Share

PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I
PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I
Penulis: Heaven Nur

01. Kecurigaan Kanaya

"Noda lipstik siapa ini? Warna merah yang begitu terang, sepertinya aku tidak memiliki lipstik yang berwarna seperti ini."

Kanaya begitu penasaran ketika mendapati noda merah di kemeja bekas suaminya. Saat ini wanita itu sedang berdiri di depan mesin cuci.

"Apa mungkin Mas Abi berselingkuh? Atau noda ini tidak sengaja menempel karena suatu hal??"

Kanaya semakin curiga dengan noda lipstik yang menempel di pakaian Abimana.

Ya, walaupun hanya setitik noda merah yang terlihat di mata Kanaya, tapi istri mana yang tak kan curiga pada suaminya jika mendapati hal yang sama? Bukan berdoa hal yang tidak-tidak, tapi firasat buruk tentang seorang perempuan yang disebut pelakor pasti langsung menari-nari di kepala.

"Sayang, kamu sedang apa? Kenapa belum tidur?" tanya Abimana yang tiba-tiba memeluk Kanaya dari belakang. Apa mungkin sikap manis yang selalu ditunjukkan pada istrinya hanya sebagai tameng perselingkuhan?

Kanaya terkejut. Ia langsung menjatuhkan kemeja yang ia pegang ke keranjang pakaian kotor. "Eh, Mas! Aku mau cuci baju, besok kan aku harus nemenin Aqila ke toko buku," jawab Kanaya terbata dan gugup. Sama seperti hatinya yang saat ini sedang bergemuruh.

"Benarkah?" Abimana tampak ingin memastikan. "Emm ... kalau begitu, aku tidur duluan ya," ucap Abimana lagi sembari melepas pelukan dan mengecup pipi kanan Kanaya.

"Iya, Mas." Kanaya mengangguk sembari tersenyum getir. Ada rasa pilu yang hinggap di hati. Entah mengapa sikap manis Abimana malam ini terasa sangat hambar.

Setelah memastikan suaminya pergi dari hadapan, Kanaya kembali meraih kemeja kotor itu untuk memastikan. Walaupun sebenarnya ia sudah sangat yakin, tapi ia ingin menepis firasat itu dengan kepastian yang dibuatnya sendiri. Bahwa, noda itu adalah suatu kecelakaan yang tidak disengaja oleh suaminya.

Aku harus fokus! Mas Abi adalah suami terbaik untukku!

Berkali-kali Kanaya mengatakan itu untuk meyakinkan dirinya sendiri. Dengan cepat, ia mengisi mesin cuci dengan air dan sabun untuk segera menghilangkan noda merah yang mengganggu hati dan pikirannya.

Tiga puluh menit berlalu. Kanaya sudah menyelesaikan cucian. Setelah mengangkat pakaian bersih dari mesin cuci dan menaruhnya di keranjang lain, Kanaya bergegas masuk ke kamar untuk istirahat. Setelah melakukan pekerjaan rumah tangga seharian membuat tubuhnya terasa pegal-pegal. Sejenak ia menghapus firasat tentang noda merah yang ia temukan, dan menggantinya dengan hal lain. Saat ini, wanita itu benar-benar mengantuk dan ingin segera menghempaskan tubuh ke atas kasur.

Rasa kantuk yang sudah bergelayut di kedua mata tiba-tiba menghilang ketika Kanaya tidak mendapati suaminya di dalam kamar. "Mas Abi ke mana?" gumamnya sambil celingukan menelisik sekitar. Kanaya keluar lagi dari kamar dengan berjalan perlahan. Ia ingin mengetahui keberadaan suaminya.

Langkah Kanaya terhenti saat samar-samar ia mendengar suara suaminya sedang berteleponan dengan seseorang. Wanita yang sudah memakai piyama tidur itu melangkah mendekati Abimana yang tengah berbaring di sofa. Di ruang televisi dengan suasana temaram, membuat Kanaya tidak bisa melihat suaminya dengan jelas.

Kanaya terus berjalan mendekat ke sofa tempat Abimana berbaring. Kenapa Abimana menelepon seseorang dengan suara berbisik? Malah lebih terkesan seperti sedang bersembunyi dari Kanaya.

"Mas Abi lagi teleponan sama siapa?"

Kanaya sangat penasaran.

"Ah, mungkin teman bisnisnya. Lebih baik aku tidur."

Kanaya memutar badan hendak kembali ke kamar, tetapi langkahnya terhenti ketika panggilan mesra terucap dari bibir Abimana, Wanita itu berdiri mematung dengan hati tidak karuan. Walaupun ia tidak bisa melihat jelas posisi sang suami, tetapi Kanaya bisa mendengar semua percakapan Abimana.

"Iya, Sayang. Mas juga kangen sama kamu," ucap Abimana lagi setelah berulang kali panggilan serupa ia lontarkan.

