Hati Kanaya semakin gelisah setelah mendapati struk belanja susu hamil yang tercecer di depan kamar putrinya.
Tidak salah lagi, bukti belanja itu diyakininya milik Abimana, karena wanita itu sendiri tidak merasa belanja di minimarket. Apalagi membeli susu hamil. Buat apa?Di sepanjang jalan dari mengantar putrinya, Kanaya terus berpikir keras. Memecahkan semua teka-teki yang kian menjurus pada perselingkuhan sang suami yang sudah pasti sangat jauh.'Jika benar Mas Abi membeli susu hamil itu untuk selingkuhannya, kemungkinan besar janin yang dikandung wanita itu adalah bayinya.'Membayangkan itu membuat hati Kanaya semakin hancur, hingga motor yang ia naiki berhenti mendadak di tengah jalan. Ia menundukkan wajah, menahan lelehan air mata yang kian tak bisa tertahan.Rasa percaya yang dulu begitu kuat kini terkoyak begitu saja. Namun, sekali lagi ... Kanaya masih akan tetap diam, hingga ia menemukan bukti yang benar-benar menguatkannya.Belajar dari pengalaman salah satu temannya yang dulu suaminya berselingkuh. Karena asal menuduh, suaminya berhasil mengelabuhi si wanita dan malah kabur membawa semua harta demi wanita simpanannya.Meskipun dalam hal ini Kanaya tidak berhak dengan harta, karena ia tidak ikut bekerja, tetapi Kanaya memikirkan semua demi buah hatinya. Akan sangat menderita jika suaminya memisahkan dirinya dengan putri kecilnya.Di saat kekalutan hati yang kian menerpa, tiba-tiba muncul niatan untuk mencari bukti lain di kantor suaminya. Mungkin saja wanita itu adalah teman kantor sang suami yang tidak pernah dijumpainya.Dengan cepat Kanaya memutar balik motor yang ia naiki menuju kantor Abimana. Perjalanan yang cukup cepat, karena jarak antara kantor dan sekolahan putrinya terbilang dekat. Meski begitu, Abimana sangat susah jika dimintai tolong membawa serta putrinya dengan alasan yang selalu beragam."Maaf, Bu. Selain karyawan, dilarang parkir di sini." Seorang pria berseragam security menghampiri Kanaya. Memang salah, karena Kanaya memarkirkan motornya di tempat parkir khusus pegawai kantor."Baik, Pak." Kanaya segera memindahkan motor miliknya ke lahan kosong yang sudah ditunjukkan petugas penjaga."Maaf, Pak. Apa di sini ada pegawai yang bernama Abimana?" tanya Kanaya pada petugas penjaga itu. Benar saja, selama ini Kanaya tidak pernah sekalipun diajak suaminya ke kantor tempatnya bekerja."Oh, Pak Abi." Petugas keamanan itu mengerling paham. "Pak Abi bukan karyawan di sini, Bu. Tapi beliau adalah bosnya.""Apa!?" Kenyataan besar apalagi ini?"Lha iya, Bu. Ngapain saya bohong. Saya sudah bekerja di sini selama hampir lima tahun. Dan mulai awal perusahaan ini memang milik Pak Abimana.""Bapak serius?" Kanaya masih belum percaya.Bagaimana tidak? Pasalnya dari awal pacaran hingga menikah, pria itu selalu mengaku hidup sederhana dengan penuh perjuangan. Meskipun sudah yatim piatu, Abimana berhasil mencuri hati Kanaya dengan keseriusan.Namun, setelah mendengar pengakuan dari security yang berdiri di hadapannya ini, Kanaya semakin bingung.'Apalagi ini, Mas? Kenapa banyak sekali rahasia besar yang kau sembunyikan dariku?'"Maaf, Bu. Ibu ini siapa? Ada perlu apa mencari Pak Abi?" tanya penjaga itu lagi dengan sopan."Mmm ... memangnya Pak Abi ada di kantor?""Baru