Pesawat jet pribadi milik keluarga Brett semakin melesat tinggi di udara, membelah langit biru di atas berbagai negara dan benua. Interior mewah pesawat itu didominasi oleh warna krem dan emas yang elegan, memberikan kesan kemewahan dan kenyamanan yang tak tertandingi.
Di dalam pesawat, suasana relatif tenang, hanya terdengar deru halus mesin dan suara peralatan makan yang beradu pelan. Anggota Keluarga Brett tengah menikmati perjalanan panjang menuju Jakarta, sementara kru pesawat terlihat sibuk mempersiapkan makanan di bagian pantry. Di bagian depan, Tuan Zay dan Nyonya Olivia duduk dengan nyaman di kursi berlapis kulit yang empuk. Meja kecil di depan mereka dihiasi dengan hidangan makan siang ala western yang menggugah selera. Antara lain steak medium-rare dengan saus lada hitam, kentang tumbuk halus, dan sayuran kukus. Tuan Zay yang mengenakan kemeja putih dengan dasi longgar tampak rileks sambil menyesap anggur merah dari gelas kristal di tangannya. “Steaknya enak, kan, Darling?” tanya Nyonya Olivia sambil menyuapkan satu potongan daging steak ke mulutnya. Wanita sosialita itu terlihat sedang mengenakan gaun kasual berwarna pastel, yang tampak anggun dan santai. “Iya sungguh sempurna, Darling. Kru pesawat ini memang benar-benar tahu selera kita,” jawab Tuan Zay sambil tersenyum tipis. “Aku senang kita memutuskan untuk menggunakan jet pribadi pada perjalanan kali ini. Perjalanan kita jadi terasa lebih santai.” Nyonya Olivia mengangguk setuju. “Benar banget, Darling. Rasanya sudah lama kita tidak bepergian bersama dengan suasana setenang ini.” Lalu di kursi pojok, Raynard terlihat sedang duduk dengan pandangan kosong ke luar jendela pesawat. Pria itu terlihat asyik menatap awan-awan yang menggelayut di kejauhan. Di depannya juga tersaji hidangan makan siang yang sama, namun pria itu tampak tidak begitu bernafsu untuk makan. Sesekali, garpunya bergerak malas menyentuh makanan di piring, tapi pikirannya jelas melayang entah kemana. "Rebecca ..." gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Sudah bertahun-tahun, dia tidak mendapat kabar dari gadis yang diam-diam dicintainya. Kehilangannya begitu mendalam, seperti sebuah lubang yang tak bisa diisi oleh apapun. Segala sesuatu yang biasa dia nikmati sekarang terasa hampa baginya. Salah satu kru pesawat, seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun dengan seragam rapinya, terlihat sedang mendekat ke arah Raynard. “Apakah Anda butuh sesuatu, Tuan Raynard?” tanyanya dengan sopan. Raynard menggeleng pelan. “Tidak, terima kasih,” jawabnya singkat. Pemuda tampan itu terlihat kembali menatap ke arah luar jendela, mencoba mengabaikan perasaan kosong yang terus membelenggu hatinya. Sementara itu, di kursi belakang pesawat, Rayner dan Deborah terlihat jauh lebih ceria. Mereka berdua duduk berdampingan, dengan hidangan yang sama terhidang di meja kecil di depan mereka. Rayner, yang mengenakan kaos hitam santai, tersenyum penuh godaan sambil menyuap sepotong steak ke mulut Deborah. “Ayo, satu gigitan lagi, Sayang. Ini sangat enak, kan?” ucap Rayner dengan nada manja. Deborah tertawa kecil, bibirnya bergetar menahan malu. “He-he-he. Kamu memang selalu saja punya cara untuk menggodaku, ya?” balasnya sambil membuka mulut dan menerima suapan dari Rayner, suaminya. Gaun biru muda yang dikenakan oleh Deborah membuatnya tampak anggun, dan di matanya, terpancar