Share

PELAN PELAN SAYANG
PELAN PELAN SAYANG
Author: Dara Tresna Anjasmara

1 - GAGAL HAMIL

last update Last Updated: 2025-07-02 16:24:21

“Negatif…”

Gendis menatap dua garis yang tak kunjung muncul di alat tes kehamilannya. Napasnya tertahan, lalu menghembuskannya dengan pasrah.

Wajah kecewa. Siapapun pasti mendambakan buah hati, namun tak semua pasangan mendapatkan anugerah itu dalam pernikahan mereka.

“Sabar ya…” ucap Raka, duduk di tepi ranjang dan meremas pelan tangan istrinya.

“Apa kita program bayi, atau bayi tabung aja, Mas?” tanya Gendis, lirih. Ia memandang Raka dengan harap, suaranya terdengar penuh kegelisahan.

“Mahal, Dek. Bukan nggak mau, tapi apa salahnya kita nunggu aja? Siapa tahu nanti juga hamil,” jawab Raka, sambil bersandar dan menatap langit-langit kamar seolah mencari keyakinan di sana.

“Udah tiga tahun, Mas. Belum juga. Lihat tetangga tuh, bolak-balik melahirkan aja,” ujar Gendis, nada suaranya mulai meninggi. Matanya berkaca-kaca, menatap perutnya yang masih kosong.

“Beda lah. Mungkin emang rejeki mereka dapet momongan cepet, Dek,” kata Raka sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia tampak mulai lelah dengan obrolan ini.

“Apa mungkin karena kamu kerja terlalu keras, Mas? Kan kalau kita mau dapetin sperma yang baik, butuh istirahat juga, Mas. Tapi kamu banyak lembur, belum lagi berangkat ke luar kota. Gimana mau bagus, kan?” Gendis menatapnya tajam, nada suaranya terdengar getir.

“Loh, kok kamu jadi gini?” balas Raka, kini mulai menegang. Alisnya naik, bahunya menegang. “Maksud kamu nyalahin aku?”

“Bukan nyalahin, Mas. Tapi kan kata dokter tempo hari itu, kita harus banyak waktu buat sama-sama. Nggak boleh capek atau stres, sampai dia saranin kita buat liburan bareng. Tapi tiap kali kita mau liburan, Mas ada aja dinas luarnya,” jelas Gendis sambil memeluk lututnya, suaranya bergetar.

“Ini juga buat kamu, kan, uangnya…” potong Raka. Ia berdiri dari duduknya, berjalan mondar-mandir di kamar.

“Ya tapi kan aku mau anak dari Mas. Padahal kita berdua nggak ada yang mandul, Mas. Iya, kan?” Gendis berdiri, menghampiri Raka dan memandangnya dengan mata yang basah.

“Dek, di luar sana ada yang sampai lima belas tahun nggak dikasih keturunan. Mereka happy aja,” jawab Raka sambil mengangkat bahu, berusaha terdengar tenang meski wajahnya tak lagi sabar.

“Apa salahnya sih, Mas, kita liburan? Masa sekali doang? Itupun pas bulan madu…” ucap Gendis, kembali duduk di sudut ranjang. Tangannya masih memegang alat tes kehamilan itu erat, seperti berharap ada keajaiban kalau ia menatapnya lebih lama.

“Aku capek, Dek. Kerjaan aku banyak. Masih bagus aku tiap hari libur ada di rumah, kan?” Raka berseru, kini mulai kehilangan kendali.

“Ya tapi kan sisanya Mas dinas luar. Terus aku mau ikut, tapi kata Mas jangan. Nggak enak sama temen Mas lainnya. Padahal kan kita bisa ngekost tempat lain, Mas,” kata Gendis, pelan. Tapi nadanya sarat luka.

“Bukan nggak mau, tapi emang kondisinya gitu, Dek…” balas Raka, nadanya merendah, mencoba bertahan di sisa kesabarannya.

Gendis menatapnya penuh ragu. Tangannya gemetar saat ia meletakkan test pack ke meja. Ia mengangkat wajahnya, menatap Raka penuh harap dan ketakutan.

“Mas, kamu nggak selingkuh, kan?” tanya Gendis lirih, sedikit rafu.

