Share

07. POV Kanaya

Benar saja. Baru beberapa detik pembicaraanku dengan putriku terhenti, dia sudah sampai di depan rumah dan mengetuk pintu.

"Ma! Mama!" Aqilla memanggilku dengan lantang.

Dengan cepat aku bergerak ke pintu depan. Kulihat wajah putriku berseru dengan boneka Barbie berambut pirang di genggaman tangan.

"Ma, ini Tante Cadar!" serunya sambil terus menyunggingkan senyuman, seraya menoleh ke arah wanita yang berdiri di sampingnya.

"Tante Cadar?" Aku mengernyit paham. "Dia ini namanya Tante Jamilah," imbuhku pada Aqilla.

Jamilah menundukkan badan, menatap hangat pada putriku. "Panggil Tante Mila aja ya, Sayang."

Aqilla membalas tatapan Jamilah dengan senyuman. "Iya, Tante Mila. Makasih ya, udah nganterin Qilla pulang sama beliin boneka." Gadis kecilku tampak bahagia sekali.

Memiliki tetangga yang baik adalah impian setiap warga. Tak jarang ada tetangga baru yang sombong dan malas menegur tetangga yang sudah lama tinggal di sekitaran rumah mereka, tetapi sangat berbeda dengan Jamilah.

Selain dia baik, dia juga terlihat sangat royal. Buktinya dia mau membelikan hadiah putriku sebuah boneka kesukaannya.

"Mbak Jamilah, mari masuk." Aku ingin membalas kebaikan wanita bercadar ini, setidaknya dengan menjamunya makan siang atau sekadar minum teh manis di rumahku.

Tanpa ragu, Jamilah mengangguk dan mengekor di belakangku.

"Rumahnya luas banget ya, Mbak Kanaya. Bersih dan rapi," puji Jamilah dengan kedua mata menelisik ruangan yang kami masuki.

"Alhamdulillah, Mbak."

"Eumm, kalau boleh tahu. Suami Mbak Kanaya kerja apa ya?" tanyanya, yang seketika mengingatkanku pada kejadian tadi pagi.

Mas Abi yang ternyata bos di perusahaan tempatnya bekerja masih membuatku kebingungan. Aku hanya bisa menjawab seadanya saja.

"Suami saya kerja di perusahaan elektronik, Mbak. Nggak jauh dari sini."

"Di perusahan elektronik?" Kedua alis Jamilah saling bertaut.

Aku mengangguk. "Iya, Mbak. Jadi asisten manager di sana," jawabku lagi.

Wanita bercadar itu mengangguk paham. "Oh, iya."

Aku pun pamit ke dapur untuk membuatkan minuman dingin untuknya. Beberapa menit kemudian aku kembali ke depan dengan nampan yang sudah lengkap dengan isinya.

Ke mana perginya Jamilah, tetangga bercadarku?

Kuletakkan nampan ke atas meja ruang tamu, tempat Jamilah tadi menungguku di sini. Aku bergegas menuju pintu luar untuk mengecek apa tamuku sudah pergi.

Namun, sandal hak tingginya masih berjejer rapi di depan pintu. Itu menandakan Jamilah masih ada di dalam.

Ah, wanita bercadar memakai hak tinggi?

Kenapa hal itu menurutku janggal, karena yang kutahu mereka yang biasa bercadar hanya memakai flatshoes atau sandal yang semacamnya.

"Mbak Kanaya," panggil Jamilah yang entah muncul dari mana. Tiba-tiba wanita bercadar itu sudah berdiri di belakangku.

"Ya Allah, Mbak .... Saya kira Mbak Jamilah tadi sudah pulang." Aku menyahut cepat dengan rasa penasaran. Dari mana sebenarnya wanita ini?

"Maaf, Mbak. Tadi saya mau numpang ke toilet ... tapi malah tersesat ke kamar tidur. Rumahnya luas banget, Mbak, saya sampai kesasar."

Jawaban Jamilah membuatku paham. "Oh, iya .... Nggak apa-apa Mbak Jamilah. Sering-sering aja datang ke sini, biar hapal denah rumah saya," balasku dengan sedikit bercanda.

"Beneran, Mbak? Saya boleh sering-sering main ke sini?" Kedua netra Jamilah tampak berbinar. "Selama ini saya sering kesepian, Mbak. Di rumah nggak ada yang nemenin."

"Memangnya suami Mbak Jamilah ke mana? Dakwah ke luar kota lagi?" tanyaku berusaha mengerti posisinya, karena yang kutahu begitu. Suaminya adalah pendakwah yang sering menerima panggilan dakwah di luar kota dan jarang pulang.

Jamilah mengangguk dengan mata terlihat sayup. "Iya, Mbak. Suami saya sedang di luar kota," jawabnya dengan nada sedih. "Sudah seminggu lebih dia tidak pulang, Mbak."

"Alhamdulillah, pahala suami Mbak Jamilah pasti berlipat-lipat. katanya kan gitu, berdakwah adalah pekerjaan yang sangat mulia."

mendengar ucapanku, Jamilah kian terlihat bersedih. Aku tidak bisa memastikan kesedihannya, karena wajahnya tertutup kain. Akan tetapi aku bisa melihat kedua matanya yang mengembun, yang pasti menandakan hatinya sedang berkabung.

"Kata putri saya, Mbak Jamilah sedang hamil ya?" tanyaku lagi mencoba mengalihkan pembahasan. Siapa tahu dia bisa kembali bersemangat dengan pertanyaanku tentang kehamilannya.

Namun, bukannya senang wanita bercadar yang duduk di hadapanku ini malah menangis.

"Lho ... ada apa Mbak?" Aku semakin bingung.

Bukannya menjawab, tangis Jamilah kian terdengar, nyaring. Untung saja Aqilla sedang tidak bersama kami, karena dia berada di kamar. Jika putriku melihat ini, pasti dia akan kebingungan. permasalahan orang tua, jangan sampai anak-anak mengetahuinya.

"Sudah, Mbak .... Jangan menangis. Kalau ada apa-apa, bilang ke saya aja, nggak apa-apa. Saya bersedia jadi pendengar yang baik untuk Mbak." Sebisa mungkin aku berusaha menenangkan. Kata orang kegundahan hati bisa berkurang dengan cara dikatakan pada seseorang, kan?

Jamilah mendongakkan wajah menatapku dengan sorot mata sedih.

"Saya keguguran, Mbak."

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Diyah
next kak otor
goodnovel comment avatar
Naviah
next dong kakkk
goodnovel comment avatar
Diyah
lanjutkan thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status