rasa cinta yang tulus kepada suaminya. Rayner pun tertawa bahagia. “Ha-ha-ha! Ya, kan kamu istri kesayanganku. Aku harus pastikan kamu selalu bahagia, Deborah.” Setelah selesai makan, Rayner mengusulkan sesuatu dengan senyum nakal di wajahnya. “Deb, gimana kalau kita istirahat dulu? Di belakang ada satu kamar yang nyaman, kita bisa tiduran sebentar di sana.” Seringai licik, tergambar jelas di raut wajah tampannya saat ini. Deborah seketika menatap suaminya dengan curiga. “Tidur? Atau ada maksud lain, Rey?” Rayner tertawa, menunjukkan deretan giginya yang putih bersih. “Ha-ha-ha! Ya jelas ada maksud lain dong, Sayangku. Ayo, ikut aku,” ucapnya lalu meraih tangan istrinya dan menggenggamnya erat-erat. Deborah tak bisa menahan tawanya dan akhirnya mengikuti Rayner menuju ke salah satu kamar di bagian belakang pesawat. Kamar itu dilengkapi dengan ranjang king-size yang empuk, dilapisi sprei putih bersih. Lampu kamar yang redup menambah suasana romantis. Begitu mereka masuk, Rayner dengan cepat berbaring di atas ranjang, tangannya terentang lebar. Seraya berkata kepada istrinya “Nah, sekarang giliranmu untuk memanjakan pedang panjangku, Sayang. Ayo ke sini, Baby. Aku mau kamu yang naik,” ucapnya dengan nada yang dalam, tapi penuh godaan. Deborah meletakkan kedua tangannya di pinggang, menatap suaminya dengan tatapan setengah geli, setengah kesal. “Rayner! Kamu itu memang nggak ada kapoknya, ya? Kita lagi di atas pesawat, Sayang!” Namun, senyum di bibirnya tetap hadir menunjukkan jika dia menikmati perkataan suaminya yang selalu saja menggodanya. “Yah, namanya juga suami istri, Deb. Harus terus bermesraan untuk memupuk rasa cinta dan saling memiliki yang hakiki! Lagi pula, kita punya waktu sampai malam tiba sebelum pesawat ini mendarat untuk transit di Dubai,” jawab Rayner sambil mengedipkan satu matanya. Deborah terlihat menghela napasnya, tapi kemudian menyerah dan ikut berbaring di samping Rayner. “Kamu memang selalu tahu cara untuk merayuku,” tuturnya lagi. Rayner tertawa lagi, lalu dengan lembut menarik Deborah lebih dekat. “Karena aku tahu apa yang terbaik untuk kita, Sayangku!” “Yes! Baby! Lagi, Sayang! Oh!” desah Rayner yang mulai kewalahan saat istrinya sedang memainkan alat tempurnya di bawah sana. Membuat dirinya semakin melayang di udara padahal mereka juga sedang berada di dalam pesawat. “Terus, Deborah! Do it again! Kamu sangat jago, Sayangku!” seru Rayner lagi, yang semakin tertutupi aura kabut hasrat yang semakin berkobar. Dengan lihai, Deborah terus memanjakan senjata keramat milik Rayner. Mengulumnya, menjilat ujungnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Lidah Deborah juga ikut memainkan bola-bola kembar milik suaminya. Yang semakin membuat Rayner terbalut hasrat yang semakin naik. “Baby! Kamu hebat, Sayangku! Teruskan, Deb! Oh!” desah Rayner tak tertahankan. Sementara Raynard yang baru ke luar dari dalam toilet pesawat, terlihat geleng-geleng kepala saat melihat bangku Rayner dan Deborah yang kosong. Dia pun curiga jika pasangan sejoli itu sedang asyik bermesraan di dalam kamar. “Ya ampun Rayner! Lo benar-benar tak tahu tempat! Kita sedang dalam pesawat, berani-beraninya Lo melakukannya!” seru Raynard dalam hatinya. Waktu berlalu dengan cepat. Di luar, matahari perlahan mulai tenggelam, menggantikan siang dengan malam. Suasana di dalam pesawat masih tenang, hanya terdengar