Share

06. Rahasia yang Mulai Tersingkap

Hati Kanaya semakin gelisah setelah mendapati struk belanja susu hamil yang tercecer di depan kamar putrinya.

Tidak salah lagi, bukti belanja itu diyakininya milik Abimana, karena wanita itu sendiri tidak merasa belanja di minimarket. Apalagi membeli susu hamil. Buat apa?

Di sepanjang jalan dari mengantar putrinya, Kanaya terus berpikir keras. Memecahkan semua teka-teki yang kian menjurus pada perselingkuhan sang suami yang sudah pasti sangat jauh.

'Jika benar Mas Abi membeli susu hamil itu untuk selingkuhannya, kemungkinan besar janin yang dikandung wanita itu adalah bayinya.'

Membayangkan itu membuat hati Kanaya semakin hancur, hingga motor yang ia naiki berhenti mendadak di tengah jalan. Ia menundukkan wajah, menahan lelehan air mata yang kian tak bisa tertahan.

Rasa percaya yang dulu begitu kuat kini terkoyak begitu saja. Namun, sekali lagi ... Kanaya masih akan tetap diam, hingga ia menemukan bukti yang benar-benar menguatkannya.

Belajar dari pengalaman salah satu temannya yang dulu suaminya berselingkuh. Karena asal menuduh, suaminya berhasil mengelabuhi si wanita dan malah kabur membawa semua harta demi wanita simpanannya.

Meskipun dalam hal ini Kanaya tidak berhak dengan harta, karena ia tidak ikut bekerja, tetapi Kanaya memikirkan semua demi buah hatinya. Akan sangat menderita jika suaminya memisahkan dirinya dengan putri kecilnya.

Di saat kekalutan hati yang kian menerpa, tiba-tiba muncul niatan untuk mencari bukti lain di kantor suaminya. Mungkin saja wanita itu adalah teman kantor sang suami yang tidak pernah dijumpainya.

Dengan cepat Kanaya memutar balik motor yang ia naiki menuju kantor Abimana. Perjalanan yang cukup cepat, karena jarak antara kantor dan sekolahan putrinya terbilang dekat. Meski begitu, Abimana sangat susah jika dimintai tolong membawa serta putrinya dengan alasan yang selalu beragam.

"Maaf, Bu. Selain karyawan, dilarang parkir di sini." Seorang pria berseragam security menghampiri Kanaya. Memang salah, karena Kanaya memarkirkan motornya di tempat parkir khusus pegawai kantor.

"Baik, Pak." Kanaya segera memindahkan motor miliknya ke lahan kosong yang sudah ditunjukkan petugas penjaga.

"Maaf, Pak. Apa di sini ada pegawai yang bernama Abimana?" tanya Kanaya pada petugas penjaga itu. Benar saja, selama ini Kanaya tidak pernah sekalipun diajak suaminya ke kantor tempatnya bekerja.

"Oh, Pak Abi." Petugas keamanan itu mengerling paham. "Pak Abi bukan karyawan di sini, Bu. Tapi beliau adalah bosnya."

"Apa!?" Kenyataan besar apalagi ini?

"Lha iya, Bu. Ngapain saya bohong. Saya sudah bekerja di sini selama hampir lima tahun. Dan mulai awal perusahaan ini memang milik Pak Abimana."

"Bapak serius?" Kanaya masih belum percaya.

Bagaimana tidak? Pasalnya dari awal pacaran hingga menikah, pria itu selalu mengaku hidup sederhana dengan penuh perjuangan. Meskipun sudah yatim piatu, Abimana berhasil mencuri hati Kanaya dengan keseriusan.

Namun, setelah mendengar pengakuan dari security yang berdiri di hadapannya ini, Kanaya semakin bingung.

'Apalagi ini, Mas? Kenapa banyak sekali rahasia besar yang kau sembunyikan dariku?'

"Maaf, Bu. Ibu ini siapa? Ada perlu apa mencari Pak Abi?" tanya penjaga itu lagi dengan sopan.

"Mmm ... memangnya Pak Abi ada di kantor?"

"Baru aja keluar, Bu. Katanya tadi mau ada meeting sama klien. Kalau memang penting, nanti akan saya sampaikan sama beliau."

"Ah, tidak perlu, Pak. Tidak usah." Dengan cepat Kanaya undur diri berpamitan pada security, kembali menyalakan motor dan melajukannya cepat menuju rumah.

Tiba di rumah, dengan kasar Kanaya menghempaskan tubuh ke sofa. Begitu pelik permasalahan yang dihadapinya membuat kepala wanita itu terasa akan meledak.

Pikiran Kanaya buntu, sedangkan hatinya sudah membatu. Ia bingung hendak melakukan apa dengan kenyataan demi kenyataan yang tiba-tiba terbuka lebar di hadapannya.

Kanaya bukan tipe perempuan pencurhat yang selalu membicarakan permasalahannya pada sesama wanita. Meskipun ia memiliki banyak teman, tetapi Kanaya tidak seakrab itu yang bisa kapan saja mengutarakan isi hatinya.

Ia selalu memendam setiap permasalahan dan mencari solusi sendiri. Meskipun butuh waktu lebih lama, karena harus melewatkan proses berdamai dengan diri sendiri dulu sebelum memutuskan apa yang akan ia perbuat nanti.

Wanita itu larut dalam lamunan, hingga sering benda pipih miliknya terdengar sangat nyaring. Dengan berat, ia menggeser layar gawai untuk menerima panggilan.

"Ma, Mama di mana? Kenapa lama banget jemput Qilla?" Suara kecil dari seberang telepon berhasil membuat Kanaya sadar. Ia menoleh cepat ke jam bundar yang menempel di dinding.

"Astaghfirullah, sudah jam satu siang??"

"Ma," panggil putri Kanaya lagi.

"Iya, Sayang ... maafin Mama. Ini Mama udah mau berangkat jemput Qilla." Kanaya kembali menjawab sambil mengeluarkan motornya lagi.

Namun, dengan cepat Aqilla berseru pada Kanaya.

"Mama nggak usah jemput Qilla. Soalnya Qilla mau diantar pulang sama Tante Cadar!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status