Sembari bicara demikian pada Clara, salah satu tangan Bagas terangkat seperti ingin menampar pipi Clara.
Membuat Clara terdiam seketika karena terkejut sang suami belakangan ini sering main tangan jika bertengkar dengannya apalagi jika sudah berkaitan dengan Anisa. Akhirnya, Clara pasrah membiarkan suaminya untuk mengantarkan Anisa ke rumah sakit, setelah dengan sangat terpaksa, ia memberikan uang pada Bagas sebagai bentuk pertanggungjawaban lantaran ia membuat Anisa celaka seperti tadi. Ketika Clara larut dalam perasaan hancurnya, ponselnya berdering. Dengan gerakan lambat karena seolah tidak punya daya, Clara mengeluarkan benda itu dari dalam tasnya. Nina memanggil. Clara langsung menerima panggilan itu dengan perasaan bertanya-tanya. {Ra, kamu di mana?} Nina langsung melontarkan pertanyaan setelah panggilannya diterima oleh Clara. {Aku di rumah, kenapa?} {Pak Johan marah sama kamu, karena kamu enggak ikut rapat tadi} Nina segera mengatakan kenapa ia menelpon Clara. {Tapi kamu bilang aku lagi ada keperluan penting, kan?} {Iya. Aku bilang, suami kamu sakit jadi kamu harus pulang cepat, tapi, Ra, seharusnya kan, kamu yang bersama suami kamu, ini kok, perempuan itu?} Kening Clara bertaut ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Nina. {Maksud kamu apa?} Nina langsung mengirimkan foto pada Clara dan Clara terkejut ketika melihat foto yang dikirim oleh Nina padanya. Foto Bagas dengan Anisa, dan saat foto itu diambil, Bagas memapah Anisa seolah-olah perempuan itu tidak bisa berjalan padahal menurut Clara, Anisa tidak sampai harus seperti itu karena Clara sempat melihat kondisi kaki perempuan tersebut setelah sup itu mengenai kakinya. Ada perasaan panas menyelimuti hati Clara yang sudah panas sejak tadi. Namun, Clara berusaha untuk menguasai diri khawatir sahabatnya itu tahu, ia sekarang terpuruk karena Anisa pula. {Dia emang lagi nganter Anisa berobat, itu gara-gara aku, aku enggak sengaja nyenggol panci berisi sup, dan sup itu jatuh kena kakinya} Clara menerangkan kejadian yang baru saja dialaminya, membuat Clara bisa merasakan, Nina menarik napas berat di seberang sana. {Tapi enggak gitu juga kali caranya, dia memapah seolah kaki Anisa itu cacat, lho, aku pengen labrak dia jadinya!} Suara Nina terdengar diliputi perasaan emosi, dan ini membuat perasaan Clara semakin bercampur aduk. {Terus, apa kata Pak Johan, Nin?} Clara sengaja mengalihkan percakapan, tidak mau mereka membahas Bagas, karena rasa sakit itu akan semakin menjadi jika sekarang mereka membicarakan suaminya tersebut. {Kamu harus terima tawaran dari designer yang tadi ikut hadir saat rapat, kalau enggak, Pak Johan mecat kamu!} Tubuh Clara mendadak kaku mendengar informasi yang disampaikan oleh Clara. {Kamu tau tawaran itu gimana, enggak?} Sebuah pertanyaan diajukan oleh Clara, dengan nada suara terbata, khawatir tawaran itu mengandung sesuatu yang sudah ia tegaskan tidak mau ia lakukan untuk membuat suaminya tidak lagi uring-uringan. {Aku belum melihat konsepnya secara menyeluruh, sih, tapi mending kamu jangan nolak, kalau enggak mau karir kamu abis} Sebuah saran diucapkan oleh Nina, dan Clara menarik napas mendengarnya. {Baiklah. Kamu tolong kasih tau aku kalau sudah tahu semua konsepnya ya, aku tutup dulu telponnya} {Tunggu, Ra!} Clara mengurungkan niatnya untuk mengakhiri percakapan ketika Nina mengatakan hal itu padanya. {Apa?} {Suami kamu lagi sakit, kan? Tapi sekarang dia ke rumah sakit nganterin perempuan lain, kayak janggal dilihat gitu, kenapa bukan kamu aja yang nganter Anisa?