percakapan ringan antara Tuan Zay dan Nyonya Olivia, sementara Raynard tetap tenggelam dalam pikirannya, duduk sendirian di kursi pojok. Di dalam kamar, Rayner dan Deborah masih menikmati momen-momen romantis mereka dengan penuh kehangatan. Rayner memeluk Deborah erat-erat, memberikan ciuman lembut di keningnya. “Aku mencintaimu, Deb. Selalu. Terima kasih untuk servis singkatnya, Sayang” Deborah menatapnya dengan mata berbinar. “Aku juga mencintaimu, Rey. Iya, sama-sama, Sayang.” Mereka berdua akhirnya tertidur dengan damai, terhanyut dalam kebersamaan yang hangat dan penuh cinta, sementara jet pribadi mereka terus melaju di bawah langit malam, membawa keluarga Brett menuju ke Dubai untuk transit dan mengisi bahan bakar.Di tengah gemerlap malam di Kota Dubai, cahaya kota yang megah menerangi kamar President Suite yang mewah di sebuah hotel bintang lima di tengah-tengah gemerlapnya kota. Rayner dan Deborah baru saja tiba di kamar mereka yang megah setelah acara makan malam mewah bersama semua anggota Keluarga Brett. Seharian tadi, pasangan suami istri tersebut juga menghabiskan hari dengan kemesraan di kota metropolis yang penuh dengan kemewahan ini, sambil berjalan-jalan ke berbagai destinasi tempat wisata Kota Dubai. Kamar president suite mereka berada di lantai paling atas, dengan pemandangan indah Burj Khalifa yang menjulang tinggi. Ruangan itu dihiasi dengan furnitur elegan, dinding marmer, dan sebuah tempat tidur king-size yang tampak menggoda di tengah-tengah ruangan. Rayner menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, lalu menatap Deborah dengan senyum penuh cinta.Deborah, yang mengenakan gaun satin berwarna merah anggur, berjalan mendekat dengan langkah gemulai. Tatapan mata mereka saling berte
Perjalanan masih terus berlanjut,Sore itu, langit Dubai mulai berwarna keemasan menjelang malam. Keluarga Besar Brett berkumpul di area Dubai Fountain, salah satu atraksi paling menakjubkan di Dubai yang terletak di dekat Burj Khalifa. Angin hangat gurun pasir menyapu wajah mereka ketika sinar matahari terakhir perlahan mulai menghilang di ufuk barat, yang menandai jika akan dimulainya pertunjukan air mancur yang begitu terkenal.“Amazing, ya?” gumam Deborah, kagum melihat lampu-lampu di sekitar Burj Khalifa yang mulai menyala seiring datangnya malam. Di depannya, kolam besar yang menjadi latar pertunjukan Dubai Fountain terlihat berkilauan.Rayner tersenyum dan menatap Deborah di sampingnya. “Nggak cuma amazing, ini sih spektakuler.” Rayner kemudian menoleh pada kedua orang tuanya, Tuan Zay dan Nyonya Olivia, yang tampak mengobrol sambil menunggu pertunjukan dimulai.Ketika musik mulai dimainkan, air mancur mulai menari-nari mengikuti irama lagu yang energik. Tiba-tiba, Rayner meng
Setelah selesai sarapan pagi di restoran hotel tempat mereka menginap, Keluarga Besar Brett bersiap untuk memulai hari pertama mereka mengelilingi Dubai. Mommy Olivia tampak anggun dengan kacamata hitam dan scarf di leher, sementara Daddy Zay berdiri gagah di sampingnya dengan kemeja linen putih. Si sulung Raynard mengenakan kaos polo dan celana pendek santai, sedangkan adiknya, Rayner, tampil kasual namun rapi bersama istrinya, Deborah, yang selalu tersenyum manis.“Siap semua?” Daddy Zay memastikan setiap anggota keluarganya.“Siap, Dad!” Rayner menjawab semangat sambil merangkul pinggul Deborah, yang tersipu. Sementara Raynard hanya mengangguk santai.“Heboh banget sih, Lo! Kayak baru pertama saja ke sini!” kesal Raynard kepada adik kembarnya.“Jelas dong, Ray. Karena ini kali pertama aku jalan-jalan bersama Deborah, istriku! Memangnya kayak Lo? Betah menjomlo terus?” ejek Rayner kepada sang kakak.“Lo?” Raynard segera mengepalkan tangannya dan ingin menghajar adik kembarnya.Namu
