Benar saja. Baru beberapa detik pembicaraanku dengan putriku terhenti, dia sudah sampai di depan rumah dan mengetuk pintu.
"Ma! Mama!" Aqilla memanggilku dengan lantang.Dengan cepat aku bergerak ke pintu depan. Kulihat wajah putriku berseru dengan boneka Barbie berambut pirang di genggaman tangan."Ma, ini Tante Cadar!" serunya sambil terus menyunggingkan senyuman, seraya menoleh ke arah wanita yang berdiri di sampingnya."Tante Cadar?" Aku mengernyit paham. "Dia ini namanya Tante Jamilah," imbuhku pada Aqilla.Jamilah menundukkan badan, menatap hangat pada putriku. "Panggil Tante Mila aja ya, Sayang."Aqilla membalas tatapan Jamilah dengan senyuman. "Iya, Tante Mila. Makasih ya, udah nganterin Qilla pulang sama beliin boneka." Gadis kecilku tampak bahagia sekali.Memiliki tetangga yang baik adalah impian setiap warga. Tak jarang ada tetangga baru yang sombong dan malas menegur tetangga yang sudah lama tinggal di sekitaran rumah mereka, tetapi sangat berbeda dengan Jamilah.Selain dia baik, dia juga terlihat sangat royal. Buktinya dia mau membelikan hadiah putriku sebuah boneka kesukaannya."Mbak Jamilah, mari masuk." Aku ingin membalas kebaikan wanita bercadar ini, setidaknya dengan menjamunya makan siang atau sekadar minum teh manis di rumahku.Tanpa ragu, Jamilah mengangguk dan mengekor di belakangku."Rumahnya luas banget ya, Mbak Kanaya. Bersih dan rapi," puji Jamilah dengan kedua mata menelisik ruangan yang kami masuki."Alhamdulillah, Mbak.""Eumm, kalau boleh tahu. Suami Mbak Kanaya kerja apa ya?" tanyanya, yang seketika mengingatkanku pada kejadian tadi pagi.Mas Abi yang ternyata bos di perusahaan tempatnya bekerja masih membuatku kebingungan. Aku hanya bisa menjawab seadanya saja."Suami saya kerja di perusahaan elektronik, Mbak. Nggak jauh dari sini.""Di perusahan elektronik?" Kedua alis Jamilah saling bertaut.Aku mengangguk. "Iya, Mbak. Jadi asisten manager di sana," jawabku lagi.Wanita bercadar itu mengangguk paham. "Oh, iya."Aku pun pamit ke dapur untuk membuatkan minuman dingin untuknya. Beberapa menit kemudian aku kembali ke depan dengan nampan yang sudah lengkap dengan isinya.Ke mana perginya Jamilah, tetangga bercadarku?Kuletakkan nampan ke atas meja ruang tamu, tempat Jamilah tadi menungguku di sini. Aku bergegas menuju pintu luar untuk mengecek apa tamuku sudah pergi.Namun, sandal hak tingginya masih berjejer rapi di depan pintu. Itu menandakan Jamilah masih ada di dalam.Ah, wanita bercadar memakai hak tinggi?Kenapa hal itu menurutku janggal, karena yang kutahu mereka yang biasa bercadar hanya memakai flatshoes atau sandal yang semacamnya."Mbak Kanaya," panggil Jamilah yang entah muncul dari mana. Tiba-tiba wanita bercadar itu sudah berdiri di belakangku."Ya Allah, Mbak .... Saya kira Mbak Jamilah tadi sudah pulang." Aku menyahut cepat dengan rasa penasaran. Dari mana sebenarnya wanita ini?"Maaf, Mbak. Tadi saya mau numpang ke toilet ... tapi malah tersesat ke kamar tidur. Rumahnya luas banget, Mbak, saya sampai kesasar."Jawaban Jamilah membuatku paham. "Oh, iya .... Nggak apa-apa Mbak Jamilah. Sering-sering aja datang ke sini, biar hapal denah rumah saya," balasku dengan sedikit bercanda."Beneran, Mbak? Saya boleh sering-sering main ke sini?" Kedua netra Jamilah tampak