"Mas, handphoneku batre habis nih, bisa pinjam punya Mas enggak?" Kanaya mendekati suaminya yang tengah sibuk sarapan. Dengan cepat pria itu meraih benda pipih yang diletakkannya di samping piring tepat di hadapan.
"Jangan, Dek. Sebentar lagi klien kantor mau nelpon." Abimana menolak halus, dan itu semakin membuat Kanaya penasaran."Ayolah, Mas. Bentar doang. Ini aku mau ngabarin ibu kalau besok mau berkunjung ke sana," sahut Kanaya lagi dengan memelas."Masih besok juga kan berangkatnya? Nantilah nunggu batre handphone-mu penuh dulu. Kan bisa?"Sangat berbeda dari biasa. Abimana yang selalu longgar pada handphone miliknya, kini seolah-olah sangat pelit. Seperti menyembunyikan sesuatu.Biasanya Abimana tidak masalah jika Kanaya meminjam handphonenya, tanpa tahu untuk apa dan kenapa. Namun, hari ini benar-benar berbeda. Sudahlah tidak meminjami, Abimana malah menyudahi sarapan dan bersiap pergi."Dek, aku berangkat dulu," pamit Abimana pada Kanaya tanpa melakukan ritual sebelum kerja seperti biasa. Biasanya, ia menyodorkan tangan untuk dicium Kanaya, juga tak lupa cipika-cipiki dan mengucapkan kata-kata sayang.Namun, entah sejak kapan kebiasaan ini seperti mulai pudar. Tak ada kemesraan lagi yang kerap ia tunjukkan. Kanaya merasa seperti bersuami hanya status di buku nikah, karena semakin hari hubungan pernikahan mereka terasa hambar.Kanaya diam mematung memperhatikan tingkah suaminya yang kian terasa dingin. Wanita itu memikirkan apa dan bagaimana kelanjutan rumah tangganya ke depan nanti. Bukan hal mudah jika ia harus terus bersikap masa bodoh seperti ini, karena setiap istri pasti menginginkan keharmonisan juga kepercayaan.'Untuk saat ini aku akan bersabar, karena aku harus mendapatkan semua bukti.'Begitulah alasan Kanaya untuk tetap bersikap wajar, tanpa mempertanyakan semua kecurigaannya pada sang suami."Ma, besok jadi kan, ke rumah nenek?" tanya Aqilla yang tiba-tiba muncul dengan membenarkan tas punggung yang dia pakai. Saat ini gadis kecil itu sudah siap hendak berangkat sekolah."Jadi, Sayang ... kan kita sudah lama nggak ke rumah nenek." Kanaya menjawab dengan tersenyum.Nenek yang dimaksud adalah ibu dari Kanaya sendiri yang saat ini tinggal di luar kota. Abimana memang sangat jarang mengajak istri dan anaknya berkunjung ke sana. Meskipun begitu, hampir setiap hari Kanaya dan putrinya selalu melakukan video call atau sekedar berteleponan dengan sang nenek.Saat ini ibu dari Kanaya hanya tinggal bersama putranya, Rayyan—yang tak lain adalah adik Kanaya yang masih berusia remaja. Ia masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Sedangkan ayah dari Kanaya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.Hal ini yang membuat Kanaya sangat ingin pulang menjenguk ibu dan adiknya, tetapi selalu tertunda karena kesibukan Abimana yang selalu padat. Hingga dua hari yang lalu, Abimana berjanji akan mengajak istri dan putrinya untuk berkunjung ke sana. Itupun karena rengekan dari sang putri yang menangis berkata kangen pada neneknya."Hore! Qilla main ke rumah nenek!" seru putri Kanaya kegirangan."Tapi, kalau misalnya Papa nggak ikut gimana?" tanya Kanaya pada putrinya. Entah mengapa, setelah beberapa kenyataan yang ia dapatkan, membuatnya