"Noda lipstik siapa ini? Warna merah yang begitu terang, sepertinya aku tidak memiliki lipstik yang berwarna seperti ini."
Kanaya begitu penasaran ketika mendapati noda merah di kemeja bekas suaminya. Saat ini wanita itu sedang berdiri di depan mesin cuci."Apa mungkin Mas Abi berselingkuh? Atau noda ini tidak sengaja menempel karena suatu hal??"Kanaya semakin curiga dengan noda lipstik yang menempel di pakaian Abimana.Ya, walaupun hanya setitik noda merah yang terlihat di mata Kanaya, tapi istri mana yang tak kan curiga pada suaminya jika mendapati hal yang sama? Bukan berdoa hal yang tidak-tidak, tapi firasat buruk tentang seorang perempuan yang disebut pelakor pasti langsung menari-nari di kepala."Sayang, kamu sedang apa? Kenapa belum tidur?" tanya Abimana yang tiba-tiba memeluk Kanaya dari belakang. Apa mungkin sikap manis yang selalu ditunjukkan pada istrinya hanya sebagai tameng perselingkuhan?Kanaya terkejut. Ia langsung menjatuhkan kemeja yang ia pegang ke keranjang pakaian kotor. "Eh, Mas! Aku mau cuci baju, besok kan aku harus nemenin Aqila ke toko buku," jawab Kanaya terbata dan gugup. Sama seperti hatinya yang saat ini sedang bergemuruh."Benarkah?" Abimana tampak ingin memastikan. "Emm ... kalau begitu, aku tidur duluan ya," ucap Abimana lagi sembari melepas pelukan dan mengecup pipi kanan Kanaya."Iya, Mas." Kanaya mengangguk sembari tersenyum getir. Ada rasa pilu yang hinggap di hati. Entah mengapa sikap manis Abimana malam ini terasa sangat hambar.Setelah memastikan suaminya pergi dari hadapan, Kanaya kembali meraih kemeja kotor itu untuk memastikan. Walaupun sebenarnya ia sudah sangat yakin, tapi ia ingin menepis firasat itu dengan kepastian yang dibuatnya sendiri. Bahwa, noda itu adalah suatu kecelakaan yang tidak disengaja oleh suaminya.Aku harus fokus! Mas Abi adalah suami terbaik untukku!Berkali-kali Kanaya mengatakan itu untuk meyakinkan dirinya sendiri. Dengan cepat, ia mengisi mesin cuci dengan air dan sabun untuk segera menghilangkan noda merah yang mengganggu hati dan pikirannya.Tiga puluh menit berlalu. Kanaya sudah menyelesaikan cucian. Setelah mengangkat pakaian bersih dari mesin cuci dan menaruhnya di keranjang lain, Kanaya bergegas masuk ke kamar untuk istirahat. Setelah melakukan pekerjaan rumah tangga seharian membuat tubuhnya terasa pegal-pegal. Sejenak ia menghapus firasat tentang noda merah yang ia temukan, dan menggantinya dengan hal lain. Saat ini, wanita itu benar-benar mengantuk dan ingin segera menghempaskan tubuh ke atas kasur.Rasa kantuk yang sudah bergelayut di kedua mata tiba-tiba menghilang ketika Kanaya tidak mendapati suaminya di dalam kamar. "Mas Abi ke mana?" gumamnya sambil celingukan menelisik sekitar. Kanaya keluar lagi dari kamar dengan berjalan perlahan. Ia ingin mengetahui keberadaan suaminya.Langkah Kanaya terhenti saat samar-samar ia mendengar suara suaminya sedang berteleponan dengan seseorang. Wanita yang sudah memakai piyama tidur itu melangkah mendekati Abimana yang tengah berbaring di sofa. Di ruang televisi dengan suasana temaram, membuat Kanaya tidak bisa melihat suaminya dengan jelas.Kanaya