} Nina ternyata kembali membahas sesuatu yang sangat dihindari Clara untuk dibahas dengan orang lain, terutama untuk sekarang ini. Namun, tentu saja Clara tidak bisa untuk tidak menjawab pertanyaan dari Nina, karena jika itu dilakukannya, Nina akan terus bertanya disetiap kesempatan. {Aku, kan enggak bisa bawa motor, masa mau tumpuk tiga? Enggak bisa dong?} Alasan itu dianggap Clara tepat untuk menjawab pertanyaan Nina, tapi ternyata, Nina tetap tidak puas dengan jawaban sahabatnya tersebut. {Bisa pake taksi online, kan? Harusnya kamu yang bawa Anisa kalau memang kamu yang bertanggung jawab, bukan Bagas!} {Sesekali, enggak papa, lain kali aku enggak akan mengizinkan, ohya, kenapa kamu bisa ada di rumah sakit? Kamu sakit?} Clara menjawab tapi juga berusaha untuk mengalihkan percakapan itu kembali. {Aku ditelpon Mama, beliau sakit jadi aku mampir buat nengok, nanti balik ke agensi lagi kok, ya sudah, Ra, kamu jangan beri celah wanita lain untuk pergi-pergi sama suami kamu, lho! Berhijab bukan berarti enggak bisa khilaf, kan?} Nina mengakhiri percakapan, perempuan itu sepertinya sedang terburu-buru. Clara menarik napas mendengar nada suara Nina yang terdengar aneh di telinganya. Sebenarnya, sahabatnya itu melihat apa? Sampai bisa mempengaruhi suaranya begitu. Karena penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, sebab, ibunya Nina yang sudah ia anggap ibunya sendiri semenjak ibunya sudah tidak ada tersebut sedang sakit, Clara jadi ingin menengok. Ia tahu rumah sakit yang biasa direkomendasikan Nina untuk berobat karena pelayanannya sangat bagus. Clara yakin, sekarang Nina dan ibunya ada di sana. Clara juga ingin melihat kelanjutan Bagas dan Anisa yang sedang berobat di sana. Semoga saja, kekhawatirannya tidak terbukti, karena sejujurnya ia tidak mau terus menerus bertengkar dengan suaminya. Bergegas, Clara merapikan belanjaannya dahulu di kulkas, dan membersihkan kuah sup yang mengotori lantai dapur, setelah itu terburu-buru ia memesan ojek online, dan keluar. Saat di ruang tamu, ia berpapasan dengan ibu mertuanya yang tadi sempat mengantar Bagas juga Anisa berangkat ke rumah sakit. Melihat Clara yang ingin pergi lagi, sang ibu mertua mencegah Clara untuk melewatinya meskipun Clara sudah pamit untuk sesuatu yang penting. "Kamu mau membuntuti Bagas dan Anisa?" tanya ibu mertuanya, setelah mendengar perkataan pamit Clara. "Enggak, Ma. Nina tadi nelpon, dia butuh bantuan, soal pekerjaan. Aku pergi sebentar, ya, Ma!" Setengah mati, Clara berusaha untuk tidak dicegah. Tamparan ibu mertuanya tadi memang tidak terlalu keras, tapi cukup menghancurkan seluruh hatinya, rasanya sekarang, Clara sedikit sulit untuk bersikap biasa di hadapan wanita tersebut. "Kamu itu, baru datang pergi lagi, bosan Mama melihat kamu! Kamu kasih uang tidak sama Bagas? Kamu yang harus tanggung jawab sama Anisa, jadi harus pakai uang kamu!" Nada suara ibu mertuanya terdengar meninggi saat mengucapkan kalimat itu pada Clara. "Iya. Aku sudah ngasih uang sama Bagas, kok. Aku pergi, Ma!" Berlina menjauhkan telapak tangannya ketika Clara berniat untuk mencium telapak tangannya sebelum pergi pertanda pamit. Hati Clara sesak, tapi Clara mencoba untuk bersabar, dan ia segera melangkah melewati ibu mertuanya tanpa peduli omelan yang dilontarkan sang ibu mertua padanya ketika melihat ia tetap pergi. Apa Bagas minta uang padanya itu perintah dari mertuanya? Ada pertanyaan seperti itu berkelebat di benak Clara, tapi Clara mengabaikan dan memilih untuk segera berangkat ke rumah sakit, dan tidak lupa ia mengirim pesan pada Nina agar sahabatnya itu memberi tahu padanya ruangan ibu Nina dirawat. Sesampainya di rumah sakit, Clara yang sebenarnya tidak