meragukan keputusan Abimana."Emangnya Papa kenapa nggak ikut?""Kayaknya Papa banyak kerjaan, Sayang. Jadi, kita berangkat berdua aja ... gimana?""Ehmmm ...." Gadis kecil itu diam berpikir. "Nggak papa, deh. Yang penting ada Mama. Qilla sudah biasa nggak sama Papa lagi."Deg!Mendengar pengakuan dari putri kecilnya membuat hati Kanaya pilu. Ternyata bukan ia saja yang merasakan kehambaran hubungan bersama suami, tetapi sang putri pun merasakan hal yang sama. Memang benar jika akhir-akhir ini Abimana tidak ikut serta dengan kegiatan putri mereka, sehingga membuat gadis kecil itu merasa terbiasa melakukan semua hanya berdua dengan ibunya."Ya sudah, cepetan pakai sepatu. Mama antar Qilla berangkat sekolah." Kanaya mengelus lembut kepala putrinya, dan berlalu mengeluarkan motor dari dalam bagasi."Ma, tunggu Qilla bentar ya ... Qilla mau buang kertas ini dulu ke tempat sampah." Gadis kecil yang sudah siap berangkat sekolah itu belum juga naik motor. Ia bergerak mendekat pada tong sampah yang ada di samping rumah."Mau buang sampah kertas? Memangnya itu apa?" Kanaya penasaran."Ini, Ma. Tadi Qilla nemuin ini depan kamar. Kayaknya bekas Mama belanja di minimarket, deh." Qilla menjawab dengan santai."Belanja apa, Sayang? Kan Mama udah jarang belanja ke minimarket. Palingan juga ke warung Bu Ati deket rumah.""Qilla juga nggak tahu ini belanjaan apa." Gadis kecil itu mematung di samping tong sampah. Dia urung membuang kertas yang dipegangnya, dan malah membaca kertas itu dengan lantang."Satu botol shampoo Suns**k besar sama ... tiga kotak susu Prenag*n!" seru Qilla yang membuat Kanaya terperangah. "Ma! Susu prenag*n itu susu apa??"Hati Kanaya semakin gelisah setelah mendapati struk belanja susu hamil yang tercecer di depan kamar putrinya. Tidak salah lagi, bukti belanja itu diyakininya milik Abimana, karena wanita itu sendiri tidak merasa belanja di minimarket. Apalagi membeli susu hamil. Buat apa? Di sepanjang jalan dari mengantar putrinya, Kanaya terus berpikir keras. Memecahkan semua teka-teki yang kian menjurus pada perselingkuhan sang suami yang sudah pasti sangat jauh. 'Jika benar Mas Abi membeli susu hamil itu untuk selingkuhannya, kemungkinan besar janin yang dikandung wanita itu adalah bayinya.'Membayangkan itu membuat hati Kanaya semakin hancur, hingga motor yang ia naiki berhenti mendadak di tengah jalan. Ia menundukkan wajah, menahan lelehan air mata yang kian tak bisa tertahan. Rasa percaya yang dulu begitu kuat kini terkoyak begitu saja. Namun, sekali lagi ... Kanaya masih akan tetap diam, hingga ia menemukan bukti yang benar-benar menguatkannya.Belajar dari pengalaman salah satu temannya ya
Benar saja. Baru beberapa detik pembicaraanku dengan putriku terhenti, dia sudah sampai di depan rumah dan mengetuk pintu. "Ma! Mama!" Aqilla memanggilku dengan lantang. Dengan cepat aku bergerak ke pintu depan. Kulihat wajah putriku berseru dengan boneka Barbie berambut pirang di genggaman tangan. "Ma, ini Tante Cadar!" serunya sambil terus menyunggingkan senyuman, seraya menoleh ke arah wanita yang berdiri di sampingnya. "Tante Cadar?" Aku mengernyit paham. "Dia ini namanya Tante Jamilah," imbuhku pada Aqilla. Jamilah menundukkan badan, menatap hangat pada putriku. "Panggil Tante Mila aja ya, Sayang."Aqilla membalas tatapan Jamilah dengan senyuman. "Iya, Tante Mila. Makasih ya, udah nganterin Qilla pulang sama beliin boneka." Gadis kecilku tampak bahagia sekali. Memiliki tetangga yang baik adalah impian setiap warga. Tak jarang ada tetangga baru yang sombong dan malas menegur tetangga yang sudah lama tinggal di sekitaran rumah mereka, tetapi sangat berbeda dengan Jamilah. Sel