terus berjalan mendekat ke sofa tempat Abimana berbaring. Kenapa Abimana menelepon seseorang dengan suara berbisik? Malah lebih terkesan seperti sedang bersembunyi dari Kanaya."Mas Abi lagi teleponan sama siapa?"Kanaya sangat penasaran."Ah, mungkin teman bisnisnya. Lebih baik aku tidur."Kanaya memutar badan hendak kembali ke kamar, tetapi langkahnya terhenti ketika panggilan mesra terucap dari bibir Abimana, Wanita itu berdiri mematung dengan hati tidak karuan. Walaupun ia tidak bisa melihat jelas posisi sang suami, tetapi Kanaya bisa mendengar semua percakapan Abimana."Iya, Sayang. Mas juga kangen sama kamu," ucap Abimana lagi setelah berulang kali panggilan serupa ia lontarkan.Jantung Kanaya berdetak lebih cepat, hatinya berdesir pilu, dan tubuhnya seketika gemetar. Kanaya yang polos tidak berani menanyakan langsung pada suaminya. Ia memilih mundur dengan menutup mulut dengan kedua tangannya. tiba di kamar, dan tanpa komando, wanita itu langsung menangis tanpa suara. Kanaya meluapkan semua rasa dalam deraian air mata yang membanjiri pipi.***Keesokan harinya. Seperti pagi biasa, Kanaya menyiapkan segala sesuatu untuk suami dan anak semata wayangnya. Meski kedua mata wanita itu sembab karena bekas menangis semalam, ia berusaha menyembunyikannya dengan senyuman. Hatinya masih bergemuruh seperti diterjang badai besar, tapi ia harus tetap tegar. Kanaya ingin mencari tahu dengan detail apa yang telah dilakukan suaminya.Entah bagaimana nanti ia akan bereaksi jika Abimana benar-benar ketahuan berselingkuh darinya, tapi yang pasti Kanaya tidak ingin gegabah. Ia ingin mengumpulkan bukti apapun itu, agar tidak ada pembantahan yang diberikan suaminya. Wanita itu ingin bermain cantik, seperti suaminya yang sudah berhasil mengelabuhinya dengan sikap manis selama ini."Pagi, Sayang," sapa Abimana seraya merangkul pinggang ramping Kanaya dan mengecup pipi kirinya. Begitulah rutinitas setiap pagi yang dilakukan pria itu kepada sang istri."Pagi, Mas." Kanaya menyahut sembari tersenyum ke arah suaminya. Walaupun terasa getir, tapi ia harus melakukan ini untuk membongkar perselingkuhan suaminya.Abimana berjalan ke arah meja makan. "Aqila mana?" tanyanya seraya menghempaskan tubuh ke kursi."Sedang mandi, Mas," jawab Kanaya singkat."Hari ini jadi ke toko buku?" tanya Abimana lagi mengingatkan ucapan Kanaya semalam.Kananya mengangguk pelan. "Jadi, Mas. Apa Mas mau ikut juga?" Wanita itu menawarkan hal yang tidak pernah dilakukan suaminya. Ya, walaupun sikap Abimana selalu manis di hadapan istri dan putrinya, tapi sekalipun mereka tidak pernah bepergian bersama. Jika ada sesuatu yang mendesak dari sekolahan pun, Abimana terus beralasan, yang selalu berakhir pada kepasrahan Kanaya untuk datang sendiri sebagai orang tua Aqila."Mas hari ini ada janji main golf, Sayang. Maaf, ya." Abimana mengatakan itu dengan nada penuh penyesalan. Entah benar atau hanya beralasan, tapi Kanaya tidak ambil pusing. Wanita berjilbab itu membalas ucapan suaminya dengan tersenyum."Ya sudah, nggak papa." Kanaya berusaha mati-matian agar terus bisa membingkai senyuman di wajahnya. padahal, hatinya