanan Anda menyenangkan," ucap salah satu kru, dengan membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai tanda hormat. Tuan Zay hanya mengangguk dan melangkah masuk ke dalam jet tersebut, diikuti oleh istrinya, Raynard, Rayner, dan Deborah. Di dalam pesawat, suasana terasa nyaman dan mewah. Sofa empuk yang berlapis kulit berwarna krem mengelilingi meja kecil, menciptakan suasana ruang tamu yang hangat. Raynard memilih duduk di pojok, menjauh dari yang lain. Dia menatap ke luar jendela pesawat, melihat landasan bandara yang mulai terlihat semakin kecil seiring dengan persiapan pesawat untuk lepas landas. Sementara itu, Rayner dan Deborah, pasangan suami istri yang terlihat selalu romantis, duduk bersebelahan. Deborah menatap suaminya dengan senyum bahagia di sudut bibirnya, meskipun ada perasaan gelisah yang perlahan merayap di hatinya. Rayner meremas tangan Deborah, memberikan rasa nyaman kepada istrinya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Rayner lembut, mencoba membaca ekspresi wajah Deborah yang terlihat sedikit cemas. Deborah tersenyum, meski samar. "Aku baik-baik saja, Sayang. Hanya sedikit ... memikirkan bagaimana reaksi keluargaku nanti. Saat mengetahui jika aku telah menikah," jawabnya jujur, meskipun dia mencoba untuk tidak terlalu memperlihatkan kekhawatirannya. Rayner menatap Deborah dengan penuh kasih, lalu mencium tangannya. "Kita akan menghadapi semuanya bersama, Sayangku. Jangan khawatir, aku yakin keluargamu akan menerima kita." Deborah mengangguk pelan, meski jauh di dalam hatinya, perasaan ragu itu masih ada. "Aku berharap begitu, Rey." gumamnya pelan. Lalu tiba-tiba, Deborah pun mengingat sifat sang ayah yang terlalu overprotektif kepadanya. Gadis itu takut Rayner, sang suami akan mendapatkan sedikit masalah dengan sikap dan reaksi ayahnya, saat mengetahui jika dirinya dan Rayner telah resmi menikah tanpa sepengetahuan ayahnya. Di sisi lain, Tuan Zay dan Nyonya Olivia duduk bersebelahan di kursi depan, menikmati suasana damai di dalam pesawat. Mereka saling bertukar pandang dan tersenyum, tampak bangga dengan pencapaian kedua putra mereka. "Akhirnya, kedua putra kita sudah menyelesaikan studi mereka di Stanford University, Darling." Ucap Nyonya Olivia dengan nada lega. "Dan lihat, Rayner sekarang juga sudah menikah. Aku tidak pernah menyangka waktu berlalu begitu cepat," seru Nyonya Olivia sambil menatap suaminya dengan perasaan senang. Tuan Zay pun mengangguk, wajahnya terlihat puas saat mendengar perkataan istrinya. "Ya, mereka sudah dewasa sekarang. Raynard dan Rayner sudah membuat kita bangga. Aku yakin kedepannya akan melakukan hal besar di Jakarta nanti." Namun, meskipun Nyonya Olivia tersenyum, matanya melirik ke arah Raynard yang duduk terdiam di pojok. Dia menyadari perubahan sikap putra sulungnya itu sejak beberapa waktu belakangan ini. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, tapi sang ibu masih belum berani untuk menanyakannya. "Darling, apakah menurutmu Raynard baik-baik saja?" tanya Nyonya Olivia pelan kepada suaminya, penuh kekhawatiran. Tuan Zay mengikuti pandangan istrinya, menatap Raynard dari kejauhan. "Dia akan baik-baik saja. Mungkin Raynard hanya merasa sedikit terbebani dengan semua tanggung jawab yang ada di depannya nanti. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Darling." Di bagian pojok ruangan dalam pesawat jet Itu, Raynard masih menatap kosong ke arah luar jendela. Pikirannya melayang jauh ke belakang, mengingat masa-masa kebersamaannya dengan Rebecca. Gadis yang telah menghilang begitu saja dari hidupnya. Raynard tidak tahu ke mana Rebecca pergi, dan bahkan tidak tahu apakah dia akan pernah melihatnya lagi. Raynard mengepalkan tangannya, menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul di dadanya. Sang pria lalu menatap ke luar jendela lagi, saat pesawat mulai lepas landas meninggalkan San Francisco. "Rebecca .... Kamu di mana sebenarnya? Haruskah aku melupakanmu?