Dan pertanyaan itu, jelas membuat Raka langsung menatap Gendis dengan tajam. Ia bahkan menaikkan nada suaranya kali ini.

“Maksudnya apa? Kamu pikir aku tuh seneng-seneng di luar? Iya?!” bentak Raka, menatap Gendis dengan sorot tajam.

“Mas, kok jadi marah?” tanya Gendis pelan, suaranya bergetar.

“Omongan kamu tuh aneh! Itu pasti akibat kamu sering nonton drama-drama yang isinya selingkuh semua! Toxic! Racun buat otak!” Raka mengibaskan tangan ke udara, penuh emosi.

“Aku nggak pernah nonton itu, Mas... Aku nggak suka. Kamu kan tau, aku tuh suka film horor,” jawab Gendis, mencoba menenangkan suasana.

“Ya terus kenapa bisa mikir begitu? Gak ada otak kamu ya? Bisa-bisanya kamu mikir kotor sama suami sendiri!” Raka menunjuk ke arahnya, penuh kemarahan.

“Mas... iya, maaf. Aku salah. Aku cuma tanya aja. Maaf...” Gendis menunduk, tubuhnya gemetar karena terkejut dan takut.

“Pertanyaan kamu tuh nggak bagus!” tegas Raka, sebelum akhirnya berbalik arah.

Raka meninggalkan kamar tidur utama tanpa sepatah kata lagi. Ia memilih tidur di ruang TV, membanting pintu pelan namun cukup untuk menunjukkan amarahnya.

Gendis terdiam. Bibirnya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.

Hatinya sakit. Ini kali pertama Raka bersikap kasar terhadapnya. Ia merasa bersalah, tapi juga bingung—apa salahnya mempertanyakan sesuatu yang ia resahkan dalam diam selama bertahun-tahun?

Gendis menunduk, menangis di atas kasur. Tangannya masih memegang hasil test pack yang bertuliskan satu garis. Matanya memejam, air matanya mengalir makin deras. Dalam hatinya, ia ingin pelukan. Ingin penjelasan. Tapi yang datang malah kemarahan.

Rasa bersalah menumpuk bersama kesedihannya.

“Kenapa semua ini terasa berat banget...” bisiknya lirih, seperti bertanya pada dirinya sendiri—atau mungkin pada semesta yang mendiamkannya.

•••

“Mas, ini kopinya,” ucap Gendis sambil menyodorkan cangkir hangat ke arah suaminya, pagi itu.

“Aku udah buat sendiri,” sahut Raka tanpa menoleh, suaranya datar.

Ia berjalan melewati meja makan dan langsung menjinjing tas kerjanya, langkahnya cepat, seakan ingin segera pergi. Tak ada lirikan pun untuk Gendis pagi itu.

“Mas, masih marah?” tanya Gendis hati-hati, mengikuti dari belakang.

Raka tak menjawab. Ia hanya menjulurkan tangannya—sebuah kebiasaan pagi yang sudah jadi rutinitas. Gendis memegang tangan itu, mencium punggungnya seperti biasa, meski hati terasa ganjil.

“Mas, hati-hati di jalan ya,” bisik Gendis pelan, mencoba menebar hangat yang tak dibalas.

“Hmmm…” sahut Raka seadanya, lalu berjalan menuju mobil.

Ia masuk ke dalam kendaraan, menghidupkan mesin, dan melaju pergi tanpa menoleh. Suara mesin menjauh, menyisakan keheningan dan rasa kosong yang menggantung.

Gendis masih berdiri di depan pagar. Tatapannya mengikuti mobil Raka hingga menghilang dari pandangan. Napasnya berat.

“Masih marah kayaknya… Aku harus apa ya?” gumamnya lirih, memeluk tubuh sendiri.

Gendis menunduk, hampir kembali masuk ke dalam rumah, tapi pandangannya tertumbuk pada sesuatu di atas nakas. Sebuah kemasan strip pil KB. Baru. 

Tangan Gendis meraih strip itu dengan gemetar.  Alisnya berkerut. 

Ia tak pernah beli itu. 

