Share

05. Bukti Lain

Auteur: Heaven Nur
last update Dernière mise à jour: 2023-07-22 06:01:34

"Mas, handphoneku batre habis nih, bisa pinjam punya Mas enggak?" Kanaya mendekati suaminya yang tengah sibuk sarapan. Dengan cepat pria itu meraih benda pipih yang diletakkannya di samping piring tepat di hadapan.

"Jangan, Dek. Sebentar lagi klien kantor mau nelpon." Abimana menolak halus, dan itu semakin membuat Kanaya penasaran.

"Ayolah, Mas. Bentar doang. Ini aku mau ngabarin ibu kalau besok mau berkunjung ke sana," sahut Kanaya lagi dengan memelas.

"Masih besok juga kan berangkatnya? Nantilah nunggu batre handphone-mu penuh dulu. Kan bisa?"

Sangat berbeda dari biasa. Abimana yang selalu longgar pada handphone miliknya, kini seolah-olah sangat pelit. Seperti menyembunyikan sesuatu.

Biasanya Abimana tidak masalah jika Kanaya meminjam handphonenya, tanpa tahu untuk apa dan kenapa. Namun, hari ini benar-benar berbeda. Sudahlah tidak meminjami, Abimana malah menyudahi sarapan dan bersiap pergi.

"Dek, aku berangkat dulu," pamit Abimana pada Kanaya tanpa melakukan ritual sebelum kerja seperti biasa. Biasanya, ia menyodorkan tangan untuk dicium Kanaya, juga tak lupa cipika-cipiki dan mengucapkan kata-kata sayang.

Namun, entah sejak kapan kebiasaan ini seperti mulai pudar. Tak ada kemesraan lagi yang kerap ia tunjukkan. Kanaya merasa seperti bersuami hanya status di buku nikah, karena semakin hari hubungan pernikahan mereka terasa hambar.

Kanaya diam mematung memperhatikan tingkah suaminya yang kian terasa dingin. Wanita itu memikirkan apa dan bagaimana kelanjutan rumah tangganya ke depan nanti. Bukan hal mudah jika ia harus terus bersikap masa bodoh seperti ini, karena setiap istri pasti menginginkan keharmonisan juga kepercayaan.

'Untuk saat ini aku akan bersabar, karena aku harus mendapatkan semua bukti.'

Begitulah alasan Kanaya untuk tetap bersikap wajar, tanpa mempertanyakan semua kecurigaannya pada sang suami.

"Ma, besok jadi kan, ke rumah nenek?" tanya Aqilla yang tiba-tiba muncul dengan membenarkan tas punggung yang dia pakai. Saat ini gadis kecil itu sudah siap hendak berangkat sekolah.

"Jadi, Sayang ... kan kita sudah lama nggak ke rumah nenek." Kanaya menjawab dengan tersenyum.

Nenek yang dimaksud adalah ibu dari Kanaya sendiri yang saat ini tinggal di luar kota. Abimana memang sangat jarang mengajak istri dan anaknya berkunjung ke sana. Meskipun begitu, hampir setiap hari Kanaya dan putrinya selalu melakukan video call atau sekedar berteleponan dengan sang nenek.

Saat ini ibu dari Kanaya hanya tinggal bersama putranya, Rayyan—yang tak lain adalah adik Kanaya yang masih berusia remaja. Ia masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Sedangkan ayah dari Kanaya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

Hal ini yang membuat Kanaya sangat ingin pulang menjenguk ibu dan adiknya, tetapi selalu tertunda karena kesibukan Abimana yang selalu padat. Hingga dua hari yang lalu, Abimana berjanji akan mengajak istri dan putrinya untuk berkunjung ke sana. Itupun karena rengekan dari sang putri yang menangis berkata kangen pada neneknya.

"Hore! Qilla main ke rumah nenek!" seru putri Kanaya kegirangan.

"Tapi, kalau misalnya Papa nggak ikut gimana?" tanya Kanaya pada putrinya. Entah mengapa, setelah beberapa kenyataan yang ia dapatkan, membuatnya meragukan keputusan Abimana.

"Emangnya Papa kenapa nggak ikut?"

"Kayaknya Papa banyak kerjaan, Sayang. Jadi, kita berangkat berdua aja ... gimana?"

"Ehmmm ...." Gadis kecil itu diam berpikir. "Nggak papa, deh. Yang penting ada Mama. Qilla sudah biasa nggak sama Papa lagi."

Deg!

