Malam itu, angin musim gugur berembus lembut di sepanjang jalanan ibu kota. Cahaya lentera berpendar keemasan, menerangi trotoar batu yang ramai oleh pedagang kaki lima dan pengunjung kedai. Li Feng berdiri di depan Kedai Tianxiang, sebuah bangunan dua lantai yang cukup besar, dengan aroma harum masakan yang menguar dari dapurnya. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk.
Di dalam, suasana penuh riuh rendah. Para pelanggan menikmati makanan mereka sambil bercakap-cakap, sementara pelayan berlalu-lalang membawa nampan penuh mangkuk dan teko arak. Seorang pria bertubuh kekar, dengan lengan tergulung dan celemek yang tampak kotor karena percikan minyak, menatap Li Feng dengan mata tajam. "Kau siapa?" suara pria itu berat dan berwibawa. Li Feng membungkuk dengan hormat. "Nama saya Li Feng. Saya datang untuk mencari pekerjaan." Pria itu menyipitkan mata, mengamati pakaian Li Feng yang lusuh dan wajahnya yang terlihat lelah setelah perjalanan panjang. "Hah! Apa kau bisa bekerja keras? Kedai ini bukan tempat bagi orang yang malas." "Saya bisa bekerja keras, Tuan. Berikan saya kesempatan," jawab Li Feng tanpa ragu. Pria itu, yang ternyata adalah Bos Sun, pemilik Kedai Tianxiang, mendengus sebelum melambai pada seorang gadis yang berdiri tak jauh dari mereka. "Xiao Lan, bawa dia ke dapur. Ajari dia cara mencuci piring." Xiao Lan, seorang gadis muda dengan rambut panjang diikat sederhana, melirik Li Feng dengan rasa ingin tahu sebelum mengangguk. "Baik, Bos." Ia memberi isyarat agar Li Feng mengikutinya. Dapur kedai dipenuhi panas uap dan aroma bumbu yang tajam. Di satu sisi, seorang koki tengah mengaduk wajan besar, sementara pelayan lain sibuk memotong sayuran dan mengatur piring. "Kau bisa mulai dari sini," kata Xiao Lan, menunjuk tumpukan piring kotor yang menggunung. Li Feng menggulung lengan bajunya dan langsung bekerja. Tangannya bergerak cepat, mencuci dan membilas piring dengan cekatan. Meski airnya dingin dan sabun menusuk kulit, ia tidak mengeluh. Setelah beberapa saat, Xiao Lan menyandarkan punggungnya ke meja dan memperhatikan pemuda itu. "Dari mana asalmu?" "Desa Ping An," jawab Li Feng tanpa menoleh. Xiao Lan mengerutkan kening. "Itu cukup jauh. Apa yang membawamu ke ibu kota?" Li Feng berhenti sejenak, lalu melanjutkan pekerjaannya. "Aku ingin mengubah nasibku." Mata Xiao Lan berbinar. Ia tersenyum samar. "Banyak orang datang ke ibu kota dengan harapan yang sama. Tapi kota ini keras, dan tidak semua orang berhasil." Li Feng menatapnya dengan sorot mata penuh tekad. "Aku tidak punya pilihan selain berhasil." Xiao Lan terdiam, memandang pemuda desa itu dengan perasaan campur aduk. Ia mengenali semangat yang sama dalam dirinya sendiri bertahun-tahun lalu. Hari berlalu dengan cepat. Li Feng segera terbiasa dengan ritme kerja di kedai. Meski hanya seorang tukang cuci piring, ia tidak keberatan bekerja keras. Namun, suatu malam, suasana kedai berubah drastis. Seorang pria bertubuh tinggi dan kekar masuk ke dalam kedai dengan langkah berat. Wajahnya penuh luka, dan pakaiannya tampak berdebu. Semua orang menoleh saat ia melempar sekantong koin ke meja. "Beri aku arak terbaik!" katanya dengan suara lantang. Pelayan dengan cepat membawakan arak. Pria itu menuang isinya ke dalam mangkuk besar dan meneguknya dalam sekali teguk. Bos Sun yang berdiri di sudut kedai menyipitkan mata. Ia mengenali pria itu—Hu Lang, seorang pendekar bayaran yang terkenal suka membuat keributan. Hu Lang menyeringai, lalu menatap sekeliling. "Kedai ini terlalu sepi! Bagaimana kalau kita buat sedikit hiburan?" Ia tiba-tiba menarik pelayan yang lewat dan mencengkeram lengannya. "Kenapa kau tidak menemaniku minum?" Pelayan itu, seorang gadis muda, ketakutan dan berusaha menarik lengannya. "Tuan, saya hanya pelayan, saya—" "Jangan menolak!" Hu Lang menariknya lebih keras. Para pelanggan mulai berbisik-bisik, tetapi tidak ada yang berani menantang Hu Lang. Li Feng yang sedang membersihkan meja melihat kejadian itu dan mengepalkan tangan. Ia maju beberapa langkah, berdiri di antara Hu Lang dan gadis itu. "Lepaskan dia," ucapnya dengan tenang. Hu Lang menatap Li Feng, lalu