"Apa?! Mbak Jamilah keguguran?" "Iya, Mbak. Bukan keguguran biasa, karena itu seperti kelainan. Bayi saya meninggal di dalam kandungan dan rahim saya diangkat," jelas Jamilah yang saat ini cadarnya sudah sangat basah. Wanita itu menangis pilu.Ya Allah ... pasti sedih sekali mengalami hal ini. Bukan hanya keguguran yang bisa hamil lagi kapan pun jika siap, tetapi harus rela karena kenyataannya dia tidak bisa hamil lagi. "Sabar, ya Mbak." Aku hanya bisa mengatakan itu, meskipun aku tahu pasti sangat sulit baginya.Jamilah terus menangis dan itu membuat hatiku kian ikut tersayat. Bagaimanapun, aku juga wanita. Aku paham betul apa yang dialaminya. "Mbak," panggil Jamilah setelah kondisinya sudah tenang. "Ya, ada apa? Katakanlah." Aku meraih sebelah tangan Jamilah dan mengusapnya dengan pelan. Jamilah menatapku dengan kedua mata masih berair. "Saya boleh kan, menganggap Aqilla seperti putri saya sendiri."Ucapan Jamilah begitu tulus, dan aku tidak akan bisa menolaknya. Setidaknya aku
Mas Abi terlihat panik. "Kamu kok sembarangan kasih izin tetangga bawa Aqilla! Kalau putri kita kenapa-kenapa, bagaimana??""Sudahlah, Mas ... jangan terlalu panik. Aku sudah lumayan kenal sama Jamilah, tetangga baru kita itu baik, kok." Aku berusaha menghentikan langkah Mas Abi agar tidak menyusul Aqilla.Namun, pria itu masih saja panik. Mas Abi melepas dasi yang dipakai dan meletakkannya di atas meja. "Tapi ini sudah jam berapa, Dek? Pokoknya Mas harus menjemput Aqilla dan membawanya pulang!" Setengah berteriak, Mas Abimana beranjak dari dapur dan ke luar rumah. "Mas! Tunggu!" teriakku, tetapi Mas Abi sepertinya sudah tidak mendengar. Aku pun ikut beranjak dari dapur dan melihatnya berjalan menuju rumah Jamilah dengan tergesa-gesa. Setelah mengetuk pintu yang berwana abu-abu itu, Mas Abi langsung masuk begitu saja. Mas Abi terlihat sangat tidak sopan. Kenapa bertamu ke rumah tetangga main nyelonong aja! Aku tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi di dalam rumah itu, karena ak
"Ma, kita ajak Tante Mila juga ya? Kasian Tante Mila sendirian di rumahnya," rengek putriku dengan penuh kepolosan. Bukannya tidak mau tahu tentang kondisi Jamilah saat ini yang selalu kesepian, tetapi sepertinya kurang tepat jika aku mengajak wanita itu untuk berlibur bersama kami. Apalagi ini ke rumah ibuku. Apa kata ibu nanti kalau aku membawa orang asing ke rumahnya. "Ma, gimana? Boleh kan, Tante Mila ikut?" tanya Aqila lagi dengan memelas."Lain kali aja ya, Sayang ... lagian kita ke rumah nenek cuma sebentar kok, nggak sampai satu minggu.""Tapi kasihan sama Tante Mila, Ma ... boleh ya? Tante Mila kita ajak ke rumah nenek?" Putriku kembali merengek."Sudah, biarin aja kenapa sih?" Mas Abi yang sedari tadi diam ikut berkomentar. "Jadi menurut Mas, kita harus mengajak Jamilah ke rumah ibu?" Aku meminta pendapat suamiku.Pria itu mengangguk pelan. "Iya, kalau Aqilla pengennya begitu, turuti saja.""Tapi, Mas ....""Sudahlah, biarin aja, toh Jamilah tetangga yang baik kan? Bukan