Mendengar pengakuan dari putri kecilnya membuat hati Kanaya pilu. Ternyata bukan ia saja yang merasakan kehambaran hubungan bersama suami, tetapi sang putri pun merasakan hal yang sama. Memang benar jika akhir-akhir ini Abimana tidak ikut serta dengan kegiatan putri mereka, sehingga membuat gadis kecil itu merasa terbiasa melakukan semua hanya berdua dengan ibunya.

"Ya sudah, cepetan pakai sepatu. Mama antar Qilla berangkat sekolah." Kanaya mengelus lembut kepala putrinya, dan berlalu mengeluarkan motor dari dalam bagasi.

"Ma, tunggu Qilla bentar ya ... Qilla mau buang kertas ini dulu ke tempat sampah." Gadis kecil yang sudah siap berangkat sekolah itu belum juga naik motor. Ia bergerak mendekat pada tong sampah yang ada di samping rumah.

"Mau buang sampah kertas? Memangnya itu apa?" Kanaya penasaran.

"Ini, Ma. Tadi Qilla nemuin ini depan kamar. Kayaknya bekas Mama belanja di minimarket, deh." Qilla menjawab dengan santai.

"Belanja apa, Sayang? Kan Mama udah jarang belanja ke minimarket. Palingan juga ke warung Bu Ati deket rumah."

"Qilla juga nggak tahu ini belanjaan apa." Gadis kecil itu mematung di samping tong sampah. Dia urung membuang kertas yang dipegangnya, dan malah membaca kertas itu dengan lantang.

"Satu botol shampoo Suns**k besar sama ... tiga kotak susu Prenag*n!" seru Qilla yang membuat Kanaya terperangah. "Ma! Susu prenag*n itu susu apa??"

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, muak banget baca cerita mu ini. tokoh ceritamu bikin naim darah dan terlalu tolol.
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   45. The End

    Farid memenuhi ucapannya. Waktu sore di hari yang sama setelah kami melaksanakan lamaran, pria itu mengantarku dan Aqilla ke rumah sakit kota. Jarak perjalanan yang lumayan jauh sehingga kami tiba di rumah sakit di waktu malam. Untungnya jam besuk pasien masih diperbolehkan oleh pihak rumah sakit, sehingga kami bisa masuk untuk menemui Mas Abi dan istrinya. Setelah bertanya pada perawat kamar, kami menemukan kamar rawat Jamilah di posisi paling ujung. Dengan langkah cepat, kami memburu jam besuk agar kami sempat berbicara lama di dalam sana. Aku mengetuk pintu beberapa kali dan setelahnya kuucapkan salam. Terdengar suara Mas Abi menjawab salamku dari dalam. Pintu pun terbuka. Mas Abi terhenyak dan tak kuasa menahan tangis. "Aqilla, putri Papa ...." Pria itu memelvk putrinya dengan sangat erat, seperti tak mau dipisahkan. "Pa, maafin Qilla," ucap putriku di sela tangisnya yang pilu. Aqilla pun melakukan hal yang sama dengan sang ayah. Dia memeluk erat ayahnya seraya menangis terse

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   44. Karma?

    "Kanaya! Maafkan aku!" Hampir seluruh orang yang hadir mendengar suara pria memanggil-manggil namaku dan meminta maaf. Beberapa pria yang duduk di samping pintu segera bangkit dan melihat siapa yang datang. "Itu kayak mantan suaminya Kanaya," celetuk seorang pria berpakaian batik yang keluar paling depan. "Masa sih? Kalau benar, buat apa dia ke sini? Pas lagi lamaran gini??" sahut pria yang lain. Meskipun pembicaraan mereka di luar rumah, tetapi kami yang di dalam bisa mendengar dengan sangat jelas. "Siapa, Nduk? Masa Abimana beneran? Ngapain dia ke sini?" tanya padaku dengan wajah mulai cemas. Aku menggeleng pelan. "Kanaya juga nggak tahu, Bu.""Lebih baik kamu keluar. Coba lihat dan pastikan," saran ibu yang kutanggapi dengan anggukan paham. Namun, ternyata Farid memperhatikanku sedari tadi dan dia menghentikan langkahku."Nggak usah, Kan. Biar aku aja yang keluar!" Dengan langkah tegap Farid bergegas ke luar rumah untuk menghampiri Mas Abi. Aku segera menarik lengan ibu dan