berbinar. "Selama ini saya sering kesepian, Mbak. Di rumah nggak ada yang nemenin.""Memangnya suami Mbak Jamilah ke mana? Dakwah ke luar kota lagi?" tanyaku berusaha mengerti posisinya, karena yang kutahu begitu. Suaminya adalah pendakwah yang sering menerima panggilan dakwah di luar kota dan jarang pulang.Jamilah mengangguk dengan mata terlihat sayup. "Iya, Mbak. Suami saya sedang di luar kota," jawabnya dengan nada sedih. "Sudah seminggu lebih dia tidak pulang, Mbak.""Alhamdulillah, pahala suami Mbak Jamilah pasti berlipat-lipat. katanya kan gitu, berdakwah adalah pekerjaan yang sangat mulia."mendengar ucapanku, Jamilah kian terlihat bersedih. Aku tidak bisa memastikan kesedihannya, karena wajahnya tertutup kain. Akan tetapi aku bisa melihat kedua matanya yang mengembun, yang pasti menandakan hatinya sedang berkabung."Kata putri saya, Mbak Jamilah sedang hamil ya?" tanyaku lagi mencoba mengalihkan pembahasan. Siapa tahu dia bisa kembali bersemangat dengan pertanyaanku tentang kehamilannya.Namun, bukannya senang wanita bercadar yang duduk di hadapanku ini malah menangis."Lho ... ada apa Mbak?" Aku semakin bingung.Bukannya menjawab, tangis Jamilah kian terdengar, nyaring. Untung saja Aqilla sedang tidak bersama kami, karena dia berada di kamar. Jika putriku melihat ini, pasti dia akan kebingungan. permasalahan orang tua, jangan sampai anak-anak mengetahuinya."Sudah, Mbak .... Jangan menangis. Kalau ada apa-apa, bilang ke saya aja, nggak apa-apa. Saya bersedia jadi pendengar yang baik untuk Mbak." Sebisa mungkin aku berusaha menenangkan. Kata orang kegundahan hati bisa berkurang dengan cara dikatakan pada seseorang, kan?Jamilah mendongakkan wajah menatapku dengan sorot mata sedih."Saya keguguran, Mbak.""Apa?! Mbak Jamilah keguguran?" "Iya, Mbak. Bukan keguguran biasa, karena itu seperti kelainan. Bayi saya meninggal di dalam kandungan dan rahim saya diangkat," jelas Jamilah yang saat ini cadarnya sudah sangat basah. Wanita itu menangis pilu.Ya Allah ... pasti sedih sekali mengalami hal ini. Bukan hanya keguguran yang bisa hamil lagi kapan pun jika siap, tetapi harus rela karena kenyataannya dia tidak bisa hamil lagi. "Sabar, ya Mbak." Aku hanya bisa mengatakan itu, meskipun aku tahu pasti sangat sulit baginya.Jamilah terus menangis dan itu membuat hatiku kian ikut tersayat. Bagaimanapun, aku juga wanita. Aku paham betul apa yang dialaminya. "Mbak," panggil Jamilah setelah kondisinya sudah tenang. "Ya, ada apa? Katakanlah." Aku meraih sebelah tangan Jamilah dan mengusapnya dengan pelan. Jamilah menatapku dengan kedua mata masih berair. "Saya boleh kan, menganggap Aqilla seperti putri saya sendiri."Ucapan Jamilah begitu tulus, dan aku tidak akan bisa menolaknya. Setidaknya aku
Mas Abi terlihat panik. "Kamu kok sembarangan kasih izin tetangga bawa Aqilla! Kalau putri kita kenapa-kenapa, bagaimana??""Sudahlah, Mas ... jangan terlalu panik. Aku sudah lumayan kenal sama Jamilah, tetangga baru kita itu baik, kok." Aku berusaha menghentikan langkah Mas Abi agar tidak menyusul Aqilla.Namun, pria itu masih saja panik. Mas Abi melepas dasi yang dipakai dan meletakkannya di atas meja. "Tapi ini sudah jam berapa, Dek? Pokoknya Mas harus menjemput Aqilla dan membawanya pulang!" Setengah