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Di tengah kegembiraan keluarganya, Raynard merasa terjebak dalam kesedihan yang mendalam. Sementara itu, Rayner dan Deborah tampak lebih santai. Mereka menikmati momen bersama di dalam pesawat jet itu, dengan tangan keduanya yang saling menggenggam erat. Rayner menatap istrinya dengan penuh cinta, berusaha menenangkan kekhawatirannya. "Deborah Sayangku, tidak peduli apa pun yang akan terjadi nanti di Jakarta. Satu yang kamu harus tahu jika aku akan selalu ada di sisimu," ucap Rayner dengan tegas. "Kita akan menghadapi semuanya bersama-sama." Deborah menatap suaminya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Terima kasih, Rayner. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu," jawabnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh di pelupuk matanya. Pesawat mulai terbang semakin tinggi, meninggalkan langit biru Kota San Francisco yang berangsur-angsur berubah menjadi hamparan awan putih. Deborah menatap keluar jendela, memperhatikan pemandangan itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia bahagia telah menikah dengan pria yang dicintainya, Rayner. Akan tetapi di sisi lain, kekhawatirannya tentang keluarganya di Jakarta terus menghantui pikirannya. Sementara itu, di kursi depan, Tuan Zay dan Nyonya Olivia mulai berbincang tentang rencana mereka setelah tiba di Jakarta. "Kita harus memastikan semua sudah disiapkan untuk menyambut kedatangan kedua putra kita. Keluarga besar pasti sudah menunggu," ucap Tuan Zay dengan nada serius. "Ya, aku juga sudah memberitahu beberapa kerabat dekat kita untuk datang. Ini akan menjadi kesempatan yang bagus untuk merayakan kepulangan Raynard dan Rayner," jawab Nyonya Olivia. Raynard, yang masih tenggelam dalam pikirannya, mendengar obrolan kedua orang tuanya, akan tetapi tidak meresponnya sama sekali. Hatinya masih terlalu berat untuk ikut merayakan apa yang direncanakan oleh keluarganya. Pesawat terus melaju di atas awan, meninggalkan Kota San Francisco jauh di belakang. Keluarga Brett bersiap untuk memulai babak baru kehidupan mereka di Jakarta, meski masing-masing membawa perasaan yang berbeda di dalam hatinya.Di tengah gemerlap malam di Kota Dubai, cahaya kota yang megah menerangi kamar President Suite yang mewah di sebuah hotel bintang lima di tengah-tengah gemerlapnya kota. Rayner dan Deborah baru saja tiba di kamar mereka yang megah setelah acara makan malam mewah bersama semua anggota Keluarga Brett. Seharian tadi, pasangan suami istri tersebut juga menghabiskan hari dengan kemesraan di kota metropolis yang penuh dengan kemewahan ini, sambil berjalan-jalan ke berbagai destinasi tempat wisata Kota Dubai. Kamar president suite mereka berada di lantai paling atas, dengan pemandangan indah Burj Khalifa yang menjulang tinggi. Ruangan itu dihiasi dengan furnitur elegan, dinding marmer, dan sebuah tempat tidur king-size yang tampak menggoda di tengah-tengah ruangan. Rayner menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, lalu menatap Deborah dengan senyum penuh cinta.Deborah, yang mengenakan gaun satin berwarna merah anggur, berjalan mendekat dengan langkah gemulai. Tatapan mata mereka saling berte
Perjalanan masih terus berlanjut,Sore itu, langit Dubai mulai berwarna keemasan menjelang malam. Keluarga Besar Brett berkumpul di area Dubai Fountain, salah satu atraksi paling menakjubkan di Dubai yang terletak di dekat Burj Khalifa. Angin hangat gurun pasir menyapu wajah mereka ketika sinar matahari terakhir perlahan mulai menghilang di ufuk barat, yang menandai jika akan dimulainya pertunjukan air mancur yang begitu terkenal.“Amazing, ya?” gumam Deborah, kagum melihat lampu-lampu di sekitar Burj Khalifa yang mulai menyala seiring datangnya malam. Di depannya, kolam besar yang menjadi latar pertunjukan Dubai Fountain terlihat berkilauan.Rayner tersenyum dan menatap Deborah di sampingnya. “Nggak cuma amazing, ini sih spektakuler.” Rayner kemudian menoleh pada kedua orang tuanya, Tuan Zay dan Nyonya Olivia, yang tampak mengobrol sambil menunggu pertunjukan dimulai.Ketika musik mulai dimainkan, air mancur mulai menari-nari mengikuti irama lagu yang energik. Tiba-tiba, Rayner meng