tertawa keras. "Kau ini siapa? Berani-beraninya menggangguku?" Li Feng tetap teguh. "Kedai ini bukan tempat untuk membuat masalah." Mata Hu Lang menyipit. Ia melepaskan lengan pelayan itu, tetapi kemudian meninju ke arah Li Feng. Tanpa berpikir panjang, Li Feng mengangkat tangannya dan menangkis pukulan itu. Ia tidak tahu dari mana refleksnya berasal, tetapi dalam sekejap, ia merasakan tubuhnya bergerak dengan kelincahan yang mengejutkan. Sebuah dorongan kuat keluar dari tangannya, dan sebelum Hu Lang menyadarinya, tubuhnya terhempas ke belakang, menabrak meja dan membuat pecahan mangkuk berjatuhan ke lantai. Kedai terdiam. Semua orang menatap Li Feng dengan takjub. Bos Sun mendekat, matanya menyipit penuh perhatian. "Nak... dari mana kau belajar bela diri?" Li Feng sendiri terkejut. Ia tidak pernah secara resmi belajar bela diri, tetapi tubuhnya bereaksi begitu alami. Hu Lang bangkit dengan wajah merah padam. "Bocah sialan! Berani-beraninya kau mempermalukanku?" Ia menghunus pedangnya. Li Feng merasakan bahaya yang nyata. Tetapi sebelum Hu Lang bisa menyerangnya, suara berat terdengar dari pintu. "Cukup." Seorang pria berpakaian baja masuk. Di dadanya tersemat lambang kekaisaran. Prajurit Kekaisaran. Semua orang langsung menundukkan kepala. Prajurit itu berjalan mendekati Hu Lang dengan ekspresi dingin. "Hu Lang, kau dicari karena kejahatanmu. Ikutlah dengan kami, atau kami akan menangkapmu dengan paksa." Hu Lang mendecak kesal. Ia tahu tidak ada gunanya melawan. Dengan tatapan penuh kebencian, ia menatap Li Feng sebelum meludah ke lantai. "Kita akan bertemu lagi, bocah." Para prajurit menyeretnya keluar dari kedai. Begitu mereka pergi, suasana kedai kembali berangsur normal. Tetapi mata semua orang kini tertuju pada Li Feng. Bos Sun menatapnya lama, lalu tiba-tiba tertawa. "Aku tidak tahu kalau kau bisa bertarung, Nak!" Li Feng tersenyum canggung. Tetapi di sudut ruangan, seseorang diam-diam memperhatikan. Seorang pria berpakaian sederhana, tetapi dengan mata tajam seperti elang. Ia menyesap tehnya perlahan, lalu meletakkan cangkirnya. "Menarik..." bisiknya. Tanpa diketahui Li Feng, malam itu bukan hanya awal dari pekerjaannya di Kedai Tianxiang—tetapi juga awal dari sesuatu yang lebih besar. Malam itu, ketika Li Feng kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya, Xiao Lan mendekatinya dengan ekspresi serius. "Kau tahu siapa pria yang tadi memperhatikanmu?" Li Feng menggeleng. Xiao Lan menelan ludah, suaranya lirih. "Dia adalah utusan dari istana. Dan aku pikir... dia tertarik padamu."Di tepi danau yang jernih, di sebuah desa terpencil di pegunungan, seorang bocah lelaki berlari mengejar bola yang terlempar jauh. Ia terjatuh ke tanah, tetapi tawa riangnya bergema di udara yang sejuk. Wajahnya yang polos, masih penuh dengan semangat muda, menatap langit biru yang tak terbatas. Namun, di saat itulah matanya tertumbuk pada sesuatu yang tak biasa di tepi danau. Di sana, tertanam di lumpur yang basah, sebuah benda yang mengeluarkan kilau samar. Li Shen, nama bocah itu, berjongkok dengan penuh rasa penasaran. Ia membersihkan tanah dan lumpur yang menutupi benda tersebut, hingga akhirnya sebuah pedang karat yang usang terungkap. Pedang itu tampak seperti barang tua, penuh dengan karat dan bercak darah yang mengering di sepanjang bilahnya. Meski begitu, ada sesuatu yang aneh pada pedang itu—sebuah aura, yang sepertinya bersifat menantang, membuat Li Shen merasakan getaran halus di tangannya. “Apa ini?” Li Shen berbisik, terkejut dengan penem
Dua tahun telah berlalu sejak pengorbanan Li Feng. Dunia, yang sempat dipenuhi kegelapan dan kebingungan, kini kembali tenang. Tian Yi berdiri di depan gerbang besar Perguruan Naga Langit Baru, menatap langit yang cerah, yang semakin meluas di hadapannya. Sudah menjadi kebiasaan bagi para pendekar untuk datang dan mempelajari ilmu-ilmu kuno yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda dalam dirinya. Ia merasa bahwa meski dunia ini damai, bayangan masa lalu selalu mengikuti langkahnya. "Perjalanan ini belum berakhir, Tian Yi," suara Mei Yue terdengar pelan dari belakangnya. "Kau tahu itu, bukan?" Tian Yi mengangguk pelan, matanya menatap pedang yang tergantung di sisi tubuhnya. Pedang itu, yang dulu milik gurunya, Li Feng, kini ia pegang erat. Pedang Naga Langit, senjata yang memiliki kekuatan luar biasa, tapi juga kutukan yang tak pernah bisa dipisahkan. Kekuatan itu ada dalam genggamannya, tapi kini, ia lebih dari s