mau berpikir yang tidak-tidak tentang Bagas dan Anisa dikejutkan oleh pemandangan yang disuguhkan oleh Bagas serta Anisa kembali. Kedua orang itu sedang menebus resep. Dari arah belakang, Clara melihat Bagas seperti sedang mengantar istri yang sedang berobat. Jarak keduanya sangat dekat, dan ia juga melihat sikap Anisa pada suaminya juga sangat manja seolah-olah Bagas adalah suami perempuan tersebut. Clara naik pitam. Kali ini kemarahannya lebih besar dibandingkan saat ia melihat keduanya berada di dapur yang ada di rumahnya. Ketika Clara sudah sampai di belakang kedua orang itu untuk menegur sikap Anisa yang menurutnya berlebihan pada suaminya, tiba-tiba saja, seorang suster mendekati Bagas dan mengajak suaminya bicara hingga Clara mengurungkan niatnya sejenak. "Pak, bisa beritahu informasi hubungan Bapak dengan pasien? Karena nanti ada anjuran dari dokter terkait kondisi kaki pasien?" Suster itu melontarkan pertanyaan tersebut pada Bagas dan Bagas dengan cepat menjawab pertanyaan itu tanpa ragu, karena tidak menyadari ada istrinya tepat di belakangnya. "Oh, pasien istri saya Suster, saya-" "Bagas!! Siapa yang kamu bilang istri kamu?! Perempuan ini bukan istri kamu, Bagas! Aku istri kamu!"Situasi di tempat itu jadi kacau, Anisa yang tidak terima dengan apa yang sudah terjadi hanya bisa histeris seperti orang gila, hingga mau tidak mau Hasnah dan ibunya berusaha menenangkannya sementara Bagas setelah menalak cerai Anisa segera keluar dari ruangan itu tidak peduli Anisa berteriak untuk mencegahnya.Pria itu benar-benar marah besar hingga untuk memandang wajah Anisa saja ia merasa sangat muak.Perasaan marah Bagas berbaur dengan perasaan bersalah Bagas pada sang mantan istri, Clara. Berbagai macam penyesalan Bagas sepertinya tidak akan cukup untuk membuat ia menebus kesalahannya pada perempuan yang ternyata tidak bersalah sama sekali tersebut.Bagas benar-benar hancur, ia membuat Clara pergi darinya padahal perempuan itu yang sangat baik untuk menjadi istrinya. "Clara, kamu di mana Sayang. Maafkan aku. Aku sangat bersalah padamu."Bagas mengucapkan kalimat itu berkali-kali dalam rasa sakit dan hancur yang sekarang menguasai perasaan dan juga hatinya.***"Bagaimana Papi
Kayaknya, dia memang memprihatinkan sekarang, penampilannya biasa selalu gagah, tapi sekarang seperti tidak terurus, pelakor berkedok syar'i nya itu ternyata tidak bisa mengurus dia, beda sama Clara, saat Bagas bersama Clara, Bagas terlihat sangat terawat.Hati Nina bicara seperti itu ketika ia menatap penampilan Bagas yang terlihat lusuh. Membuat amarahnya yang tadinya meledak ledak terpaksa ditahannya."Aku benar-benar tidak tahu Clara sekarang di mana. Dia merasa Samarinda ini membuat hatinya tidak bisa untuk tidak hancur. Apa yang kamu lakukan itu sudah sangat keterlaluan, Bagas, kamu yang selingkuh tapi kamu juga yang menuduh Clara selingkuh."Nina bicara seperti itu dengan nada suara yang menurun tidak tinggi seperti tadi meskipun sebenarnya ia tetap marah pada Bagas, namun karena melihat keadaan Bagas yang sekarang, Nina jadi berusaha untuk menahan diri untuk tidak melampiaskan kemarahannya."Aku menyesal, Nina. Aku harap sebagai sahabatnya bantu aku untuk bertemu dengannya, k