saat ini sangat terluka. Ia memiliki firasat, bahwa janji temu yang dikatakan suaminya hanyalah sebuah alasan."Setelah selesai membeli buku, kalian berdua langsung pulang, ya?" Abimana berpesan. Entah mengapa pesan ini terkesan seperti perintah bagi Kanaya, padahal kalimat itu sudah sering diucapkan suaminya saat ia dan putrinya pergi berdua."Iya, Mas," jawab Kanaya lagi dengan tersenyum simpul menatap sang suami.Beberapa menit kemudian, seorang gadis kecil yang duduk di bangku kelas satu SD berjalan menghampiri Abimana."Pa! Papa hari ini libur kan, kerjanya? Temenin Qila sama Mama yuk, Pa!" seru anak perempuan itu pada Abimana yang sedang fokus menyantap sarapan.Abimana tampak terdiam sesaat, kemudian kembali berujar, "Papa hari ini ada janji penting, Sayang. Jadi enggak bisa. Emm ... lain kali aja, ya?"Anak kecil itu hanya mengangguk pasrah, kemudian berjalan menuju kamar, meninggalkan ayah dan ibunya yang masih sibuk di dapur."Pa, kata Bu Darti kita punya tetangga baru di depan rumah," ujar Kanaya yang tiba-tiba teringat percakapannya dengan ibu-ibu komplek tempo hari."Tetangga baru? Siapa, Ma?" tanya Abimana tanpa menoleh ke arah sang istri."Itu, depan rumah kita. Kata Bu Darti mereka sepasang suami istri ustaz dan ustazah, Pa.""Uhuk! Uhuk!"Entah mengapa jawaban Kanaya membuat Abimana tersedak hingga berulang kali terbatuk."Ada apa, Mas? Kenapa tiba-tiba batuk gitu? Mas Kesedak atau gimana?" Kanaya bergegas menghampiri Abimana dengan membawa segelas air putih di tangan. "Ah, iya, Dek. Tiba-tiba kesedak. Kayaknya Mas kepedesan deh ini," jawab Abimana seraya meraih gelas dari tangan Kanaya dan langsung meminumnya. "Perasaan nggak pedes-pedes amat. Biasanya juga lebih pedas dari ini, kamu suka-suka aja, Mas.""Iyakah?" Abimana tertegun. "Ya sudah, Mas keluar dulu, ya? Takut ditunggu sama yang lain." Melihat tingkah aneh sang suami membuat Kanaya berpikir keras bagaimana cara membuktikan apa yang ada dalam benaknya saat ini. "Ma, jadi nggak ke toko buku?" Aqilla, gadis kecil itu menarik-narik daster yang dipakai Kanaya, membuat Kanaya terhenyak dan tersadar dari lamunan. "Oh, iya, Sayang. Jadi dong, tapi tunggu bentar ya? Mama mau mandi dulu.""Okey, Mama! Qilla boleh tungguin Mama sambil nonton TV, ya?" sahut Aqilla lagi dengan senyum mengembang di wajahnya. Kanaya mengangguk seraya tersenyum. "Iya,
"Mas, aku boleh main Facebook nggak?" Tiba-tiba Kanaya menanyakan hal itu pada Abimana saat mereka bersiap tidur. "Buat apa, Sayang? Kan sudah Mas bilang nggak usah. Nanti malah ada yang jahilin kamu, Mas nggak suka." Abimana menjawab dengan santai, seolah-olah benar-benar melindungi sang istri. "Masa si di Facebook bisa jahil, Mas?" tanya Kanaya lagi memasang wajah polos, padahal dulu waktu SMA, dia juga sudah sempat membuat akun di aplikasi biru itu. Namun, karena Abimana melarang keras, dengan cepat Kanaya menghapus aplikasinya. "Bisalah, Dek. Pokoknya jangan, ya? Mas Pengen kamu aman. Nggak diganggu smaa pria mana pun." Entah mengapa mendengar hal itu membuat Kanaya mencebik dalam hati. Padahal, sebelumnya ia selalu tersenyum bangga atas perhatian yang diberikan Abimana seperti ini. "Dari mana kamu tahu kalau aku akan diganggu pria, Mas? Bukannya Mas juga nggak main Facebook?" Tiba juga saatnya Kanaya mempertanyakan hal itu. Diliriknya Abimanan tiba-tiba mengambil posisi me