Langit yang semula berwarna merah darah kini mulai memudar. Waktu terasa melambat, seperti terperangkap dalam ruang yang tak bisa diukur. Li Feng berdiri di tengah pusaran kegelapan yang mengancam untuk merobek dunia ini. Seiring dengan hembusan angin yang membawa aroma kehancuran, ia menyadari bahwa ini adalah akhir dari segala sesuatu yang pernah ia kenal. Ia sudah jauh melangkah—tak ada jalan kembali. Dalam diam, ia memandang Mei Yue, yang kini berdiri di sisi lainnya, matanya dipenuhi dengan rasa takut dan kehilangan yang dalam. “Li Feng…” Mei Yue memanggil dengan suara tergetar, namun ada keteguhan yang tercermin di baliknya. “Apa kau benar-benar akan melakukan ini? Apa kau benar-benar akan meninggalkan kita semua?” Li Feng menatap Mei Yue, seakan ingin menyampaikan begitu banyak hal dalam satu tatapan. Tapi kata-kata terasa tak cukup. Ia hanya bisa tersenyum, senyuman yang penuh kepedihan. "Aku berjanji untuk mengakhiri ini. Dan itu berarti… aku h
Langit telah berubah warna. Merah darah mengoyak cakrawala, seolah-olah dunia sedang menangis. Asap dan abu beterbangan menari bersama reruntuhan. Jeritan manusia tak lagi terdengar, bukan karena tak ada yang berteriak, tapi karena dunia telah menjadi terlalu sunyi untuk mendengarkannya. Li Feng berdiri di tengah medan pertempuran, tubuhnya berlumur darah, tapi tak semuanya miliknya. Mei Yue di sampingnya, wajahnya tak lagi penuh amarah, tapi… ketakutan. Bukan karena Tian Xuan, bukan karena ribuan iblis yang berdiri di baliknya, tapi karena senyuman di wajah Li Feng yang ia tahu… bukan senyum kemenangan. “Jadi… akhirnya begini, ya?” suara Li Feng nyaris seperti bisikan angin. Mei Yue menggenggam lengan bajunya. “Kau tak harus melakukannya. Kita bisa cari cara lain. Tian Yi, dia masih di sana. Dia belum kalah!” “Bukan tentang kalah atau menang.” Li Feng menatap awan kelam yang bergulung di atas ibu kota. “Ini tentang apa yan
Langit Menyimpan Rahasia Udara malam menyisakan bau darah dan abu. Kota Xiangluan baru saja melewati malam yang sunyi namun mengguncangkan: serangan kelompok bayangan yang memporakporandakan gerbang timur dan menghilang tanpa jejak. Di atas tembok kota, seorang pemuda berselimut mantel hitam berdiri menatap bintang-bintang yang tertutup awan. Angin dingin menampar wajahnya, tapi matanya justru menyala oleh semangat yang sukar dijelaskan. Tian Yi menarik napas panjang. "Sudah sepuluh tahun... dan aku masih belum tahu siapa aku sebenarnya..." Tangannya menggenggam liontin batu giok yang tergantung di lehernya—batu yang dulu ditemukan di samping tubuhnya saat ia terbangun tanpa ingatan, di kaki gunung Qingshan. Sejak saat itu, ia belajar silat di perguruan Gunung Seribu Awan, menjelajahi negeri demi mencari potongan ingatan, dan kini berdiri di hadapan dunia yang dilanda perang dan misteri. Suara langkah ringan
Hari-hari setelah pertempuran di dimensi tanpa waktu itu, Tian Yi mendapati dirinya dalam perjalanan panjang menuju takdir yang tak pernah ia duga. Dalam keheningan malam, ketika angin berhembus dingin dan pemandangan di sekelilingnya tampak kabur, ia berlatih dengan tekun. Langit yang dipenuhi awan tebal seolah menjadi saksi bisu atas kesendirian yang ia rasakan dalam hatinya. Satu lengan yang hilang, menggantungkan beban berat dalam setiap gerakan. Dengan semangat yang tak pernah pudar, Tian Yi berusaha mengatasi kekurangannya. Setiap latihan yang dilakukannya adalah untuk mengisi kekosongan, untuk mengembalikan kehormatan yang telah hilang dalam dirinya. Begitu banyak hal yang masih membebani pikirannya—pedang naga langit, kegelapan yang terus mengintai, dan pertarungan tak berkesudahan dengan bayangan masa lalu. "Tian Yi, apakah kau merasa cukup?" suara Li Feng, yang kini hanya bergema dalam pikirannya, berbisik perlahan. "Hanya dengan satu tangan,