Ditatap seperti itu oleh Bagas, tidak membuat Anisa jadi khawatir. Menurut Anisa, ia sekarang harusnya diperlakukan seperti raja karena sudah banyak mengorbankan diri untuk membuat mereka tetap tinggal di rumah mewah."Kamu tidak seharusnya tidak shalat, kan? Apalagi kamu berpakaian syar'i, apa kata orang?" kata Bagas dan perkataannya itu membuat Anisa melangkah mendekatinya."Terus kamu sendiri? Apa pernah shalat? Kita semua itu munafik, enggak usah saling mengkritik!""Aku shalat! Kamu yang tidak pernah!" bentak Bagas kesal dengan sikap perlawanan Anisa."Oh, kamu shalat?""Clara selalu bilang, meskipun belum sepenuhnya menjadi orang yang taat, setidaknya shalat tetap dilakukan, masalah diterima atau tidak, itu urusan belakangan, yang penting dilakukan."Telapak tangan Anisa mengepal mendengar perkataan Bagas yang menyebut Clara segala."Kamu cari dia lagi di luar?" katanya, melupakan sejenak perdebatan mereka tentang shalat. "Aku cari dia atau tidak itu bukan urusan kamu!" jawab
"Pi, perempuan yang Papi sukai sudah bercerai dari suaminya, Papi pasti berniat untuk mendapatkan dia, kan?" Telapak tangan Pak Christ mengepal mendengar apa yang dikatakan oleh sang anak. Namun, ia tidak mau terpancing karena tidak mau bertengkar dengan anaknya. "Carli, Papi mengaku salah sudah khilaf berbuat itu, tapi Papi harap, jangan benci Papi, jangan rusak dirimu sendiri, kau masih punya adik yang harus diberikan contoh baik, Papi gagal, tapi aku harap kamu tidak." "Jadi, Papi mau mengaku salah di hadapan mami?" "Berikan Papi waktu, suatu saat, Papi akan berterus terang pada ibumu, tapi tidak sekarang, dan kamu jangan seperti ini, Papi mengandalkan kamu, Carli." "Aku mau bertanya, apa saja yang sudah Papi lakukan pada Anisa?" "Kenapa kamu bertanya seperti itu?" "Papi jawab saja, apa yang pernah Papi lakukan padanya selain memasuki dia dari belakang?" ulang Carli dengan nada suara meninggi pertanda emosinya berusaha untuk ditahan. "Sudahlah. Tidak perlu dibahas
Namun, pria yang tidak lain adalah Sean itu tidak peduli dengan reaksi Bagas atas apa yang ia ucapkan tadi. Pria itu segera mengajak Clara beranjak dari tempat itu meninggalkan Bagas yang hanya bisa menggertakkan rahangnya karena sangat marah luar biasa.Sean membawa Clara masuk ke dalam mobilnya tanpa peduli Bagas masih tetap memperhatikannya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Sean melihat wajah Clara yang kelihatan pucat. "Enggak papa. Aku cuma ingin menjauh dari Bagas secepatnya."Sean mengangguk mendengar apa yang dikatakan oleh Clara. Ia segera menstater mobilnya dan mengendarai mobilnya meninggalkan tempat itu secepatnya.***Pasca perceraian yang sudah terjadi, Clara menolak ketika Sean mengajaknya untuk mengadakan jumpa pers di media agar nama baiknya kembali bersih setelah video tidak senonoh itu beredar akibat ulah Bagas. Namun, bantuan Sean yang bisa menghapus video itu di berbagai media yang sudah tersebar berkelanjutan diterima oleh Clara, dan sekarang video itu sudah tidak
"Mas, apa yang kamu lakukan?!" teriak Anisa sekerasnya agar ia bisa menghentikan perbuatan Pak Christ yang brutal membuka kedua pahanya.Namun, teriakan Anisa tidak dihiraukan oleh Pak Christ. Pria itu membuka celananya dengan cepat sementara satu tangannya menahan pergerakan Anisa yang ingin menutup kembali kedua pahanya karena khawatir posisi itu akan membuat Pak Christ melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan. Namun, Pak Christ yang sudah sangat marah lantaran tidak terima Anisa menganggu sang anak semakin sulit untuk dilawan. Pria itu membabi buta tidak peduli dengan teriakan kesakitan Anisa, ia mengarahkan kejantanannya pada milik Anisa tanpa melakukan pemanasan sama sekali dan tidak peduli Anisa tidak mengizinkan ia memasukinya dari depan karena khawatir ia keguguran. "Mas! Sakit!!" teriak Anisa untuk yang kesekian ketika kejantanan Pak Christ melesak masuk ke dalam miliknya secara paksa dan itu sangat menyakitkan karena ia tidak terangsang sama sekali.Perempuan itu berusaha