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   43. Lamaran

    Kembali POV Kanaya"Kalau sudah sama-sama setuju, mending dicepetin aja pernikahannya," celetuk ibu yang mampu membuat pipiku memerah.Dengan cepat aku menyenggol lengan wanita yang telah melahirkanku itu. "Ah, Ibu ...." Ibu benar-benar membuatku malu. Bukan hanya ibu, tetapi putriku juga ikut menyambar, "Iya, Ma! Bener kata Nenek. Qilla juga setuju kalau Mama sama Om Farid cepetan nikah!" "Tuh, Aqilla juga setuju kan saran Nenek?" balas ibu lagi yang disambut tawa renyah oleh Farid. "Kalau Om Farid terserah Mama kamu aja, Qilla." Farid ikut menimpali seraya melirik ke arahku dan berganti kepada Aqilla. "Manggilnya kok masih Om? Qilla mau ganti panggilan aja! Kan Om Farid mau jadi Papa Qilla. Jadi, mulai sekarang, Qilla mau manggil Om Farid dengan panggilan Papa!" Ada desir aneh yang menjalar ketika mendengar ucapan putri kecilku. Rasa haru bercampur bahagia. Ada kesedihan yang muncul, mengingat putriku telah lama kehilangan sosok ayah.Namun, aku juga bahagia karena akhirnya ada

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   42. POV Farid 2

    Sebelumnya aku tidak tertarik pada perempuan mana pun, tetapi entah mengapa sangat berbeda dengan Kanaya. Meskipun aku tahu dia janda yang memiliki satu anak, tetapi hatiku merasa ingin lebih mengenalnya. Aku kerap membantunya bahkan aku menawarinya pekerjaan di perusahaan dengan posisi yang tidak tanggung-tanggung. Kuyakinkan dia mau untuk menerima tawaran dengan berbagai cara. Awalnya dia ragu karena merasa rendah diri. Ya, dia hanya lulusan SMP yang tidak melanjutkan pendidikan lagi. Aku paham betul apa yang dia pikirkan, maka dari itu, aku semakin meyakinkannya untuk mau maju bersamaku. Tidak mudah membujuk Kanaya hingga dia mau menjadi bagian dari staf penting perusahaan. Namun, tiba-tiba dia berhenti sebelum berperang karena satu alasan yang tidak kupahami. Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya aku tahu penyebab Kanaya menyerah. Seseorang telah memadamkan api semangatnya dan membuatnya berputus asa. Dia adalah Novita, mantan tunangan yang masih kupertahankan di perusaha

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   41. POV Farid 1

    Awalnya kupikir Aqilla akan menolakku, mengingat dia sangat takut dengan sosok ayahnya. Namun, ternyata gadis remaja yang sudah kuanggap seperti putriku sendiri itu tersenyum dan berseru, "Ya ... pastinya Aqilla mau dong, Om!" Mendengar jawaban dari remaja putri bahwa dia menerimaku sebagai ayahnya membuat hatiku sangat bahagia. Alhamdulillah, akhirnya keinginanku untuk melindungi Kanaya dan putrinya bisa terwujud. ***Namaku Farid Wijaya Kusuma. Aku anak tunggal dari pasangan orang tua yang bekerja sebagai guru di desa tempat kami tinggal. Ya, ibu dan ayahku adalah guru honorer di sekolah SMP yang berbeda. Hobiku berwirausaha membuat masa depanku jauh dari keinginan orang tua. Ibu dan ayahku sebenarnya ingin aku mengikuti jejak langkah mereka menjadi seorang guru, tetapi aku lebih memilih untuk berbisnis dan memiliki usaha sendiri. Entahlah, kupikir berbisnis itu lebih menyenangkan daripada menjadi guru. Lagipula, jika aku menjadi guru seperti mereka, kehidupanku pasti tidak akan

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   40. Menunggu Jawaban

    Jam alarm di handphone berbunyi membangunkan tidurku subuh ini. Kuraih benda pipih itu dan mengerjapkan mata memindai layar bercahaya yang menyilaukan mata. Tepat pukul lima pagi. Waktunya bangun dan melaksanakan kewajiban dua rakaatku.Hari ini libur kerja, aku ingin membersihkan kamar mandi sekalian dlmenguras baknya. Sudah satu bulan aku belum sempat membersihkan kolam per segi tempat air untuk mandi itu, jadi hari ini adalah waktu yang sangat cocok untuk melakukannya.Ketika sibuk di kamar mandi, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam dengan suara nyaring. Suara seorang pria dan aku sangat paham suara siapa itu. Ya, benar. Itu suara Farid. Untuk apa dia ke rumah sepagi ini? Tanpa menyelesaikan pekerjaanku, aku segera ke depan dan membukakan pintu. Terlihat pria itu berpakaian rapi dengan senyum mengembang menatapku. "Kamu sudah siap belum, Kan? Ayo, kita berangkat sekarang!" ajaknya dengan penuh semangat yang sontak membuatku terkejut. "Berangkat? Mau

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status