“Ini….”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Dara Tresna Anjasmara
bener banget kak
goodnovel comment avatar
Dara Tresna Anjasmara
bener tuh .
goodnovel comment avatar
Dara Tresna Anjasmara
terimakasih kak Nila
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PELAN PELAN SAYANG   378 - ADAM TAKUT GENDIS MENGETAHUI SEMUANYA DARI RAIN.

    “Sayang, nggak ada yang perlu kamu khawatirin dari semua ini. Saya udah janji sama kamu, semua yang saya lakukan kamu harus tahu. Dan saya pegang omongan ini sampai mati,” ucap Rain penuh ketulusan, menatap istrinya seolah ingin memastikan ia merasa aman. “Iya deh…” ujar Gendis pelan sambil mengangguk. Ia berusaha tenang, meskipun ada sesuatu yang jelas masih mengganjal di hatinya. Tak terasa, mobil mereka berhenti di kediaman keluarga Rain. “Wah… ke sini juga,” ucap Ibu Rain begitu melihat Gendis berjalan ke arahnya. “Iya dong, Mama. Obatnya udah sampai, kan?” tanya Gendis sambil memeluk ibu mertuanya hangat. “Udah dong… makasih banget, kamu perhatian sama Mama,” ucap Ibu Rain sambil melirik Rain yang sedang meletakkan kue dalam kotak hitam di atas meja makan. “Rain, bawa apa tuh?” tanya ibunya lagi, penasaran. “Kue, Ma. Kebetulan beli banyak. Aku kan stok makanan terus di rumah, dan ini aku bawa sebagian buat Mama juga,” jawab Gendis sebelum Rain membuka mulut. Ia duduk di si

  • PELAN PELAN SAYANG   377 - ADAM MEMBUAT GENDIS PANIK

    “Teman? Teman kantor? Klien?” tanya Gendis sambil mengerutkan dahi, matanya menatap Rain penuh curiga yang sulit ia sembunyikan. “Teman lama saya,” ucap Rain pelan sambil mengangguk. Tangannya terulur mengusap perut istrinya, mencoba menenangkan suasana. “Nggak jauh dari rumah Mama.” “Mendadak banget?” Gendis menatapnya lebih dalam, rasa tidak nyaman mulai muncul di wajahnya. “Kamu nggak sembunyiin sesuatu dari aku kan, Sayang?” “Nggak ada, Sayang…” Rain tersenyum kecil, tapi sorot matanya terlihat sedikit gelisah. “Emang saya udah lama nggak ketemu. Dia baru balik dari LA.” “Perempuan?” tanya Gendis lagi, suaranya merendah, mengandung kecemasan yang tidak bisa ia tutupi. “Laki-laki…” ucap Rain sambil menarik napas pelan, berusaha meredam ketegangan di antara mereka. “Ada masalah?” tanya Gendis pelan, matanya masih meneliti ekspresi suaminya. “Nggak ada. Cuma mau ketemu doang… Beneran,” ucap Rain sambil mencoba tersenyum. Ia meraih tangan Gendis lembut. “Kamu mau ikut? A

  • PELAN PELAN SAYANG   376 - TEMAN LAMA?

    “Kok mirip Pak Kevin?” ucap Angga pelan. Nada suaranya merendah, seperti baru saja menyadari sesuatu yang tidak ia inginkan. “Tuh kan? Makanya pas aku liat ini tuh kayak… siapa gitu.” Shasha mengembuskan napas gelisah. “Dan ini kan videonya dua malam lalu, aku ambil dari rekaman CCTV. Ngapain coba dia ke rumah kita dan liatin kayak gitu? Ya kan?” ucapnya, jelas terdengar tidak nyaman. “Tapi masalahnya, apa dia tahu itu rumah kita?” tanya Angga, alisnya mengerut, pikiran mulai bergerak liar. “Makanya itu, Sayang.” Shasha mengusap lengannya sendiri, tubuhnya merinding. “Selain Pak Rain sama istrinya, sisanya cuma Mama Papa kita. Nggak ada yang lain. Temen kantor? Mereka bahkan belum tahu rumah kita sampai sekarang.” Sore itu, benak Angga penuh tanya. Jantungnya berdegup cepat, membayangkan Kevin berdiri diam di depan rumahnya pada jam malam—seakan membawa sesuatu yang jauh lebih gelap daripada sekadar rasa ingin tahu. Tiba di sebuah restoran, Angga menggandeng tangan Shasha sam