aja keluar, Bu. Katanya tadi mau ada meeting sama klien. Kalau memang penting, nanti akan saya sampaikan sama beliau.""Ah, tidak perlu, Pak. Tidak usah." Dengan cepat Kanaya undur diri berpamitan pada security, kembali menyalakan motor dan melajukannya cepat menuju rumah.Tiba di rumah, dengan kasar Kanaya menghempaskan tubuh ke sofa. Begitu pelik permasalahan yang dihadapinya membuat kepala wanita itu terasa akan meledak.Pikiran Kanaya buntu, sedangkan hatinya sudah membatu. Ia bingung hendak melakukan apa dengan kenyataan demi kenyataan yang tiba-tiba terbuka lebar di hadapannya.Kanaya bukan tipe perempuan pencurhat yang selalu membicarakan permasalahannya pada sesama wanita. Meskipun ia memiliki banyak teman, tetapi Kanaya tidak seakrab itu yang bisa kapan saja mengutarakan isi hatinya.Ia selalu memendam setiap permasalahan dan mencari solusi sendiri. Meskipun butuh waktu lebih lama, karena harus melewatkan proses berdamai dengan diri sendiri dulu sebelum memutuskan apa yang akan ia perbuat nanti.Wanita itu larut dalam lamunan, hingga sering benda pipih miliknya terdengar sangat nyaring. Dengan berat, ia menggeser layar gawai untuk menerima panggilan."Ma, Mama di mana? Kenapa lama banget jemput Qilla?" Suara kecil dari seberang telepon berhasil membuat Kanaya sadar. Ia menoleh cepat ke jam bundar yang menempel di dinding."Astaghfirullah, sudah jam satu siang??""Ma," panggil putri Kanaya lagi."Iya, Sayang ... maafin Mama. Ini Mama udah mau berangkat jemput Qilla." Kanaya kembali menjawab sambil mengeluarkan motornya lagi.Namun, dengan cepat Aqilla berseru pada Kanaya."Mama nggak usah jemput Qilla. Soalnya Qilla mau diantar pulang sama Tante Cadar!"Benar saja. Baru beberapa detik pembicaraanku dengan putriku terhenti, dia sudah sampai di depan rumah dan mengetuk pintu. "Ma! Mama!" Aqilla memanggilku dengan lantang. Dengan cepat aku bergerak ke pintu depan. Kulihat wajah putriku berseru dengan boneka Barbie berambut pirang di genggaman tangan. "Ma, ini Tante Cadar!" serunya sambil terus menyunggingkan senyuman, seraya menoleh ke arah wanita yang berdiri di sampingnya. "Tante Cadar?" Aku mengernyit paham. "Dia ini namanya Tante Jamilah," imbuhku pada Aqilla. Jamilah menundukkan badan, menatap hangat pada putriku. "Panggil Tante Mila aja ya, Sayang."Aqilla membalas tatapan Jamilah dengan senyuman. "Iya, Tante Mila. Makasih ya, udah nganterin Qilla pulang sama beliin boneka." Gadis kecilku tampak bahagia sekali. Memiliki tetangga yang baik adalah impian setiap warga. Tak jarang ada tetangga baru yang sombong dan malas menegur tetangga yang sudah lama tinggal di sekitaran rumah mereka, tetapi sangat berbeda dengan Jamilah. Sel
"Apa?! Mbak Jamilah keguguran?" "Iya, Mbak. Bukan keguguran biasa, karena itu seperti kelainan. Bayi saya meninggal di dalam kandungan dan rahim saya diangkat," jelas Jamilah yang saat ini cadarnya sudah sangat basah. Wanita itu menangis pilu.Ya Allah ... pasti sedih sekali mengalami hal ini. Bukan hanya keguguran yang bisa hamil lagi kapan pun jika siap, tetapi harus rela karena kenyataannya dia tidak bisa hamil lagi. "Sabar, ya Mbak." Aku hanya bisa mengatakan itu, meskipun aku tahu pasti sangat sulit baginya.Jamilah terus menangis dan itu membuat hatiku kian ikut tersayat. Bagaimanapun, aku juga wanita. Aku paham betul apa yang dialaminya. "Mbak," panggil Jamilah setelah kondisinya sudah tenang. "Ya, ada apa? Katakanlah." Aku meraih sebelah tangan Jamilah dan mengusapnya dengan pelan. Jamilah menatapku dengan kedua mata masih berair. "Saya boleh kan, menganggap Aqilla seperti putri saya sendiri."Ucapan Jamilah begitu tulus, dan aku tidak akan bisa menolaknya. Setidaknya aku