Kanaya terpaku dengan handphone masih menyala di genggaman. Pandangannya kosong dengan bulir bening kian menetes dari pelupuk mata. Rasa curiga yang sejak beberapa hari yang lalu datang kini sudah menampakkan wujud.Rasa sesak terus menderu yang membuat dada wanita itu panas tak tertahankan. Seperti ditusuk ribuan sembilu, terasa amat menyakitkan. Kanaya menangis dalam diam. Berbagai pertanyaan terus bergumul di pikiran. Kecurigaan yang sudah terbukti kini berubah menjadi rasa penasaran, sebenarnya siapakah wanita berambut pirang yang sudah mencuri pelukan suaminya. Dilemparnya benda pipih itu hingga terjatuh ke lantai, membuat sebagian layar yang masih menyala itu retak dan hancur. Saking emosi sudah memenuhi diri, Kanaya tidak bisa mengontrol lagi. Sedih, gelisah ... dan kecewa.***"Ma, tadi Qilla dikasih roti sama Tante cadar," ucap putri Kanaya sesaat setelah masuk ke rumah. Kanaya yang sedang meletakkan kunci motor ke gantungan menoleh putrinya dengan cepat. "Tante Cadar? Sia
"Mas, handphoneku batre habis nih, bisa pinjam punya Mas enggak?" Kanaya mendekati suaminya yang tengah sibuk sarapan. Dengan cepat pria itu meraih benda pipih yang diletakkannya di samping piring tepat di hadapan. "Jangan, Dek. Sebentar lagi klien kantor mau nelpon." Abimana menolak halus, dan itu semakin membuat Kanaya penasaran. "Ayolah, Mas. Bentar doang. Ini aku mau ngabarin ibu kalau besok mau berkunjung ke sana," sahut Kanaya lagi dengan memelas."Masih besok juga kan berangkatnya? Nantilah nunggu batre handphone-mu penuh dulu. Kan bisa?"Sangat berbeda dari biasa. Abimana yang selalu longgar pada handphone miliknya, kini seolah-olah sangat pelit. Seperti menyembunyikan sesuatu. Biasanya Abimana tidak masalah jika Kanaya meminjam handphonenya, tanpa tahu untuk apa dan kenapa. Namun, hari ini benar-benar berbeda. Sudahlah tidak meminjami, Abimana malah menyudahi sarapan dan bersiap pergi. "Dek, aku berangkat dulu," pamit Abimana pada Kanaya tanpa melakukan ritual sebelum ker
Hati Kanaya semakin gelisah setelah mendapati struk belanja susu hamil yang tercecer di depan kamar putrinya. Tidak salah lagi, bukti belanja itu diyakininya milik Abimana, karena wanita itu sendiri tidak merasa belanja di minimarket. Apalagi membeli susu hamil. Buat apa? Di sepanjang jalan dari mengantar putrinya, Kanaya terus berpikir keras. Memecahkan semua teka-teki yang kian menjurus pada perselingkuhan sang suami yang sudah pasti sangat jauh. 'Jika benar Mas Abi membeli susu hamil itu untuk selingkuhannya, kemungkinan besar janin yang dikandung wanita itu adalah bayinya.'Membayangkan itu membuat hati Kanaya semakin hancur, hingga motor yang ia naiki berhenti mendadak di tengah jalan. Ia menundukkan wajah, menahan lelehan air mata yang kian tak bisa tertahan. Rasa percaya yang dulu begitu kuat kini terkoyak begitu saja. Namun, sekali lagi ... Kanaya masih akan tetap diam, hingga ia menemukan bukti yang benar-benar menguatkannya.Belajar dari pengalaman salah satu temannya ya