"Mas, bisa ka, antar Mbak Jamilah pulang sebentar?" tanyaku pada Mas Abi. Pria yang berdiri di samping Jamilah itu mengangguk cepat. "Iya, Mas bisa kok antar Mila ... Eh, Mbak Jamilah. Kasihan suaminya kalau kelamaan nungguin." Jamilah masih terlihat ragu. "Emmm ... Mas Abi beneran bisa ngantar saya pulang?" tanya Jamilah. "Saya takut kalau malah ngerepotin Mas Abi dan Mbak Kanaya.""Ah, nggak papa kok Mbak. Mbak Jamilah juga sudah baik sama kami, Apalagi sama Aqilla," jawabku dengan cepat. "Mumpung belum sore banget, ayo Mbak Jamilah, saya antar pulang sekarang," ajak Mas Abi dengan tegas, kemudian pria itu menoleh ke arahku "Dek, Mas nganter Mbak Jamilah dulu ya. Nanti, Mas bakal langsung balik lagi ke sini." "Iya Mas, hati-hati." Aku hanya bisa melihat suamiku keluar dari rumah bersama Jamilah. Dua orang itu bergerak cepat menuju mobil dan segera pergi dari hadapanku. "Ma, tante Mila mana?" tanya Aqilla dengan wajah polos. Gadis kecilku sangat terkejut saat mendengar Jamilah h
"Jamilah?" tanyaku dengan suara bergetar. Pikiranku sudah tak karuan, karena membayangkan kenapa handphone Mas Abi bisa ada pada Jamilah. "Iya, Mbak. Saya Jamilah," jawab suara lembut itu lagi, dan memang dari awal aku sudah sangat yakin jika dia adalah Jamilah."Kenapa HP Mas Abi bisa sama kamu?" tanyaku langsung. Bagaimanapun, aku harus tahu alasannya. "Oh, Mbak Kanaya jangan berpikiran yang macam-macam, ya?? Ini tadi kayaknya HP suami Mbak Kanaya kebawa sama saya. Kemasuk di tas saya kayaknya, Mbak. Saya juga baru sadar saat Mbak Kanaya nelepon ini," jelas Jamilah dengan penuh keyakinan. "Benarkah?" Namun, hatiku masih ragu. "Iya, Mbak.""Terus, suami saya ke mana, Mbak? Apa pulang ke rumah atau balik nyusul ke sini lagi?"Untuk sesaat Jamilah terdiam, beberapa detik kemudian, suara wanita itu terdengar lagi. "Kayaknya pulang ke rumah, Mbak. Itu, lampu rumah Mbak Kanaya nyala.""Oh, ya sudah. Kalau gitu, besok tolong antar HP suami saya ya, Mbak. Tolong katakan suruh nelepon sa
"Beneran, Mbak. Saya lihat sendiri dari sini. Mobil Pak Abi datang terus berhenti di depan rumah Mbak Jamilah, selang beberapa detik mereka masuk lagi ke mobil dan pergi lagi." Ucapan Bu Darti semakin membuatku bingung. Kenapa Mas Abi dan Jamilah kembali naik mobil dan meninggalkan rumah? Bukannya saat itu suami Jamilah katanya pulang dan menunggu istrinya di rumah? Apa mungkin suami Jamilah menunggu di tempat lain, sehingga dia meminta Mas Abi untuk mengantarnya lagi? Ya Allah, semakin aku kebingungan, semakin pula aku tak menemukan jawaban. "Mbak Kanaya, mari masuk dulu. Kasihan Aqilla kelihatan ngantuk banget. Mbak Aqilla bisa menidurkan Aqilla di kamar tamu, Mbak," ucap Bu Darti yang sontak menyadarkanku. Lamunanku yang sedari tadi melayang seketika buyar dan menghilang. Ah, benar. Mungkin Mas Abi memang mengantar Jamilah ke tempat suaminya entah di mana itu. "Ma, Qilla ngantuk." Putri kecilku yang sedari tadi menguap langsung berlari menuju kasur empuk ruang tamu rumah Bu Da