Mas Abi terlihat panik. "Kamu kok sembarangan kasih izin tetangga bawa Aqilla! Kalau putri kita kenapa-kenapa, bagaimana??""Sudahlah, Mas ... jangan terlalu panik. Aku sudah lumayan kenal sama Jamilah, tetangga baru kita itu baik, kok." Aku berusaha menghentikan langkah Mas Abi agar tidak menyusul Aqilla.Namun, pria itu masih saja panik. Mas Abi melepas dasi yang dipakai dan meletakkannya di atas meja. "Tapi ini sudah jam berapa, Dek? Pokoknya Mas harus menjemput Aqilla dan membawanya pulang!" Setengah berteriak, Mas Abimana beranjak dari dapur dan ke luar rumah. "Mas! Tunggu!" teriakku, tetapi Mas Abi sepertinya sudah tidak mendengar. Aku pun ikut beranjak dari dapur dan melihatnya berjalan menuju rumah Jamilah dengan tergesa-gesa. Setelah mengetuk pintu yang berwana abu-abu itu, Mas Abi langsung masuk begitu saja. Mas Abi terlihat sangat tidak sopan. Kenapa bertamu ke rumah tetangga main nyelonong aja! Aku tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi di dalam rumah itu, karena ak
"Ma, kita ajak Tante Mila juga ya? Kasian Tante Mila sendirian di rumahnya," rengek putriku dengan penuh kepolosan. Bukannya tidak mau tahu tentang kondisi Jamilah saat ini yang selalu kesepian, tetapi sepertinya kurang tepat jika aku mengajak wanita itu untuk berlibur bersama kami. Apalagi ini ke rumah ibuku. Apa kata ibu nanti kalau aku membawa orang asing ke rumahnya. "Ma, gimana? Boleh kan, Tante Mila ikut?" tanya Aqila lagi dengan memelas."Lain kali aja ya, Sayang ... lagian kita ke rumah nenek cuma sebentar kok, nggak sampai satu minggu.""Tapi kasihan sama Tante Mila, Ma ... boleh ya? Tante Mila kita ajak ke rumah nenek?" Putriku kembali merengek."Sudah, biarin aja kenapa sih?" Mas Abi yang sedari tadi diam ikut berkomentar. "Jadi menurut Mas, kita harus mengajak Jamilah ke rumah ibu?" Aku meminta pendapat suamiku.Pria itu mengangguk pelan. "Iya, kalau Aqilla pengennya begitu, turuti saja.""Tapi, Mas ....""Sudahlah, biarin aja, toh Jamilah tetangga yang baik kan? Bukan
"Mas, bisa ka, antar Mbak Jamilah pulang sebentar?" tanyaku pada Mas Abi. Pria yang berdiri di samping Jamilah itu mengangguk cepat. "Iya, Mas bisa kok antar Mila ... Eh, Mbak Jamilah. Kasihan suaminya kalau kelamaan nungguin." Jamilah masih terlihat ragu. "Emmm ... Mas Abi beneran bisa ngantar saya pulang?" tanya Jamilah. "Saya takut kalau malah ngerepotin Mas Abi dan Mbak Kanaya.""Ah, nggak papa kok Mbak. Mbak Jamilah juga sudah baik sama kami, Apalagi sama Aqilla," jawabku dengan cepat. "Mumpung belum sore banget, ayo Mbak Jamilah, saya antar pulang sekarang," ajak Mas Abi dengan tegas, kemudian pria itu menoleh ke arahku "Dek, Mas nganter Mbak Jamilah dulu ya. Nanti, Mas bakal langsung balik lagi ke sini." "Iya Mas, hati-hati." Aku hanya bisa melihat suamiku keluar dari rumah bersama Jamilah. Dua orang itu bergerak cepat menuju mobil dan segera pergi dari hadapanku. "Ma, tante Mila mana?" tanya Aqilla dengan wajah polos. Gadis kecilku sangat terkejut saat mendengar Jamilah h
