Share

05. Bukti Lain

"Mas, handphoneku batre habis nih, bisa pinjam punya Mas enggak?" Kanaya mendekati suaminya yang tengah sibuk sarapan. Dengan cepat pria itu meraih benda pipih yang diletakkannya di samping piring tepat di hadapan.

"Jangan, Dek. Sebentar lagi klien kantor mau nelpon." Abimana menolak halus, dan itu semakin membuat Kanaya penasaran.

"Ayolah, Mas. Bentar doang. Ini aku mau ngabarin ibu kalau besok mau berkunjung ke sana," sahut Kanaya lagi dengan memelas.

"Masih besok juga kan berangkatnya? Nantilah nunggu batre handphone-mu penuh dulu. Kan bisa?"

Sangat berbeda dari biasa. Abimana yang selalu longgar pada handphone miliknya, kini seolah-olah sangat pelit. Seperti menyembunyikan sesuatu.

Biasanya Abimana tidak masalah jika Kanaya meminjam handphonenya, tanpa tahu untuk apa dan kenapa. Namun, hari ini benar-benar berbeda. Sudahlah tidak meminjami, Abimana malah menyudahi sarapan dan bersiap pergi.

"Dek, aku berangkat dulu," pamit Abimana pada Kanaya tanpa melakukan ritual sebelum kerja seperti biasa. Biasanya, ia menyodorkan tangan untuk dicium Kanaya, juga tak lupa cipika-cipiki dan mengucapkan kata-kata sayang.

Namun, entah sejak kapan kebiasaan ini seperti mulai pudar. Tak ada kemesraan lagi yang kerap ia tunjukkan. Kanaya merasa seperti bersuami hanya status di buku nikah, karena semakin hari hubungan pernikahan mereka terasa hambar.

Kanaya diam mematung memperhatikan tingkah suaminya yang kian terasa dingin. Wanita itu memikirkan apa dan bagaimana kelanjutan rumah tangganya ke depan nanti. Bukan hal mudah jika ia harus terus bersikap masa bodoh seperti ini, karena setiap istri pasti menginginkan keharmonisan juga kepercayaan.

'Untuk saat ini aku akan bersabar, karena aku harus mendapatkan semua bukti.'

Begitulah alasan Kanaya untuk tetap bersikap wajar, tanpa mempertanyakan semua kecurigaannya pada sang suami.

"Ma, besok jadi kan, ke rumah nenek?" tanya Aqilla yang tiba-tiba muncul dengan membenarkan tas punggung yang dia pakai. Saat ini gadis kecil itu sudah siap hendak berangkat sekolah.

"Jadi, Sayang ... kan kita sudah lama nggak ke rumah nenek." Kanaya menjawab dengan tersenyum.

Nenek yang dimaksud adalah ibu dari Kanaya sendiri yang saat ini tinggal di luar kota. Abimana memang sangat jarang mengajak istri dan anaknya berkunjung ke sana. Meskipun begitu, hampir setiap hari Kanaya dan putrinya selalu melakukan video call atau sekedar berteleponan dengan sang nenek.

Saat ini ibu dari Kanaya hanya tinggal bersama putranya, Rayyan—yang tak lain adalah adik Kanaya yang masih berusia remaja. Ia masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Sedangkan ayah dari Kanaya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

Hal ini yang membuat Kanaya sangat ingin pulang menjenguk ibu dan adiknya, tetapi selalu tertunda karena kesibukan Abimana yang selalu padat. Hingga dua hari yang lalu, Abimana berjanji akan mengajak istri dan putrinya untuk berkunjung ke sana. Itupun karena rengekan dari sang putri yang menangis berkata kangen pada neneknya.

"Hore! Qilla main ke rumah nenek!" seru putri Kanaya kegirangan.

"Tapi, kalau misalnya Papa nggak ikut gimana?" tanya Kanaya pada putrinya. Entah mengapa, setelah beberapa kenyataan yang ia dapatkan, membuatnya meragukan keputusan Abimana.

"Emangnya Papa kenapa nggak ikut?"

"Kayaknya Papa banyak kerjaan, Sayang. Jadi, kita berangkat berdua aja ... gimana?"

"Ehmmm ...." Gadis kecil itu diam berpikir. "Nggak papa, deh. Yang penting ada Mama. Qilla sudah biasa nggak sama Papa lagi."

Deg!

Mendengar pengakuan dari putri kecilnya membuat hati Kanaya pilu. Ternyata bukan ia saja yang merasakan kehambaran hubungan bersama suami, tetapi sang putri pun merasakan hal yang sama. Memang benar jika akhir-akhir ini Abimana tidak ikut serta dengan kegiatan putri mereka, sehingga membuat gadis kecil itu merasa terbiasa melakukan semua hanya berdua dengan ibunya.

"Ya sudah, cepetan pakai sepatu. Mama antar Qilla berangkat sekolah." Kanaya mengelus lembut kepala putrinya, dan berlalu mengeluarkan motor dari dalam bagasi.

"Ma, tunggu Qilla bentar ya ... Qilla mau buang kertas ini dulu ke tempat sampah." Gadis kecil yang sudah siap berangkat sekolah itu belum juga naik motor. Ia bergerak mendekat pada tong sampah yang ada di samping rumah.

"Mau buang sampah kertas? Memangnya itu apa?" Kanaya penasaran.

"Ini, Ma. Tadi Qilla nemuin ini depan kamar. Kayaknya bekas Mama belanja di minimarket, deh." Qilla menjawab dengan santai.

"Belanja apa, Sayang? Kan Mama udah jarang belanja ke minimarket. Palingan juga ke warung Bu Ati deket rumah."

"Qilla juga nggak tahu ini belanjaan apa." Gadis kecil itu mematung di samping tong sampah. Dia urung membuang kertas yang dipegangnya, dan malah membaca kertas itu dengan lantang.

"Satu botol shampoo Suns**k besar sama ... tiga kotak susu Prenag*n!" seru Qilla yang membuat Kanaya terperangah. "Ma! Susu prenag*n itu susu apa??"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status