Setelah selesai sarapan pagi di restoran hotel tempat mereka menginap, Keluarga Besar Brett bersiap untuk memulai hari pertama mereka mengelilingi Dubai. Mommy Olivia tampak anggun dengan kacamata hitam dan scarf di leher, sementara Daddy Zay berdiri gagah di sampingnya dengan kemeja linen putih. Si sulung Raynard mengenakan kaos polo dan celana pendek santai, sedangkan adiknya, Rayner, tampil kasual namun rapi bersama istrinya, Deborah, yang selalu tersenyum manis.“Siap semua?” Daddy Zay memastikan setiap anggota keluarganya.“Siap, Dad!” Rayner menjawab semangat sambil merangkul pinggul Deborah, yang tersipu. Sementara Raynard hanya mengangguk santai.“Heboh banget sih, Lo! Kayak baru pertama saja ke sini!” kesal Raynard kepada adik kembarnya.“Jelas dong, Ray. Karena ini kali pertama aku jalan-jalan bersama Deborah, istriku! Memangnya kayak Lo? Betah menjomlo terus?” ejek Rayner kepada sang kakak.“Lo?” Raynard segera mengepalkan tangannya dan ingin menghajar adik kembarnya.Namu
Tiga hari liburan Keluarga Besar Brett di Dubai dimulai dengan kedatangan mereka di hotel mewah The Ritz-Carlton, Dubai. Hotel ini menawarkan suasana eksklusif dengan pantai pribadi yang bersih, lima kolam renang outdoor, dan kamar-kamar elegan yang langsung menghadap ke perairan biru Dubai Marina. Keluarga ini tiba dengan penuh semangat, bersiap untuk menikmati liburan singkat mereka sebelum kembali ke Jakarta.“Yei! Sayang akhirnya keinginan kita terwujud untuk liburan di Dubai!” tutur Rayner sambil merangkul erat pinggang istrinya.“Iya, Rey. Aku juga ikut senang,” ucap Deborah kepada suaminya.“Dan kita bisa lebih banyak punya waktu untuk bermain kuda-kudaan, Sayang!” tukas Rayner sambil menatap penuh rasa lapar ke arah istrinya yang sungguh memikat hatinya itu. Sementara Deborah hanya bisa tersenyum malu-malu saat ini. Apalagi Rayner sengaja membesarkan suaranya sehingga Raynard, saudara kembarnya juga ikut mendengar.“Cih! Dasar pasangan mesum! Ini masih pagi-pagi, Rey!” sindir
Jet pribadi milik Tuan Zay Brett akhirnya perlahan menuruni langit Dubai, mendarat dengan mulus di salah satu landasan di bandara internasional yang megah. Cahaya lampu yang gemerlap di Kota Dubai terlihat berkilauan dari jendela pesawat, menandakan kedatangan mereka di pusat salah satu kota termaju di dunia. Di dalam kabin yang mewah, Rayner yang duduk di samping istrinya, Deborah, yang tampak tak sabar.“Yeah, akhirnya kita sudah sampai di Dubai!” seru Rayner dengan antusias.Raynard, saudara kembarnya, yang duduk tak jauh darinya hanya bisa tersenyum tipis dan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Rayner yang tak pernah berubah sejak kecil.“Kita cuma transit, Rayner,” ucap Raynard, mencoba mengingatkan adiknya.“What? Hanya sekedar untuk transit? Tentu saja itu tidak boleh terjadi!” seru Rayner sambil tersenyum penuh misteri.Rayner pun pura-pura tak mendengarkan apa sedang dikatakan oleh kakak kembarnya, Raynard. Karena dia sudah punya rencana sendiri di kepalanya. “Mommy,
Pesawat jet pribadi milik keluarga Brett semakin melesat tinggi di udara, membelah langit biru di atas berbagai negara dan benua. Interior mewah pesawat itu didominasi oleh warna krem dan emas yang elegan, memberikan kesan kemewahan dan kenyamanan yang tak tertandingi.Di dalam pesawat, suasana relatif tenang, hanya terdengar deru halus mesin dan suara peralatan makan yang beradu pelan. Anggota Keluarga Brett tengah menikmati perjalanan panjang menuju Jakarta, sementara kru pesawat terlihat sibuk mempersiapkan makanan di bagian pantry.Di bagian depan, Tuan Zay dan Nyonya Olivia duduk dengan nyaman di kursi berlapis kulit yang empuk. Meja kecil di depan mereka dihiasi dengan hidangan makan siang ala western yang menggugah selera. Antara lain steak medium-rare dengan saus lada hitam, kentang tumbuk halus, dan sayuran kukus. Tuan Zay yang mengenakan kemeja putih dengan dasi longgar tampak rileks sambil menyesap anggur merah dari gelas kristal di tangannya.“Steaknya enak, kan, Darling?”