"Jamilah?" tanyaku dengan suara bergetar. Pikiranku sudah tak karuan, karena membayangkan kenapa handphone Mas Abi bisa ada pada Jamilah. "Iya, Mbak. Saya Jamilah," jawab suara lembut itu lagi, dan memang dari awal aku sudah sangat yakin jika dia adalah Jamilah."Kenapa HP Mas Abi bisa sama kamu?" tanyaku langsung. Bagaimanapun, aku harus tahu alasannya. "Oh, Mbak Kanaya jangan berpikiran yang macam-macam, ya?? Ini tadi kayaknya HP suami Mbak Kanaya kebawa sama saya. Kemasuk di tas saya kayaknya, Mbak. Saya juga baru sadar saat Mbak Kanaya nelepon ini," jelas Jamilah dengan penuh keyakinan. "Benarkah?" Namun, hatiku masih ragu. "Iya, Mbak.""Terus, suami saya ke mana, Mbak? Apa pulang ke rumah atau balik nyusul ke sini lagi?"Untuk sesaat Jamilah terdiam, beberapa detik kemudian, suara wanita itu terdengar lagi. "Kayaknya pulang ke rumah, Mbak. Itu, lampu rumah Mbak Kanaya nyala.""Oh, ya sudah. Kalau gitu, besok tolong antar HP suami saya ya, Mbak. Tolong katakan suruh nelepon sa
"Beneran, Mbak. Saya lihat sendiri dari sini. Mobil Pak Abi datang terus berhenti di depan rumah Mbak Jamilah, selang beberapa detik mereka masuk lagi ke mobil dan pergi lagi." Ucapan Bu Darti semakin membuatku bingung. Kenapa Mas Abi dan Jamilah kembali naik mobil dan meninggalkan rumah? Bukannya saat itu suami Jamilah katanya pulang dan menunggu istrinya di rumah? Apa mungkin suami Jamilah menunggu di tempat lain, sehingga dia meminta Mas Abi untuk mengantarnya lagi? Ya Allah, semakin aku kebingungan, semakin pula aku tak menemukan jawaban. "Mbak Kanaya, mari masuk dulu. Kasihan Aqilla kelihatan ngantuk banget. Mbak Aqilla bisa menidurkan Aqilla di kamar tamu, Mbak," ucap Bu Darti yang sontak menyadarkanku. Lamunanku yang sedari tadi melayang seketika buyar dan menghilang. Ah, benar. Mungkin Mas Abi memang mengantar Jamilah ke tempat suaminya entah di mana itu. "Ma, Qilla ngantuk." Putri kecilku yang sedari tadi menguap langsung berlari menuju kasur empuk ruang tamu rumah Bu Da
Mas Abi mulai mengurai pelukan dan perlahan memutar tubuhku yang hanya terlilit oleh handuk. Dengan menyeringai, pria itu terlihat seperti ingin menerkamku. Ya, bagaimanapun aku masih istri sahnya dan dia masih menjadi suamiku. "Mas, tolong ... aku mau salat ashar. Sudah azan." Aku berusaha menolak. Ingatan tentangnya yang berpelukan mesra dengan wanita berambut pirang kembali menari-nari di kepala. "Kita sudah lama tidak melakukannya, Sayang. Aku benar-benar rindu kamu." Ya Allah, sebenarnya aku tidak berniat menolak, tetapi mengingat pengkhianatannya membuat hati kecilku berontak. "Tunggu nanti malam saja, Mas. Sekarang sudah asar, nanti keburu Aqilla bangun juga." Aku terus beralasan sambil kembali membuka lemari dan meraih pakaian asal dan segera memakainya. Berharap Mas Abi mau mengerti dengan alasanku dan bersabar. Namun, ternyata penolakan yang kukira paling tepat ternyata membuat Mas Abi kesal. Wajah pria itu berubah padam. Tanpa berkata-kata, Mas Abi menarik paksa daster