Jantung Kanaya berdetak lebih cepat, hatinya berdesir pilu, dan tubuhnya seketika gemetar. Kanaya yang polos tidak berani menanyakan langsung pada suaminya. Ia memilih mundur dengan menutup mulut dengan kedua tangannya. tiba di kamar, dan tanpa komando, wanita itu langsung menangis tanpa suara. Kanaya meluapkan semua rasa dalam deraian air mata yang membanjiri pipi.

***

Keesokan harinya. Seperti pagi biasa, Kanaya menyiapkan segala sesuatu untuk suami dan anak semata wayangnya. Meski kedua mata wanita itu sembab karena bekas menangis semalam, ia berusaha menyembunyikannya dengan senyuman. Hatinya masih bergemuruh seperti diterjang badai besar, tapi ia harus tetap tegar. Kanaya ingin mencari tahu dengan detail apa yang telah dilakukan suaminya.

Entah bagaimana nanti ia akan bereaksi jika Abimana benar-benar ketahuan berselingkuh darinya, tapi yang pasti Kanaya tidak ingin gegabah. Ia ingin mengumpulkan bukti apapun itu, agar tidak ada pembantahan yang diberikan suaminya. Wanita itu ingin bermain cantik, seperti suaminya yang sudah berhasil mengelabuhinya dengan sikap manis selama ini.

"Pagi, Sayang," sapa Abimana seraya merangkul pinggang ramping Kanaya dan mengecup pipi kirinya. Begitulah rutinitas setiap pagi yang dilakukan pria itu kepada sang istri.

"Pagi, Mas." Kanaya menyahut sembari tersenyum ke arah suaminya. Walaupun terasa getir, tapi ia harus melakukan ini untuk membongkar perselingkuhan suaminya.

Abimana berjalan ke arah meja makan. "Aqila mana?" tanyanya seraya menghempaskan tubuh ke kursi.

"Sedang mandi, Mas," jawab Kanaya singkat.

"Hari ini jadi ke toko buku?" tanya Abimana lagi mengingatkan ucapan Kanaya semalam.

Kananya mengangguk pelan. "Jadi, Mas. Apa Mas mau ikut juga?" Wanita itu menawarkan hal yang tidak pernah dilakukan suaminya. Ya, walaupun sikap Abimana selalu manis di hadapan istri dan putrinya, tapi sekalipun mereka tidak pernah bepergian bersama. Jika ada sesuatu yang mendesak dari sekolahan pun, Abimana terus beralasan, yang selalu berakhir pada kepasrahan Kanaya untuk datang sendiri sebagai orang tua Aqila.

"Mas hari ini ada janji main golf, Sayang. Maaf, ya." Abimana mengatakan itu dengan nada penuh penyesalan. Entah benar atau hanya beralasan, tapi Kanaya tidak ambil pusing. Wanita berjilbab itu membalas ucapan suaminya dengan tersenyum.

"Ya sudah, nggak papa." Kanaya berusaha mati-matian agar terus bisa membingkai senyuman di wajahnya. padahal, hatinya saat ini sangat terluka. Ia memiliki firasat, bahwa janji temu yang dikatakan suaminya hanyalah sebuah alasan.

"Setelah selesai membeli buku, kalian berdua langsung pulang, ya?" Abimana berpesan. Entah mengapa pesan ini terkesan seperti perintah bagi Kanaya, padahal kalimat itu sudah sering diucapkan suaminya saat ia dan putrinya pergi berdua.

"Iya, Mas," jawab Kanaya lagi dengan tersenyum simpul menatap sang suami.

Beberapa menit kemudian, seorang gadis kecil yang duduk di bangku kelas satu SD berjalan menghampiri Abimana.

"Pa! Papa hari ini libur kan, kerjanya? Temenin Qila sama Mama yuk, Pa!" seru anak perempuan itu pada Abimana yang sedang fokus menyantap sarapan.

Abimana tampak terdiam sesaat, kemudian kembali berujar, "Papa hari ini ada janji penting, Sayang. Jadi enggak bisa. Emm ... lain kali aja, ya?"

Anak kecil itu hanya mengangguk pasrah, kemudian berjalan menuju kamar, meninggalkan ayah dan ibunya yang masih sibuk di dapur.

"Pa, kata Bu Darti kita punya tetangga baru di depan rumah," ujar Kanaya yang tiba-tiba teringat percakapannya dengan ibu-ibu komplek tempo hari.

"Tetangga baru? Siapa, Ma?" tanya Abimana tanpa menoleh ke arah sang istri.

"Itu, depan rumah kita. Kata Bu Darti mereka sepasang suami istri ustaz dan ustazah, Pa."

"Uhuk! Uhuk!"

Entah mengapa jawaban Kanaya membuat Abimana tersedak hingga berulang kali terbatuk.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Surayya Alam
jangan jangan
goodnovel comment avatar
Diyah
Mencurigakan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status