Tiga hari liburan Keluarga Besar Brett di Dubai dimulai dengan kedatangan mereka di hotel mewah The Ritz-Carlton, Dubai. Hotel ini menawarkan suasana eksklusif dengan pantai pribadi yang bersih, lima kolam renang outdoor, dan kamar-kamar elegan yang langsung menghadap ke perairan biru Dubai Marina. Keluarga ini tiba dengan penuh semangat, bersiap untuk menikmati liburan singkat mereka sebelum kembali ke Jakarta.“Yei! Sayang akhirnya keinginan kita terwujud untuk liburan di Dubai!” tutur Rayner sambil merangkul erat pinggang istrinya.“Iya, Rey. Aku juga ikut senang,” ucap Deborah kepada suaminya.“Dan kita bisa lebih banyak punya waktu untuk bermain kuda-kudaan, Sayang!” tukas Rayner sambil menatap penuh rasa lapar ke arah istrinya yang sungguh memikat hatinya itu. Sementara Deborah hanya bisa tersenyum malu-malu saat ini. Apalagi Rayner sengaja membesarkan suaranya sehingga Raynard, saudara kembarnya juga ikut mendengar.“Cih! Dasar pasangan mesum! Ini masih pagi-pagi, Rey!” sindir
Jet pribadi milik Tuan Zay Brett akhirnya perlahan menuruni langit Dubai, mendarat dengan mulus di salah satu landasan di bandara internasional yang megah. Cahaya lampu yang gemerlap di Kota Dubai terlihat berkilauan dari jendela pesawat, menandakan kedatangan mereka di pusat salah satu kota termaju di dunia. Di dalam kabin yang mewah, Rayner yang duduk di samping istrinya, Deborah, yang tampak tak sabar.“Yeah, akhirnya kita sudah sampai di Dubai!” seru Rayner dengan antusias.Raynard, saudara kembarnya, yang duduk tak jauh darinya hanya bisa tersenyum tipis dan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Rayner yang tak pernah berubah sejak kecil.“Kita cuma transit, Rayner,” ucap Raynard, mencoba mengingatkan adiknya.“What? Hanya sekedar untuk transit? Tentu saja itu tidak boleh terjadi!” seru Rayner sambil tersenyum penuh misteri.Rayner pun pura-pura tak mendengarkan apa sedang dikatakan oleh kakak kembarnya, Raynard. Karena dia sudah punya rencana sendiri di kepalanya. “Mommy,
Pesawat jet pribadi milik keluarga Brett semakin melesat tinggi di udara, membelah langit biru di atas berbagai negara dan benua. Interior mewah pesawat itu didominasi oleh warna krem dan emas yang elegan, memberikan kesan kemewahan dan kenyamanan yang tak tertandingi.Di dalam pesawat, suasana relatif tenang, hanya terdengar deru halus mesin dan suara peralatan makan yang beradu pelan. Anggota Keluarga Brett tengah menikmati perjalanan panjang menuju Jakarta, sementara kru pesawat terlihat sibuk mempersiapkan makanan di bagian pantry.Di bagian depan, Tuan Zay dan Nyonya Olivia duduk dengan nyaman di kursi berlapis kulit yang empuk. Meja kecil di depan mereka dihiasi dengan hidangan makan siang ala western yang menggugah selera. Antara lain steak medium-rare dengan saus lada hitam, kentang tumbuk halus, dan sayuran kukus. Tuan Zay yang mengenakan kemeja putih dengan dasi longgar tampak rileks sambil menyesap anggur merah dari gelas kristal di tangannya.“Steaknya enak, kan, Darling?”