Benar saja. Baru beberapa detik pembicaraanku dengan putriku terhenti, dia sudah sampai di depan rumah dan mengetuk pintu. "Ma! Mama!" Aqilla memanggilku dengan lantang. Dengan cepat aku bergerak ke pintu depan. Kulihat wajah putriku berseru dengan boneka Barbie berambut pirang di genggaman tangan. "Ma, ini Tante Cadar!" serunya sambil terus menyunggingkan senyuman, seraya menoleh ke arah wanita yang berdiri di sampingnya. "Tante Cadar?" Aku mengernyit paham. "Dia ini namanya Tante Jamilah," imbuhku pada Aqilla. Jamilah menundukkan badan, menatap hangat pada putriku. "Panggil Tante Mila aja ya, Sayang."Aqilla membalas tatapan Jamilah dengan senyuman. "Iya, Tante Mila. Makasih ya, udah nganterin Qilla pulang sama beliin boneka." Gadis kecilku tampak bahagia sekali. Memiliki tetangga yang baik adalah impian setiap warga. Tak jarang ada tetangga baru yang sombong dan malas menegur tetangga yang sudah lama tinggal di sekitaran rumah mereka, tetapi sangat berbeda dengan Jamilah. Sel
"Apa?! Mbak Jamilah keguguran?" "Iya, Mbak. Bukan keguguran biasa, karena itu seperti kelainan. Bayi saya meninggal di dalam kandungan dan rahim saya diangkat," jelas Jamilah yang saat ini cadarnya sudah sangat basah. Wanita itu menangis pilu.Ya Allah ... pasti sedih sekali mengalami hal ini. Bukan hanya keguguran yang bisa hamil lagi kapan pun jika siap, tetapi harus rela karena kenyataannya dia tidak bisa hamil lagi. "Sabar, ya Mbak." Aku hanya bisa mengatakan itu, meskipun aku tahu pasti sangat sulit baginya.Jamilah terus menangis dan itu membuat hatiku kian ikut tersayat. Bagaimanapun, aku juga wanita. Aku paham betul apa yang dialaminya. "Mbak," panggil Jamilah setelah kondisinya sudah tenang. "Ya, ada apa? Katakanlah." Aku meraih sebelah tangan Jamilah dan mengusapnya dengan pelan. Jamilah menatapku dengan kedua mata masih berair. "Saya boleh kan, menganggap Aqilla seperti putri saya sendiri."Ucapan Jamilah begitu tulus, dan aku tidak akan bisa menolaknya. Setidaknya aku
Mas Abi terlihat panik. "Kamu kok sembarangan kasih izin tetangga bawa Aqilla! Kalau putri kita kenapa-kenapa, bagaimana??""Sudahlah, Mas ... jangan terlalu panik. Aku sudah lumayan kenal sama Jamilah, tetangga baru kita itu baik, kok." Aku berusaha menghentikan langkah Mas Abi agar tidak menyusul Aqilla.Namun, pria itu masih saja panik. Mas Abi melepas dasi yang dipakai dan meletakkannya di atas meja. "Tapi ini sudah jam berapa, Dek? Pokoknya Mas harus menjemput Aqilla dan membawanya pulang!" Setengah berteriak, Mas Abimana beranjak dari dapur dan ke luar rumah. "Mas! Tunggu!" teriakku, tetapi Mas Abi sepertinya sudah tidak mendengar. Aku pun ikut beranjak dari dapur dan melihatnya berjalan menuju rumah Jamilah dengan tergesa-gesa. Setelah mengetuk pintu yang berwana abu-abu itu, Mas Abi langsung masuk begitu saja. Mas Abi terlihat sangat tidak sopan. Kenapa bertamu ke rumah tetangga main nyelonong aja! Aku tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi di dalam rumah itu, karena ak