berteriak, Mas Abimana beranjak dari dapur dan ke luar rumah. "Mas! Tunggu!" teriakku, tetapi Mas Abi sepertinya sudah tidak mendengar. Aku pun ikut beranjak dari dapur dan melihatnya berjalan menuju rumah Jamilah dengan tergesa-gesa. Setelah mengetuk pintu yang berwana abu-abu itu, Mas Abi langsung masuk begitu saja. Mas Abi terlihat sangat tidak sopan. Kenapa bertamu ke rumah tetangga main nyelonong aja! Aku tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi di dalam rumah itu, karena ak
"Ma, kita ajak Tante Mila juga ya? Kasian Tante Mila sendirian di rumahnya," rengek putriku dengan penuh kepolosan. Bukannya tidak mau tahu tentang kondisi Jamilah saat ini yang selalu kesepian, tetapi sepertinya kurang tepat jika aku mengajak wanita itu untuk berlibur bersama kami. Apalagi ini ke rumah ibuku. Apa kata ibu nanti kalau aku membawa orang asing ke rumahnya. "Ma, gimana? Boleh kan, Tante Mila ikut?" tanya Aqila lagi dengan memelas."Lain kali aja ya, Sayang ... lagian kita ke rumah nenek cuma sebentar kok, nggak sampai satu minggu.""Tapi kasihan sama Tante Mila, Ma ... boleh ya? Tante Mila kita ajak ke rumah nenek?" Putriku kembali merengek."Sudah, biarin aja kenapa sih?" Mas Abi yang sedari tadi diam ikut berkomentar. "Jadi menurut Mas, kita harus mengajak Jamilah ke rumah ibu?" Aku meminta pendapat suamiku.Pria itu mengangguk pelan. "Iya, kalau Aqilla pengennya begitu, turuti saja.""Tapi, Mas ....""Sudahlah, biarin aja, toh Jamilah tetangga yang baik kan? Bukan
"Mas, bisa ka, antar Mbak Jamilah pulang sebentar?" tanyaku pada Mas Abi. Pria yang berdiri di samping Jamilah itu mengangguk cepat. "Iya, Mas bisa kok antar Mila ... Eh, Mbak Jamilah. Kasihan suaminya kalau kelamaan nungguin." Jamilah masih terlihat ragu. "Emmm ... Mas Abi beneran bisa ngantar saya pulang?" tanya Jamilah. "Saya takut kalau malah ngerepotin Mas Abi dan Mbak Kanaya.""Ah, nggak papa kok Mbak. Mbak Jamilah juga sudah baik sama kami, Apalagi sama Aqilla," jawabku dengan cepat. "Mumpung belum sore banget, ayo Mbak Jamilah, saya antar pulang sekarang," ajak Mas Abi dengan tegas, kemudian pria itu menoleh ke arahku "Dek, Mas nganter Mbak Jamilah dulu ya. Nanti, Mas bakal langsung balik lagi ke sini." "Iya Mas, hati-hati." Aku hanya bisa melihat suamiku keluar dari rumah bersama Jamilah. Dua orang itu bergerak cepat menuju mobil dan segera pergi dari hadapanku. "Ma, tante Mila mana?" tanya Aqilla dengan wajah polos. Gadis kecilku sangat terkejut saat mendengar Jamilah h
"Jamilah?" tanyaku dengan suara bergetar. Pikiranku sudah tak karuan, karena membayangkan kenapa handphone Mas Abi bisa ada pada Jamilah. "Iya, Mbak. Saya Jamilah," jawab suara lembut itu lagi, dan memang dari awal aku sudah sangat yakin jika dia adalah Jamilah."Kenapa HP Mas Abi bisa sama kamu?" tanyaku langsung. Bagaimanapun, aku harus tahu alasannya. "Oh, Mbak Kanaya jangan berpikiran yang macam-macam, ya?? Ini tadi kayaknya HP suami Mbak Kanaya kebawa sama saya. Kemasuk di tas saya kayaknya, Mbak. Saya juga baru sadar saat Mbak Kanaya nelepon ini," jelas Jamilah dengan penuh keyakinan. "Benarkah?" Namun, hatiku masih ragu. "Iya, Mbak.""Terus, suami saya ke mana, Mbak? Apa pulang ke rumah atau balik nyusul ke sini lagi?"Untuk sesaat Jamilah terdiam, beberapa detik kemudian, suara wanita itu terdengar lagi. "Kayaknya pulang ke rumah, Mbak. Itu, lampu rumah Mbak Kanaya nyala.""Oh, ya sudah. Kalau gitu, besok tolong antar HP suami saya ya, Mbak. Tolong katakan suruh nelepon sa