  • PELAN PELAN SAYANG   375 - VIDEO SESEORANG

    “Saya ngerasa, nggak ada yang aneh sih,” ucap Rain dengan tenang. Ia bahkan tidak menoleh, hanya memindahkan kursor di layar laptop sambil menghela napas pendek. “Polanya itu, Pak. Koper semua,” ucap Angga, nadanya lebih serius, alisnya mengerut. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, gelisah. “Kamu tuh masih kebawa suasana yang kemarin,” ucap Rain sambil tertawa kecil lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Senyumnya tipis, tapi matanya tetap jernih dan tenang. “Iya kali, ya. Kangen juga sih… seru gitu kita malam-malam keluar rumah ninggalin istri,” ucap Angga sambil tertawa, meski fokusnya tetap pada layar laptop. Gendis yang baru melintas dari arah kamar menuju ruang makan, menggeleng pelan sambil tertawa kecil mendengar ucapan mereka. Perut besarnya ikut bergerak saat ia menahan tawa, tatapannya hangat pada dua orang yang sedang bekerja itu. “Besok saya ke kantor, tapi cuma sebentar aja. Nggak bisa lama-lama ninggalin Gendis,” ucap Rain sambil menoleh sekilas pada istrinya, senyum

  • PELAN PELAN SAYANG   374 - JASAD SIAPA?

    “Jadi gangguan orgasme bisa memengaruhi kondisi mental, karena pengidapnya dapat merasa sedih atau tertekan secara emosional akibat tidak bisa mencapai orgasme. Makanya saya sarankan Ibu dan Pak Wilman…” ucap Rain lembut, berusaha menjaga nada empatinya saat memberikan konseling kepada pasangan yang mengalami hambatan dalam hubungan seksual hingga mempersulit proses pembuahan. Setelah memberikan solusi dan memastikan keduanya memahami arahan, Rain menutup sesi itu dengan senyum menenangkan. Hatinya sedikit berat—ia tahu masalah seperti itu bukan perkara mudah bagi pasien mana pun. Usai sesi konseling, Rain mengemasi berkas-berkasnya dan bersiap pulang ke apartemen. “Jalan kaki lagi toh, Mas…” sapa seorang petugas parkir di coffee shop dekat apartemen, senyumnya lebar penuh keramahan. “Olahraga, Pak. Udah makan siang?” tanya Rain sambil tersenyum. Ia merogoh saku celananya dan menyelipkan selembar uang ke tangan petugas itu. “Oalah, malah dikasih duit? Repot-repot e, Mas. Suw

  • PELAN PELAN SAYANG   373 - PERMINTAAN IBU RAIN

    “Rain, kapan kalian pindah ke sini? Mama kesepian, loh…” ucap ibunya dalam percakapan telepon pagi itu. “Nanti ya, Ma… Sekarang Rain lagi banyak kerjaan. Gendis juga mau persiapan lahiran bulan depan,” ucap Rain sambil tetap mengetik di depan laptop. Sesekali ia melirik Gendis yang sibuk menggoda dirinya dari sofa. Senyumnya melebar melihat tingkah istrinya. “Tapi… dia mau, kan, tinggal sama Mama?” tanya ibunya lagi, suaranya terdengar lebih menuntut. “Hm… ya nanti kita bicarakan lagi, ya, Ma,” ucap Rain sambil menarik napas gelisah. “Kamu kan suaminya, kepala rumah tangga. Kamu bujuk dong dia, biar dia mau,” ucap ibunya sambil menyiram tanaman bunga di pekarangan belakang rumahnya. Rain terdiam. Suara air yang tercurah di seberang telepon terdengar seperti tekanan yang menghantam dada. Tatapannya beralih pada Gendis—perempuan yang kini menjadi pusat dunianya—lalu kembali menatap layar laptop yang tiba-tiba terasa terlalu sempit untuk menampung beban pikirannya. Di ujung t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status