"Beneran, Mbak. Saya lihat sendiri dari sini. Mobil Pak Abi datang terus berhenti di depan rumah Mbak Jamilah, selang beberapa detik mereka masuk lagi ke mobil dan pergi lagi." Ucapan Bu Darti semakin membuatku bingung. Kenapa Mas Abi dan Jamilah kembali naik mobil dan meninggalkan rumah? Bukannya saat itu suami Jamilah katanya pulang dan menunggu istrinya di rumah? Apa mungkin suami Jamilah menunggu di tempat lain, sehingga dia meminta Mas Abi untuk mengantarnya lagi? Ya Allah, semakin aku kebingungan, semakin pula aku tak menemukan jawaban. "Mbak Kanaya, mari masuk dulu. Kasihan Aqilla kelihatan ngantuk banget. Mbak Aqilla bisa menidurkan Aqilla di kamar tamu, Mbak," ucap Bu Darti yang sontak menyadarkanku. Lamunanku yang sedari tadi melayang seketika buyar dan menghilang. Ah, benar. Mungkin Mas Abi memang mengantar Jamilah ke tempat suaminya entah di mana itu. "Ma, Qilla ngantuk." Putri kecilku yang sedari tadi menguap langsung berlari menuju kasur empuk ruang tamu rumah Bu Da
Mas Abi mulai mengurai pelukan dan perlahan memutar tubuhku yang hanya terlilit oleh handuk. Dengan menyeringai, pria itu terlihat seperti ingin menerkamku. Ya, bagaimanapun aku masih istri sahnya dan dia masih menjadi suamiku. "Mas, tolong ... aku mau salat ashar. Sudah azan." Aku berusaha menolak. Ingatan tentangnya yang berpelukan mesra dengan wanita berambut pirang kembali menari-nari di kepala. "Kita sudah lama tidak melakukannya, Sayang. Aku benar-benar rindu kamu." Ya Allah, sebenarnya aku tidak berniat menolak, tetapi mengingat pengkhianatannya membuat hati kecilku berontak. "Tunggu nanti malam saja, Mas. Sekarang sudah asar, nanti keburu Aqilla bangun juga." Aku terus beralasan sambil kembali membuka lemari dan meraih pakaian asal dan segera memakainya. Berharap Mas Abi mau mengerti dengan alasanku dan bersabar. Namun, ternyata penolakan yang kukira paling tepat ternyata membuat Mas Abi kesal. Wajah pria itu berubah padam. Tanpa berkata-kata, Mas Abi menarik paksa daster
Ke mana perginya semua orang? Kenapa di rumah Jamilah tidak ada siapa-siapa? Sangat sepi dan mencurigakan. Aku melangkah maju, menelisik ke segala arah hingga mengintip di jendela depan rumah dengan penuh seksama. Sesekali aku memanggil nama Mas Abi dan Aqilla, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Hingga aku putus asa dan kembali memutar langkah. Tampaknya mereka bertiga sedang ke luar, ke tempat lain. Aku pun mulai melangkah untuk kembali ke rumahku. Namun, tiba-tiba terdengar pintu dibuka dari dalam dan seseorang memanggilku. "Mbak Kanaya!" Wanita bercadar sang pemilik rumah itu sudah berdiri tegap di depan pintu sambil melambaikan tangan ke arahku.Seketika, aku kembali melangkah ke rumah Jamilah dengan perasaan masih janggal. Sejak tadi sepi, kenapa tiba-tiba dia muncul dari balik pintu. Yang artinya dari tadi dia ada di dalam rumah. Lalu, kenapa tidak merespon panggilanku? Aku celingukan ke arah dalam rumah untuk mencari keberadaan Mas Abi dan Aqilla. "Aqilla sedang tidur,